Potensi-potensi lokal yang terdapat dalam karakteristik lokal masyarakat, apabila dilakukan upaya untuk menggali, membangkitkan dan mengaktualisasikan
potensi tersebut dapat menjadi gagasan-gagasan strategis yang diperlukan dalam pengembangan masyarakat.
Karakteristik lokal merupakan aspek penting dalam pengembangan masyarakat, karena dengan mengakomodasi karakteristik lokal sebagai
komponen dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan. Permasalahan dalam partisipasi pada
saat ini bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya masyarakat berpartisipasi, melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh
manfaat bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi. Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku
prinsip pertukaran dasar Basic exchange principles, bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan
tertentu maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut. Banyak program pemberdayaan yang berhasil dengan mengakomodasi
karakteristik lokal ini, misalnya program pemberdayaan yang diinisiasi oleh pemerintah yaitu Program Pengembangan Kecamatan PPK. Program PPK
menerapkan pola-pola gotong royong dan swadaya masyarakat pada tingkat pelaksaan serta melibatkan partisipasi masyarakat secara penuh pada tahap
perencanaannya. PPK bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat melalui bebagai tahapan kegiatan. Menurut data dari MIS-Konsultan
Management Nasional PPK 2006, PPK hingga saat ini telah berhasil meningkatkan akses ke pasar, fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan sumber
air bersih di lebih dari 34.100 desa termiskin lebih dari separuh jumlah desa di Indonesia. Prasarana desa yang di bangun melalui metode PPK terbukti sangat
hemat dalam pembiayaan, rata-rata 56 lebih murah dari pekerjaan sejenis yang dibangun oleh pemerintah maupun kontraktor. hal ini terjadi karena adanya
partisipasi masyarakat yang besar karena mereka merasa karakterisitik lokal yang mereka miliki sudah diakomodir oleh program ini.
2.9. Partisipasi Masyarakat
Dalam pengembangan masyarakat, partisipasi memegang peranan yang sangat penting. Keberhasilan pengembangan masyarakat akan sangat di
pengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat partisipasi
masyarakat, maka semakin tinggi keberhasilan program. Pergeseran pembangunan yang berorientasi produksi menuju pembangunan yang
berorientasi publik, memerlukan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya. Jnanaorta Bhattacharyya 1972 mendefinisikan partisipasi sebagai
pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Partisipasi tersebut terdiri atas dua macam, yaitu partisipasi antar sesama warga atau anggota suatu
masyarakat perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antara klien dengan patron atau
antara masyarakat dengan pemerintah dinamakan partisipasi vertikal seperti dikutip oleh Taliziduhu Ndaraha, 1987
Menurut derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat, maka partisipasi dapat ditemukan dalam banyak bentuk. Menurut Bass et al.,1995
dalam Hobley, 1996 seperti yang dikutip oleh Tadjudin 2000, partisipasi yang diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa atau
kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat . Lebih lanjut Tadjudin2000 menjelaskan, menurut Bass et al.1995
dalam Hobley, 1996 ,terdapat beberapa tipologi partisipasi masyarakat 1. Partisipasi
Manipulatif, partisipasi
masyarakat ditunjukan
dengan penempatan wakil masyarakat dalam suatu lembaga resmi, namun wakil
tersebut tidak dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan tidak memiliki kewenangan yang jelas.
2. Partisipasi Pasif, masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Ini merupakan tindakan sepihak dari administrator ata manager proyek tanpa
menghiraukan tanggapan masyarakat yang bersangkutan. sumber informasi atau pendapat yang dihargai oleh administrator atau manajer proyek adalah
pendapat para Profesional. 3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak
luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis. Bentuk tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan. Dan pihak luar tersebut pada dasarnya tidak berkompeten untuk ”mewakili” pandangan masyarakat.
4. Partisipasi dengan imbalan Material, masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya yang dimilikinya, misalnya sebgai tenaga
kerja untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai, maupun imbalan
lainnya. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan untk melanjutkan kegiatan ketika imbalan dihentikan.
5. Partisipasi Fungsional, partisipasi masyarakat dipandang oleh ihak luar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi
biaya. Masyarakta membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak luar. Masyarakat lokal tetap
sekedar dijadikan sebagai pelayan untuk merealisasikan tujuan-tujuan eksternal.
6. Partisipasi Interaktif, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan
rencana kegiatan,
dan dalam
pembentukan dan
pemberdayaan institusi lokal dalam hai ini partisipasi dipandang sebagai hak dan bukan sekedar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek.
7. Mobilisasi Swakarsa, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif
dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut
pendayagunaan sumberdaya. Berdasarkan tipologi partisipasi tersebut diatas, maka bentuk partispasi
yang sesuai untuk pengembangan masyarakat di kawasan industri migas adalah partisipasi mobilisasi swakarsa, karena partisipasi ini adalah bentuk paling ideal.
Tetapi dalam pelaksanaannya harus di padukan dengan tipologi-tipologi partisipasi lainnya, sesuai dengan kondidi lokal. Mobilisasi swakarsa menuntut
adanya sumberdaya manusia yang cukup ditingkat masyarakat untuk menjadi agent of change-nya. Sementara kebanyakan perusahaan pertambangan
beroperasi di daerah pedalamam yang kondisi sumberdaya manusia masyaraktnya masih rendah. Sehingga tipologo-tipolgi tersebut dapat diterapkan
secara bergantian sesuai dengan kondisi lokal. Definisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagaimana
dikemukakan oleh Soetrisno 1995, adalah : Kerjasama
antar rakyat
dan pemerintah
dalam merencanakan,
melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Karena partisipasi merupakan suatu kerjasama maka dalam asumsi ini tidak
diasumsikan bahwa sub sistem disubrordinasikan oleh supra sistem, dan sub sistem adalah sesuatu yang pasif dari pembangunan. Sub sistem
diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program pembangunan.
Dalam proses pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai masukan dan keluaran. Sebagai masukan, partisipasi masyarakat dapat berfungsi dalam enam
fase proses pembangunan, yaitu fase penerimaan informasi, fase pemberian tanggapan terhadap informasi, fase perencanaan pembangunan, fase
pelaksanaan pembangunan, fase penerimaan kembali hasil pembangunan dan fase penilaian pembangunan. Partisipasi sebagai masukan berfungsi
menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri .
Sedangkan sebagai keluaran, partisipasi dapat digerakkan atau dibangun serta berfungsi sebagai keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai
upaya atau program pemerintah. Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekan dalam
pengembangan masyarakat, maka derajat partisipasi dapat digolongakan menjadi 1 derajat paling rendah yaitu dimana masyarakat memberikan
konsultasi kepada pengembang masyarakat, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan
informasi, dan melakukan analisis.2 derajat menengah yaitu dimana masyarakat ikut-serta menentukan decision making process, masyarakat
berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dan, 3 derajat paling
tinggi yaitu dimana masyarakat melakukan self-management atau ikut- menentukan arah serta mengelola sendiri pengembangan, masyarakat
mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah
sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya.
Dari ketiga bentuk kedalaman partisipasi itu yang penting bagi pengembangan masyarakat di industri migas adalah derajat ke-tiga paling
tinggi, partisipasi seperti ini akan berkembang pesat jika pemerintah dan LSM menyediakan kerangka kerja pendukungnya. Untuk menerapkan Self-
management dalam suatu program dibutuhkan proses-proses yang melibatkan metodologi yang multidisiplin yang membutuhkan proses pembelajaran yang
sistematik dan terstruktur. sebagai kelompok, masyarakat memegang kendali sepenuhnya atas keputusan-keputusan lokal dan kebijakan tentang
pendayagunaan sumberdaya yang tersedia. Tetapi jika prasyarat yang diperlukan untuk menerapkan self-management belum tersedia di masyarakat
lokal, maka dapat dipraktekkan konsultatif action, dimana melibatkan pihak luar dalam merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi dan melakukan
analisis. Pada dasarnya perbaikan kondisi masyarakat dan upaya menemukan
kebutuhan masyarakat dapat menggerakan partisipasi. Oleh karena itu dalam perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat agar dapat
menggerakan partisipasi, maka upaya yang dilakukan harus : 1 disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata felt needs; 2 dijadikan stimulasi
terhahap masyarakat yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban response yang dikehendaki; 3 dijadikan motivasi terhadap masyarakat yang berfungsi
membangkitkan tingkahlaku behavior yang dikehendaki secara berkelanjutan. Menurut Marzali 2003 bahwa program pengembangan masyarakat
tergantung kepada ditemukannya ”felt needs” dari komunitas tersebut. Ini bukanlah hal yang sederhana karena ”felt needs” dari komunitas secara
keseluruhan, belum tentu sama dengan ”felt needs” dari anggota-anggota komunitas secara individu, apalagi dengan pimpinan komunitas. Selanjutnya ”felt
needs” dari komunitas belum tentu sama dengan kepentingan utama komunitas. Kegagalan dalam menentukan ”felt needs” dari komunitas akan berakibat
terhadap kegagalan program pengembangan masyarakat. Oleh karenanya penentuan felt needs dalam program pengembangan masyarakt menjadi sangat
penting, karena menentukan keberhasilan dari program. Dalam upaya menentukan felt needs tersebut , lebih lanjut Marzali 2003
menjelaskan, terdapat empat perspektif dalam melihat ”felt needs”: 1 Penilaian agen pembangunan tentang Community needs dari sudut pandang tujuan sang
pengembang itu sendiri, 2 Penilaian agen pembangunan tentang community needs yang diperoleh dari pemahaman tentang tujuan komunitas itu, 3
Penilaian komunitas yang diperoleh dari pengertian mereka tentang tujuan agen pembangunan, 4 Konsepsi komunitas tentang needs.
Dengan dapat di identifikasikannya kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat melalui program pengembangan masyarakat, akan membuat
masyarakat tergerak untuk ikut berpartisipasi secara sukarela dalam suatu kegiatan karena dianggapnya dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat dan
dirinya sendiri. Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan masyarakat tergerak untuk berpartisipasi dalam program pengembangan
masyarakat seperti dikemukakan oleh Goldsmith dan Blustain dalam Taliziduhu Ndaraha, 1987, adalah :
1. Partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan.
2. Partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan.
3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat.
4. Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak
atau kurang berperan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Sumardjo 2001 dalam Hamzah 2005, kata kunci
yang akan mempengaruhi seseorang untuk berpartisipasi dalam suatu program pembangunan adalah: pertama, adanya kesadaran akan manfaat program bagi
kehidupannya. Manfaat dapat diartikan terpenuhinya kebutuhan ataupun terbebasnya dari ancaman tertentu; kedua, komunikasi yang efektif diantara
para pelaku yang diharapkan berperan serta dalam program; dan ketiga, adanya kesukarelaan antara para pelaku dalam berperan serta, semakin besar objek
partisipasi menimbulkan motivasi intrinsik, maka semakin besar derajat keikutsertaan seseorang dalam program.
Terdapat kaitan yang erat antara partisipasi dan insentif Soetrisno,1995. Tanpa suatu insentif maka partisipasi berubah maknanya dari suatu keinginan
manusia untuk ikut secara sukarela dalam suatu kegiatan yang dianggapnya dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat dan dirinya sendiri, menjadi suatu
tindakan paksaan mobilisasi. Permasalahan dalam partisipasi pada saat ini bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya masyarakat berpartisipasi,
melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh manfaat bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi. Dari uraian
diatas, dapat terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku prinsip pertukaran dasar Basic exchange principles, bahwa semakin banyak manfaat
yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut.
2.10. Kelembagaan Lokal