Oleh karena itu dibutuhkan suatu kelembagaan kolektif yang dapat menjembatani antara masyarakat dengan perusahaan, sehingga apa yang
menjadi kebutuhan masyarakat dapat tersampaikan dengan jelas. Disamping itu juga agar perusahaan tidak kesulitan dalam memilih “partner” dalam
pelaksanaan program yang benar-benar merepresentasikan masyarakat dan diakui oleh masyarakat sebagai wakil dari masyarakat.
6.5. Konflik Yang Muncul Dalam Masyarakat
Pembangunan pada dasarnya merupakan usaha-usaha yang dilakukan secara sistematis dan terarah dalam melakukan perubahan yang mengarah
kepada perbaikan dalam kehidupan kesejahtraan masyarakat. Tetapi disamping tujuan untuk melakukan perubahan yang mengarah kepada perbaikan dalam
kehidupan kesejahtraaan masyarakat, usaha-usaha tersebut juga memicu konflik-konflik, dimana melibatkan pertarungan antara dua pihak kelompok atau
lebih yang menyangkut soal-soal perbedaan nilai, baik soal status, wewenang, kekuasaan dan perebutan hak-hak akses terhadap sumberdaya yang bersifat
langka. Konflik ini juga dapat terjadi baik secara vertikal maupun horizontal dan baik dalam sifat konflik terbuka maupun bersifat laten. Tetapi konflik-konflik ini
bisa saja tidak terjadi jika dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program di laksanakan secara bersama-sama oleh seluruh stakeholder,
sehingga konflik dapat di hindari. Terdapatnya kelompok-kelompok masyarakat yang berada di Kecamatan
Kabandungan juga membawa konflik-konflik yang melibatkan kelompok- kelompok, kelompok-kelompok itu secara garis besar dapat dikelompokan
menjadi beberapa kelompok besar yaitu: CHV, Pemerintah Daerah, masyarakat serta LSM. Isu-isu yang menjadi konflik, seperti terlihat dalam Matriks 6. 2.
Matriks 6. 2. Potensi Konflik yang Terjadi di Kecamatan Kabandungan
CHV Pemerintah
Daerah Masyarakat
LSM CHV
Kurangnya dukungan terhadap program
pembangunan regional dan Penyelesaian
permasalahan sosial •
Tuntutan pemberdayaan
• Kesempatan kerja
• Pemberdayaan
• Lingkungan
• Kemiskinan
• Kesempatan kerja
Pemerintah Daerah
Kurangnya dukungan terhadap program
pembangunan regional dan
Penyelesaian permasalahan sosial
Regulasi pemerintah yang di anggap tidak
memihak rakyat
Masyarakat
• Tuntutan
pemberdayaan •
Kesempatan kerja ketimpangan dalam
akses dan kontrol terhadap sumberdaya
air Keterwakilan
masyarakat oleh LSM
LSM
• Pemberdayaan
• Lingkungan
• Kemiskinan
• Kesempatan kerja
Regulasi pemerintah yang di anggap tidak
memihak rakyat Keterwakilan
masyarakat oleh LSM •
Persaingan program
• Tumpang tindih
program lokasi pember dayaan
Sumber: Diolah dari hasil Wawancara
Sebagaimana dinyatakan oleh Dinitto 1987 dan Hill 1996 dalam Pawoko 2008 bahwa stakeholder dalam pelayanan sosial adalah negara, sektor privat,
Lembaga Swadaya Masayarakat LSM, dan masyarakat, dalam kasus program CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama. Apabila diurai
dengan lebih rinci, peta permasalahan yang terjadi dapat di kelompokan dalam Jalinan simpul-simpul yang menjalin konflik yang relatif rumit. Hal ini karena
stakeholders yang terlibat dalam pelayanan-pelayanan sosial yang dilakukan cukup kompleks. Sementara mereka memiliki kepentingan berbeda-beda yang
satu sama lain bisa saling berseberangan dan sangat mungkin merugikan pihak yang lain.
Konflk yang terjadi diantara stakeholder di Kabandungan jika dilihat dari derajat konflik belum merupakan suatu konflik yang terbuka yang melibatkan
seluruh anggota masyarakat dengan kekerasan fisik dan penghancuran asset milik pihak yang berkonflik, tetapi masih konflik yang bersifaat laten. Konflik
laten di cirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak, tidak sepenuhnya berkembang atau belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik,
bahkan salaj satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik. Konflik yang timbul dalam masyarkat dapat saja sengaja diciptakan oleh
pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil manfaat dari bergejolaknya konflik tersebut. Dengan menyadari bahwa akibat buruk dari merebaknya suatu konflik
yang tidak dapat diselesaikan dengan baik, maka pengelolaan konflik yang terbaik adalah mencegah munculnya konflik itu.
Dalam kegiatan pengembangan masyarakat, mencegah munculnya konflik dapat dilakukan dengan menjadikan lembaga, kebijakan, dan programnya
lebih responsif terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat, bukan saja masyarkat yang terlibat langsung, tetapi juga pihak-pihak lainnya yang
diperkirakan mempunyai kepentingan terhadap usaha-usaha pembangunan yang akan dilaksanakan. Secara lebih rinci permasalahan potensi konflik antar
masyarkat yang terlibat langsung, tetapi juga pihak-pihak lainnya yang diperkirakan mempunyai kepentingan terhadap usaha-usaha pembangunan yang
akan dilaksanakan. Secara lebih rinci permasalahan potensi konflik antar stakeholder yang ada di Kecamatan Kabandungan dapat dijelaskan sebagai
berikut:
6.5.1. CHV dengan Masyarakat
Sumber konflik antara masyarakat dengan CHV diantaranya adalah tuntutan pembangunan sarana infrastruktur pedesaan dalam program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV yang di rasa masih kurang oleh masyarakat. Program pengembangan masyarakat yang selama ini
dilaksanakan oleh CHV dianggap masih kurang dan tidak menyentuh kebutuhan- kebutuhan mendasar dari masyarakat, disamping distribusi bantuan dan
pelaksanaan program yang tidak merata. Oleh karena itu, dalam pengalokasian bantuan idealnya tidak didasarkan
atas pertimbangan lokalitas area dan kemudahan dalam pemberian bantuan, tetapi harus berdasarkan pertimbangan yang objektif atas usulan permohonan
masyarakt dengan memperhatikan aspek efesiensi, ketepatan sasaran dan pemenuhan rasa keadilan dalam arti diberikan kepada yang paling membutuhkan
dan yang dapat memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. Disamping masalah tersebut diatas, yang menjadi sumber konflik adalah
tuntutan untuk bekerja pada perusahaan, kesempatan kerja bagi masyarakat dinilai masih kurang serta masalah-masalah lingkungan seperti berkurangnya
sumber air dan pencemaran air yang dianggap oleh masyarakat disebabkan oleh operasi CHV. Aksi demonstrasi sudah beberapa kali di lakukan oleh masyarakat
terhadap CHV untuk menuntut perhatian yang lebih banyak terhadap hal-hal tersebut diatas. Tetapi aksi-aksi tersebut berjalan dengan damai dan tidak terjadi
kekerasan dan sebagian dapat diredam oleh CHV dengan melibatkan tokoh- tokoh masyarakat dengan janji akan memberikan bantuan-bantuan.
Masyarakat juga menilai adanya kecenderungan mark-up terhadap biaya yang digunakan untuk merealisasi program pengembangan masyarakat.
Masyarakat merasa bahwa realisasi program tidak menggunakan biaya sebesar seperti yang tertulis pada laporan-laporan yang di keluarkan oleh CHV. Tetapi
menurut hasil wawancara dengan pihak CHV, bahwa perbedaan biaya yang terjadi antara yang tertulis pada laporan dengan pelaksanaan, bukanlah mark-up,
jumlah biaya yang ditulis dalam laporan adalah biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh CGS untuk pelaksanaan program pengembangan masyarakat,
tetapi dalam pelaksanaanya pengadaan barang-barang yang dipergunakan untuk pelaksanaan program tersebut di sediakan oleh vendor sehingga terdapat
pebedaan antara nilai barang yang diterima dengan jumlah uang yang dikeluarkan oleh CHV, hal ini disebabkan karena adanya margin yang di peroleh
oleh vendor sebagai suplayer. Konflik yang terjadi antara CHV dengan masyarakat dapat di kelompokan
ke dalam Konflik kepentingan. Menurut Anwar 1998, Konflik Kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata
memang tidak bersesuai dengan yag diinginkan seseorang atau kelompok. Konflik kepentingan dapat terjadi ketika satu pihak atau lebih menyakini bahwa
untuk memuaskan kebutuhannya, maka pihak lain diharapkan harus mau berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini terjadi karena masalah
yang mendasar karena uang, sumberdaya fisik, waktu, dll, atau menyangkut masalah tata-cara sikap dalam menangani masalahnya atau masalah
psikologis presepsi atau rasa percaya diri, mempertahankan keadilan, rasa hormat, dll.
Disamping hal tersebut diatas, penyebab tidak harmonisnya relasi sosial antara masyarakat dengan perusahaan disebabkan juga oleh beberapa hal
berikut dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat yaitu:1 Dalam hubungan Masyarakat dengan Perusahaan, masyarakat terus menerus menuntut
apa yang mereka anggap sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Akan tetapi apa yang disebut sebagai masyarakat hanya merupakan sekumpulan
individu atau kelopmpok yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan Masyarakat. Apa yang mereka tuntut juga seringkali tidak ada hubungannya
dengan kepentingan masyarakat banyak melainkan kepentingan pribadi maupun
kelompok, 2. Perusahaan menerjemahkan tanggung jawab sosial mereka kedalam bentuk kegiatan-kegiatan yang bersifat reaktif, untuk meredam tuntutan
warga kepada perusahaan, dimana yang disebut warga tersebut tidak lebih dari individu atau kelompok yang membawa kepentingannya. 3. Perusahaan
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dirancang oleh kebijakan Perusahaan sendiri tanpa melakukan komunikasi dan kesepakatan dengan Masyarakat.
6.5.2 .
CHV dengan Pemerintah Daerah
Konflik yang terjadi antara CHV dengan Pemerintah daerah dalam hal ini dengan Kecamatan Kabandungan masih bersifat laten artinya konflik ini belum
muncul secara terbuka kepermukaan.
“Kecamatan tidak mau memberikan tanda tangan pada proposal yang di ajukan oleh masyarakat, karena mereka merasa hanya di jadikan sebagai tukang stempel saja”
IW, 53 Tahun, Ketua kelompok Pertanian
Konflik ini di sebabkan oleh tidak transparannya CHV dalam melaksanakan program pengembangan masyarakat serta tidak dilibatkannya
pihak Kecamatan dalam perencanaan dan penentuan kelompok-kelompok yang akan memerima bantuan.
Disamping itu CHV juga tidak pernah melaporkan program-program yang telah dilaksanakan kepada pihak Kecamatan, sedangkan disisi lain pihak
kecamatan merasa berhak tahu, karena proposal yang diajukan oleh kelompok- kelompok masyarakat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Muspika.
Hal ini ditunjukan dengan kenyataan bahwa perusahaan lebih merasa bertanggung jawab kepada pemerintah pusat dibanding kepada pemerintah
daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah tidak mendapatkan laporan tertulis secara rinci mengenai realisasi program pengembangan masyarakat. Kontrak
kerjasama berlangsung antara pemerintah pusat yang diwakili oleh Badan Pelaksana Minyak dan Gas BP Migas di bawah payung Departemen
Pertambangan dan Energi. Penandatanganan itu tidak melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat walaupun merekalah yang merasakan langsung
konsekuensi-konsekuensi buruk proses ekstraksi yang dilakukan oleh perusahaan. Untuk menunjukkan bahwa perusahaan sudah melakukan kegiatan-
kegiatan tersebut maka perusahaan menyatakan hal tersebut pada publik dengan mempropagandakannya lewat media massa
Keadaan yang seperti itu berdampak tidak diakuinya pelaksanaan program pengembangan masyarakat oleh pemerintah Kecamatan Kabandungan
dan di anggap bukan merupakan bagian dari pembangunan wilayah yang di laukan oleh pemerintah. Disisi lain CHV membuthkan pengakuan dari
pemerintah daerah terhadap program pengembangan masyarakat yang telah dilkukannya, sebagai laporan dari pelaksanaan pengembangan masyarakat ke
Pertamina atau pemerintah pusat.
6.5.3. CHV dengan LSM Lokal
Sebenarnya apa yang menjadi sumber konflik antara masyarakat dengan CHV, juga merupakan sumber konflik bagi CHV dengan LSM Lokal. Tetapi
secara spesifik konflik dengan LSM lebih bersifat terbuka, hal ini bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan LSM tentang kebijakan pengembangan masyarakat yang
sudah dilakukan oleh CHV, dimana sebagaian besar menganggap bahwa CHV masih kurang peduli. Hal tersebut terepresentasi dari adanya sinisme,
keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat, atau bahkan memprotesnya.
Konflik yang terjadi bisanya bermula dari tidak di penuhinya proposal yang diajukan oleh LSM kepada CHV, Alokasi dana yang terbatas serta adanya
seleksi dan prioritas terhadap berbagai permohonan bantuan yang diajukan menyebakan tidak seluruh permohonan dapat dikabulkan. Ketidakpuasan yang
muncul karena adanya penolakan terhadap permohonan yang diajukan dimana pengharapan yang meningkat menyebabkan terjadinya berbagai reaksi.
Pihak LSM memandang bahwa perusahaan kurang akomodatif, kurang membuka diri dengan pihak-pihak luar dan cenderung defensif. Hal ini dapat
ditunjukan dari kerapkali pihak perusahaan tidak hadir dalam pertemuan- pertemuan LSM atau tidak menjawab surat permohonan audiensi dari LSM,
kalaupun pihak perusahaan hadir, wakil perusahaan yang menghadiri tidak punya wewenang dalam mengambil keputusan di pertemuan. Keadaan tersebut
terepresentasi dari sinisme, keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV, atau bahkan
memprotesnya. LSM juga menilai adanya kebijakan perusahaan untuk sengaja menimbulkan situasi konflik, dimana akhirnya LSM menjadi terbagi dua, yaitu
yang sejalan dengan perusahaan dan yang oposisi. Yang sejalan diberi insentif dan yang oposisi disingkirkan.
Sementara dari sisi perusahaan, CHV menganggap bahwa konflik yang terjadi tidak pernah sengaja diciptakan oleh perusahaan, konflik yang ada terjadi
karena kurangnya komunikasi diantara LSM-LSM itu sendiri sehingga saling mencurigai. Menurut CHV, dalam pelaksanaan program pengembangan
masyarakat, perusahaan lebih menilai bobot serta manfaat program yang diusulkan oleh LSM ketimbang LSM-nya sendiri.
Jika di kelompokan, maka konflik yang terjadi antara CHV dengan LSM Lokal dapat di kelompokan ke dalam Konflik kepentingan. Menurut Anwar
Anwar.1999. ,Konflik struktural, terjadi ketika terdapat ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadp sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan
memiliki wewenang formal untuk menentukan dan menetapkan kebijakan umum, biasanya memilki peluang dalam menguasai akses dan melakukan kontrol
sepihak terhadap pihak lain. Pada sisi lain, faktor geografis dan sejarah seringkali menjadi alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan
yang hanya menguntungkan suatu pihak.
6.5.4. Masyarakat dengan Masyarakat
Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat disebabkan oleh ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya
terutama air. Semakin langkanya sumberdaya air menimbulkan konflik dalam masyarakat, air yang tadinya tidak menjadi masalah bagi warga masyarakat, kini
menjadi rebutan. Berkurangnya sumber air ini terjadi sebagai akibat maraknya penebangan liar di sekitar kawasan hutan yang ada di Kecamatan Kabandungan,
kemudian yang dianggap penyebab lainnya oleh sebagain masyarakat adalah akibat dari beroperasinya CHV di Kecamatan Kabandungan.
Konflik yang terjadi antara masyarakat misalnya konflik antara secagian penduduk desa Kabandungan dan desa Cipeuteuy yang tanahnya di lalui oleh
aliran sungai buatan yang di bangun oleh kelompok masyarakat dari desa Tugubandung. Konflik tersebut sebagai akibat dari rusaknya tanah erosi milik
warga masyarakat di sepanjang aliran sungai. Konflik juga terjadi antara masyarakat kedusunan kampung Babakan
dengan masyarakat kedusunan kampung Cimanggu di desa Kabandungan. Penyebab konfliknya adalah perebutan dalam penggunaan air pada musim
kemarau.
CHV melakukan bantuan pipanisasi air untuk membantu masyarakat di Kedusunan Kampung Babakan dan kedusunan Kampung Cimanggu. Sebelumnya kedua dusun
tersebut mempunyai sumber mata air yang berbeda , tetapi karena alasan teknik untuk mencari gravitasi, agar air mempunyai tekanan yang besar dan dapat mengalir ke
sumua tempat di dua kedusunan maka sumber mata air untuk kedua kedusunan tersebut akhirnya di gabungkan yaitu dengan memakai sumber air yang biasa di pakai
oleh kampung Babakan. Tetapi karena sumber mata airnya terbatas, maka pada musim kemarau sering terjadi saling sabotase antara kedua kedusunan ini dengan cara
menutup jalur air ke saluran masing-masing kedusunan dengan sampah atau batu agar aliran ke pelaku penutupan menjadi besar. Kondisi ini menimbulkan ketegangan
masyarakat antara kedua kedusunan. Hasil wawancara dengan beberapa Tokoh Masyarakat Babakan dan Cimanggu
Disamping itu potensi konflik juga muncul karena adanya perbedaan antara desa yang mendapat alokasi bantuan dari perusahaan dengan porsi yang
lebih besar di banding dengan desa lainnya. Lokasi CHV yang berada di Kecamatan Kabandungan dengan desa terdekat adalah desa Kabandungan dan
Desa Cipeuteuy serta desa Pulosari di Kecamatan Kalapanunggal mendapat porsi alokasi bantuan yang lebih besar ketimbang desa-desa lainnya. Kondisi ini
menyebabkan kecemburuan masyarakat desa lainnya.
6.5.5. Masyarakat dengan LSM
Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan LSM disebabkan oleh adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap LSM-LSM yang meng-atasnamakan
masyarakat untuk meminta pendanaan program kepada CHV, tetapi setelah bantuan program diturunkan bantuan itu tidak sampai kepada masyarakat.
Hal tersebut menimbulkan protes dari masyarakat, Ini terjadi karena beberapa LSM menggunakan posisinya untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini
tidak mengherankan karena realisasi program pengembangan masyarakat melibatkan dana yang relatif besar sehingga stakeholder yang terlibat berusaha
mendapatkan keuntungan-keuntungan dari program ini.
6.5.6 LSM dengan LSM
Konflik yang terjadi antara LSM dengan LSM disebabkan oleh adanya perbedaankepentingan, persaingan baik dalam program maupun lokasi
pelaksanaan program. Pada sisi yang lain LSM, terutama LSM lokal melakukan dua peranan. Peranan yang pertama adalah mengontrol akibat-akibat buruk yang
ditimbulkan dari proses produksi yang dilakukan perusahaan dan realisasi program pengembangan masyarakat. Sedangkan peranan yang kedua adalah
menjadi partner
perusahaan untuk
menjalankan program-program
pengembangan masyarakat, akan tetapi terkadang dua peran ini dilakukan oleh LSM yang berbeda, dan saling berhadapan sebagai LSM yang pro dan kontra.
LSM yang mengontrol akibat-akibat buruk yang ditimbulkan dari proses produksi perusahaan biasanya dinggap sebagai LSM yang kontra perusahaan, sedangkan
LSM yang menjadi partner perusahaan untuk menjalankan program-program pengembangan masyarakat dianggap sebagai LSM yang pro.
Di Kecamatan Kabandungan konflik antar LSM lebih disebabkan oleh adanya konflik pribadi antara tokoh-tokoh pemuda yang rata-rata menjadi ketua
LSM, sehingga konflik pribadinya mewarnai gerakan LSM yang di pimpinnya. Jadi secara substansial sebetulnya antara LSM-LSM tersebut tidak saling
bertentangan, tetapi adanya masalah pribadi pemimpin yang di bawa masuk ke dalam organisasi yang membuat konflik terjadi.
Contoh dari kasus seperti itu misalnya LSM SRK yang pengurusnya terlibat dalam konflik, dan pengurus yang dianggap bersalah di keluarkan dari
organisasi, kemudian pengurus yang di pecat tersebut dengan dukungan tokoh pemuda lain yang sebelumnya tidak terakomodir dalam LSM SRK mendirikan
LSM baru yaitu BRK dengan maksud untuk menjegal dan menyaingi LSM yang memecatnya dengan melaksanakan program yang sama dalam bidang yang
sama. Akhirnya masing-masing LSM berlomba secara tidak sehat dengan saling menjatuhkan serta membuat program untuk mendapatkan dukungan dari
CHV, jika salah satu LSM berhasil, maka LSM lain membuat program tandingan, kondisi seperti ini akhirnya berujung pada konflik terbuka yang melibatkan
kekerasan fisik. Dilain pihak kondisi ini mendatangkan tudingan dari kalangan LSM kepada pihak CHV, bahwa pihak CHV telah melakukan politik adu-domba
terhadap LSM-LSM lokal. Bentuk konflik dan sumber konflik yang terjadi antar LSM di Kecamatan Kabandungan seperti terlihat dalam Matriks 6. 3.
berikut Matriks 6. 3.
Bentuk konflik dan sumber konflik di Kecamatan Kabandungan Pelaku konflik
Bentuk konflik Sumber konflik
LSM Barak dengan LSM Sorak
Pemukulan fisik
oleh anggota
LSM Sorak
terhadap anggota
LSM Sorak
LSM Barak menganggap LSM Sorak menghalangi
program mereka
LSM KPP dengan LSM Sorak
Intimidasi oleh LSM Sorak kepada KPP
LSM Sorak merasa CHV terlalu memperhatikan LSM
KPP
Sumber data : Diolah dari hasil wawancara
6.5.7. Pemerintah Daerah dengan LSM
Regulasi pemerintah yang di anggap tidak memihak rakyat menjadi salah
satu penyebab konflik, dalam pengelolaan sumberdaya alam misalnya, LSM sebagai salah satu kekuatan kontrol sosial memandang kepentingan ekonomi
masyarakat setempat dalam kepentingan konservasi ekologi kawasan tidak di akomodir oleh pemerintah, akhirnya menimbulkan tekanan dan ancaman
terhadap sumberdaya alami kawasan. Kondisi ini terjadi karena tidak ada partisipasi dari masyarakat serta LSM lokal sebagai akibat dari tersentralisasinya
sistem pengelolaan kawasan di tangan pemerintah dephutPerhutaniPemda. Kebijakan otonomi daerah juga menjadi salah satu penyebab adanya
konflik antara LSM dengan pemerintah, lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah memberi ruang yang lebih besar kepada pemerintah daerah terutama
pemerintah daerah Kabupaten untuk mengelola sumberdaya alam di wilayahnya, sehingga terjadi tarik menarik kepentingan antara berbagai pihak
stakeholders seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, BTNGH,pihak swasta, LSM serta Masyarakat.
Dalam bidang pembangunan wilayah, LSM juga menyuarakan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pembangunan misalnya
rusaknya kondisi jembatan jalan di Kecamatan Kabandungan, disamping itu juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan progrtam-program yang
dilakukan oleh pemerintah di Kecamatan Kabandungan seperti pelaksanaan program Program BOS,PNPM, Program BLT dan program pemberdayaan
lainnya. Pengawasan yang dilakukan kadang-kadang membuat institusi yang melaksanakan program merasa risih dan menolak kehadiran LSM sehingga
berujung konflik. Disisi lain penolakan Institusi pelaksana program ini juga disebabkan
karena adanya oknum LSM yang ”memeras” mereka dengan memanfaatkan kesalahan-kesalahan yang ada, sehingga mereka beranggapan bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh LSM hanyalah mencari-cari jalan untuk ”memeras” pelaksana program.
6.6. Hubungan Program Pengembangan Masyarakat dan Pengembangan Wilayah Lokal