Psikologi Humanistik dan Agama Abraham H. Maslow

52

D. Psikologi Humanistik dan Agama Abraham H. Maslow

Ada dua istilah yang seringkali dihubungkan dengan nama Abraham Maslow yakni aktualisasi diri self-actualization dan pengalaman puncak peak-experience. Maslow mengembangkan teori tentang motivasi manusia yang dikaitakan dengan aktualisai diri dan pengalaman puncak. Ia mengakui bahwa konsep-konsepnya tumbuh dan berkembang dari usaha-usahanya untuk menjabarkankan kecendekiaan dua orang gurunya Ruth Benedict antropolog dan Max Wertheimer psikolog dan bukan dari penelitian yang dilakukannya sendiri. Tetapi Maslow berpendapat bahwa teorinya dapat digeneralisasi dan dipergunakan sebagai dasar teori kepribadian yang umum. Dengan demikian Maslow tidak menyibukkan diri dengan penelitian yang komprehensif tetapi dengan pengamatan dan penguraian yang teliti tentang pemikiran para ahli yang kenyataannya sudah jelas berkembang dan dipublikasikan. 21 Hirarki Kebutuhan dan Metamotivasi Hierarchy of Needs and Metamotivations. Menurut Maslow, orang yang dewasa dan masak secara penuh adalah orang yang telah mencapai aktualisasi diri, yaitu yang “mengalami secara penuh, gairah, tanpa pamrih, dengan konsentrasi penuh dan terserap secara total” dalam arti menjadi “manusia utuh dan penuh.”. 22 Bagaimana tujuan ideal itu dapat dicapai? Apa yang harus terjadi pada orang agar dirinya teraktualisasikan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu ada dalam pemahaman bahwa manusia memiliki hirarki kebutuhan yang dapat diurutkan tingkatnya dari kebutuhan yang paling bawah ke kebutuhan yang paling tinggi. Aktualisasi diri menuntut bahwa orang menaiki jenjang tingkat-tingkat kebutuhan dengan dimotivasi oleh pencarian pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi. 21 Lihat Abraham H. Maslow, The Farther Reaches of Human Nature, New York:Viking, 1971 hal.. 98. 22 Lihat Abraham H. Maslow, The Farther Reaches of Human Nature, New York:Viking, 1971 hal. 45. 53 Pertama, manusia harus mencapai sampai tingkat tertentu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah yang sifatnya naluriah, yaitu kebutuhan- kebutuhan yang berkaitan dengan keamanan dan kehidupan organisme atau fisik. Kebutuhan itu tidak hanya kebutuhan biologis seperti makanan-minuman, tetapi juga kebutuhan menjadi bagianditerima, afeksikasih sayang, rasa hormat dan rasa harga diri. Mereka yang dapat mencapai pemenuhan kebutuhan pada tingkat itu tidak berarti sudah meraih aktualisasi diri, tetapi pemenuhan yang cukup atas kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah itu memberi kemungkinan atau kecenderungan lebih besar munculnya kebutuhan-kebutuhan dari tingkat hidup yang lebih tinggi. Orang yang tidak merasa tertekan oleh rasa cemas atau risau, tidak aman, tidak terlindungi, sendirian, tidak dicintai, atau tercabut dari akarnya, adalah orang yang sudah dibebaskan demi memotivasi metamotivation yaitu, mereka dapat terdorong untuk meraih nilai yang lebih tinggi dan bernilai pada dirinya intrinsic yang tidak dapat dimerosotkan menjadi nilai yang sekedar bersifat alat instrumental. Nilai itu adalah kebenaran, keindahan, kesempurnaan, dan keadilan. 24 Nilai keberadaan berperilaku seperti kebutuhan. Bila tak terpenuhi melahirkan penyakit, patologi, dan pemenuhannya membawa kesehatan. Pilihan choice. Aktualisasi diri terjadi pada waktu manusia bergerak naik pada hierarki kebutuhan kearah nilai keberadaan. Perpindahan dimana arah itu ditentukan adalah saat untuk membuat pilihan Pada suatu saat dalam tahap hidupnya, orang dihadapkan pada pilihan sebagai keharusan, mau tak mau harus membuat pilihan: menipu atau harus jujur, mencuri atau tidak mencuri, memperhatikan atau bersikap acuh tak acuh. Pada tahap-tahap kehidupan seperti itu, dapat terjadi pilihan berkembangmaju progression choice atau pilihan mundur regression choice. Pola kebiasaan dalam membuat pilihan mempengaruhi gerak menujumendekat atau menjauh dari metamotivasi dan oleh 24 Lihat Abraham H. Maslow, Religions, Values and Peak-Experiences, New York: Viking Press, 1964, hal. 91-94 54 karenanya menuju atau menjauh dari aktualisasi diri. Membuat dua belas pilihan maju dalam satu hari adalah bergerak dua belas langkah menuju ke aktualisasi diri. Aktualisasi diri bukanlah masalah satu saat penting, tetapi merupakan proses, perkara tingkat-tingkat kehidupan, pergantian kecil dari satu bagian tingkat ke bagian tingkat yang lain. Orang yang teraktualisasi dirinya maka kehidupannya akan diisi oleh pertumbuhan motivasi yang mewujudkan eksistensi dengan membuat pilihan maju, yang mengungkapkan kekuatan-kekuatan batin, memberi keleluasaan untuk pemenuhan diri yang spontan, percaya kepada kemampuan dan pemahaman pribadi. Aktualisasi diri terhambat oleh kekurangan, pilihan mundur, yaitu pilihan-pilihan yang bertujuan untuk menangani masalah, mempersiapkan diri ke masa depan, atau bertahan melawan ketakutan dan kecemasan. 25 Desakralisasi, Resakralisasi Desacralization, Resacralization. Menurut Maslow proses aktualisasi diri terus menerus terancam oleh mekanisme mempertahankan defense mechanisme, desakralisasi Desacralization, pemerosotan reduction manusia menjadi objek konkrit, dan penolakan refusal melihat pada manusia nilai simbolis dan internal. Maslow berpikiran bahwa mekanisme mempertahankan merupakan ungkapan ketidakpercayaan pada nilai dan keutamaan yang terkandung dalam pribadi manusia. Ini mirip-mirip gaya orang muda yang menolak kewibawaan. Agar dapat mencapai aktualisasi diri orang harus bersedia melepaskan mekanisme mempertahankan itu demi resakralisasi resacralization. Artinya orang perlu memiliki kemauan dan kemampuan untuk menemukan kembali rasa kagum, takjub, dalam berhadapan dengan manusia sebagai sesama. Jadi Maslow mengemukakan usulan untuk menyatukan “fakta” dan “nilai” dalam pemahaman tentang manusia. Saat-saat 25 Lihat Abraham H. Maslow, Religions, Values and Peak-Experiences, New York: Viking Press, 1964, hal. 94-96 55 dimana penyatuan itu terjadi merupakan pengalaman puncak, dimana aktualisasi diri mencuat dengan cepat. Dari penelitian-penelitian yang dilakukannya sendiri, Maslow menyimpulkan bahwa orang-orang besar dalam sejarah umat manusia memiliki pengalaman puncak peak-experience yaitu saat ekstasi dimana orang itu merasa bersatu dengan alam raya – saat-saat di mana keterbukaan, kreativitas dan spontanitas meningkat dan seluruh dirinya seperti menyatu dengan alam. 26 Pengalaman seperti itu mempunyai nilai intrinsiknya sendiri sedemikian sampai usaha untuk membenarkan atau menguraikannya terasa tak sesuai dengan martabat dan nilainya. Orang dalam pengalaman puncak itu menjadi lebih dari diri sendiri, lebih mewujudkan kemampuannya dengan sempurna, lebih dekat dengan inti keberadaannya, dan lebih utuh sebagai manusia. 27 Dalam pengalaman puncak itu tidak hanya dunia tampak menjadi lebih indah dan hidup menjadi lebih diinginkan secara faktual, tetapi juga kejahatan yang ada pada dirinya sendiri diterima, dipahami dan dilihat pada tempatnya sendiri dalam keseluruhan, sebagai bagian dirinya, tidak bisa dielakkan, perlu, dan, oleh karena itu dipandang wajar”. 28 Pengalaman puncak tidak selalu terjadi hanya dalam konteks keagamaan; pada kenyataannya banyak yang bukan bersifat keagamaan. Tetapi pengalaman puncak itu ada pada inti agama. Maslow yakin bahwa pada dasarnya sistem keagamaan adalah sama. Keanekaragaman dari satu agama ke agama yang lain dapat dijelaskan berdasarkan tempat, bahasa, atau faktor etnis kesukuan. Bila unsur-unsur yang tidak dimiliki bersama itu dilepas, agama-agama pada prinsipnya sepakat dalam hal meningkatkan pengalaman puncak sebagai wahana untuk mencapai pemenuhan diri. Satu hal yang menjadi keprihatinan Maslow, dalam sejarah 26 Lihat Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, 2d ed., New York: Van Nostrand Reinhold, 1968, hal. 74-98. 27 Lihat Abraham H. Maslow, Toward a Psychology of Being, 2d ed., New York: Van Nostrand Reinhold, 1968, hal. 98. 28 Lihat Abraham H. Maslow, Religions, Values and Peak-experiences, New York: Viking Press, 1964, hal.63. 56 tercatat bahwa tidak ada penghargaan bagi para pemimpin agama yang memajukan lembaga keagamaan mereka dengan mengorbankan pengalaman puncak. Kepemimpinan lembaga keagamaan seringkali jatuh ke tangan”orang- orang organisasi” yang lebih mementingkan lembaga daripada lembaga keagamaan yang orisinal. Mereka, orang-orang organisasi tersebut, menanjak karir mereka karena, sebagaimana dalam birokrasi biasa, telah berjasa dalam mendukung dan mengembangkan lembaga. Kepribadian orang-orang itu adalah rasionalitas, materialistis, dan mekanistis. Biasanya mereka menentukan atau mengingkari pengalaman puncak mereka sendiri, dan kemungkinan mendapatkan pengalaman semacam itu mengancam tata tertib dan kontrol lembaga yang menghidupi mereka. Jadi situasi suram tanpa harapan di mana manusia yang tak berpengalaman puncak, diserahi tugas mengurus lembaga keagamaan. Dalam arti itu, agama yang diorganisasikan dan dilembagakan menjadi musuh besar pengalaman keagamaan. 30 Maslow menambahkan bahwa dia tetap yakin bahwa manusia hanya dapat mencapai pemenuhan kebutuhan dasarnya lewat kelompok sosial. Namun dia tetap berpendirian bahwa lembaga keagamaan dan pemimpin keagamaan, yang berorientasi pada organisasi atau lembaga, tidak mendorong munculnya saat-saat puncak kegembiraan keagamaan dan ekstasi. Selain itu, ia mengajukan konsep Pengalaman–Platonis Plateau-Experience, suatu gagasan yang mengatakan bahwa kebahagiaan keagamaanspiritual ditandai oleh ketenangan, kedamaian, keceriaan, dan kegembiraan yang berlangsung terus-menerus. Menurut pandangannya, pengalaman Platonis berbeda dari pengalaman puncak yang datang tiba-tiba, mengejutkan, musiman, dan menakjubkanb. Pengalaman Platonis selalu memiliki unsur kognitif sedangkan pengalaman puncak biasanya lebih bersifat emosional serta pencapaian pengalaman platonis itu makan 30 Lihat Abraham H, Maslow, Religions, Values, and Peak Experience, New York: Viking Press, 1964, hal.viii. 57 waktu. 31 Hidup pada tingkat plato, memiliki kesadaran yang menyatu dengan nilai, yang dicapai dalam proses disiplin spiritual dan pengambilan keputusan yang berlangsung dalam pengalaman hidup. Tidak ada jalan pintas untuk”mendewasakan”, mengalami hidup dan belajar yanng harus dilakukan.” 32 Ringkasnya, Maslow memiliki kepercayaan besar adanya kodrat yang lebih luhur di dalam diri manusia. Kodrat itu dapat mengatasi keadaan dan sifat biologisnya. Agama terletak pada kemampuan manusia untuk menyerap kekuatan-kekuatan batin dan mengatasi kebutuhan yang lebih rendah. Meskipun nilai yang pada manusia itu bukan hanya milik agama yang diorganisasikan atau dilembagakan secara eksklusif atau membutuhkan konsep-konsep super natural untuk mendukungnya, nilai-nilai itu sama dengan nilai rohani. 33 Kodrat alamiah manusia mencakup kemampuan spiritual dan kemampuan itu dapat diwujudkan pada orang mau menggali keluar dirinya yang lebih dalam, yaitu dengan mencapai aktualisasi diri lewat keputusan-keputusan yang makin meningkat mutu dan isinya. Tetapi pada saat-saat ekstasi dan pemahaman mendalam, orang dapat dicurahi dengan kesadaran mendalam dan mendapatkan pengertian istimewa atas kemampuan mereka sebagai manusia. Diharapkan bahwa kesadaran dan pengertian mendalam itu mendorong orang menuju ke Plato, dataran tinggi kehidupan yang dikuasai oleh nilai manusiawi yang paling tinggi. Pengalaman puncak merupakan inti agama pribadi, dalam arti pentingnya pengalaman pribadi, dan meningkatkan proses itu merupakan urusan agama yang diorganisasikan dan dilembagakan. Maslow tegas-tegas menolak segala jenis kepercayaan atas kodrati, supernatural, meskipun dia memiliki bandingannya dalam istilah “Yang Lebih”. 31 Lihat Abraham, H. Maslow, The Farther Reaches of Human Nature, New York:Viking: 1971, hal.. 348-349 32 Lihat Abraham, H. Maslow, The Farther Reaches of Human Nature, New York:Viking: 1971, hal.. 349 33 Abraham H, Maslow, Religions, Values, and Peak Experience, New York: Viking Press, 1964, hal.viii. 58 Pengalaman puncak merupakan sesuatu dari “kodrat yang lebih tinggi” dan datang dengan kejutan dan pewahyuan. Tetapi dia mengambil sikap untuk mempertanggungjawabkan saat-saat istimewa itu atas dasar pendirian humanistisnya. Penjelasan humanistis Maslow perlu diberi dua catatan. Pertama, orang yang memiliki pengalaman puncak, terutama mereka yang tidak sejalan dengan kemapaman dan agama yang ada, yang rupanya dikagumi Maslow, menjelaskan pengalaman mereka yang paling lazim dengan istilah ditangkap oleh kekuatan dari luar. Jadi untuk menjelaskan pengalaman mereka atas kodrat atau humanistis melampaui keyakinan mereka, baik selama maupun sesudah pengalaman, bahwa peristiwa itu berkaitan dengan Yang Ada Yang Terakhir Ultimate Being atau Tuhan. Menegaskan kembali pemikiran James, yang menekankan pentingnya membiarkan dokumen pribadi berbicara sendiri, mungkin merupakan koreksi atau pembetulan pemikiran Maslow dalam hal itu. Kedua, perlu diketahui bahwa pendekatan Maslow yang naturalistis dan humanistis, sebagaimana semua pendapat yang berlawanan dengan penjelasan supernatural, juga merupakan penafsiran arti yang masih terbuka untuk pengkajian filosofis atau teologis. Pendekatan Maslow mendorong untuk studi tentang orang-orang yang sehat sebagai cara untuk mengerti agama. Tetapi apakah konsepnya tentang kedewasaan tidak menyingkirkan orang-orang biasa? Apakah definisinya tentang manusia yang teraktualisasi diri membuang kebanyakan orang keluar dari jangkauannya ? Bagaimana tentang orang yang tak mengalami pengalaman puncak? Apakah tidak ada “obat” bagi orang-orang yang tidak mencapai saat-saat ekstasi pada waktu kita berpikir tentang kemampuan penuh manusia? Maslow tidak mengolah masalah-masalah itu dengan baik kecuali dengan menyampaikan gagasan idealis bahwa sesudah mengamati kehidupan manusia, dia lebih optimis 59 bahwa semua orang pada dasarnya dapat menjadi peaker, yang mampu mengalami pengalaman puncak. 34 34 Abraham H, Maslow, Religions, Values, and Peak Experience, New York: Viking Press, 1964, hal.4 60 BAB III TINJAUAN UMUM JIWA, AKHLAK DAN PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF ILMU AGAMA ISLAM

A. JiwaNafs dan Akhlak Al-Razi