lainnya. Pembangunan inter-regoional yang berimbang adalah suatu bentuk sinergi pembangunan antar wilayah dimana interaksi antara wilayah tersebut
adalah dalam hubungan saling memperkuat dan nilai tambah yang terbentuk dapat terbagi secara adil Rustiadi et al., 2005
Menurut Ditjen Bangdes 1999 dalam Supardian 2005, tujuan pembangunan desa pada umumnnya adalah: 1 meningkatkan taraf hidup
masyarakat dengan segala aspek, baik bersifat fisik maupun mental spiritual, 2 meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah desakelurahan dalam
memanfaatkan potensi sumberdaya yang tersedia, 3 menumbuhkan swadaya gotong royong, kemandirian dan keswasembadaan masyarakat dalam proses
pembangunan di desa sehingga tidak terlalu tergantung kepada pemerintah. Pembangunan ekonomi perdesaan sebagai bagian dari pembangunan
ekonomi wilayah, tidak dapat dipungkiri telah menghasilkan sesuatu, dalam bentuk peningkatan taraf hidup sebahagian masyarakat desa, terealisasinya
berbagai prasarana dan sarana yang memperluas pelayanan dasar kepada masyarakat desa. Meningkatnya taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat
ditandai dengan meningkatnya konsumsi sebagai akibat peningkatan pendapatan dan meningkatnya pendapatan ini sebagi akibat dari meningkatnya
produksi. Proses kesejahteraan tersebut hanya dapat terwujud apabila memenuhi asumsi-asumsi pembangunan yaitu kesempatan kerja sudah
dimanfaatkan secara penuh full employment, semua orang mempunyai kemampuan yang sama equal productivity dan setiap pelaku ekonomi bertindak
rasional rational-efficient
2.4. Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Alam
Selama lebih dari 30 tahun, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dengan pola yang sentralistik dan cenderung eksploitatif sehingga
menimbulkan berbagai ketidak adilan ditengah masyarakat. Semangat otonomii daerah membawa visi baru untuk mengubah pola-pola tersebut dan berusaha
menata pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, mengingat semakin menipisnya sumberdaya alam di Indonesia.
Sumberdaya alam merupakan modal penting dalam menggerakan roda pembangunan disuatu daerah, baik dalam konteks negara, provinsi ataupun
kabupaten. Oleh karenanya aspek pemanfaatan sumberdaya alam merupakan
suatu yang sangat strategis dalam menentukan jumlah penerimaan atau tingkat kontribusi dalam pembentukan modal pembangunan.
Pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan melalui pembangunan mempunyai andil yang cuku besar dalam menggerakan roda perekonomian.
dalam menjamin kelangsungan pembangunan, maka pengelolaan sumberdaya alam perlu dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan fakor ekologis
dalam rangka mengurangi akibat yang akan merugikan. Pengelolaan sumberdaya alam dilakukan untuk mencapai derajat keadilan dan kesejahteraan
sosial-ekonomi yang lebih baik better and sustainable socio-economic standard of living, serta kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan
sustainable natural resources and environmental. Jumlah sumberdaya alam yang semakin menyusut menjadikannya
sebagai barang langka dan menjadi sumber pendapatan daerah yang penting, oleh karena itu harus dikelola oleh pihak yang berkompeten. Penduduk lokal
dianggap tidak akan berkompeten dalam mengelola sumberdaya alam yang ada di wilayahnya. Apalagi sumberdaya alam tersebut dianggap sangat penting
sehingga perlu pengaturan dari tingkat pusat, maka wilayah tempat dimana sumberdaya alam itu berada seringkali terpinggirkan dan tidak mendapat
manfaat dari sumberdaya alam yang melimpah diwilayahnya, hal ini akan mengakibatkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan pengelola
sumberdaya alam tersebut. Untuk mengurangi tingkat konflik yang terjadi maka pengelolaan
sumberdaya alam dalam pelaksanaannya harus bermitra dengan masyarakat lokal. Kemitaraan merupakan upaya bersama untuk memperkuat kamampuan
membangun kemandirian. Pola kemitraan ini muncul sebagai sebuah respon atas tuntutan kenutuhan atas manajemen pengelolaan sumberdaya alam yang
menuntut lebih demokratis dan lebih mengakui perluasan akses bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. pengelolaan bersama sumberdaya alam
merupakan suatu pendekatan yang menyatukan sistem-sistem pengelolaan pada tingkat lokal dan negara.
Sundawati dan Trison 2006 menyatakan, berbagai bentuk pengelolaan bersama dapat merupakan representasi dari berbagai tingkat partisipasi, masing-
masing menyiratkan tingkatan kekuatan yang dimiliki pemerintah, masyarakat, perusahaan atau pihak terkait lainnya. Dalam merumuskan sebuah konsep
pengelolaan bersama, ada banyak alasan yang dapat diberikan mengapa harus
menyertakan masyarakat karena memungkinkan: 1 merumuskan persolan bersama lebih efektif, 2 mendapatkan informasi dan pemahaman diluar faktor
ilmiah, 3 merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang dapat diterima dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, 4 membentuk perasaan memiliki
terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan, 5 merumuskan persoalan dengan lebih efektif.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam maka kebijakan yang harus dibangun untuk mengolah dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya
dengan memperhatikan hak dan kewajiban pada tingkatan individual, komuniti dan negara atas dasar prinsip keberlanjutan sustainability. Mengingat
keragaman yang besar dalam hal strategi pengelolaan sumberdaya alam serta kondisi sosial-budaya komunitas-komunitas penggunanya, maka penetapan
batas-batas wilayah pengelolaan seyogianya memperhatikan kondisi ekologi setempat dengan melibatkan partisiapasi komuniti pengguna.
Pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak luar perlu memperhatikan kelangsungan hidup masyarakat dan kebudayaan penduduk setempat,
pembagian hasil dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup yang layak bagi kemanusiaan serta dapat meningkatkan pembangunan dan pengembangan
wilayah dimana sumberdaya alam itu berada. Walaupun Sumberdaya alam merupakan modal penting dalam
menggerakan roda pembangunan disuatu daerah, tetapi dalam pelaksanaannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kebijakan, ketersediaan informasi
sumberdaya alam yang akurat, tenaga kerja yang berkualitas serta modal dan manajemen. Susanto dan Ismail 2001 dalam Hamzah 2005.
Industri pertambangan merupakan industri yang bersifat ekstraktif, padat modal dan padat teknologi yang didominasi oleh penanaman modal asing PMA
dan tergolong kedalam perusahaan-perusahaan Trans National Corporations TNCs. Sebagian besar investasi industri pertambangan di Indonesia adalah
penanaman modal asing PMA. Pembangunan ekonomi dengan berbasis industri yang bersifat ekstraktif
dan didominasi oleh investasi asing pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya perubahan aliran baru yang menyangkut arus pendapatan dan manfaat benefit
kepada mayarakat lokal, regional dan bahkan sampai kepada tingkat nasional. Namun kebanyakan proyek industri ekstraktif belum memberikan manfaat yang
sangat besar kepada masyarakat lokal terutama kepada mereka yang tinggal disekitar proyek tersebut.
Sebagai akibat dari dominannya investasi asing dan kecilnya nilai royalti yang diterima oleh negara pada sektor ini, menyebabkan keuntungan secara
ekonomi akan terangkat ke negara-negara pemilik saham. dalam hal ini berarti telah terjadi leakages syndrome, yaitu kebocoran ekonomi lokal berupa
penghisapan rente ekonomi sumberdaya alam ke luar wilayah. Berdasarkan hasil penelitian Price waterhouse Coopers PwC tentang pembelanjaan yang
dilakukan ole 12 perusahaan pertambangan besar di Indonesia sejak 1994-1998, ternyata hampir 95,3 persen digunakan untuk pembelian lewat impor dan hanya
sekitar 4,7 persen saja yang tinggal di dalam negeri Jatam 2004 dalam Hamzah 2005.
Berdasarkan Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP yang berasal dari sumberdaya alam pada tahun 2003 diperkirakan mencapai Rp. 49,5 Triliun atau
sekitar 73,9 persen dari total PNBP. Sumbangan tersebut berasal dari pendapatan sektor-sektor seperti minyak dan gas bumi 94,1, pertambangan
umum 2,8, kehutanan 2,4 dan lain-lain 0,6. Berdasarkan angka-angka tersebut sebenarnya kontribusi sektor pertambangan lebih rendah dari sektor
kehutanan karena kontribusi sektor kehutanan tersebut hanyalah dari nilai guna langsung yang hanya 5-7 dari seluruh nilai hutan Kartodihardjo,2004.
Sebagai akibat dari dominannya investasi asing juga dapat menyebabkan terjadinya dependency syndrome yaitu berupa ketergantungan ekonomi lokal
pada investasi asing yang menyebabkan kemiskinan makin parah akibat industrialisme.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Todaro 1999 bahwa perusahaan- perusahaan TNCs senantiasa mencari peluang ekonomi yang paling
menguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberikan perhatian kepada masalah kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan lonjakan
pengangguran. Pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak luar diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sekitar. Hal ini diperlukan mengingat area pengelolaan sumberdaya panas bumi berada
pada wilayah perdesaan yang aksesibilitas masyarakatnya rendah karena berada jauh dari pusat Pemerintahan. Letak yang jauh ini sering menjadi
penyebab minimnya porsi pembangunan yang diterima masyarakat sehingga
tidak hanya menyebabkan ketertinggalan perkembangan fisik wilayah tetapi juga dapat menciptakan masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang.
Teori yang dikemukakan oleh Christaller 1930 dalam Rustiadi et.al 2005 merupakan landasan teori yang dapat menjelaskan pembangunan
wilayah dalam hubungannya dengan lokasi industri dan pertumbuhan perkotaan yang berkaitan dengan pelayanan perkotaan Urban Services.
Menurut teori christaller, pertumbuhan dari kota bergantung pada spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangakan tingkat
permintaan akan pelayanan perkotaan oleh wilayah sekitarnya akan mementukan kecepatan pertumbuhan kota atau tempat pemusatan tersebut.
Dengan kata lain dikemukakan bahwa pertumbuhan suatu wilayah perkotaan adalah fungsi dari jumlah penduduk dan tingkat pendapatan wilayah
belakangnya hinterland, dan laju atau tingkat pertumbuhannya tergantung pada laju dari peningkatan permintaan wilayah belakang atas barang dan pelayanan
perkotaaan. Von Thunen 1826 dalam Rustiadi et al. 2005 telah mengembangkan
hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang spatial location dan pola penggunaan lahan. Menurut Von Thunen, jenis pemanfaatan lahan dipengaruhi
oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pada aksesibilitas relatif. Weber 1929 dalam Rustiadi et.al 2005, yang pertama kali
mengembangkan teori lokasi, berpendapat bahwa lokasi dari satu perusahaan tergantung pada rendahnya biaya transportasi dan upah buruh. Tempat dengan
biaya transportasi dan upah buruh yang minimum adalah identik dengan tempat atau lokasi dengan keuntungan maksimum. Akibatnya, sejak perusahaan
diasumsikan memakasimumkan keuntungan, kriteria pemilihan lokasi didasarkan pada meminimumkan biaya transportasi dan upah.
Tetapi teori lokasi Weber hanya dapat diterapkan untuk perusahaan yang tidak berbasis sumberdaya alam. Perusahaan pertambangan atau perusahaan
berbasis sumberdaya alam tidak dapat menerapkan teori weber tersebut, hal ini dikarenakan sifat dari sumberdaya alam yang diekploitasi tidak dapat
dipindahkan ketempat lain dan hanya dapat di ekstrak di tempat dimana sumberdaya itu berada. Hal ini menyebabkan perusahaan-perusahaan
pertambangan harus melakukan prosese produksinya di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan yang dianggap sebagai pusat pertumbuhan,
sehingga wilayah tersebut relatif lebih tertinggal dalam hal kualitas sumberdaya
manusia, tingkat kesejahteraan serta dalam ketersediaan infra struktur. Akibatnya harapan masyarakat lokal dan pemerintah daerah menjadi lebih besar
kepada perusahaan pertambangan untuk mengatasi keterbelakangan dalam pembangunan.
2.5. Industri Panas Bumi geothermal