Dasar-Dasar Pemberian Kredit Bank

mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesusai dengan diperjanjikan. Pasal 8 Ayat 2 Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia Berkaitan dengan itu, menurut penjelasan Pasal 8 Ayat 2 dikemukakan bahwa pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia BI yang wajib dimiliki dan diterapkan oleh bank dalam pemberian kredit dan pembiayaan adalah : a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan proyek usaha dari nasabah. c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdsarkan prinsip syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur danatau pihak- pihak terafiliasi dan penyelesaian sengketa. Menurut Hermansyah 2005, untuk menjaga terjadinya kredit bermasalah di kemudian hari, penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan Formula 5C, dapat diuraikan sebagai berikut: a. Character Kepribadian. Bahwa calon nasabah debitur memiliki watak, moral, dan sifat-sfat pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kejujuran, integritas, dan kemauan dari calon nasabah debitur untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini dapat diperoleh oleh bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan informasi dari usaha-usaha yang sejenis. b. Capacity Kemampuan. Seorang calon debitur harus pula diketahui kemampuan bisnisnya untuk melunasi hutangnya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika bisnisnya ataupun kinerja bisnisnya menurun, maka kredit juga semestinya tidak diberikan, kecuali jika menurunnya dikarenakan kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi bahwa dengan tambahan biaya lewat peluncuran kredit, maka kinerja bisnisnya tersebut dapat dipastikan akan semakin membaik. c. Capital Modal. Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal, akan tetapi difokuskan kepada bagaimana distribusi modal ditempatkan oleh nasabah tersebut, sehingga sumber yang telah ada dapat berjalan efektif. d. Condition of Economy Kondisi Ekonomi. Bahwa dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan kondisi usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dari bank untuk memperkecil risiko yang mungkin terjadi akibat oleh kondisi ekonomi tersebut. e. Collateral Agunan. Collateral adalah jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman back up atas risiko yang mungkin terjadi atas wanprestasinya nasabah debitur di kemudian hari, misalnya terjadi kredit macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi sisa utang kredit baik pokok maupun bunganya.

2.2.5 Analisis Risiko

Dalam setiap pemberian kredit selalu dihadapkan pada suatu risiko. Segala risiko akan timbul terhadap permohonan yang diajukan oleh nasabah sebelum kredit tersebut diberikan. Berbagai risiko yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh pejabat kredit, dapat dikelompokan menjadi 6 jenis Rivai et al. 2013, yaitu : a. Risiko sifat usaha dari sifat-sifat usaha dapat diidentifikasi tinggi rendahnya tingkat risiko dengan berbagai kreteria berikut ini. 1 Semakin lamban turn over suatu usaha, maka semakin tinggi tingkat risikonya. 2 Semakin tinggi dan canggih spesifikasi dan kekhususan usaha, maka semakin tinggi risikonya. 3 Semakin besar pemakaian kredit investasi untuk modal kerja semakin tinggi risikonya bila dibandingkan dengan investasi pada investasi barang modal. 4 Usaha dengan pada modal pada negara yang sedang berkembang, berisiko lebih besar bila dibandingkan dengan usaha yang banyak mengerahkan tenagapadat karya. 5 Sifat usaha yang memang mengandung risiko tinggi, pengeboran minyak di lepas pantai, usaha yang baru dirintis dan sebelumnya tidak dikenal atau belum diupayakan orang. b. Risiko Geografis Letak geografis usaha nasabah erat hubungannya dengan tingkat risiko usaha yang disebabkan seringnya terjadi bencana alam di lokasi usaha tersebut. Risiko usaha tersebut berupa : 1 Usaha peternakan dan perkebunan di daerah gunung berapi, 2 Usaha yang dibangun di daerah gempasering longsor, 3 Usaha yang dibangun di daerah aliran sungai yang rawan banjir. c. Risiko Politik Stabilitas politik merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam kegiatan perekonomianbisnis di daerah tersebut. Untuk itu perlu kehati-hatian karena mempunyai risiko sangat tinggi dan berdampak buruk kepada kredit yang disalurkan. d. Risiko Ketidakpastian Faktor ini merangsang spekulasi dan setiap usaha yang didasarkan pada spekulasi akan berisiko tinggi karena sudah dapat dipastikan bahwa usaha tersebut tidak direncanakan dengan baik. Dengan demikian, untuk merencanakan kredit, informasi, mengenai usaha-usaha yang bersifat spekulatif penting untuk diwaspadai dan agar kredit yang diberikan terarah, sehingga akan mengurangi terjadinya peluang kredit bermasalah. e. Risiko Inflasi Kondisi inflasi yang tinggi akan berakibat risiko tinggi pula terhadap kredit yang diberikan. Meskipun nasabah telah melunasi kredit dan bunga, bila dibandingkan dengan daya beli rupiah yang menurun. Biasanya inflasi yang tinggi ditandai dengan tingkat suku bunga yang tinggi pula.