grafis. teori ini kemudian akan dijadikan sebagai acuan untuk mengkaji apakah karya seni grafis konvensional yang telah
dikomodifikasi kehilangan nilai orisinalitasnya sesuai dengan kajian komodifikasi karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan
Muhamad Yusuf yang terjadi di Yogyakarta.
h. Sejarah Seni Grafis di Yogyakarta dan Perubahannya
Keberadaan seni grafis di Eropa muncul pertama kali di Jerman pada periode akhir abad bertengahan atau awal periode
renaissance yang ditandai dengan kehadiran karya-karya menarik dari seniman terkenal Albercht Durer. Sedangkan di Asia seni grafis sangat
terkenal di Jepang dengan istilah cetak cukil Ukiyo-e dan salah satu seniman yang terkenal pada massa itu adalah Hokusai Santo dkk,
2012: 104. Kemudian seni grafis semakin menyebar keseluruh dunia melalui proses kolonialisme bangsa Barat dan Asia hingga pada
akhirnya masuk ke wilayah nusantara. Keberadaan seni grafis bagi aktivitas masyarakat di Indonesia
merupakan sebuah praktik kesenian yang telah muncul sejak lama. Hal ini selaras dengan pernyataan Jakob Sumardjo dalam bukunya
yang berjudul “Asal-usul Seni Rupa Modern Indonesia” menyatakan
bahwa seni grafis merupakan salah satu praktik seni yang telah akrab dan dekat dengan kehidupan masyarakat di Indonesia sejak abad 18
Sumardjo, 2009:10. Masuknya seni grafis di Indonesia diiringi dengan kedatangan bangsa-bangsa kolonial pada zaman pra
kemerdekaan. Pernyataan ini diperkuat oleh Jakob Sumardjo yang menyatakan bahwa pratik seni grafis pertama kali diperkenalkan oleh
Johannes Rach seorang kebangsaan Denmark yang berkerja pada VOC pada abad 18 Sumardjo, 2009:10. Pada abad ke 19 dominasi
seni cetak semakin kuat di nusantara, hal ini ditujukan dengan banyaknya seniman yang melakukan kerja sampingan mencetak untuk
keperluan kaum antropolog, botani, arkeologi dan etnografi Sumardjo, 2009: 39.
commit to user
Berakhirnya penjajahan kolonialisme Belanda yang berganti dengan datangnya bangsa Jepang pada tahun 1942 membawa sejarah
tersendiri terhadap perkembangan seni grafis di Indonesia Sumardjo, 2009:73. Bangsa Jepang menjajah Indonesia dengan semangat anti
barat yang kemudian membina para seniman Indonesia untuk melawan blok Barat. Bangsa Jepang memang terdidik khusus di
bidang seni propaganda di negeri Barat sebelum terjadinya perang dunia kedua, dan tokoh mereka adalah Kolonel Machida, Mayor
Adachi dan Kolonel Takahasi Sumardjo, 2009:74. Bangsa Jepang pada waktu itu membentuk Keimin Bunka Shodosho Pusat
Kebudayaan dan Poesat Tenaga Rakjat POETERA sebagai organisasi seni rupa Indonesia Sumardjo, 2009:74. Tidak hanya itu
saja bangsa Jepang membagi lagi bagian propaganda seni kedalam “bahagian lukisan dan ukiran” yang di pimpin oleh T. Khono yang
didampingi seniman Indonesia Agus Djaja. Seniman grafis Jepang yang terlibat dalam Pusat Kebudayaan ini adalah Saseo Ono, dan
Khono yang merupakan seorang ahli desain poster. Pada zaman pendudukan Jepang para seniman Indonesia bersatu menjadi satu dan
sebagai tonggak lahirnya seni rupa modern Indonesia Sumardjo, 2009:47. Peran bangsa Jepang dalam pergerakan seni rupa di
nusantara kemudian berakhir akibat kekalahannya dengan bangsa Sekutu dan sekaligus menjadi tonggak awal munculnya semangat
kemerdekaan di Indonesia. Sejarah menunjukan bahwa fungsi awal seni grafis merupakan
sebuah alat propaganda politik untuk kemerdekaan Indonesia pada tahun 1940-1950. Propaganda berbasis pemanfaatan seni grafis ini
dipelopori oleh Affandi, Abdul Salam, Suromo, Baharuddin Marasutan dan Mochtar Apin Santo dkk, 2012: 107. Para pelopor
kemerdekaan tersebut menciptakan berbagai macam bentuk poster- poster perjuangan yang disebarkan keseluruh nusantara sebagai
sebuah media komunikasi atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Keberadaan seni grafis kemudian mengalami fase-fase perubahan
commit to user
yang ditandai dengan lahirnya beberapa institusi pendidikan di Inodensia. Tahap selanjutnya mencatat bahwa kemunculan institusi
seni di Indonesia seperti ITB Institut Teknologi Bandung dan ISI Institut Seni Indonesia di Yogyakarta membuat kedudukan seni
grafis di Indonesia semakin jelas. Kemudian keberadaan seni grafis semakin terus berkembang dan berubah di beberapa kota di Indonesia
sesuai dengan karakteristik daerahnya. Yogyakarta sebagai salah satu barometer kesenian di Inonesia
mampu menghadirkan tokoh, peristiwa, semangat, pemikiran, teknik, gaya serta nilai-nilai penting bagi kesenian di Indonesia. Hal ini
terjadi karena dilatarbelakangi persoalan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ideologi yang berkembang di Yogyakarta dan salah satu
bagian kesenian yang lahir dari kota ini adalah seni grafis. Tokoh- tokoh seniman yang mencetuskan dan membangun pencitraan seni
grafis Yogyakarta awal adalah seniman seperti Affandi, Suromo, dan Abdul Salam. Pencitraan seni grafis yang dilakukan ketiga seniman ini
merupakan sebuah
bentuk awal munculnya gejala praktik
komodifikasi seni grafis di Yogyakarta. Bentuk komodifikasi ini ditunjukan dengan perubahan fungsi seni grafis yang awalnya sebagai
alat propaganda politik menjadi sebuah media ekspresi diri dengan pertimbangan keindahan.
Membicarakan keberadaan seni grafis di Kota Yogyakarta, tentunya tidak terlepas dari berdirinya Akademi Seni Rupa Indonesia
ASRI Yogyakarta pada tahun 1950. Salah satu jurusan yang menjadi cikal bakal lahirya pendidikan seni grafis adalah jurusan REDIG yang
merupakan sebuah singakatan dari Reklame, Dekorasi dan Ilustrasi Grafik Adityawan S, 2010: 213. Kemudian pada tahun 1968
Akademi Seni rupa Indonesia ASRI berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia STSRI dan REDIG dipecah menjadi
Jurusan Seni Reklame, Jurusan Seni Dekorasi serta Jurusan Seni Grafis. Pada akhir perjalanannya nama STSRI kembali berubah
menjadi Institut Seni Indonesia ISI Yogyakarta pada tahun 1984 perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
yang sekaligus mengubah Jurusan Seni Grafis menjadi sebuah program studi seni grafis Adityawan S, 2010: 213. Berdirinya ISI
Yogyakarta juga telah banyak melahirkan seniman-seniman grafis yang memiliki kemampuan teknis dan tematik yang mumpuni di
eranya masing-masing seperti Y. Eka Suprihadi dengan cetak saringnya, Sun Ardi SU dengan cetak saringnya, Herry Wibowo
dengan cetak tingginya, Edi Sunaryo dengan cetak tingginya, Agung Kurniawan dengan cetak dalamnya, dan Yam Yuli Dwi Imam dengan
cetak tingginya. Para alumnus ISI yang memiliki kemampuan teknis dan tematik yang mumpuni ini pada akhirnya memberikan ciri khas
tersendiri bagi keberadaan seni grafis di Yogyakarta yang lebih dinamis dan terus mengalami perubahan-perubahan yang lebih kreatif.
Kehadiran akademisi seni di Yogyakarta sangat banyak mempengaruhi perkembangan seni grafis di kota tersebut. Peran
penting ini sejalan dengan pandangan Sanento Yuliman dalam bukunya yang berjudul
“Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman” yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi mempunyai
dampak penting terhadap kesadaran di kalangan perupa. Hal ini terlihat dengan semakin banyak dan mendalam informasi tentang seni
rupa internasional, terutama Barat pada dunia akademisi. Bersamaan dengan itu, para perupa terdidik juga peka terhadap isu dan diskusi di
kalangan intelektual tentang masalah dunia dan negeri berkembang, misalnya masalah lingkungan termasuk lingkungan sosial dan budaya.
Pendidikan seni rupa itu juga mendorong kesadaran yang lebih tajam tentang kerja seni tentang bahan, proses, unsur-unsur bentuk dan
pengubahannya dan dari situ mendorong sikap menjelajah atau sikap eksperimental, dan sikap kritis Yuliman, 2001:59. Hal inilah yang
memicu berbagai kecenderungan baru dalam dunia seni rupa khususnya seni grafis yang lekat dengan persoalan kreativitas dan
menjadi pendorong bagi perupa atau seniman untuk selalu ingin menciptakan
karya-karya baru
dengan sikap
menjelajah, perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
eksperimental dan kritis yang dipengaruhi berbagai pemikiran, kebutuhan ekonomi maupun perkembangan teknologi baru.
Kecendrungan-kecendrungan perubahan baru ini ditandai dengan munculnya gejala praktik komodifikasi karya seni grafis yang
terjadi di Yogyakarta. Seperti yang dilakukan oleh seniman AT. Sitompul, AC. Andre Tanama, Ariswan Adhitama dan Irwanto Lentho
dengan karya-karya grafis monoprint. Karya-karya grafis yang pada awalnya dicetak dengan jumlah banyak menjadi karya-karya tunggal
dengan penggambungkan beberapa teknis dalam satu karya. Teknik grafis kemudian dikolaborasikan dengan beberapa teknik seperti
drawing dan painting serta hanya dicetak ke dalam satu karya tunggal dengan media cetak sebuah kanvas dan penyajian layaknya sebuah
karya seni lukis. Kemunculan gejala praktik komodifikasi pada karya seni grafis
tidak hanya berhenti disini saja melainkan muncul sebuah fenomena baru dari karya-karya grafis konvensional. Karya-karya seni grafis
konvensional dimodifikasi menjadi sebuah produk-produk benda pakai yang memiliki nilai ekonomi dan di cetak secara masif dengan
berbagai jenis produk. Hal ini sejalan dengan pandangan Turner 1992: 115-132 yang menyatakan bahwa komodifikasi muncul
karena adanya proses produksi massal dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sesuai dengan prinsip dasar
ekonomi dalam konteks masyarakat industri. Pelaku komodifikasi melihat adanya peluang dan memanfaatkan peluang tersebut dengan
memproduksi suatu barang dalam jumlah besar dan dikonsumsi oleh para konsumen secara massal. Perubahan-perubahan seni grafis di
Yogyakarta menuju ke arah seni massal diiringi dengan munculnya beberapa komunitas seni seperti Lembaga Kerakyatan Taring Padi,
SURVIVEgarage, dan ORABER. Kehadiran kantung-kantung komunitas ini membawa ekperimen seni baru, dimana sebuah karya
grafis konvensional dimodifikasi untuk dijadikan sebagai produk benda pakai yang dicetak secara masif untuk kepentingan ekonomi
commit to user
pribadi maupun komunitas. Hal ini didukung oleh industri pariwisata yang mendorong hadirnya para turis-turis domestik maupun
internasional untuk datang ke Yogyakarta. Kehadiran para turis-turis di Yogyakarta memiliki beragam motivasi dari hanya sekedar jalan-
jalan biasa, riset penelitian kota, hingga berburu benda-benda seni yang unik dan kreatif di lingkungan pusat penjualan ataupun
“blusukan” ke kantung-kantung komunitas seni di kota tersebut. Keberadaan Kota Yogyakarta yang sangat dinamis membuka peluang-
peluang baru bagi para seniman untuk berfikir kreatif mencari pasar baru segmentasi pasar bagi karya-karya mereka. Hal-hal tersebut
telah membawa perubahan pada karya grafis konvensional di kota Yogyakarta menuju sebuah produk benda pakai yang dicetak secara
masif. Proses perubahan seni grafis konvensional ini dapat dilihat
dalam studi kasus dugaan praktik komodifikasi seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Ketiga seniman
tersebut merupakan pendiri dan pelaku dari komunitas ORABER, SURVIVEgarage, dan Lembaga Kerakyatan Taring Padi. Ketiga
komunitas tersebut memproduksi sebuah merchandise dari karya- karya grafis konvensional yang telah diciptakan senimannya. Sejarah
dan bentuk-bentuk perubahan seni grafis di Yogyakarta dirasakan sangat penting untuk dijadikan landasan teori dalam penelitian
komodifikasi ini. Hal ini digunakan untuk melihat posisi dan kedudukan seni grafis dari aspek sejarah dan perubahannya hingga
saat ini.
2. Fenomenologi dan Analisis Hermeneutik