II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan masyarakat
Munculnya konsep pengembangan masyarakat community development sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang
cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang besumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata
nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan, kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan. Di saat yang
bersamaan, pendekatan pembangunan lebih bersifat sentralistik yang mengedepankan perencanaan top down serta keseragaman telah berhasil
melemahkan kemandirian masyarakat. Hadirnya konsep pemberdayaan masyarakat merupakan respon kritis terhadap pola pembangunan yang
sentralistik dan seragam tersebut. Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat sebenarnya berakar pada paradigma pembangunan yang
berorientasi pada manusi people centered development. Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara
substansial diarahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kemampuan
masyarakat, yaitu
diharapkan akan
mengurangi tingkat
ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Disisi lain,
melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development.
Menurut TR. Batten dalam Surjadi 1979, seperti dikutip oleh Hamzah 2005 pengembangan masyarakat merupakan suatu proses dimana anggota-
anggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama untuk
memenuhi keinginan mereka. Sedangkan pengembangan masyarakat menurut Dunham dalam Rukminto 2001 adalah berbagai upaya yang terorganisir yang
dilakukan guna meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, terutama melalui usaha yang kooperatif dan mengembangkan kemandirian dari masyarakat
perdesaan, tetapi hal tersebut dilakukan dengan bantuan teknis dari pemerintah ataupun lembaga-lembaga sukarela.
Definisi pengembangan masyarakat yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB pada tahun 1956, yaitu :
Community development is the processes by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to
improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrate these communities into the life of the nation and to enable them
to contribute fully to national progress. This complex of processes is thus made up of two essential elements: the
participation of the people themselves in efforts to improve their level of living with as much reliance as possible on their own initiative, and the
provisions of technical and other service in ways which encourage initative, self-helf and mutual help and make these more effective, it is
expressed in programmes designed a wide variety of specific improvements.
These programmes are usually concerned with local communities because of the fact that the people living together in a locality have many
and varied interests in common. Some of their interests are expressed in functional groups organized to further a more limited range of interests not
primarily determined by lokality. 20
th
Repport to ECOSOC of the UN Administrative Communittee on Coordination, E 2931, annex III, New York, October 18
th
1956, seperti dikutip oleh J. Bhattacharyya, 1972:4 dalam Taliziduhu Ndraha, 1987 :
72-73. Berdasarkan definisi tersebut, pengembangan masyarakat merupakan:
1 suatu proses baik upaya masyarakat yang bersangkutan berdasarkan prakarsa sendiri maupun kegiatan pemerintah, jadi lebih ditekankan sebagai
suatu proses, metode dan gerakan daripada sebagai program, 2 meliputi dua komponen utama yaitu : pertama. Partisipasi masyarakat lokal, Kedua, bantuan
dan pelayanan teknis dari pemerintah untuk mengembangkan partisipasi dan inisiatif tersebut serta 3 bekerja pada tingkat komunitas yang diikat dengan
kepentingan yang sama sedangkan urusan yang bersifat khusus atau kepentingan kelompok ditangani oleh kelompok fungsional karena bukan
merupakan kepentingan umum komunitas. Menurut Budimanta 2005 secara umum pengembangan masyarakat
dapat didefinisikan sebagai kegiatan mengembangkan masyarakat yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-
ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan sebelumnya, sehingga masyarakat ditempat tersebut diharapkan menjadi lebih
mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Sedangkan Marzali 2003 mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai sebuah proses tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas
mengorganisasikan diri mereka dalam perencanaan dan tindakan, menentukan kebutuhan dan masalah individubersama, membuat rencana individukelompok
untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan, melaksanakan rencana dengan menyesuaikan diri secara maksimal dengan sumberdaya yang
ada dalam komunitas, dan jika diperlukan menambah sumberdaya ini dengan jasa dan materi dari badan-badan pemerintah dan non-pemerintah yang berasal
dari luar komunitas. Lebih
lanjut Marzali
2003 mengemukakan
bahwa program
pengembangan masyarakat tergantung kepada ditemukannya “felt needs” dari komunitas tersebut. Ini bukanlah hal yang sederhana karena “felt needs” dari
komunitas secara keseluruhan, belum tentu sama dengan “felt needs” dari anggota-anggota komunitas secara individu, apalagi dengan pimpinan
komunitas. Selanjutnya “felt needs” dari komunitas belum tentu sama dengan kepentingan utama komunitas. Gagal dalam menentukan “felt needs” dari
komunitas bisa berakibat kegagalan dari program pengembangan masyarakat. Terminologi pemberdayaan dipahami oleh sebagian para ahli sebagai
proses stimulus pemberian daya power atau kekuatan kepada masyarakat untuk mampu berbuat lebih dengan mengandalkan potensi dan kekuatannya
sendiri. Menurut Rees dalam Trijono 2001, esensi pemberdayaan adalah proses perolehan kekuasaan achieving power dan segala perubahan sikap,
perilaku dan tindakan politik untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Mengacu pendapat seperti ini maka kita tidak bisa memahami proses pemberdayaan
secara sempurna kalau kita tidak memahami dua elemen penting pemberdayaan, yaitu kekuasaan power dan politik politics. Kekuasaan disini
adalah kekuasaan dalam arti luas yaitu kapasitas untuk bertindak, untuk mampu melakukan atau menghasilkan sesuatu. Sedangkan politik merupakan turunan
dari eleman kekuasaan karena dalam setiap upaya memperoleh kekuasaan akan selalu membutuhkan adanya tindakan politik tertentu. Esensi politik yaitu aktivitas
yang selalu diwarnai kerjasama, konflik, keputusan diantara orang, kelompok atau organisasi dalam alokasi dan penggunaan sumberdaya ekonomi, nilai dan
ide. Dalam konteks pemberdayaan, politik mendorong masyarakat untuk terlibat dalam alokasi sumberdaya yang ada baik melalui kerjasama, konflik dan
memutuskannya. Dengan dua elemen ini secara operasional, pemberdayaan
mampu menciptakan kesadaran masyarakat akan masalah yang dihadapi, tahu modal untuk menyelesaikan masalah, mampu menyusun alternatif pemecahan
masalah serta akurat memilih alternatif terbaik penyelesaian masalah. Mengacu pada pemikiran tersebut, upaya pemberdayaan menurut
Sumodiningrat 1996 dalam Hamzah 2005, harus dilakukan melalui 3 tiga pandangan mendasar, yaitu Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi daya yang
dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan meningkatkan kesadaran akan
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat. Dalam kerangka ini, diperlukan
langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan input serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat
masyarakat menjadi berdaya memanfaatkan peluang. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Artinya proses pemberdayaan harus
mencegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Pengembangan masyarakat merupakan suatu strategi dalam paradigma
pembangunan yang berpusat pada rakayat people centered development yang menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian
dan kekuatan internal serta kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya sosial ekonomi yang dimiliki, “ruh” pengembangan masyarakat
adalah populisme atau popularisme, yaitu menempatkan masyarakat sebagai bagian terpenting energi pembangunan dengan keseluruhan hak dan kewajiban
serta harkat dan martabatnya. Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat sebenarnya berakar
pada paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia people centered development seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Berbagai
ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara substansial diarahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan
kemampuan masyarakat,
yaitu diharapkan
akan mengurangi
tingkat ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat
dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Disisi lain pula, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self sustaining
capacity masyarakat menuju sustainable development.
Pengembangan masyarakat harus didasarkan atas kekuatan-kekuatan lokal yang bersumber dari masyarakat sebagai pilar utama dalam upaya
peningkatan taraf hidup masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Hellen Miller dalam Wiryosoemarto 1977 seperti dikutip oleh Khairuddin 2006 bahwa:
“communitiy development is the term used to describe the approach wich many government have employed to reach their village people and to make more
effective use lokal initiative and energy for increased production and better living standards”. Menurut UNDP dalam Rustiadi et al. 2005 pembangunan dan
khususnya pembangunan manusia didefinisikan sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk a process of enlarging people’s
choices. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir the ultimate end, bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagimana
yang dilihat oleh model formasi modal manusia human capital formation sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai
tujuan itu. Dalam kaitan dengan karakteristik pengembangan masyarakat, Glen
dalam Rukminto, 2001 menggambarkan bahwa ada tiga unsur dasar yang menjadi ciri khas pendekatan pengembangan masyarakat, yaitu :
1. Tujuan dari pendekatan ini adalah memampukan masyarakat untuk mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan mereka, menetapkan rasa
kebersamaan sebagai
suatu komunitas
berdasarkan ketetanggaan
neighbourhood dimana basis ketetanggaan merupakan salah satu bentuk lokalitas kegiatan.
2. Proses pelaksanaannya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat ataupun kelompok dalam masyarakat tersebut. Komunitas dilihat sebagai
kelompok masyarakat yang secara potensial kereatif dan kooperatif merefleksikan idealisme sosial yang positif terhadap upaya-upaya kolaboratif
dan pembentukan identitas komunitas. 3. Praktisi yang menggunakan model intervensi ini pada umumnya
menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat yang bersifat nondirektif, artinya lebih banyak difokuskan pada peran sebagai “pemercepat
perubahan” enabler, ”pembangkit semangat” encourager dan “Pendidik” educator. Masyarakat lebih cenderung untuk bertindak sesuai dengan apa
yang mereka pilih, daripada apa yang telah diyakinkan oleh community worker untuk yang seharusnya mereka lakukan. Tetapi dalam kondisi tertentu
dapat memainkaan peran proaktif, terutama ketika individu ataupun kelompok tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengorganisir suatu kegiatan di
masyarakat. Dalam pengembangan masyarakat pertisipatif, masyarakat ditempatkan
sebagai subjek
pembangunan yang
potensial sehingga
mendorong pembentukan motivasi dan perubahan partisipasi aktif masyarakat. Dengan
pengembangan masyarakat partisipatif yang mengutamakan inner construction masyarakat, diharapkan masyarakat selanjutnya dapat membentuk dirinya
sendiri dan bersikap mandiri dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul. Menurut Rustiadi et al., 2005, Pengembangan lebih menekankan
proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan adalah melakukan sesuatu bukan dari “nol”, atau membuat
sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada di masyarakat tetapi kualitas dan kuantitasnya
ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki
kapasitas bukannya tidak memiliki kapasitas sama sekali namun perlu ditingkatkan kapasitasnya capacity building.
Sorotan pemberdayaan juga tidak terlepas dari peran pelaku-pelaku aktor yang terlibat didalamnya. Keberhasilan upaya pemberdayaan sangat
ditentukan oleh peran pelaku-pelaku aktor untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan fungsi yang dimiliki dengan dilandasi prinsip kolaboratif. Pelaku-
pelaku dimaksud meliputi dua kelompok yaitu kelompok yang harus diberdayakan, dalam hal ini adalah masyarakat dan kelompok yang menaruh
kepedulian seperti pemerintah, organisasi sosial masyarakat LSM, tokoh agama masyarakat serta pers.
Menurut mazhab komunitarianisme pengembangan masyarakat harus dilaksanakan dengan pendekatan komunitas serta serba kolektivitas dalam
menangani masalah-masalah sosial-ekonomi kemasyarakatan. Mazhab ini memandang pengembangan masyarakat sebagai suatu gerakan yang dirancang
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui partisipasi aktif penuh dan berdasarkan inisiatif lokal. Menurut mazhab ini juga, keterlibatan komunitas
sangat penting dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi masyarakat, sehingga keterlibatan masyarakat lokal menjadi suatu keharusan. Peningkatan
partisipasi aktif dan inisiatif lokal diperlukan dalam rangka mendekatkan
masyarakat dengan sumberdaya sosial ekonomi yang menjadi hak mereka. Masyarakat selayaknya mendapat bagian yang proporsional dari manfaat yang
diperoleh dalam pengelolaan sumberdaya alam mereka oleh pihak lain diluar komunitas, memperoleh akses untuk menggali dan mengembangkan potensi
sosial ekonominya serta mengelola beragam potensi tersebut untuk berkembang secara mandiri dan berkelanjuan.
Sedangkan mazhab
institusionalisme memandang
pendekatan pengembangan masyarakat harus dilaksanakan melalui pengaturan oleh
kelembagaan dan atau organisasi sosial dalam menangani masalah sosial- kemasyarakatan. Menurut mazhab ini, pengembangan masyarakat didekati
melalui perubahan kelembagaan institutional change dan penataan kelembagaan sebagai infrastruktur pengembangan wilayah. Menurut
pendekatan ini kelembagaan menjadi kata kunci penting suatu perubahan sosio- ekonomi regional. Model pendekatan ini melibatkan aktor pembangun swasta,
masyarakat, dan pemerintah daerah sebagai mediator. Di tingkat masyarakat, keberhasilan pendekatan ini akan dirasakan oleh masyarakat dalam upaya
mengorganisir diri, meningkatkan proses demokratisasi, meningkatkan peran serta
partisipatif, serta
mendudukkan masyarakat
sebagai subyek
pembangunan. Keberhasilan
model pendekatan
ini akan
mampu memberdayakan aset potensi daerah guna mempercepat kemampuan
peningkatan Pendapatan Asli Daerah PAD berkaitan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Oleh karena itu, dalam pengembangan masyarakat bukan hanya sekedar membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat khususnya dalam
rangka peningkatan taraf hidupnya, tetapi terpenting adalah sebagai upaya untuk menciptakan kemandirian masyarakat sehingga mau dan mampu mengatasi
segala permasalahan yang terjadi. Menurut Ife 2002 terdapat enam dimensi penting dari pengembangan
masyarakat, yaitu: 1. Pengembangan Sosial, berkaitan dengan pemberian akses yang lebih luas
kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Yang berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan dan penguatan kelompok-
kelompok swadaya masyarakat, masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi profesi serta peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang
berbasiskan sumberdaya setempat resources based, serta aspek sosial
yang menekankan bagaimana kebutuhan masyarakat dan perusahaan perlu diakomodasikan dan dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan
perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar 2. Pengembangan Ekonomi, mengoptimalkan penggalian,pemanfaatan dan
pengelolaan berbagai potensi ekonomi daerah sesuai dengan kondisi obyektif daerah. Memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di daerah,
memperkecil kesenjangan, pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, serta menekankan bagaimana perusahaan dapat membantu
kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat
3. Pengembangan Politik, memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan publik, mengembangkan dialog
dan interaksi antara pemimpin dengan masyarakat. pengembangan masyarakat sebagai upaya merealisasikan dan menumbuhkan kehidupan
demokrasi di masyarakat grassroot democracy. 4. Pengembangan Budaya, perhatiana yang lebih besar kepada nilai-nilai
budaya dan kemanusiaan, secara keseluruhan akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri
sebagai individu maupun suatu bangsa. 5. Pengembangan Lingkungan, kelestarian lingkungan yang menekankan
bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif
yang perlu dilaksanakan bersama-sama. 6. Pengembangan PribadiKeagamaan, peningkatan kualitas sumberdaya
manusia masyarakat lokal yang sarat dengan keterbatasan sehingga perlu diberdayakan dan disiapkan untuk menghadapi masa-masa setelah operasi
perusahaan berakhir, juga pengembangan dari segi spiritualisme masyarakat.
Lebih lanjut, menurut Ife 2002, pengembangan masyarakat bertujuan untuk membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai
manusia yang saling berhubungan dan membutuhkan satu sama lain, bukan saling ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi,
memiliki keteraturan mengenai kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi serta kemampuan untuk memilih.
Secara historis pengembangan masyarakat dapat dilihat dari periode pengembangan
masyarakat Klasik
1950-1980 serta
pengembangan masyarakat kontemporen 1990-2000, terdapat perbedaan dari kedua periode
ini, diantaranya terletak pada prinsipnya, pendekatan utama, proses, peran aktor dan basis sosial untuk aktivitasnya. Matriks.2.1
Matriks 2.1 Perbedaan Pengembangan Masyarakat Klasik Dan Kontemporer.
Faktor Pembeda
Pengembangan Masyarakat Klasik
1950-1980an Pengembangan
Masyarakat Kontemporer 1990
Prinsip-prinsip Utama
Philantropischaritatif derma
PopulismePopularisme
Pendekatan Utama
Assistancy approach Self-help approach
Proses Top-down
Bottom-up Area
of Activities
Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan
alat, dan pemberian bantuan keuangan
Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana
airbersih, olahraga, peningkatan pendapatan,
dan tempat peribadatan •
Pembangunan infrastruktur fisik,
pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan
keuangan
Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana
airbersih, olahraga, peningkatan pendapatan,
dan tempat peribadatan
• Pendampingan dan
training pertanian dan industri
rumah tangga •
Lingkungan hidup Peran
aktor- aktor
Peran aktor dari luar komunitas sangat dominan
Peran masyarakat lokal lebih dominan
Basis Sosial
untuk setiap
Aktivitas Masyarakat yang
mempunyai resiko terbesar terhadap dampak yang
ditimbulkan Masyarakat lingkar
Perusahaan
Disarikan dari berbagai sumber: ife,2002; Rustiadi et al ,2002 ;Christenson, James.A dan Robinson,JR, Jerry W. 1989
Keterlibatan perusahaan dalam program pengembangan masyarakat di latar belakangi dengan beberapa kepentingan. Setidaknya bisa di identifikasi tiga
motif keterlibatan perusahaan yaitu motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja dan motif moral untuk memberikan
pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Sebagian besar perusahaan ektraksi berada di daerah pedalaman. Sementara fasilitas produksinya terbentang dalam
area yang sangat luas. Secara fisikal, kontrol terhadap infrastruktur tersebut tidak mudah. Perusahaan minyak atau gas terletak di daerah terpencil dengan jaringan
pipa yang panjang dan kompleks misalnya, sangat rentan dengan kemungkinan- kemungkinan dirusak atau disabotase oleh pihak yang merasa dirugikan oleh
keberadaan perusahaan tersebut. Sementara itu banyak kasus menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut sarat konflik dengan
masyarakat lokal. Baik konflik fisik maupun konflik laten merupakan faktor potensial untuk terjadinya kerusakan-kerusakan fasilitas produksi.
Tujuan pengembangan masyarakat pada industri pertambangan dan migas menurut Budimanta 2005 adalah sebagai berikut:
1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah daerah Pemda terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi
sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik disekitar wilayah kegiatan perusahaan.
2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat. 3. Membantu pemerintah daerah Pemda dalam rangka pengentasan
kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah. 4. Sebagai salah satu strategi untuk mempersiapkan kehidupan komunitas di
sekitar lingkar tambang manakala industri telah berakhir beroperasi life after mining.
Di samping itu tujuan pengembangan masyarakat juga untuk meredusir dan meresolusi konflik yang terjadi antara peusahaan dengan masyarakat.
Konflik tersebut tidak hanya terjadi karena masalah lingkungan hidup saja namun juga karena masalah kepemilikan tanah. Konflik mengenai masalah ini
merupakan masalah umum yang terjadi pada perusahaan-perusahaan ektaktif. Sejak tahun 1980an sudah terjadi pertikaian secara sporadis yang disebabkan
oleh masalah tanah misalnya adalah persengketaan yang terjadi antara masyarakat adat suku Dayak Benuaq dan Tonyoi yang tinggal di daerah
Kalimantan Timur dengan PT. Kelian Equatorial Mining KEM; suku Dayak Siang, Murung, dan Bekumpai di propinsi Kalimantan Tengah dengan PT.
Indomuro Kencana Aurora Gold; masyarakat tradisional Amungme di Papua Barat dengan PT. Freeport Indonesia dan masyarakat adat di daerah Kabupaten
Pasir, Kalimantan Timur dengan PT. Kideco Aman 2002. Pada titik tertentu, kondisi seperti ini menimbulkan penolakan-penolakan
baik yangterjadi pada masyarakat maupun pemerintah daerah terhadap keberadaan
perusahaandan terhadap
kegiatan-kegiatan pengembangan
masyarakat. Penolakan-penolakan tersebut terepresentasi dari sinisme, keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat, atau
memprotesnya. Sikap menolak seperti itu merupakan faktor penghambat terciptanya program yang keberlanjutan. Perusahaan dan masyarakat memiliki
kepentingan berbeda-beda yang satu sama lain bisa saling berseberangan dan sangat mungkin merugikan pihak yang lain.
Secara philantropis
perusahaan seharusnya
meredistribusi keuntungannya setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana
masyarakat berada. Apalagi mereka dalam keadaan miskin. Ini adalah kewajiban moral. Namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih
sebatas wacana dan belum terlihat nyata. Menurut Suparlan 2003 model pengembangan masyarakat sebetulnya
adalah bottom up yang dalam pelaksanaan bisa dibantu oleh pemerintah atau badan-badan non pemerintah, yang dalam hal ini adalah perusahaan tambang.
Dalam perspektif ini pengembangan masyarakat adalah sebuah proses yang mana anggota-anggota sebuah komunitas mengorganisasikan diri mereka dalam
kelompok atau kumpulan individu yang secara bersama merasakan kebutuhan- kebutuhan yang harus mereka penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka
atasi. Kelompok ini membuat rencana kerja sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang mereka harus penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka atasi, dan
berdasarkan atas itu mereka mengorganisasikan diri dalam bentuk kelompok- kelompok atau perkumpulan-perkumpulan untuk melaksanakannya. Dalam
pelaksanaannya mereka itu tergantung pada sumberdaya yang ada dalam komunitas, dan bila merasa kurang maka mereka akan meminta bantuan dari
pemerintah atau badan-badan pemerintah. Lebih lanjut Suparlan 2003 mengatakan bahwa perbedaan antara model
bottom up dan top down adalah, dalam model bottom up, ide perencanaan, dan
pelaksanaan kegiatan berasal dari anggota komunitas itu sendiri dan untuk kepentingan serta keuntungan mereka bersama. Sedangkan dalam model top
down ide
dan perencanaan
berasal dari
pembuat kebijakan
pemerintahperusahaan, keuntungan hanya dapat diraup dan dinikmati oleh sejumlah orang dan sejumlah orang tersebut biasanya adalah yang tergolong
sebagai tokoh atau yang berkuasa dan yang sudah kaya. Model top-down approach, menyatakan bahwa dalam mengembangkan
suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara
serentak melainkan harus memalalui beberapa sektor unggulan leading sector yang kemudian akan menjalar kepada sektor- sektor lainnya dan perekonomian
secara keseluruhan. Proses ini terjadi karena adanya keterkaitan kedepan foreward linkages dan keterkaitan kebelakang backwared linkages.
Sedangkan konsep
bottom-up approach,
yang beranggapan,
bahwa pengembangan wilayah harus dimulai dari dalam “wilayah” itu sendiri
development from below yang bertujuan untuk menciptakan wilayah otonomi melalui integrasi berbagai sektor yang terdapat di dalam wilayah tersebut.
Model top down dapat dikatakan sebagai model chariti atau pemberian hadiah atau sedekah dari yang kaya kepada yang lebih miskin. Perbedaan yang
mendasar dari kedua pendekatan ini adalah terletak pada asal dari ide, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Permasalahan dalam paradigma
pembangunan yang menerapkan sistem top-down approach yang telah berlangsung lama adalah tibulnya sindroma ketergantungan, dampak ini terlihat
antara lain dari ciri-ciri masyarakat lebih senang diberi ‘ikannya’ dibandingkan dengan ‘kailnya’. Masyarakat lebih senang kalau yang datang ke daerahnya
adalah investor bukan pendampingfasilitator yang dianggap tidak memiliki uang untuk mereka. Dalam konteks mentalitas seperti ini masyarakat cenderung
enggan berpartisipasi meski untuk kepentingan sendiri. Mereka kebanyakan memiliki anggapan bahwa dana-dana yang datang kepada mereka bersifat hibah
sehingga tidak perlu di kembalikan dan dikembangkan. Permasalahan- permasalahan ini sedikit banyak menggambarkan semakin menurunnya tingkat
keberdayaan masyarakat Budimanta 2003 mengatakan bahwa untuk komunitas yang berada
dalam lingkar tambang, program pengembangan masyarakat dapat ditekankan pada tiga aspek dengan perhitungan yang sesuai dengan konteks tertentu
terhadap komunitas asli dan komunitas pendatang. Hal ini sangat menentukan keberhasilan program pengembangan masyarakat, ketiga aspek tersebut adalah
: 1.
Community services, merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat, seperti : pembangunan fasilitas umum antara lain
pembangunan atau peningkatan sarana trasportasijalan, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana peribadatan, peningkatanperbaikan sanitasi
lingkungan, pengembangan kualitas pendidikan penyediaan bantuan guru, operasional sekolah, kesehatan bantuan tenaga para medis, obat-obatan
dan penyuluhan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan pemukiman, keagamaan penyediaan kiai, pendeta maupun penceramah-penceramah
agama dan lain sebagainya. 2.
Community empowering, adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang
kemandiriannya. Yang berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan dan penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat,
masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi profesi serta peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat
resources based. 3.
Community relation,
yaitu kegiatan-kegiatan
yang menyangkut
pengembangan komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait seperti konsultasi publik, penyuluhan dan sebagainya.
Pandangan lain melihat pengembangan masyarakat dari sifat operasionalisasinya di lapangan, yaitu:
1. Advokasi pendampingan, advokasi merupakan salah satu praktek
operasional pengembangan masyarakat yang bersentuhan dengan kegiatan politik. Melaului advokasi ini, masyarakat di bantu dan didampingi dalam
memperjuangkan hak-hak mereka. Advokasi dapat dibagi dua: advokasi kasus case advocacy dan advokasi kelas class advocacy. Apabila
advokasi dilakukan atas nama seorang klien secara individual, maka itu adalah advokasi kasus. Advokasi kelas terjadi manakala klien yang
diadvokasi bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. 2.
Technical Assistance bantuan teknispenyuluhan, dimana terbentuk pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat sehingga keputusan
yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumberdaya yang dipakai
berasal dari kedua belah pihak, bantuan teknis dapat membantu masyarakat dalam menggambarkan masalah, kebutuhan dan solusi potensial. Bantuan
teknis dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas dari para penerima untuk meningkatkan kapasitas mereka.
3. Education pendidikan dan penyadaran, kegiatan yang bersifat pendidikan
dan pelatihan teknis bagi masyarakat dengan maksud agar masyarakat lebih memiliki kemampuan secara teknis dalam meningkatkan kesejahteraannya.
4. Coercion pemaksaan, yaitu suatu partisipasi untuk ikut serta dalam suatu
kegiatan yang dianggap dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat secara tidak sukarela tetapi melalui suatu paksaan mobilisasi.
5. Supervision pengawasan, pengawasan terhadap terhadap kegiatan
masyarakat dengan maksud untuk untuk memberikan supervisi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
2.2. Pengembangan Wilayah