Proses Terjadinya Komodifikasi Karya Pada Seni Grafis Sri

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa latar belakang terjadinya komodifikasi pada karya seni grafis Muhamad Yusuf dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah adanya potensi ekonomi dari karya seni grafis, keistimewaan karya seni grafis yang dapat dilipatgandankan, memperluas jangkauan publik terhadap karya yang diciptakan, adanya dorongan untuk menyampaikan pesan idealisme seluas mungkin kepada masyarakat, dapat menyalurkan hobi berkarya, serta ingin mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari masyarakat sebagai seorang seniman. Adanya pernyataan Muhamad Yusuf yang menjelaskan bahwa dengan menciptakan sebuah produk yang dapat berguna bagi masyarakat akan membantu mengenalkan diri dan karakter karyanya secara lebih luas dan masif, hal ini yang kemudian mendorongnya untuk melakukan proses komodifikasi pada tahun yang sama ketika karya grafis konvensionalnya diciptakan.

3. Proses Terjadinya Komodifikasi Seni Grafis di Yogyakarta

Terdapat sebuah proses yang panjang dalam praktik komodifikasi seni grafis yang terjadi di Yogyakarta. Proses panjang ini dapat diamati dan dianalisa berdasarkan modifikasi yang dilakukan oleh seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf terhadap karya-karya grafis konvensional mereka.

a. Proses Terjadinya Komodifikasi Karya Pada Seni Grafis Sri

Maryanto Titik awal munculnya ide utntuk mengkomodifikasikan karya seni grafis Sri Maryanto adalah ketika Ia mendirikan sebuah usaha yang bernama ORABER Total Produk Grafis. Hal ini terlihat dari sejarah nama “ORBER Total Produk Grafis” dan proses awal munculnya ide untuk mengkomodifikasikan karya-karya grafis konvensionalnya yang tertulis dalam situs online resmi milik Sri commit to user Maryanto yang beralamatkan di http:oraber.blogspot.com di akses pada 8112014 yang isinya menjelaskan sebagai berikut. “Akhir tahun 2003, masih kuliah di Institut Seni Indonesia ISI Yogyakarta, semester V, keluar ide untuk membuat merchandise dari karya seni murni ”. “Sambil menyelam minum air, selain menghasilkan dapat pula berpameran setiap saat, tanpa ruang pamer yang konvensional ”. “Untuk itu, aku perlu nama merek produk ”. “Ternyata sulit cari istilah yang pas, karena buntu ”. “Akhirnya keluar ucapan ora bermerek” saja ’dalam bahasa Indonesia: tidak bermerek. “Eureka ketika suku kata terakhir dihapus, muncul kata oraber...aha.. ”. “Sebuah kata baru yang terasa akrab di telinga ”. “Kata oraber ternyata cocok juga dengan sikapku pribadi tentang persoalam label dan sekitarnya ”. “Kemudian tambahan kalimat total produk grafis, sebagai penjelasan wilayah eksplorasi produk akhir, karena teknik grafis adalah mengg andakan karya namun tetap asli”. Berdasakan pernyataan tersebut memperlihatkan keseriusan Sri Maryanto dalam melakukan proses komodifikasinya, hal ini ditunjukan dengan menciptakan sebuah brand ORABER Total Produk Grafis untuk setiap produk yang diciptakannya. Sri Maryanto dalam proses komodifikasi karya grafisnya banyak menggunakan teknik cetak tinggi dan cetak saring, hal ini dilakukan karena beberapa alasan wawancara pada 8112014 sebagai berikut. “Karena pertimbangan kepraktisan saja”...“pada awalnya saya cetak langsung hardboard di atas kaos”, “tapi karena kualitas tinta cetak yang gampang pudar di atas kaos, lalu desain cukil kayu dipindah ke sablon”. “Belakangan...karakter “cukil” yang lebih kuat pada produk- produk saya”, “Mungkin? karena lebih tampak kesan manualnya” Tidak hanya persoalan teknis saja, namun dalam menjaga minat konsumen serta keberlangsungan proses produksinya Sri Maryanto pun telah melalukan beberapa strategi ekonomi wawancara pada 8122014 yang dijelaskan sebagai berikut. “Harga produk yang dipasarkan sama dengan benda yang ada di pasaran, terkadang agak lebih mahal sedikit karena produk yang dibuat terbatas limited edition ”. “Prinsip ekonomi perpustakaan.uns.ac.id commit to user seperti jumlah modal dan tenaga juga menjadi faktor harga jual, agar bisa produksi lagi” Beberapa jenis produk pakai merchandise dari hasil komodifikasi karya seni grafis konvenisonal Sri Maryanto meliputi kaos, tas dan kalender. Wujud dan bentuk dari karya grafis Sri Maryanto sebelum dan sesudah proses komodifikasi tersebut dapat diamati dan di analisa secara visual sebagai berikut. Karya Sri Maryanto lihat gambar 4 dan 5 tersebut merupakan sebuah karya grafis dengan teknik cetak tinggi, di dalam prosesnya master plat karya tersebut dicukil sampai habis secara bertahap untuk memunculkan gradasi warna pada setiap hasil cetakannya. Setelah dicukil, master plat tersebut kemudian dibubuhi oleh tinta cetak dengan menggunakan rol karet dan pada akhirnya dicetaktransfer pada media kertas. Secara fisik kedua karya tersebut memiliki dimensi ukuran sebesar 30 cm x 20 cm dan kedua karya tersebut diciptakan Sri Maryanto pada tahun 2008. Gambar 4. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “KissBoy” dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Sri Maryanto yang Dicetak Langung pada Kaos dengan Teknik Cetak Tinggi , Tahun Pembuatan 2008 Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2008 Karya yang berjudul “Kissboy” menggambarkan seorang anak laki-laki mengenakan kaos bergaris-garis horisontal yang sedang tersenyum diantara rerumputan dengan unsur warna biru yang sangat commit to user dominan. Pada mata kanan laki-laki tersebut terlihat seperti tatto berbentuk biomorfik berwarna biru tua dengan sudut yang runcing. Sedangkan pada karya yang berjudul “Malaikat Maut” lihat gambar 5 tergambar sebuah kepala yang pada bagian atasnya terlihat sesosok seperti manusia dengan jubah berwarna hitam dan pada background karya tersebut terdapat tulisan ORABER berwarna hijau. Gambar 5. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “Malaikat Maut” dan Sisi Kanan Produk Kaos dari Sri Maryanto yang Dicetak Langung pada Kaos dengan Teknik Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2008 Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2008 Sosok kepala tersebut dikalungi dengan berbagai bunga pada bagian lehernya dan dengan bentuk bintang pada bola mata. Warna merah dan hitam menjadi sangat dominan pada karya “Malaikat Maut” tersebut. Komposisi yang digunakan pada karya “Kissboy” dan “Malaikat Maut” adalah tertutup atau memusat pada bagian tengah dan terlihat sebuah tekstur semu dari kedua karya tersebut yang muncul akibat adanya efek dari cukilan-cukilan yang membentuk sebuah garis lengkung, zig-zag dan lurus. Kesan dimensi ruang sangat terlihat pada karya tersebut sehingga visual yang ditampilkan terkesan hidup dan dinamis. Jika diamati secara lebih detail pada karya “Kissboy” terlihat sosok laki-laki yang misterius dengan senyumnya dan sorot matanya yang penuh ancaman. Kedinginan dan ketenangan figur laki-laki tersebut didukung oleh penggunaan warna biru yang secara qualisign commit to user merupakan tanda ketenangan, kedalaman dan sesuatu yang dingin. Garis-garis lurus dan tajam pada rumput memberikan intepretasi sebuah ketegasan dan sifat yang kaku. Secara konsep visual Sri Maryanto telah berhasil memberikan kesan dingin dan kaku dari sosok laki-laki dalam karyanya. Hal ini diperkuat dengan pengolahan warna, komposisi, dimensi ruang dan teknis penggarapan yang sempurna. Sedangkan pada karya “Malaikat Maut” dominasi warna hitam pada latar belakang karya dan jubah yang digunakan figur yang berdiri diatas kepala secara qualisign memberikan tanda kesedihan, kesuraman, kematian, kekejaman dan teror. Hal ini memperkuat judul yang diangkat dalam karya sebagai malakat pencabut maut. Sri Maryanto dalam hal ini telah berhasil memunculkan kesan-kesan mencekam dalam karyannya. Proses penciptaan pada karya ini lihat Gambar 3 dan 4 dilakukan secara bersamaan dengan proses komodifikasi dari karya grafis Sri Maryanto yang kemudian ditransformasi kedalam bentuk sebuah kaos dengan visual, ukuran dan teknik yang sama dari kedua karya konvensional tersebut. Dalam prosesnya master plat yang telah dicukil dan dibubuhi tinta cetak ternyata tidak hanya ditransfer pada media kertas melainkan dilakukan juga pada media kaos. Proses ini harus dilakukan secara bersamaan karena teknik cukil yang dilakukan oleh Sri Maryanto adalah dengan sistem pewarnaan reduksicukil habis. Sistem reduksicukil habis merupakan proses pewarnaan dalam teknik cukil kayu yang dapat menghasilkan banyak warna atau gradasi warna dalam satu karya, dimana dalam prosesnya master plat kayuhardboard yang telah dibuat rancangan gambarnya dicukil habis dan dibubuhi tinta cetak secara bertahap sesuai dengan rancangan warna yang akan dimunculkan, kemudian ditransferdicetak pada media cetak seperti kertas maupun kaos dan proses ini dilakukan secara terus menerus higga karya tersebut menghasilkan warna secara gradasi atau telah dianggap selesai oleh senimannya. Sistem reduksi ini mengakibatkan rusaknya master plat perpustakaan.uns.ac.id commit to user kayu sehingga dalam proses pembuatan karya grafis konvensional dan produknya dilakukan secara bersamaan oleh Sri Marnyanto. Gambar 6. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “Tan Malaka” dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos Sri Maryanto, Dicetak Pada Kaos dengan Teknik Cetak Saring, Tahun Pembuatan 2008 Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2008 Karya berikutnya lihat Gambar 6 dan 7 adalah sebuah karya grafis konvensional dengan teknik cetak tinggi yang memvisualkan tokoh-tokoh pahlawan bangsa Indonesia seperti Tan Malaka dan Tirto Suryo Adi. Kedua karya tersebut memiliki dimensi ukuran 100cm x 80cm yang dicetak pada media kertas pada tahun 2008. Warna yang dominan dalam karya tersebut adalah hitam, putih dan merah. Pada gambar 5 terihat sosok potret wajah pejuang Tan Malaka dengan unsur garis putih yang dihasilkan oleh efek cukilan dengan latar belakang karya berwarna hitam. Dibagian belakang potret Tan Malaka terlihat tulisan “Tan Malaka” dan keterangan Tahun “1897-1999” berwarna merah yang sekaligus mengontraskan objek utama yang berwarna putih. Karater wajah dibentuk melalui penumpukan- penumpukan unsur garis lurus, melengkung, dan zig-zag. Format komoposisi yang digunakan adalah tertutup dan rata tengah dengan bentuk wajah yang sedikit condong kearah kiri. Gelap terang pada karya ini sangat terlihat sehingga menghasilkan kesan dimensi dan hidup pada sosok Tan Malaka. Secara semiotika, warna merah dan hitam pada latar belakang portret wajah Tan Malaka bukan saja commit to user sebagai unsur kontras untuk membedakan objek utama dengan latar belakangnya, tetapi juga merupakan qualisign yang menandakan kedalaman bidang. Warna hitam pada latar belakang secara qualisign menyiratkan kekokohan, keagungan, keabadian, dan kebijaksaan. Sedangkan warna putih pada potret wajah Tan Malaka menandakan kejujuran, kesucian, kemurnian, ketulusan, kehormatan dan kedamaian. Secara keseluruhan karya Sri Maryanto telah berhasil menyampaikan pesan perjuangan dal diri Tan Malaka yang penuh kejujuran, ketegasan dan kedamaian. Gambar 7. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi B erjudul “Tirto Suryo Adi” dan Sisi Kanan Hasil Produk Tas Sri Maryanto, Dicetak pada Tas dengan Teknik Cetak Saring, Tahun Pembuatan 2008 Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2008 Sedangkan pada gambar 7 terlihat sesosok pahlawan Tirto Suryo Ad i yang mengenakan “belangkon” pada kepalanya. Dari aspek warna karya ini memiliki persamaan pada karya “Tan Malaka” dimana latar belakang karya ini berwarna hitam, merah dan putih pada sosok Tirto Suryo Adi. Pada bagian belakang sosok Tirto Suryo Adi terli hat sebuah tulisan “Tirto Suryo Adi dan keterangan tahun 1880” yang diberi warna merah. unsur garis lengkung sangat dominan pada potret wajah Tirto Suryo Adi. Gelap terang pada bagian wajah sangat terlihat sehingga memberikan kesan berdimensi ruang dan hidup. Secara keseluruhan karya ini juga telah berhasil memberikan kesan commit to user keagungan dan kesucian pada sosok Tirto Suryo Adi yang merupakan seorang pahlawan bangsa. Kedua karya ini kemudian dicetak ulang dalam bentuk produk kaos dan tas, namun dalam proses komodifikasinya sedikit berbeda dengan produk sebelumnya. Ia melakukan proses pengolahan kembali pada karya grafis konvensionalnya untuk menyesuaikan proses cetak yang tepat pada bidang media kaos dan tas. Proses pengolah ulang ini dilakukan secara digital untuk menciptakan master film yang nantinya akan digunakan dalam proses cetak saring. Proses pengolahan tersebut tidak hanya berhenti pada pembuatan master film untuk cetak saring, namun sebelum itu telah dilakukan terlebih dahulu penyesuaian ukuran visual dengan luas bidang produk pakai yang akan dicetak secara masif. Teknis cetak yang dilakukan oleh Sri Maryanto dalam produk ini lihat gambar 6 dan 7 adalah dengan menggunakan teknik cetak saring karena dianggap paling efektif dan efisien dalam proses pengaplikasiannya pada media kaos dan tas. Sedangkan pada produk kalender lihat gambar 8 yang dibuat, master plat telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ukuran media cetak yang akan diproduksi. Dalam hal ini master plat cukil yang telah dicukil langsung dicetak pada media kertas tanpa proses pengolahan ulang. Gambar 8. Sisi Kiri Proses Produksi Kalender dan Sisi Kanan Hasil Produk Kalender dari Sri Maryanto yang Dicetak Langsung Pada Kertas dengan Teknik Cetak Tinggi dan Dibuat pada Tahun 2010 Sumber: Dokumentasi Sri Maryanto, 2010 commit to user Produk ini lihat gambar 8 memiliki perbedaan dibandingkan dengan produk-produk lainnya yang telah diciptakan oleh Sri Maryanto sebelumnya, sebab master plat yang diciptakan telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan keperluan cetak produk kalender. Visual yang ditampilakan pada karya ini adalah sesok wajah yang menggunakan topeng berwarna hitam dengan senyum lebar. Pada karya ini telihat tulisan tahun “2011” berwarna hitam dan tulisan “Calendar” berwarna coklat yang menandakan bahwa karya ini diciptakan untuk produk kalender pada tahun 2011. Secara keseluruhan karya ini memiliki kualitas garis, warna dan teknik cetak yang baik sehingga memberikan kemudahan bagi pembaca untuk melihat konten tanggal pada produk kalener ini.

b. Proses Terjadinya Komodifikasi Karya Seni Grafis Bayu Widodo