pribadi maupun komunitas. Hal ini didukung oleh industri pariwisata yang mendorong hadirnya para turis-turis domestik maupun
internasional untuk datang ke Yogyakarta. Kehadiran para turis-turis di Yogyakarta memiliki beragam motivasi dari hanya sekedar jalan-
jalan biasa, riset penelitian kota, hingga berburu benda-benda seni yang unik dan kreatif di lingkungan pusat penjualan ataupun
“blusukan” ke kantung-kantung komunitas seni di kota tersebut. Keberadaan Kota Yogyakarta yang sangat dinamis membuka peluang-
peluang baru bagi para seniman untuk berfikir kreatif mencari pasar baru segmentasi pasar bagi karya-karya mereka. Hal-hal tersebut
telah membawa perubahan pada karya grafis konvensional di kota Yogyakarta menuju sebuah produk benda pakai yang dicetak secara
masif. Proses perubahan seni grafis konvensional ini dapat dilihat
dalam studi kasus dugaan praktik komodifikasi seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Ketiga seniman
tersebut merupakan pendiri dan pelaku dari komunitas ORABER, SURVIVEgarage, dan Lembaga Kerakyatan Taring Padi. Ketiga
komunitas tersebut memproduksi sebuah merchandise dari karya- karya grafis konvensional yang telah diciptakan senimannya. Sejarah
dan bentuk-bentuk perubahan seni grafis di Yogyakarta dirasakan sangat penting untuk dijadikan landasan teori dalam penelitian
komodifikasi ini. Hal ini digunakan untuk melihat posisi dan kedudukan seni grafis dari aspek sejarah dan perubahannya hingga
saat ini.
2. Fenomenologi dan Analisis Hermeneutik
a. Defenisi Fenomenologi
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl 1859-1938. Salah satu arus pemikiran yang paling
berpengaruh pada abad ke-20. Ia memulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat. Husserl membedakan
commit to user
antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia tempat kita hidup. Selanjutnya ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian
terhadap dunia di mana kita hidup. Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari phainesthai phainomai phainein
yang artinya menampakkan, memperlihatkan Dagun, 1990: 37. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala yang diartikan
sebagai suatu hal yang tidak nyata atau semu, kebalikan kenyataan, serta dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati
melalui panca indera. Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan logos tentang apa yang tampak phainomenon. Jadi, fenomenologi
itu mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau yang disebut sebagai fenomena Bertens, 1981: 100.
Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai sebuah aliran dalam filsafat sekaligus sebagai metode berpikir yang mempelajari fenomena
manusiawi tanpa harus mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut, realitas objektif dan penampakannya. Konsep fenomenologi
dalam pemikiran Edmund Husserl itu berpusat pada persoalan tentang kebenaran. Baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi
juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi kita memperoleh langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni Bertens,
1981: 43. Fenomenologi digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar filosofis untuk melihat fenomena baru tentang praktik komodifikasi
yang terjadi di Yogyakarta.
b. Defenisi Hermeneutik
Metode merupakan pondasi dan dasar penalaran bagi manusia. Setiap manusia berfikir selalu menggunakan sebuah metode walaupun
dengan tingkatan kadar yang berbeda-beda. Salah satunya adalah metode hermeneutik, yaitu metode yang ditawarkan oleh beberapa
ilmuan, untuk mencari kebenaran melalui penafsiran simbol berupa teks atau benda konkret guna mencari arti dan maknanya.
commit to user
Hermeneutik secara umum dapat didefinisikan sebagai sebuah teori atau filsafat tentang sebuah interpretasi makna. Kata hermeneutik
berasal dari kata kerja hermeneuein dalam istilah Yunani yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia yang beratri “interpretasi”
Palmer, 2005: 14. Dengan demikian hermeneutik merupakan seni menginterpretasikan the art of interpretation. Hermeneutik berfungsi
sebagai pelengkap teori pembuktian validitas universal yang mampu menuju pada pusat suatu karya seni, dan dapat melihat hal-hal yang
tidak disadari oleh seniman Rizali, 2014: 235. Dalam kaitanya dengan praktik komodifikasi seni grafis di
Yogyakarta, diperlukan pemahaman dan interpretasi yang bertujuan untuk memahami makna kemunculan fenomena komodifikasi. Hal ini
dikarenakan komodifikasi merupakan sebuah proses yang memiliki keterkaitan antar makna, sedangkan manusia membentuk, melakukan
dan terperangkap dalam makna tersebut.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian komodifikasi seni grafis di Yogyakarta sangat penting dilakukan untuk mengungkapkan proses terjadinya produksi massal pada karya
cukil kayu dan cetak saring yang mengarah pada sistem ekonomi kreatif. Penelitian yang relevan dengan komodifikasi dalam sebuah produk seni juga telah
dilakukan oleh para peneliti sebelumnya sesuai dengan fokus kajian masing- masing. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh David Lanagan 2002,
Andy Adcroft dan Robert Willis 2004, Samuel Slater 2005, William Anderson 2006, Kasiyan 2007, Agata Maccarrone-Eaglen 2009, Sumantri Raharjo
2011, Dal Yong Jin dan Soochul Kim 2011, Ni Made Rai Sukmawati 2012, Oki Rahadianto Sutopo 2012, Andhika Dwi Yulianto 2013 dan Davide Ponzini
2014. Pertama, penelitian yang berjudul
“Surfing in the Third Millennium: Commodifying the Visual Argot
”, oleh David Lanagan 2002: 293-291. David Lanagan dalam penelitian ini membahas tentang komodifikasi bahasa visual
olahraga berselancar di Australia. Praktik berselancar di Australia pada mulanya perpustakaan.uns.ac.id
commit to user