Peranan AmarahFrustrasi dalam Perilaku Agresif Teori Al-Ghazali

199 kesungguhan dan ketekunan. Ringkasnya, ditinjau secara empiris maka perlu digabungkan kedua nilai tersebut untuk menyusun konsep pendidikan yang aplikatif dan bermuatan kecenderungan kesadaran yang lebih melekat.

D. Peranan AmarahFrustrasi dalam Perilaku Agresif Teori Al-Ghazali

Konsep tazkiyat al-nafs bagi al-Ghazali tidak saja terbatas pengertiannya pada takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs, akan tetapi juga mencakup ajaran ibadat dan al-‘adat ilmu lahir; atau penyucian diri dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, akan tetapi juga berarti pembinaan dan pengembangan jiwa dengan sifat-sifat rabbani asma’ Allah al-husna; atau pada kesadaran diri terhadap diri sendiri, akan tetapi juga meliputi kesadaran diri kepada Allah, sesama manusia, dan makhluk; atau pada kesucian batin dari akhlak tercela, akan tetapi juga meliputi kebersihan badan dari hadas, kotoran, dan benda-benda yang menjijikan. Konsepnya meliputi konsep kehidupan orang-orang yang adil sederhana, saleh, takwa, serta arif dan benar. Konsepnya ditandai dengan banyaknya ibadat baiknya hubungan kepada Allah, baiknya al-‘adat pergaulan dengan sesama manusia dan makhluk, dan ihsannya akhlak hubungan terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, tazkiyat al-nafs dapat dijadikan salah satu metode pendidikan dalam pembinaan jiwa dan pengembangan akhlakkarakter. Amarah membuka pintu yang besar bagi masuknya setan dan ini dapat menghambat tercapainya tujuan-tujuan pendidikan khususnya pendidikan akhlak. Bahkan mengacu pada hadis Nabi Muhammad saw, Al-Ghazali mengingatkan bahwa yang dipandang sebagai manusia yang kuat adalah manusia yang dapat mengendalikan atau menguasai dirinya saat ia marah. Al- Ghazali memandang kekuatan amarah dan syahwat serta sifat-sifat yang tercela adalah faktor utama pencetus munculnya tingkah laku buruk, akhlak tercela. Yang dimaksud dengan kekuatan marah disini adalah marah yang zhalim. 200 Dalam hubungan dengan sifat-sifat jiwa yang ada dalam diri manusia, Konsep tazkiyat al-nafs tn menurut al-Ghazali berarti pembersihan diri dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, kemudian mengisinya dengan sifat-sifat ketuhanan rabbanî. Tn dikaitkan dengan sifat kebuasan adalah pembersihan diri dari sifat marah yang tidak berada pada batas itidalnya, dan sifat-sifat buruk lainnya yang timbul darinya, seperti sifat permusuhan, sembarangan, emosional, takabur, sombong, niat jahat, dan berbuat zalim. Tn dalam hubungannya dengan sifat kebinatangan adalah pembersihan diri dari sifat-sifat hawa nafsu, seperti rakus, bakhil, ria, dengki busuk hati, la’b main-main, dan lahw senda gurau. Tn dalam hubungannya dengan sifat setan adalah meninggalkan sifat-sifat setan dalam diri seperti mengicuh, suka mencari helat, tipu mulihat, menokoh, merusak, dan berkata kotor. Apabila jiwa sudah bersih dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, maka mudah berkembang dalam diri sifat-sifat ketuhanan, yakni dalam batas kemampuan manusia bersifat dengannya. Adapun tn dalam kaitannya dengan sifat rabbani adalah pembinaan jiwa dengan sifat-sifat dan nama-nama Allah, seperti ilmu, hikmat, dan sifat-sifat lainnya yang terlepas dari perbudakan hawa nafsu dan marah. Hawa nafsu dan marah dalam arti manusiawi, apabila dikuasai dan dikendalikan dengan baik atau dikembalikan kepada batas itidalnya keseimbangan akan menumbuhkan sifat warak, kanat kepuasan hati, iffah, zuhûd, malu, ramah, kasih sayang, berani, lapang dada, teguh pendirian, dan sifat terpuji lainnya dalam diri. Jiwa dengan sifat rabbani juga disebut sebagai jiwa yang memiliki wâ’izh juru nasihat dan hâfizh penjaga dalam dirinya atau jiwa muthma’innah menurut Al-qur’an. Al- Ghazali meletakkan tn di atas tiga landasan sifat jiwa yang dicintai Allah, yakni jiwa yang halus, bersih, dan kuat. Jiwa yang halus berarti lemah lembut kasih sayang, tidak mudah marah, dalam bergaul dengan saudara-saudaranya. Jiwa yang bersih dalam arti keyakinan, yakni keyakinan bersih dari akidah yang salah dan menyesatkan. Berdasarkan al-Qur’an, ia mengemukakan perbedaan jiwa 201 orang munafik dan mukmin. Jiwa orang munafik bersifat kufur, kasar, dan gelap; sedangkan jiwa mukmin bersifat halus, kasih sayang, dan cemerlang. Teori Kornadt Munculnya tindakan agresif mensyaratkan harus ada isyarat situasional yang mengarah kepada penggiatan motif. Diasumsikan adanya kondisi-kondisi frustrasi yang menggugah rasa marah anger. Hubungan antara isyarat frustrasi dan rasa marah dapat dilihat dari dua segi, yaitu sebagai suatu kapasitas yang dibawa sejak lahir yang akan bereaksi dengan pembangkit afektif yang khas rasa marah terhadap isyarat atau kejadian-kejadian tertentu; Di samping itu, juga sebagai suatu yang dipelajari. Asumsi ini mengintegrasikan prinsip-prinsip biologis dan proses belajar. Frustrasi dan rasa marah bukanlah suatu penyebab yang bersifat segera dalam timbulnya agresi. Rasa marah yang muncul dan isyarat pembangkit merupakan bahan untuk interpretasi kognitif dan kontrol, hanya pada situasi dimana secara subyektif dirasakan mengganggu, barulah motif agresi yang tertahan menjadi giat. Jadi apabila situasi dianggap lucu atau netral saja maka motif agresi yang tertahan itu tidak akan tergiatkan. Ini berarti derajat rasa marah menentukan kemungkinan munculnya tingkah laku agresif. Dalam pandangan Kornadt, motif agresi merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen pendekat motif agresi dan komponen penghindar hambatan agresi, yang keseluruhannya merupakan suatu sistem motif agresi. Kornadt juga berpendapat bahwa di dalam kedua komponen sistem motif agresi dimaksud terdapat sejumlah elemen yang mendasarinya, seperti derajat ambang rasa marah, toleransi terhadap frustrasi, sikap terhadap agresi, pola atribusi, harapan–harapan akan keberhasilan kesenangan, tujuan– tujuan yang umum dan nilai–nilai nilai budaya. Sebagai contoh, derajat ambang rasa marah yang telah melampaui titik ambang pertahanan, maka tingkah laku agresif akan muncul; ketidakmampuan untuk toleransi terhadap frustrasi akan memunculkan tingkah laku agresif; harapan akan memperoleh sesuatu yang diinginkan dari suatu perilaku yang 202 agresif justru akan memunculkan tingkah laku tersebut menjadi nyata overt behavior; dan nilai-nilai yang mendasari pengamatan dan penilaian juga dapat mempengaruhi pemunculan tindakan agresif. Hambatan agresi sebagai komponen penghindar avoidance component dari sistem motif agresi dapat dipandang sebagai faktor yang menghambat agresivitas. Pada remaja yang tidak mampu bertindak agresif dalam menghadapi tantangan yang mengganggunya berarti mempunyai hambatan agresi yang lebih besar daripada motif agresi. Perbandingan: Pengertian amarah Al-Ghazali adalah lebih luas daripada rasa marah yang dipahami Kornadt. Rasa marah yang dimaksud Kornadt lebih mudah dimengerti dan lebih mudah dihindari. Dengan kata lain, secara empiris pembahasan tentang derajat ambang rasa marah yang dimaksud Kornadt lebih mudah diukur dan lebih aplikatif. Dalam pandangan Kornadt rasa marah adalah penting dalam pembahasan mengenai perkembangan agresivitas. Ia berpendapat bahwa derajat ambang marah menentukan tingkat toleransi seseorang terhadap frustrasi. Dan frustrasi merupakan faktor kuat yang meningkatkan motif agresi. Frustrasi dapat mengarahkan manusia pada beberapa bentuk tingkah laku agresif;

E. Aspek-aspek Praktik Pengasuhan Anak – Berkaitan Pengembangan Karakter