yang dibangun secara langsung oleh perusahaan kurang dari 10 Bangunan, selebihya hanya bantuan materialnya saja sehingga kualitas sarana yang di
bangun menjadi di bawah standar. Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa kegiatan industri panas bumi di
gunung Salak belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pengembangan wilayah Kecamatan Kabandungan. Hal ini tercermin dari: 1.
Masih rendahnya sumbangan industri panasbumi terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi, 2. Kesejahteraan masyarakat masih rendah, 3. Rendahnya
penyerapan tenaga kerja lokal dan belum meratanya pelaksanaan program pengembangan masyarakat.
6.2. Ketergantungan Masyarakat Terhadap Perusahaan
Kecamatan Kabandungan yang relatif jauh dari pusat pemerintahan kabupaten Sukabumi serta relatif sulit dijangkau oleh sarana transportasi dan
komunikasi. Sulitnya medan sering menjadi penyebab minimnya porsi pembangunan yang diterima masyarakat sehinga tidak hanya menyebabkan
ketertinggalan perkembangan fisik wilayah, tetapi juga menciptakam masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang. Dalam kondisi masyarakat seperti ini,
maka kehadiran industri panas bumi gunung Salak yang dikelola oleh CHV merupakan potensi penting untuk mempercepat perkembangan masyarakat dan
pembangunan fisik wilayah di tengah keterbatasan kemampuan yang dimiliki pemerintah daerah melalui pelaksanaan program pengembangan masyarakat.
Tingginya tingkat harapan masyarakat terhadap perusahaan ditandai dengan besarnya permohonan bantuan kepada perusahaan, baik berupa
bantuan pembangunan dan perbaikan sarana umum maupun bantuan modal usaha. Pemenuhan terhadap permohonan bantuan tersebut selama ini
dilakukan oleh perusahaan melalui program pengembangan masyarakat yang mereka laksanakan. Program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan
perusahaan dirasakan
manfaatnya oleh
masyarakat yang
menerima program,sehingga
semakin memperbesar
keyakinan masyarakat
akan pentingnya kehadiran perusahaan, tetapi disisi lain semakin mempertegas posisi
antara “pemberi” dan “penerima” bantuan. Sandaran sosio economic security yang ada pada ikatan-ikatan sosial horizontal berganti ke arah vertikal yaitu
perusahaan. Akibatnya masyarakat menganggap bahwa perusahaan harus bertanggung jawab atas apapun permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
sehingga kapasitas civil society menjadi lemah dan pada akhirnya menciptakan ketergantungan dependency syndrome masyarakat terhadap perusahaan.
Ketergantungan masyarakat ini merupakan ekses negatif dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat, karena rendahnya
pemahaman para pelaksana program terhadap program yang dilaksanakan, atau karena tidak diikutsertakannya masyarakat penerima bantuan dalam
merencanakan kegiatan. Ketergantungan terhadap perusahaan antara lain terlihat dalam
pendanaan untuk pembangunan sarana infrastruktur seperti pembangunan mesjid, mushola dan madrasah, perbaikan jalan, jembatan serta peringatan hari
besar agama dan nasional yang pada awalnya dapat dilakukan dari dana yang bersumber dari swadaya masyarakat dan gotong royong, kini sebagian besar
merupakan bantuan perusahaan. Pada dasarnya selama bantuan-bantuan tersebut dapat dijadikan sebagai stimulan untuk meningkatkan partisipasi dan
inisiatif lokal merupakan hal yang positif, namun apabila bantuan perusahaan justru dijadikan pilar utama dalam pengembangan usaha maupun dalam
pembiyaan pembangunan sarana umum sehingga memperkecil partisipasi dan swadaya masyarakat dan memperbesar ketergantungan terhadap perusahaan
justru menjadi sesuatu yang kontra produktif. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi tidak mampu untuk mandiri dalam melaksanakan berbagai kegiatan
kemasyarakatan, jika sudah menyangkut kegiatan yang memerlukan dana secara otomatis yang ada dalam benak para pelaksana adalah mengajukan
proposal permohonan bantuan dana kepada perusahaan tanpa terlebih dahulu melakukan usaha-usaha sendiri. Masyarakat lebih memilih tidak meneruskan
tidak jadi membangun jika tidak menerima bantuan dari perusahaan. Walaupun tujuan dari pelaksanaan pengembangan masyarakat adalah
untuk memberdayakan masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya justru menumbuhkan ketidak-mandirian masyarakat, hal ini dikarenakan kedua belah
pihak memiliki persepsi yang berbeda tentang program pengembangan masyarakat, disamping itu tidak terjalinnya komunikasi. Komunikasi mengenai
program yang diusulkan terjadi hanya melalui proposal atau surat menyurat, sehingga bisa jadi perusahaan merealisasikan program yang di propose-kan
dengan motif untuk keamanan bukan pemberdayaan, sementara pemohon mengajukan program dengan motif untuk meminta “jatah” sehingga proposal
hanya formalitas untuk menjadi alat agar “jatah” tersebut dapat diterima.
6.3. Pengordinasian Dan Pengintegrasian Program Pengembangan Masyarakat Dengan Program Lain