Sistem Motif sebagai Penggerak Tingkah Laku Teori Al-Ghazali sistem

192

A. Sistem Motif sebagai Penggerak Tingkah Laku Teori Al-Ghazali sistem

nafs Manusia itu pada hakikatnya adalah jiwanya. Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Dengan jiwa manusia bisa merasa, berpikir, berkemauan, dan berbuat lebih banyak. Jiwalah yang pada hakikatnya yang taat kepada Allah atau yang durhaka dan ingkar kepada-Nya. Bagi Al-Ghazali, jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi kodrat ashl al- fithrah, yaitu kecenderungannya kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian. Pada waktu lahir, ia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat ‘alam al-malâkut atau ‘alam al-amr, QS 17:85, sedangkan jasad berasal dari ‘alam al-khalaq. Karena itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan yang timbul setelah lahirnya nafsu bertentangan dengan tabiat aslinya. Karena itu, jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, namum kerap kali diredam atau dihambat oleh keinginan duniawi. Pada prinsipnya Al-Ghazali mengatakan bahwa nafs adalah dorongan atau penggerak tingkah laku dan tazkiyat al-nafs berfungsi sebagai penguat dorongan tingkah laku baik, penguat akhlak baik. Berkaitan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa al-nafs bisa dikatakan pula sebagai motif secara fungsional. Sistem nafs memiliki potensi positif dan potensi negatif. Adapun menurut al-Ghazali pengertian akhlak yang baik adalah menangnya atau berkuasanya sifat-sifat terpuji yang ada di dalam jiwa seseorang atas sifat-sifat tercelanya. Dalam hal itu, ia menjelaskan bahwa untuk dapat memenangkan sifat-sifat terpuji atas sifat- sifat tercela maka seseorang harus mensucikan jiwanya. Untuk itu, ia mengusulkan konsep tazkiyat al-nafs dengan pengertian takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs yakni pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela dan penghiasan atau pengisian jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Tegasnya konsep tazkiyat al-nafs adalah konsep kehidupan jiwa yang baik dan taat guna memperoleh kebahagiaan dan kesempurnaan. Konsepnya meliputi konsep kehidupan orang-orang yang adil sederhana, saleh, takwa, serta arif dan 193 benar. Konsep tersebut ditandai dengan banyaknya ‘ibâdat kepada Allah baiknya hubungan dengan Allah, baiknya al-‘âdât pergaulan dengan sesama manusia dan makhluk, dan baiknya akhlak terhadap diri sendiri hubungan dengan diri sendiri. Oleh karena itu, tazkiyat al-nafs dapat dijadikan salah satu metode pendidikan akhlak pengembangan karakter Al-Ghazali berpendapat bahwa akhlak dan sifat seseorang sangat bergantung pada jenis jiwa yng berkuasa atas dirinya. Kalau jiwa nabatah dan hewan yang berkuasa atas dirinya, maka akhlak dan sifat orang tersebut dapat menyerupai nabati dan hewani. Akan tetapi, jika jiwa insani yang berpengaruh dan berkuasa dalam dirinya, maka orang tersebut mudah berakhlak seperti insan kamil. Sebagai upaya untuk mewujudkan adanya jiwa insani yang menguasai diri dan dapat mengatasi hambatan-hambatannya, maka Al-Ghazali mengemukakan bahwa di dalam jiwa perlu ada kemauan untuk bertemu Allah yang disebutnya sebagai iradat. Dengan adanya jiwa yang memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu Allah maka akan mudah untuk memiliki sifat-sifat terpuji, melakukan amal saleh dan tidak berperilaku agresif. Kualitas jiwa manusia secara moral dapat dilihat dari akhlaknya dalam hidup. Orang yang dekat jiwa dan akhlaknya dengan Allah adalah orang yang paling mulia. Sebaliknya orang yang buruk akhlaknya secara moral dan kejiwaan adalah pula orang yang menyimpang dari hakikat kemanusiaan. Teori Kornadt sistem motif agresi Menurut Kornadt 1981, setiap orang mempunyai motif agresi yaitu suatu kecenderungan untuk bertindak agresif. Dalam pandangan Kornadt, motif agresi merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua komponen yaitu komponen pendekat motif agresi dan komponen penghindar hambatan agresi, yang keseluruhannya merupakan suatu sistem motif agresi. Kornadt berasumsi bahwa motif agresi sebagai suatu sistem terdiri dari dua komponen yaitu motif agresi 194 aggressions motiv sebagai komponen pendekat dan hambatan agresi aggressionshemmung sebagai komponen penghindar. Kedua komponen tersebut merupakan suatu disposisi yang ada dalam diri seseorang. Tetapi motif agresi ini tidak akan selalu tampil dalam bentuk tingkah laku agresif, karena dipengaruhi oleh hambatan agresi serta situasi lingkungan yang merangsang timbulnya agresi. Kornadt menyatakan bahwa motif untuk bertindak agresif secara spesifik merupakan fungsi motif agresi dikurangi hambatan agresi. Dan motif agresi baru dapat terlihat sebagai fenomena tingkah laku apabila ada situasi yang mengundang ke arah munculnya bentuk tingkah laku tersebut. Kornadt memandang bahwa sistem motif agresi berkembang sejalan dengan perkembangan perlakuan orang tua yang diperoleh anak. Dengan kata lain, perkembangan motif agresi sangat dipengaruhi oleh praktik pengasuhan anak. Sementara itu, Kornadt juga memandang bahwa pola asuh orang tua sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kepercayaan, adat istiadat yang dianut keluarga. Berkaitan dengan agresi, Kornadt memandang agresi sebagai suatu construct yang secara teoretis sebagai suatu motif yang selanjutnya disebut sebagai sistem motif agresi. Motif adalah suatu penggerak untuk bertindak yang ada dalam di dalam diri seseorang yang mempunyai efek mengaktifkan, meningkatkan dan mengarahkan tingkah laku kepada tujuan. Kornadt mengajukan definisi agresi sebagai berikut : Agresi adalah suatu tingkah laku yang mempunyai potensi untuk melukai secara fisik atau merusak sesuatu yang dimiliki seseorang seperti harga diri, status sosial, dan hak milik. Dalam pengertian yang lebih luas, tingkah laku agresif termasuk perbuatan melanggar tabu dan hukum yang berlaku, serta menolak konsensus kelompok.Ringkasnya, tingkah laku yang dapat dikategorikan sebagai tingkah laku agresif, antara lain sebagai berikut: tindakan korupsi, perkosaan, tindakan kekerasan dalam rumah tangga, kenakalan remaja, tindakan kriminal, pelecehan seksual, tawuranperkelahian antar remaja. 195 Perbandingan: Berkaitan dengan pemikiran Al-Ghazali tentang sistem nafs dibandingkan dengan pemikiran Kornadt tentang Sistem Motif Agresi, maka dapat dikatakan Al-Ghazali dan Kornadt mempunyai pandangan yang sama dalam hal berasumsi bahwa ada suatu sistem di dalam diri seseorang yang berfungsi sebagai penggerak tingkah laku di mana dalam sistem tersebut terdapat dua komponen yang berlawanan atau bertolak belakang secara fungsional potensi positif dan negatif, pendekat dan penghindar. Berdasarkan tinjauan teoritis maka teori Al-Ghazali tentang hubungan sistem nafs dan akhlaktingkah laku non agresif dibandingkan teori Kornadt tentang hubungan sistem motif agresi dan perkembangan tingkah laku agresif, maka dapat dikatakan bahwa kekuatan teori Al-Ghazali melebihi kekuatan teori Kornadt dalam hal pengembangan karakter perilaku agresif dan non agresif. Ini dapat diketahui dari kemungkinan kecenderungan yang dimiliki sistem nafs dan sistem motif agresi. Sistem nafs yang pembentukannya didasarkan pada nilai-nilai ibadah di mana kekuatannya dimotivasi oleh keinginan untuk bertemu Allah, dapat dikatakan memiliki kecenderungan yang lebih kuat dibanding sistem motif agresi yang pembentukannya didasarkan pada nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kepercayaan. Menimbang bahwa tabiat asli jiwa adalah kecenderungan kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian, maka sistem nafs yang dibentuk dengan cara tazkiyat al-nafs dapat dipandang lebih baik dibanding dengan sistem motif agresi yang memiliki akar nilai-nilai kepercayaan dan budaya.

B. Tingkah Laku hasil Interaksi Sosial Interaksionisme Teori Al-Ghazali