1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seni grafis di Indonesia merupakan sebuah proses kerja kreatif yang digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan pengalaman estetis senimannya.
Kedudukan seni grafis sejajar dengan bidang seni murni lainnya seperti lukis, patung maupun keramik. Pendapat ini diperkuat oleh Tris Neddy Santo dkk.
dalam bukunya yang berjudul “Menjadi Seniman Rupa”, yang menyatakan bahwa
seni grafis masuk dalam rumpun seni murni sama seperti seni patung, keramik dan lukis Santo dkk, 2012: 104. Sebagai sebuah karya, seni grafis memiliki
keistimewaan yang khas jika dibandingkan dengan karya seni lainnya. Keistimewaan ini terlihat dalam karya seni grafis yang dapat digandakan
sebanyak mungkin tanpa kehilangan nilai orisinalitas disetiap hasil cetakannya. Pernyataan ini diperkuat oleh Nooryan Bahari dalam bukunya yang berjudul
“Kritik Seni Wacana, Apresiasi dan Kreasi” yang menyatakan bahwa seni grafis memiliki kelebihan pada karyannya yang dapat dilipatgandakan tanpa mengurangi
nilai orisinalitasnnya Bahari, 2008: 83 Seni grafis tidak hanya memiliki keistimewaan dalam proses
penggandaannya, namun juga memiliki ciri yang kuat berupa sebuah identitas konvensi disetiap karyanya dan hal tersebut sekaligus menjadi pembeda dengan
karya seni lainya seperti lukis, keramik maupun patung. Mengacu pada konvesi seni grafis Indonesia dalam kompetisi Trienal Seni Grafis Indonesia, Aminudin
TH Siregar menyatakan bahwa identitas konvensi pada karya seni grafis ditandai dengan pencantuman edisi nomor urut cetakan, teknik yang digunakan, judul
karya, tanda tangan, tahun pembuatan atau tempat dimana karya seni grafis tersebut diciptakan dan semua keterangan tersebut ditulis pada bagian bawah
setiap karya grafis yang diciptakan Siregar, 2009: 9. Seni grafis sebagai sebuah rumpun seni murni memiliki beberapa teknis
dalam pengerjaannya. Teknik tersebut meliputi; cetak tinggi, cetak dalam, cetak saring dan cetak datar. Seiring dengan perkembangan zaman terdapat dua teknik
commit to user
dalam seni grafis yang mengalami perubahan dalam aspek media. Kedua teknik tersebut adalah teknik cetak tinggi dan cetak saring. Hal ini diperkuat oleh Tris
Neddy Santo dkk, yang menyatakan bahwa karya grafis yang lazimnya disajikan pada media kertas, kemudian berubah dengan media lainnya seperti kain, kayu,
fiberglass dan lain-lainnya Santo dkk, 2012: 104. Secara singkat teknis dalam proses pembuatan karya cetak tinggi dapat
dijabarkan sebagai berikut, langkah pertama yang dilakukan adalah mencukilmentatah lembaran plat kayu sesuai dengan bentuk rancangan visual
yang diinginkan, kemudian permukaan kayu yang telah dicukil dibubuhi dengan tinta cetak dengan cara dirol pada bagian permukaan yang tidak tercukil,
kemudian ditransferdipindah pada media cetak seperti kertas, kain ataupun kanvas dengan cara menekan media cetak tersebut di atas lembaran plat kayu
yang telah dicukilditatah. Cetak saring dalam seni grafis memiliki perbedaan teknis dibandingan dengan cetak tinggi. Bentuk visual yang hadir dalam cetak
saring disebabkan oleh tembusnya cat pada bidang screen yang berlubang sesuai dengan rancangan visual yang telah dibuat Marianto, 1988: 17. Cetak tinggi dan
cetak saring, merupakan sebuah teknik dalam seni grafis yang berkembang sangat pesat di Indonesia khususnya Yogyakarta.
Karya-karya seni grafis di Yogyakarta memiliki keunikan yang khas jika dibandingkan dengan karya seni grafis di kota lainnya. Hal ini terlihat pada karya
cetak tingginya yang memiliki karakter visual rumit dan detail serta pada karya cetak saring yang memiliki karakter khas berupa penggabungan berbagai macam
unsur warna dalam satu karya. Yogyakarta sebagai salah satu kota bagi para seniman memiliki tantangan yang besar untuk terus melakukan inovasi dalam
rangka memasyarakatkan seni grafis kepada khalayak umum dan turut menjaga keberadaan seni grafis dari kepunahan. Tantangan tersebut dijawab dengan
diselenggarakannya berbagai pameran seni grafis baik yang dilakukan secara tunggal, kelompok maupun secara bersama di wilayah Yogyakarta. Beberapa
pameran seni grafis tersebut diantaranya adalah Trienal Seni Grafis Indonesia, Festival Seni Grafis Jogjakarta Hi Grapher, dan yang terbaru adalah JMB Jogja
Mini print Bienale yang diadakan di Bank Indonesia Yogyakarta pada tahun 2014. Beberapa penyelenggaraan pameran seni grafis tersebut pada akhirnya
commit to user
membawa karya cetak tinggi dalam hal ini cukil kayu semakin dikenal oleh masyarakat di wilayah Yogyakarta. Hal ini selaras dengan pernyataan Aminudin
TH Siregar dalam pengantar kuratorial pameran tunggal Irwanto Lentho yang berjudul
“Sang Pencukil: Catatan-catatan dan Pemaknaan” di dalam pernyataannya Aminudin TH Siregar mengatakan bahwa cetak tinggi merupakan
salah satu teknik yang paling populer di Indonesia dan paling mendominasi dibeberapa pameran seni grafis Siregar, 2011: 7. Kepopuleran teknik cetak
tinggi kemudian diikuti pula dengan berkembangnya teknik cetak saring yang telah diakui sebagai “kerja seni” sejak dekade 1970-an Siregar, 2011: 11.
Kepopuleran seni grafis khususnya teknik cetak tinggi dan cetak saring berdampak dengan semakin banyaknya penggunaan teknik tersebut oleh seniman-
seniman di Yogyakarta sebagai sebuah media ekspresi seni yang sifatnya sangat personal. Terlihat dalam dekade tahun 2000an banyak sekali seniman-seniman di
Yogyakarta yang melakukan porses inovasi dengan cara memodifikasi karya- karya grafis konvensional atas dasar ekspresi personal dan kepentingan untuk
lebih memasyarakatkan seni grafis secara umum. Sebut saja diantaranya adalah seniman grafis AT. Sitompul yang pada tahun 2008 melakukan pameran tunggal
karya cukil kayu dengan visual berbentuk garis-garis geometrik dengan teknik scraperboard yang telah dimodifikasi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mikke
Susanto dalam pengantar kuratorial pameran tunggal AT. Sitompul yang berjudul “Abstrak” yang menyatakan bahwa hasil karya cukil kayu AT. Sitompul
diciptakan menggunakan teknik monoprint dimana karya grafis yang dicetak hanya satu kali dengan pencampuran berbagai macam teknis Susanto, 2008: 07.
Inovasi ini kemudian muncul kembali pada tahun 2010 yang dilakukan oleh seniman grafis yang bernama AC. Andre Tanama. AC Andre Tanama pada
pameran tunggalnya yang bertajuk “The Tales of Gwen Silent” menampilkan
berbagai jenis karya seni grafis yang telah dimodifikasi dengan penggabungan berbagai macam teknik seperti relief print, woodcut, drawing, dan painting dalam
satu karya. Jejak modifikasi karya seni grafis ini kemudian diikuti oleh seniman grafis Ariswan Adhitama yang pada tahun 2010 melakukan pameran tunggalnya
dengan menampilkan karya cukil bervisual robot yang juga menggambungkan berbagai macam teknis dalam satu karya. Hal ini selaras dengan pernyataan Fery
commit to user
Oktanio dalam pengantar kuratorial pameran tunggal Ariswan Adhitama yang berjudul
“In repair: Imaginantion of Resistance, and Idea of Superhuman” yang menyatakan bahwa karya cukil kayu yang diciptakan Ariswan Adhitama
menggunakan teknik monoprint dimana dalam teknis tersebut terjadi berbagai perpaduan antara teknik drawing, painting dan printing yang kemudian hanya di
cetak satu kali tanpa adanya proses penggandaan yang merupakan sesuatu yang tidak lazim terjadi pada karya seni grafis konvensional Oktanio, 2010: 22.
Bentuk modifikasi ini berlanjut pada pameran tunggal seniman grafis yang bernama Irwanto Lentho yang mengusung tema
“Sang Pencukil”. Irwanto Lentho dalam pameran tunggalnya juga melakukan proses modifikasi dari karya seni
grafis dengan melakukan pencampuran teknis di setiap karyanya dan hanya dicetak satu kali atau yang biasa disebut dengan istilah monoprint. Proses inovasi
personal dari karya seni grafis yang diciptakan oleh AT. Sitompul, AC. Andre Tanama, Ariswan Adhitama dan Irwanto Lentho merupakan sebuah bentuk
munculnya gejala praktik komodifikasi yang nyata terjadi di wilayah Yogyakarta. Munculnya gejala praktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta ternyata
tidak hanya terjadi dalam wilayah pameran seni rupa saja melainkan telah merambah pada wilayah komoditas benda pakai seperti kaos, tas, kalender, kartu
pos dan embelem dan hal ini juga yang kemudian menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini. Sekitar akhir tahun 1999 muncul sebuah fenomena baru dikalangan
seniman di Yogyakarta. Fenomena baru ini adalah menciptakan sebuah produk merchandisebenda pakai dari karya seni grafis konvensional. Hal ini sama seperti
yang dilakukan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Ketiga seniman tersebut melakukan proses komodifikasi dengan cara
menggandakan karya cetak tinggi dan cetak saring ke dalam bentuk media baru seperti kaos, tas, kalender dan kartu pos yang notabene memiliki nilai ekonomi.
Sangat menarik untuk dicermati bahwa gejala munculnya praktik komodifikasi seni grafis tidak hanya terjadi dilingkungan pameran seni rupa melainkan telah
merambah pada wilayah barang komoditi dalam bentuk merchandisebenda pakai yang dapat dikonsumsi secara massal oleh masyarakat umum. Hal ini
menimbulkan satu dugaan terhadap adanya upaya memodifikasi ulang karya seni grafis konvensional dengan motif ekonomi dalam bentuk praktik komodifikasi.
commit to user
Gambaran fenomena di atas merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx dan George Simnel, yang
dikutip oleh Turner 1992: 115 –132, yang mengatakan bahwa faktor dorongan
ekonomi menimbulkan semangat menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya yang berdampak pada munculnya gejala komodifikasi diberbagai sektor
kehidupan. Hal ini diperkuat oleh Ardika 2008: 3 dalam penelitiannya yang berjudul “Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Refleksi dan Harapan di Tengah
Perkembangan Global”, yang mengatakan bahwa komodifikasi tidak semata-
mata dilakukan oleh pelaku ekonomi saja, melainkan masyarakat lokal juga berpotensi untuk melakukan praktik komodifikasi karena mereka mempunyai hak
yang sama untuk mengkomodifikasikan setiap poduk yang dihasilkannya. Faktor- faktor lain yang memungkinkan mendorong terjadinya komodifikasi pada karya
cetak tinggi dan cetak saring seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf adalah dorongan akan kebutuhan hidup seperti yang dikemukakan oleh
Abraham Maslow, yang dikutip oleh Alwisol 2009: 202, yang mengatakan bahwa setiap manusia hidup memiliki kebutuhan homeostatik seperti makan dan
minum, serta kebutuhan dalam aktualisasi diri seperti kreativitas, realisasi diri dan pengembangan diri. Faktor terakhir yang mempengaruhi terjadinya proses
komodifikasi adalah pandangan seniman terhadap industri kreatif, dimana seniman memposisikan karya seni dengan standar-standar tertentu, seperti ada
karya yang diciptakan khusus sebagai idealisme dengan standar lebih tinggi dari sisi konsep, ukuran, media, harga dan fungsi, namun ada juga karya
diperuntukkan atas dasar ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan kualitas karya yang relatif lebih rendah dari sisi konsep, ukuran, media, harga dan
fungsi. Hal ini tidak terlepas adanya hubungan antara penawaran dan permintaan yang menghasilkan barang dan jasa.
Berdasarkan pandangan tersebut terlihat adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gejala praktik komodidikasi pada karya seni grafis Sri
Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Hal tersebut yang kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk perlu dilakukannya penelitian dan
proses analisa terhadap munculnya gejala praktik komodifikasi pada karya seni grafis konvensional yang dilakukan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan
commit to user
Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Guna memecahkan persoalan tersebut maka diperlukan beberapa teori pendekatan seperti; teori komodifikasi, teori psikologi
kepribadian, dan teori ekonomi mikro.
B. Identifikasi Masalah