60
BAB III
TINJAUAN UMUM JIWA, AKHLAK DAN PENDIDIKAN KELUARGA
DALAM PERSPEKTIF ILMU AGAMA ISLAM
A. JiwaNafs dan Akhlak Al-Razi
Berkaitan dengan akhlak, Al-Razi memandang bahwa tingkah laku harus
berdasarkan petunjuk rasionalar. Hawa nafsu harus dapat dikendalikan oleh akal
dan agama. Ia memperingatkan bahaya yang didatangkan minuman khamar yang dapat merusak akal dan melanggar ajaran agama bahkan dapat mengakibatkan
menderita penyakit jiwa dan raga yang pada gilirannya menghancurkan manusia.
Mengetahui kekurangan atau kesalahan yang ada pada diri merupakan hal yang
perlu dilakukan, sehingga seseorang dapat meminta orang lain teman atau guru yang berkemampuan menalar untuk mengatakan kepadanya tentang kekurangan
atau kesalahan dimaksud. Sebaliknya, seseorang harus mengetahui perihal orang lain, tetangga, dan teman yang berpikir tentang dirinya.
1
Terdapat hubungan yang erat antara tubuh dan jiwa. Misalnya, emosi jiwa tidak akan terjadi, kecuali dengan melalui persepsi inderawi. Emosi jiwa yang
berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga timbul perasaan ragu dan melankolis. Begitu pula dengan sifat hasut atau dengki, akan dapat
mendatangkan bahaya bagi manusia secara psikis dan fisis; kekhawatiran yang
berlebihan juga dapat menyebabkan terjadinya halusinasi dan melankolis.
Kaitannya dengan jiwa, ia memandang seorang dokter perlu mengetahui kedokteran jiwa al-Thibb al-Ruhâni dan kedokteran tubuh al-Thibb al-
Jasmâni secara terpadu, karena manusia memerlukan kedua hal itu secara
1
Lihat Al-Razi dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta:Gaya Media Pratama:1998, hal. 29-30
61 terpadu pula. Kebutuhan kepada kedokteran tubuh adalah hal yang lazim,
sedangkan kebutuhan kepada kedokteran jiwa adalah untuk menjaga keseimbangan jiwa dalam aktivitas-aktivitasnya, agar tidak berkekurangan
ataupun berkelebihan. Karena itu, faktor jiwa menjadi salah satu dasar pengobatan bagi Al-Razi..
2
Pengertian kebahagiaan adalah kembalinya apa yang telah tersingkir karena sesuatu yang berbahaya. Sebagai ilustrasi, orang yang
meninggalkan tempat yang teduh menuju tempat yang disinari panas matahari, akan senang ketika kembali ke tempat yang teduh tadi. Para filsuf alam
mendefinisikan kebahagiaan sebagai kembali kepada alam. Al-Razi memandang cinta sebagai suatu hal keberlebihan dan ketundukan
kepada hawa nafsu. Ia juga berpendapat bahwa keangkuhan dan kelengahan merugikan manusia, karena hal itu menghalangi orang dari belajar lebih banyak
dan bekerja lebih baik. Keirihatian merupakan perpaduan dari kekikiran dan ketamakan. Orang yang iri hati adalah orang yang merasa sedih bila orang lain
memperoleh sesuatu kebaikan meskipun ia sendiri tidak mengalami keburukan. Di samping itu, bila keburukan menimpa dirinya, maka yang muncul tidak hanya
keirihatian tetapi juga permusuhan. Dusta adalah sutau kebiasaan buruk. Dusta dibedakan kepada dua: untuk kebaikan yang sifatnya terpuji, dan untuk kejahatan
yang sifatnya tercela. Jadi, nilai dusta terletak pada niat. Demikian pula tentang kekikiran, nilainya terletak pada alasan
melakukannya. Bila kekikiran tersebut dikarenakan oleh rasa takut menjadi miskin dan rasa takut akan masa depan, maka hal ini dipandang baik. Tetapi bila
hal itu dilakukan karena ingin memperoleh kesenangan, maka yang demikian adalah buruk. Ini berarti adanya kemungkinan pembenaran terhadap kekikiran
seseorang, bila hal itu mempunyai alasan yang dapat diterima, dan kekikiran dimaksud bukanlah suatu hal yang buruk. Adapun bila sebaliknya, maka hal ini
harus diperangi. Kecemasan yang berlebihan dapat membawa seseorang kepada
2
Lihat Al-Razi dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta:Gaya Media Pratama:1998, hal. 29-30
62 halusinasi, melankolis dan bersikap layu. Sifat tamak dapat membawa kepada
bencana. Demikian pula gegabah dan rakus, bisa mendatangkan kecelakaan. Karena itu, memburu kekayaan secara berlebihan adalah keliru..
3
Ikhwan Al-Shafa
Jiwa manusia, bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangan jiwa manusia banyak dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya. Keberhasilan
perkembangan jiwa memerlukan bantuan akal. Adapun jiwa anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih belum ada tulisan. Lembaran putih tersebut akan
tertulis dengan adanya tanggapan panca indera yang menyalurkannya ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi al-quwwat al-mutakhayyilat, dari
sini meningkat kepada daya berpikir al-quwwat al-mufakkirat yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara
benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu disalurkan ke daya ingatan al- quwwat al-hâfizhat yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini
seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara al-quwwat al-nâthiqat,
yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulisan kepada
pembaca. Adapun tentang akhlak, Ikhwan al-Shafa’ bersifat rasionalistis. Untuk
itu suatu tindakan harus berlangsung bebas. Dalam mencapai tingkat akhlak dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi.
Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan,
kelembutan dan kehalusan kasih-sayang, keadilan, rasa syukur, mengutamakan
3
Lihat Al-Razi dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta:Gaya Media Pratama:1998, hal. 30
63
kebajikan, gemar berkorban untuk orang lain kesemuanya harus menajdi
karakteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman, dan kepalsuan harus dikikis habis sehingga timbul kesucian perasaan,
kecintaan sesama manusia, dan keramahan terhadap alam.
4
Jiwa yang telah dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya spiritual dan entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak
terbelenggu oleh ikatan jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang tersembunyi dalam kitab suci dan kesesuaiannya dengan data pengetahuan
rasional dalam filsafat. Sebaliknya, selama jiwa terperosok dalam daya pikat tubuh dan terpikat oleh keinginan-keinginan dan kesenangan-kesenangannya, ia
tidak dapat mengetahui makna kitab suci, dan ia tidak akan dapat beranjak kepada bola-bola langit dan secara langsung merenungkan apa yang ada di sana.
Demikian juga setelah peristiwa kematian, ia tidak dapat terbebas dari beban atau bergabung dengan “rombongan malaikat” di surga. Malah ia akan tetap
melayang-layang di langit hingga Hari Kiamat dan pada akhirnya akan diseret oleh “roh-roh jahat” yang mengembalikannya ke dunia pembentukan dan
kehancuran sama halnya dengan neraka dan “penjara bagi eksistensi jasmani”.
5
Bagi Ikhwan, neraka dipahami sebagai “dunia pembentukan dan kehancuran yang terletak di bawah bulan”, dan surga sebagai “tempat
bersemayam roh-roh dan ruang langit-langit yang sangat luas.” Jiwa yang telah mencapai lingkaran samawi akan merasakan kebahagiaan abadi dan akan
terbebas dari kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi bagian tubuh untuk selama-lamanya. Kondisi yang demikian merupakan konsekuensi kekufuran,
kesalahan, kebodohan, dan kebutaan terhadap makna dasar kitab suci.
6
4
Syed Amir Ali, The Spirit of Islam Delhi: Idârah-Adâbiyat-i Delli, 1978, hal. 443
5
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, New York : Columbia University Press, 1970, hal. 200-201
6
Syed Amir Ali, The Spirit of Islam Delhi: Idârah-Adâbiyat-i Delli, 1978, hal. 445
64 Petunjuk utama manusia bagi pengenalan tentang dunia haruslah
merupakan pengetahuan tentang dirinya. Karena itu psikologi bagi ikhwan menjadi pengantar bagi metafisika dan kosmologi, dan juga bagi semua ilmu
pengetahuan. Berkat renungan manusia terhadap kondisinya di dunia ini akan tersingkaplah kepadanya, bahwa ia berada dalam posisi pertengahan antara dua
yang ekstrim, yaitu sangat kecil dan keleluasaan yang tak terbatas, tubuhnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, masa hidupnya tidak terlalu lama dan tidak
pula terlalu singkat, demikian juga kemunculannya di dunia tidak terlalu dini dan tidak terlalu terlambat. Dalam hal pengetahuan manusia ini, Ikhwan pun
berkesimpulan agnostik, yaitu akal manusia tidak berkemampuan meliput secara utuh tentang Keagungan Tuhan dan esensinya, bentuk dunia sebagai keseluruhan,
atau bentuk murni yang telah dipisahkan dari materi.
7
Ibn Miskawaih
Menurut Ibn Miskawaih, akhlak adalah suatu sikap mental hâlun li al- nafs yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan
pertimbangan.
8
Sikap mental ini terbagi dua: ada yang berasal dari watak bawaan lahir dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian,
sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. Akhlak
terpuji sebagai manifestasi dari watak tidak banyak dijumpai. Sementara banyak dijumpai di kalangan manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang
terpuji karena watak. Karena itu kebiasaan, latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat puji tersebut, sebaliknya juga
akan membawa orang kepada sifat-sifat tercela.
7
Syed Amir Ali, The Spirit of Islam Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1978, hal. 445-446
8
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-akhlâq fî al-islâm, Kairo:Muassasat al-Khaniji, 1963, hal.81
65 Ibn Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang
mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh Ibn Miskawaih ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui
pendidikan. Dengan demikian, dijumpai di tengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat
kepada hewan. Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam. Al-Quran dan Hadits sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Nabi Muhammad
adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terlihat dari salah satu tujuan melakukan ibadah untuk pembentukan watak yang pada gilirannya akan
memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan akhlak sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengamalkan ajaran
Islam yang dianutnya. Dalam hal ini, Ibn Miskawaih mengartikan kata al-insân manusia berasal dari al-uns, berarti jinak. Pendapat ini berbeda dengan
pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa kata al-insan berasal dari kata al-nisyân berarti pelupa. Memang ajaran-ajaran agama menguatkan perasaan al-
uns tersebut, seperti shalat berjamaah lebih utama daripada shalat yang dikerjakan sendirian, puasa sebagai upaya mengendalikan keinginan nafsu, dan
demikian juga bentuk-bentuk ibadah lainnya.
9
Adapun jiwa, menurut Ibn Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan
dzatnya dan mengetahui tentang ketahuan dan keaktivitasannya. Sebagai argumen, Ibn Miskawaih mengemukakan bahwa jiwa dapat menangkap bentuk
sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih, sedangkan jasad tidak dapat melakukan yang demikian. Bahkan, menurut
Ibn Miskawaih, kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami
9
Lihat Al-Razi dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta:Gaya Media Pratama:1998, hal. 64-65
66 oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanlah kelezatan hakiki.
10
Keberadaan jiwa dimaksudkan oleh Ibn Miskawaih untuk membantah pendapat kaum
materialisme yang tidak mengakui adanya roh bagi manusia. Namun, roh tidak dapat bermateri sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya
menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Dengan demikian, jiwa dan materi adalah dua hal yang berbeda, dengan kata lain, jiwa pada dasarnya bukanlah
materi. Imaterialitas jiwa itu menunjukkan ketidakmatiannya, karena kematian adalah karakter dari yang materil.
11
Terkait dengan permasalahan jiwa seperti yang diutarakan di atas, jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir, daya keberanian, dan daya keinginan.
Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan, yaitu hikmah, keberanian dan kesederhanaan. Bila ketiga sifat kebajikan tersebut berjalan
serasi, maka akan lahirlah sifat kebajikan keempat, yakni adil. Adapun lawan dari keempat sifat utama ini ialah bodoh, penakut, tamak dan zalim. Lebih lanjut, ia
membatasi tujuh jenis hikmah, yaitu tajam dalam berpikir, cekatan berpikir, jelas dalam pemahaman, kapasitas yang cukup, teliti melihat perbedaan, kuat ingatan,
dan mampu mengungkapkan. Selanjutnya ada sebelas sifat keberanian, yaitu murah hati, sabar, mulia,teguh, tentram, agung, gagah, teguh keinginan, ramah,
bersemangat, belas kasih. Sedangkan jenis sifat kesederhanaan, ada dua belas, yaitu malu, ramah, keadilan, damai, kendali diri, sabar, rela, tenang, saleh, tertib,
jujur dan merdeka. Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah
kebaikan al-khair, kebahagiaan al-sa’âdat, dan keutamaan al-fadhîlat. Menurut Ibn Miskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai
kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ada kalanya umum, dan
10
Musa, Muhammad Yusuf, Bain al-Dîn wa al-Falsafat. Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971 hal. 70
11
Musa, Muhammad Yusuf, Bain al-Dîn wa al-Falsafat. Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971 hal. 70
67 ada kalanya khusus. Dia atas semua kebaikan itu terdapat Kebaikan Mutlak yang
identik dengan Wujud Tertinggi. Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai Kebaikan Mutlak tersebut. Kebaikan Umum tadi adalah
kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan Kebaikan Khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi.
Kebaikan dalam bentuk yang disebut terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan. Dengan demikian, antara kebaikan dan kebahagiaan dapat
dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang
yang berusaha memperolehnya. Menurut Ibn Miskawaih, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu
jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama, ada manusia yang terikat dengan hal-hal yang bersifat
benda dan mendapat kebahagiaan dengannya, namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha memperolehnya. Kedua, manusia yang
melepaskan diri dan keterikatannya kepada benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda tidak diingkarinya, tetapi
dipandangnya sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibn Miskawaih, mengandung kepedihan dan penyesalan, serta
menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang paling sempurna, dan mampu
mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malaikat.
12
Tentang keutamaan al-fadhîlat Ibn Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia mahabbat al-insân li al-
nâs kâffat. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaannya kecuali
12
Musa, Muhammad Yusuf, Bain al-Dîn wa al-Falsafat. Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971 hal. 93-95
68 dengan memelihara sesamanya serta menunjukkan pengertiannya terhadap
sesama manusia. Selanjutnya, ia berkata bahwa cinta tadi tidak akan tampak bekasnya kecuali jika manusia berada di tengah-tengah msyarakatnya dan saling
berinteraksi di dalamnya. Sebab itu, seseorang yang memencilkan diri dari masyarakat, belumlah dapat dinilai bahwa ia telah memiliki sifat terpuji atau
tercela. Penilaian itu baru dapat diberikan hanya kepada seseorang yang telah berkecimpung di tengah masyarakatnya. Jadi, sikap uzlahpengasingan diri dari
masyarakat dapat dipandang sebagai sikap mementingkan diri sendiri. Bagaimana suatu masyarakat yang bobrok dapat berubah menjadi baik bila orang-orang
terbaiknya memencilkan diri tanpa mau memberikan pertolongan untuk perbaikan masyarakat tersebut. Dari sini, sifat uzlah dapat dipandang identik
dengan sifat zhâlim dan bâkhil. Karena itu, dapat dikatakan pandangan Ibn Miskawaih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat.
13
Penyakit akhlak, terutama yang telah dinyatakan tercela, dari segala hal yang menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas, adalah rasa takut,
terutama takut akan mati. Perasaan takut inilah yang menggerogoti pikiran orang- orang yang bodoh dan sombong yang tidak memahami sifat asasi kematian tetapi
merasa yakin bahwa dengan perceraian tubuh mereka, mereka sama sekali tidak akan hidup lagi. Padahal, kematian semata-mata hanyalah suatu proses lewat
mana jiwa, setelah meninggalkan tubuh yang telah menjadi alat jiwa selama kariernya di dunia ini, beralih kepada tingkat kesucian dan dan kebahagiaan lain
yang lebih tinggi. Sebagai suatu substansi yang sederhana, jiwa tidak dapat dipengaruhi oleh kerusakan atau disintegrasi, tetapi hanyalah oleh peralihan
bentuk transformasi. Penyakit akhlak lain yang lebih menyedihkan yang menimpa jiwa dan
yang paling baik diobati oleh filsafat adalah rasa sedih. Rasa sedih timbul dari
13
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-akhlâq fî al-islâm, Kairo:Muassasat al-Khanijî 1963, hal.84-85
69 kebodohan, baik kebodohan terhadap kesementaraan kondisi kehidupan kita,
yakni ketidaktahuan tentang apa yang merupakan kebahagiaan kita yang sejati, maupun kesia-siaan untuk mencemaskan harta benda keduniawian yang menjadi
tanda kesengsaraan. Dengan diagnosa tentang kesedihan ini dan sifat-sifat esensialnya sebagai latar belakang.
Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibn Miskawaih memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak. Ia menyebutkan bahwa masa
kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani, dan ufuk manusiawi dimulai. Karena
itu, anak-anak harus dididik akhlak mulia dengan menyesuaikan rencana- rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yaitu daya
keinginan, daya marah, dan daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum, dan berpakaian, serta lainnya. Lalu sifat
berani, kendali diri diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga akal pada akhirnya dapat menguasai
segala tingkah laku.
14
Ibn Thufail
Konsepsi Ibn Thufail tentang jiwa sejalan dengan yang dikemukakan oleh Al-Farabi, yakni ada tiga kategori jiwa, yaitu pertama: jiwa fadhîlat, yakni yang
kekal dalam kebahagiaan karena mengenal Tuhan dan terus mengarahkan perhatian dan renungan kepada-Nya. Kelak jiwa fadhilah ini akan ditempatkan di
surga. Kedua: jiwa fâsiqat, yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya di neraka. Karena pada mulanya jiwa ini telah mengenal Allah, tetapi
kemudian melupakan-Nya dengan melakukan berbagai maksiat. Ketiga: jiwa jahîliyyat, yakni jiwa yang musnah karena tidak pernah mengenal Allah sama
sekali. Jiwa jenis ini sama halnya dengan hewan yang melata.
14
Muhammad Yusuf Musa, Bain al-Dîn wa al-Falsafat. Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971 hal. 93-95
70 Ibn Thufail menawarkan tiga jenis amaliah yang harus diterapkan dalam
hidup. Kadar penetapan amaliah tersebut menjadi cermin keberhasilan seseorang untuk menyaksikan al-wâjib al-wujûd. Ketiganya adalah 1 amaliah yang
menyerupai hewan, 2 amaliah yang menyerupai benda angkasa, 3 amaliah yang menyerupai al-wâjib al-wujûd.
15
Amaliah pertama sedikit unik, karena amaliah hewan tersebut dibutuhkan tetapi juga dapat menjadi penghalang untuk
meningkat kepada amaliah berikutnya yang lebih tinggi. Amaliah hewan dimaksud adalah memelihara tubuh dan memenuhi kebutuhan pokok. Namun,
harus dibatasi seminimal mungkin. Amaliah kedua adalah melakukan hubungan baik dengan di bawahnya, dengan dirinya, dan dengan Tuhannya. Kemudian
melakukan amalan jenis ketiga, yang lebih tinggi, dengan mencontohkan sifat- sifat al-wâjib al-wujûd. Jenis amaliah ketiga ini akan mampu mengantar kepada
kebahagiaan abadi sebagai sasaran akhir dari prinsip akhlak.
16
Al-Thusi
Para filsuf sebelumnya membagi jiwa kepada jiwa vegetatif, hewani, dan manusia, oleh Al-Thusi ditambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi
tengah di antara jiwa hewani dan manusiawi. Jiwa imajinatif ini berkaitan dengan persepsi-persepsi rasa di satu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional di
pihak lain, sehingga jika ia disatukan dengan jiwa hewani maka ia akan menjadi bergantung kepadanya dan hancur bersamanya, tetapi jikalau ia dihubungkan
dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah
keterpisahan jiwa dari tubuh, suatu jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hukuman dan penghargaan jiwa manusiawi bergantung kepada jejak ini, yang
dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini. Menurut Al-Thusi, jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri.
15
Syed Amir Ali, The Spirit of Islam Delhi: Idârah- Adâbiyat-i Delli, 1978, hal. 446-448
16
Syed Amir Ali, The Spirit of Islam Delhi: Idârah-i Adâbiyat-i Delli, 1978, hal. 446-448
71 Keberadaan jiwa tidak memerlukan pembuktian. Jiwa mengontrol tubuh melalui
otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh.
17
Jiwa manusia ditandai dengan adanya akal. Adapun akal praktis, menyangkut dengan perbuatan-perbuatan sengaja dan tidak sengaja. Karena itu,
potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan akhlak, kerumahtanggaan dan politik. Al-Thusi memandang kehidupan rumah tanggakeluarga dan politik
sebagai aspek yang sangat penting dari filsafat praktis, dan karena itu tidak boleh diabaikan. Menurut Al-Thusi, bahwa kebahagiaan utama adalah tujuan akhlak
utama, yang ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia di dalam evolusi kosmik dan diwujudkan lewat kesediaannya untuk berdisiplin dan patuh. Al-
Thusi mendukung pemikiran Plato sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibn Miskawaih
bahwa kebaikan-kebaikan
mengacu kepada kebijaksanaan,
keberanian, kesederhanaan, dan keadilan yang berasal dari tiga kekuatan jiwa, yakni akal, kemarahan, dan hasrat. Al-Thusi juga menempatkan kebajikan di atas
keadilan, dan cinta sebagai sumber alami kesatuan, di atas kebajikan. Tentang penyakit jiwa, bagi Al-Thusi merupakan penyimpangan jiwa dari
keseimbangan, baik dari segi jumlah maupun dari segi mutu. Jadi, penyakit akhlak bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yaitu 1 keberlebihan, 2
keberkurangan, dan 3 ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat. Atas dasar tiga sebab penyakit jiwa tersebut, Al-Thusi menggolong-golongkan penyakit-penyakit
fatal akal teoritis menjadi kebingungan, kebodohan sederhana dan kebodohan fatal
18
Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan oleh adanya bukti yang saling
bertentangan dan argumentasi yang kacau dalam suatu permasalahan yang
17
Lihat Bakhtiar H. Shiddiqi, “Nâshir al-Dîn Thûsi” dalam M.M. Sharif, ed, A History of Muslim Philosophy, vol. I Wiesbaden:Otto Harrassowitz : 1963, hal. 567-578
18
Lihat Bakhtiar H. Shiddiqi, “Nâshir al-Dîn Thusi” dalam M.M. Sharif, ed, A History of Muslim Philosophy, vol. I Wiesbaden:Otto Harrassowitz : 1963, hal. 567-578
72 kontroversial. Padahal tidak mungkin muncul secara serempak dua hal yang
bertentangan, dengan kata lain, jika suatu hal benar, maka tidak mungkin salah. Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal
tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan semacam ini merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan,
sebaliknya akan sangat berbahaya jika merasa senang dengan keadaan demikian. Untuk itu, manusia perlu disadarkan akan pengembangan nalarnya, bukan
pada penampilan lahiriah, sekaligus sebagai pembedanya dari hewan. Kebodohan fatal ialah kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal, tetapi ia merasa mengetahui
hal itu. Menurut Al-Thusi, penyakit ini sulit disembuhkan, hanya bisa ditekan dengan pengajaran matematika.Bagi Al-Thusi, masyarakat berperan menentukan
kehidupan akhlak, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, bahkan kesempurnaannya terletak pada tindakan yang bersifat sosial kepada sesamanya,
dengan kata lain, ia mendukung konsep cinta dan persahabatan. Dengan demikian, ia bukan penganjur kehidupan pertapaan khalwat. Thusi
memasukkan urusan rumah tangga ke dalamnya. Thusi mendefinisikan rumah tangga manzil sebagai hubungan istimewa
antara suami dan istri, orang tua dan anak, tuan dan hamba serta kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga adalah mengembangkan sistem disiplin
yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, sosial dan mental kelompok
utama ini, dengan ayah sebagai pemegang kendalinya.
19
Fungsi ayah adalah menjaga dan memperbaiki keseimbangan keluarga. Jika fungsi ini tidak mampu
diemban oleh seorang laki-laki, Thusi menyarankan agar itu tidak menikah. Berdasar tujuan pembentukan rumah tangga, maka perkawinan bukanlah
memenuhi kepuasan syahwat. Mengenai disiplin anak-anak, Thusi mengikuti pendapat Ibn Miskawaih, memulai dengan penanaman akhlak yang baik
melewati pujian, hadiah dan celaan yang halus. Dia tidak menyukai celaan yang
19
Lihat Bakhtiar H. Shiddiqi, “Nâshir al-Dîn Thusi” dalam M.M. Sharif, ed, A History of Muslim Philosophy, vol. I Wiesbaden:Otto Harrassowitz : 1963, hal. 570-578
73 sering diucapkan serta teguran terbuka. Celaan yang sering diucapkan akan
meningkatkan godaan, sedangkan teguran terbuka akan mengundang keberanian. Setelah memberi mereka aturan-aturan makan, berpakaian, bercakap-cakap,
bersikap, dan tata cara beragul dalam masyarakat, anak-anak harus dilatih untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan mereka.
20
B. Perkembangan Keagamaan Remaja