134 kepada Allah dalam hidupnya disebut insan kamil. Tambahan pula, ia juga
memberikan kriterium dalam mendefinisikan insan kamil. Adapun kriteria yang dimaksud antara lain: 1 adanya keseimbangan jasmani dan rohani dalam
kehidupan manusia karena keseimbangan adalah hal utama dalam konsepsinya tentang manusia, 2 memiliki keluhuran akhlak dan kezakiahan jiwa, 3 memiliki
makrifat dan tauhid kepada Allah karena kedua hal ini merupakan tujuan dari ajaran tasawufnya.
22
Kaitannya dengan hal ini, ada pula yang mengajukan kriterium ketajaman daya intuisi dan kesempurnaan akal.
Sulit untuk menjelaskan pengertian insan kamil yang mengarah kepada pengertian manusia yang sempurna, sesuai dengan yang diinginkan Al-Ghazali
karena ia tidak pernah menggunakan istilah insan kamil dalam menjelaskan manusia sempurna. Namun demikian, faktor keseimbangan i’tidâl dan ketaatan
dapat dijadikan kriterium pokok dalam menentukan insannulkamil menurutnya. Manusia yang memiliki keseimbangan kehidupan lahir dan batinnya, serta
mentaati Allah, rasul-Nya dan manusia yang taat kepada-Nya, dikategorikan sebagai al-insân al-kâmil. Jelasnya, faktor kei’tidâlan dan ketaatan dalam al-
insân al-kâmil erat hubungannya dengan tazkiyat al-nafs.
C. Pendidikan Akhlak menurut Al-Ghazali
Kaitannya dengan pendidikan, konsep Al-Ghazali berhubungan erat dengan konsepnya tentang manusia. Ini dikarenakan oleh pandangannya bahwa
masalah manusia pada hakikatnya adalah masalah pendidikan juga, dan begitu sebaliknya. Selain itu ada pula pandangan yang mengatakan bahwa pendidikan
merupakan obat bagi penyakit yang terdapat dalam individu dan masyarakat. Bahkan, dapat dikatakan semua jawaban terhadap persoalan individu dan
22
Idries Shah, Thinkers of The East, terj. Anas Mahyuddin ”Hikmah Dari Timur”, Bandung:Pustaka, 1982, hal. 206.
135 masyarakat dapat ditemukan dalam pendidikan.
23
Pemikiran ini menjelaskan adanya hubungan yang sangat erat di antara masalah manusia dan pendidikan,
dan tidak mungkin keduanya dipisahkan. Bagaimana konsepnya tentang manusia, begitulah bentuk pendidikan yang diinginkannya. Dengan kata lain konsepnya
tentang manusia sejalan dengan konsepnya tentang pendidikan. Dengan demikian pendidikan bagi Al-Ghazali juga berfungsi sebagai alat untuk membentuk
manusia yang diinginkannya. Pendidikan menurut Al-Ghazali memiliki pengertian yang luas dan
dalam. Pengertiannya dimulai dari hal-hal yang sangat individual seperti bimbingan dan penyuluhan, dan sampai kepada pengertian pendidikan secara
massal di mana tidak mengharuskan tatap muka, namun dapat melalui sebaran luas ide-ide melalui berbagai media seperti buku dan pembacaan syair. Dengan
kata lain pengertian pendidikan baginya tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, namun juga meliputi pendidikan non formal dan informal.
24
Luasnya pengertian pendidikan menurutnya karena ia selalu berbicara mengenai
pendidikan dalam ungkapan yang sangat umum, yang dijabarkan dalam ungkapan yang sangat umum, sehingga perlu dijabarkan secara rinci agar dapat
dilaksanakan dalam kelas. Misalnya mengenai tujuan pendidikan ia mengatakan bahwa tujuan tertingginya ialah untuk mencapai dua kesempurnaan bagi manusia,
yakni pendekatan diri kepada Allah dalam arti kualitas, serta kebahagiaan dunia dan akhirat.
25
Dua tujuan pendidikan ini jelas bersifat sangat umum, dan untuk itu perlu dijabarkan dalam tujuan-tujuan khusus agar bisa diterapkan. Pengertian
pendidikan dalam arti luas mencakup pengertian dari segi individu, masyarakat, dan kejiwaan.
23
Pendapat ini tentu berdasarkan pada pengertian pendidikan dalam arti yang luas, yakni sebagai kebutuhan lahir dan batin manusia sebagai individu dan masyarakat.
24
Hasan Langgulung dalam kata pengantar buku Fathiyah Hasan Sulaiman, Bahs Fî al- Mazhâb al-Tarbawî ‘Ind al-Ghazâlî, terj. Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz “Konsep Pendidikan al-
Ghazâlî”, Jakarta:P3M, 1986, hal. X.
25
Fathiyah Hasan Sulaiman, Bahs Fî al-Mazhâb al-Tarbawî ‘Ind al-Ghazâlî, Kairo:Maktabat Nahdat, 1964, hal.16.
136 Dalam konteks individual, menurut Al-Ghazali pendidikan berarti proses
pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang terdapat dalam diri manusia sesuai dengan janjinya mîtsâq kepada Allah dan tuntutan fitrahnya kepada ilmu dan
wahyu. Manusia rindu bermakrifat kepada Allah, dan perjuangan terpokok kehidupannya adalah pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam
dirinya,
26
sesuai dengan kadar kemampuan yang dimilikinya. Pada umumnya, pengertian ini sejalan dengan pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh ahli
pendidikan Islam mutakhir, seperti Hasan Langgulung yang memberikan pengertian pendidikan dari segi individu sebagai pengembangan potensi-potensi
yang ada dalam diri manusia.
27
Dalam konteks masyarakat, pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan ahli pendidikan modern yang
memfokuskan pada pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat kepada setiap individu yang terdapat di dalamnya agar kehidupan budaya dapat
berkesinambungan. Adapun yang berbeda terletak pada soal nilai yang diwariskan dalam pendidikan tersebut. Pemikiran Al-Ghazali menyatakan bahwa
nilai-nilai yang diwariskan dalam pendidikan adalah nilai-nilai keislaman yang berdasar pada Al-Qur’an, Sunnah, dan kehidupan manusia-manusia salaf. Dengan
kata lain nilai-nilai tersebut dapat dikatakan sebagai nilai ilmu dan akhlak yang terdapat dalam Islam yang berintikan pula pada ketakwaanketaatan dalam
pengertian yang luas. Muhammad ‘Abdullah Darraz mengemukakan pendapat bahwa nilai ketakwaan yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat disimpulkan
memiliki lima kategori pokok, yaitu nilai-nilai permanusiaan, kekeluargaan, kemasyarakatan, kenegaraan, dan nilai-nilai keagamaan.
28
Pengertian ini menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk masyarakat
muslim yang berilmu dan bertakwa kepada Allah.
26
Musa Asy-‘ari, ed, hal. 68.
27
Hasan Langgulung “Beberapa Pemikiran”, hal. 132.
28
Muhammad Abdullah Darraz, Dustûr al-Akhlâk Fî al-Qur’ân, Kairo:Dâr al-Buhûts al- ‘Ilmiyât, 1982, hal. 689-781.
137 Dalam konteks kejiwaan, pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali
antara lain dapat berarti sebagai tazkiyat al-nafs selanjutnya disingkat tn dalam arti takhliyat al-nafs, dan tahliyat al-nafs. Takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs
yang mana dapat dimengerti sebagai bentuk usaha pengembangan karakter atau akhlak dalam ilmu pendidikan Islam dan psikologi agama. Takhliyat al-nafs
usaha penyucian jiwa melalui pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela, dan tahliyat al-nafs usaha penghiasan jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Kedua
permasalahan ini banyak dibahas oleh Al-Ghazali dalam rub’ al-muhlikât dan al- munjiyât dari Ihyâ’ yang sarat berisikan pemikiran kejiwaan dalam Islam. Rub’
al-muhlikât berisikan uraian mengenai masalah-masalah kejiwaan yang membawa kepada kegoncangan, ketidaktenteraman batin, dan gangguan kejiwaan
amrâdl al-nufûs. Sedang rub’ al-munjiyât berisikan tentang masalah pengobatan dan pembinaan jiwa thibb au mu’âjalat al-qulûb. Jika pengertian
tazkiyat al-nafs tn dalam arti di atas dibandingkan dengan pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh Mustafa Fahmi maka dapat ditemukan
kesesuaian pemikiran. Menurut Fahmi pendidikan dari segi ilmu jiwa berarti proses penyesuaian dan penyerasian diri dengan nilai-nilai dan sikap-sikap yang
diharuskan oleh lingkungan menurut tingkatan perkembangan material dan spiritual yang terdapat dalam diri semanusia.
29
Kalau pendidikan dari segi kejiwaan berarti suatu proses pertumbuhan dan pembentukan kehidupan, serta
interaksi antara individu dan lingkungannya, maka tn adalah juga mengacu kepada hal demikian. Tn tidak hanya berarti takhliyat al-nafs, namun juga berarti
tahliyat al-nafs dan al-ishlâh dalam usahanya membentuk manusia yang taat. Berdasarkan uraian tentang pengertian pendidikan yang ditinjau dari segi
individu, masyarakat, dan kejiwaan di atas jelas bahwa aspek kejiwaan sangat ditekankan Al-Ghazali dalam pengertiannya tentang pendidikan, seperti
29
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Beirut:Dâr al-Fikr, 1980, hal. 1-24.
138 pengembangan potensi jiwa, pewarisan nilai, dan masalah penyesuaian diri.
29
Adapun mengenai materi atau isi pendidikan konsep pendidikan Al-Ghazali agak berbeda dengan konsep yang dikemukakan oleh ahli pendidikan modern. Kalau
dalam konsep pendidikan modern, materi pendidikan terdiri atas tiga unsur pokok, yaitu ilmu pengetahuan, keterampilan, dan nilai, maka baginya hanya
terdiri atas dua unsur pokok, yakni ilmu pengetahuan dan nilai. Keterampilan menurutnya hanya merupakan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan
nilai. Sebagai contoh, keterampilan berbahasa merupakan alat untuk mempelajari ilmu, dan mendapatkan nilai. Dalam pengertian ini unsur keterampilan termasuk
dalam unsur ilmu. Dimasukkannya keterampilan dalam unsur ilmu karena ia memandang dan mengartikan ilmu dalam pengertian yang luas. Pengertian ilmu
baginya tidak saja merupakan proses yang menghubungkan manusia dengan manusia dan lingkungannya makhluk, tetapi lebih yang pokok daripada itu ialah
proses yang menghubungkan makhluk dengan Khalik, dan dunia dengan akhirat. Tujuan pendidikan tidak hanya terbatas pada kebahagiaan dunia, akan
tetapi juga meliputi kebahagiaan manusia di akhirat.
30
Apakah itu ilmu yang bersifat keduniaan, maupun ilmu yang diwahyukan agama, semuanya mengacu
kepada pendekatan diri kepada Allah. Ini di antara alasan mengapa ia tidak mengkategorikan keterampilan sebagai satu unsur terpisah dari materi
pendidikan. Dengan demikian materi pendidikan menurut Al-Ghazali hanya dua pada dasarnya yang dimasukkan dalam kurikulum, yakni soal ilmu dan nilai.
31
Dalam soal tujuan pendidikan ia memiliki tujuan yang tinggi karena berhubungan erat dengan konsepnya tentang manusia. Oleh karena itu tidak mengherankan
kalau soal ini menempati tempat khusus dalam sistem pemikiran dan pandangan falsafatnya tentang manusia. Menurutnya tujuan pendidikan merupakan masalah
pokok dari suatu sistem pendidikan karena masalahnya menyangkut manusia
30
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Beirut:Dâr al-Fikr, 1980, hal. 1-24.
31
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, Beirut:Dâr al-Fikr, 1980, hal. 10-24.
139 yang bagaimana yang ingin dibentuk oleh pendidikan tersebut. Tujuan
pendidikan seyogyanya sejalan dengan tujuan hidup manusia, jika tujuan hidup manusia dijadikan Allah untuk beribadat,
32
dan menjadi khalifah-Nya di bumi,
33
maka usaha pendidikan dan pengajaran harus mengacu kepada pembentukan perilaku manusia yang memiliki aspek ‘ibâdat dan siyâdat atau nilai dan ilmu.
Dengan kata lain ia menegaskan tujuan pendidikan Islam itu sebagai mencapai dua kesempurnaan hidup manusia. Pertama, kesempurnaan manusia yang
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah nilai ibadat. Kedua, kesempurnaan manusia yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat nilai ilmu atau siyâdat.
34
Dua tujuan pendidikan ini tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya. Kesempurnaan yang pertama merupakan
pokok bagi tercapainya kesempurnaan yang kedua, sedang kesempurnaan kedua merupakan pula tanda keberhasilan kesempurnaan pertama.
Sementara itu dalam praktek pendidikan dan pengajaran, tujuan pendidikan di atas dijabarkan dalam tujuan umum dan khusus. Tujuan umum
pendidikan Islam itu menurut Al-Ghazali adalah 1 membentuk akhlak mulia, 2 mendekatkan diri kepada Allah, 3 memperoleh ilmu, 4 mengembangkan fitrah,
5 menciptakan keseimbangan dalam diri, 6 mencari keridhaan Allah, 7 mewujudkan ketenangan dan ketenteraman jiwa, 8 membiasakan diri untuk
beramal shaleh, 9 meningkatkan keimanan dan ketaatan kepada Allah.
35
Sedangkan tujuan khususnya adalah mendidik dan mengajar manusia agar pandai beribadat, berdoa, berzikir, berbuat baik, menjauhkan diri dari akhlak atau sifat
tercela, dan bersikap dengan akhlak atau sifat terpuji. Pada umumnya, tujuan umum dan khusus menurut Al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan pemikir
32
Al-Qur’ân, al-Dzâriyat 51:56.
33
Al-Qur’ân, al-Baqarat 2:30.
34
Hasan Langgulung dalam Fathuyat Hasan Sulaiman
.
35
Fathiyat Hasan Sulaiman buku asli, hal. 16-17 dan lihat juga Nashruddin Thaha, Tokoh- tokoh Pendidikan Islam di Zaman Jaya, Imam Al-Ghazali Ibnu Khaldun, Jakarta: Mutiara, 1979,
hal. 35-36.
140 pendidikan Islam lain. Perbedaan mungkin hanya pada segi penekanannya. Ia
sangat menekankan implikasi tujuan pendidikannya kepada tujuan keagamaan, kejiwaan, akhlak, dan kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan konsepnya tentang
manusia yang memandang tingkah lakuperbuatan mempunyai tujuan niat agama dan kemanusiaan yang berlandas semangat Islam
36
karena hal demikian amat berpengaruh dalam pembinaan insanulkamil. Dengan kata lain
pembentukan karakter manusia yang beragama, berakhlak mulia, dan berkepribadian sempurna adalah sangat ditekankannya. Pembahasan mengenai
tujuan pendidikan erat hubungannya dengan metode pendidikan karena metode merupakan cara atau jalan yang harus ditempuh untuk bisa sampai kepada tujuan.
Setidak-tidaknya ada dua jenis metode yang dipergunakan Al-Ghazali dalam pendidikan Islam, yaitu metode pembentukan kebiasaan dan metode tn. Metode
pertama ditekankan pemakaiaannya pada pendidikan akhlak dan pembinaan jiwa bagi manusia dewasa. Dengan demikian tn yang menjadi masalah pokok tulisan
ini erat hubungannya dengan pendidikan akhlak dan pembinaan jiwa bagi manusia dewasa, karena misi dari tn itu adalah diperuntukkan bagi manusia akil
baligh. Pengertian metode pembentukan kebiasaan ialah pembentukan kebiasaan
yang baik dan peninggalan kebiasaan yang buruk melalui bimbingan, latihan, dan kerja keras. Tentang metode ini Al-Ghazali mengatakan bahwa semua etika
keagamaan tidak mungkin akan meresap dalam jiwa, sebelum jiwa itu sendiri dibiasakan dengan kebiasaan yang baik dan dijauhkan dengan kebiasaan yang
buruk atau sebelum rajin dan gemar bertingkah laku terpuji dan takut bertingkah laku tercela.
37
Apabila hal ini sudah menjadi kebiasaan dan tabiat maka dalam waktu yang singkat akan akan tumbuhlah dalam diri suatu kondisi itu sudah
menjadi tabiatlah bagi jiwa untuk melakukan perbuatan baik secara natural dan
36
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1987, hal. 274.
37
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 8, Beirut:Dâr al-Fikr, 1980, hal. 105-109.
141 spontan.
38
Dengan kata lain metode ini dapat dikatakan sebagai metode penanaman kebiasaan dan watak yang baik.
Setelah mengkaji uraian tentang pengertian, materi, tujuan, dan metode pendidikan Islam di atas, maka dapat diketahui segi-segi akhlak dan kejiwaan
sangat ditekankan Al-Ghazali dalam konsepsinya tentang pendidikan. Jiwa sebagai hakikat dari manusia berkaitan erat dengan akhlak. Menurut
pendapatnya, kesehatan jiwa adalah kei’tidalan dan keihsanan akhlak. Kualitas jiwa manusia secara moral dapat dilihat dari kualitas akhlaknya. Manusia yang
jiwanya dan akhlaknya dekat dengan Allah adalah manusia yang paling mulia. Sebaliknya manusia yang buruk akhlaknya secara moral dan kejiwaan adalah
manusia yang menyimpang dari hakikat kemanusiaan. Jika dikaji lebih dalam pemikirannya tentang jiwa dan akhlak, maka dapat dikatakan Al-Ghazali adalah
salah manusia tokohnya dalam Islam.
D. Konsep Tazkiyât al-Nafs dalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn