Hermeneutik secara umum dapat didefinisikan sebagai sebuah teori atau filsafat tentang sebuah interpretasi makna. Kata hermeneutik
berasal dari kata kerja hermeneuein dalam istilah Yunani yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia yang beratri “interpretasi”
Palmer, 2005: 14. Dengan demikian hermeneutik merupakan seni menginterpretasikan the art of interpretation. Hermeneutik berfungsi
sebagai pelengkap teori pembuktian validitas universal yang mampu menuju pada pusat suatu karya seni, dan dapat melihat hal-hal yang
tidak disadari oleh seniman Rizali, 2014: 235. Dalam kaitanya dengan praktik komodifikasi seni grafis di
Yogyakarta, diperlukan pemahaman dan interpretasi yang bertujuan untuk memahami makna kemunculan fenomena komodifikasi. Hal ini
dikarenakan komodifikasi merupakan sebuah proses yang memiliki keterkaitan antar makna, sedangkan manusia membentuk, melakukan
dan terperangkap dalam makna tersebut.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian komodifikasi seni grafis di Yogyakarta sangat penting dilakukan untuk mengungkapkan proses terjadinya produksi massal pada karya
cukil kayu dan cetak saring yang mengarah pada sistem ekonomi kreatif. Penelitian yang relevan dengan komodifikasi dalam sebuah produk seni juga telah
dilakukan oleh para peneliti sebelumnya sesuai dengan fokus kajian masing- masing. Penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh David Lanagan 2002,
Andy Adcroft dan Robert Willis 2004, Samuel Slater 2005, William Anderson 2006, Kasiyan 2007, Agata Maccarrone-Eaglen 2009, Sumantri Raharjo
2011, Dal Yong Jin dan Soochul Kim 2011, Ni Made Rai Sukmawati 2012, Oki Rahadianto Sutopo 2012, Andhika Dwi Yulianto 2013 dan Davide Ponzini
2014. Pertama, penelitian yang berjudul
“Surfing in the Third Millennium: Commodifying the Visual Argot
”, oleh David Lanagan 2002: 293-291. David Lanagan dalam penelitian ini membahas tentang komodifikasi bahasa visual
olahraga berselancar di Australia. Praktik berselancar di Australia pada mulanya perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
sangat bertentangan dengan adat istiadat setempat, karena adanya pemahaman masyarakat yang buruk terhadap para peselancar akibat adanya pengaruh
informasi media setempat. Peselancar diidentikan dengan sesorang yang buruk, berambut panjang, pecandu narkoba dan pengangguran. Namun, dalam beberapa
tahun terakhir terjadi peningkatan popularitas berselancar dan kegiatan berselancar. Peningkatan ini sebagian besar dipengaruhi adanya promosi
berselancar dalam bentuk sebuah gambar yang ditampilkan ke masyarakat untuk kepentingan sebuah bisnis dan pada akhirnya dapat berkembang pesat sebagai
sebuah komoditas yang menguntungkan. Hasil penelitian ini menujukan telah terjadi proses komodifikasi dalam olahraga berselancar di Australia. Munculnya
proses komodifikasi ini berdampak terjadinya pergeseran nilai dalam berselancar dari wilayah pantai ke dalam konteks yang sangat berbeda dan praktik
komodifikasi atas kepentingan bisnis telah mengalihkan persepsi simbolis olahraga berselancar menjadi sebuah komoditas bisnis berselancar. Komodifikasi
dalam penelitian ini digunakan sebagai sebuah pencitraan kembali olahraga berselancar menjadi sebuah komoditas bisnis yang menguntungkan.
Kedua, penelitian yang berjudul “Commodification or Transformation
Measuring Performance in the Public Sector ”, oleh Andy Adcroft dan Robert
Willis 2004: 244-252. Andy Adcroft dan Robert Willis dalam penelitian ini membahas tentang apakah reformasi manajerial dalam sektor pelayanan publik
yang terjadi di Inggris termasuk kedalam bentuk komodifikasi atau transformasi kinerja. Reformasi manajerial yang terjadi dalam fokus sektor pelayanan publik
Inggris dengan sistem pengukuran kinerja bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas, nilai uang dan penggunaan sumber daya yang terbatas. Berdasarkan
proses pemeriksaan di National Health Service dan Perguruan Tinggi, hasil penelitian ini menunjukan bahwa reformasi manajerial merupakan bentuk
komodifikasi dari sebuah kinerja sektor pelayanan publik dan hal ini bukan merupakan suatu proses transformasi kinerja. Komodifikasi dalam penelitian ini
merupakan sebuah bentuk reformasi sistem atau pembaharuan manajerial untuk meningkatkan nilai kinerja pada sektor pelayanan publik.
Ketiga, penelitian Samuel Salter 2005:1-71 yang berjudul “THE
COMMODIFICATION OF VIOLENCE ON THE INTERNET: An analysis of 166 perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
websites containing commodified violence ”. Samuel Salter dalam penelitian ini
membahas tentang komodifikasi video kekerasan di media internet. Komodifikasi video kekerasan di situs internet telah terjadi cukup lama hingga muncul sebuah
pemahaman bahwa kekerasan di dunia internet adalah sebuah komoditas yang sangat populer, menghibur dan menguntungkan bagi pemilik situs. Komodifikasi
video kekerasan ini dianalisa berdasarkan 166 situs internet yang mengandung unsur kekerasan. Berdasarkan hasil analisa dari 166 situs kekerasan internet
ditemukan adanya kecendrungan potensi situs bermasalah dan belum adanya sistem pengaturan pendirian situs yang jelas. Hal ini terjadi karena adanya sifat
dasar akses internet yang tidak terbatas dan kesulitan dalam menentukan dampak kekerasan video di situs internet yang berpengaruh bagi masyarakat secara
langsung. Komodifikasi dalam penelitian ini dipahami sebagai sebuah pengalihan sudut pandang terhadap video kekerasan di internet sebagai sebuah komoditas
yang sangat populer, menghibur dan menguntungkan secara ekonomi. Keempat, penelitian yang berjudul
“Commodifying Culture: Ownership of Cambodia’s Archaeological Heritage”,oleh William Anderson 2006: 103-112.
William Anderson dalam penelitian ini membahas tentang komodifikasi yang terjadi pada benda warisan arkeologi dari negara Kamboja. Komodikasi warisan
arkeologi Kamboja ini terjadi akibat adanya perpindahan kepemilikian secara pribadi dari beberapa benda arkeologi yang disebabkan adanya penjarahan situs
sejarah. Perpindahan kepemilikan ini kemudian yang menjadikan benda-benda sejarah ini dikomodifikasi secara fisik dan konseptual untuk kepentingan
penjualan pasar barang antik. Hal ini ditunjukan dengan munculnya khmer benda arkeologi Kamboja yang menjadi sebuah barang antik dan telah mengalami
perubahan persepsi dan pemahaman benda tersebut dari masa lalunya. Komodifikasi dalam penelitian ini dilihat sebagai sebuah proses perubahan nilai
yang terjadi dari benda arkeologi bersejarah menjadi sebuah barang antik bernilai ekonomi.
Kelima, penelitian yang berjudul “Komodifikasi Seks dan Pornografi
dalam Representasi Estetika Iklan Komersil di Media Massa”, oleh Kasiyan 2007: 1-20. Kasiyan dalam penelitian ini dengan pendekatan teori estetika
mencoba menelusuri komodifikasi seks dan pornografi pada iklan komersil di perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
media massa. Hasil penelitian ini menemukan adanya motivasi menjual nilai-nilai seksualitas dan pornografi untuk mempengaruhi daya beli masyarakat dan
memaksimalkan promosi produk yang dihasilkan. Sehinga iklan pada media massa hanya memunculkan citra estetika yang terjadi akibat dorongan seksual
penikmatnya tanpa melihat etika pada iklan yang dipromosikan tersebut. Keenam, penelitian Agata Maccarrone-Eaglen 2009: 1-11 yang berjudul
“An Analysis Of Culture As A Tourism Commodity”. Agata Maccarrone-Eglen dalam penelitian ini membahas tentang peran penting budaya dalam fungsi
pariwisata sebagai sebuah komoditas yang dipasarkan secara internasional. Namun proses komodifikasi budaya sebagai nilai jual pariwisata menimbulkan
kontroversi dikarenakan budaya akan berubah dan kehilangan nilai-nilai intrinsiknya dan berganti pada sebuah pemahaman yang relatif bergantung pada
pemahaman pribadi individu, wisatawan dan pemasarnya. Komodifikasi dalam penelitian ini digambarkan sebagai sebuah strategi pariwisata budaya yang
memiliki dampak negatif bagi budaya itu sendiri. Ketujuh, penelitian yang berjudul
“Komodifikasi Budaya Lokal Dalam Televisi: Studi Wacana Kritis Komodifikasi Pangkur Jenggleng TVRI
Yogyakarta”, oleh Sumantri Raharjo 2011: 63-139. Penelititan ini mengambil analisis wacana kritis komodifikasi Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta,
karena TVRI merupakan lembaga penyiaran publik dimana berdasarkan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 merupakan lembaga yang independen, netral dan
tidak komersial sedangkan komodifikasi biasanya hanya terjadi pada televisi swasta. Hasil penelitian ini menunjukan terjadinya komodifikasi isi dalam
tayangan Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta, komodifikasi isi terjadi melalui proses penyesuaian isi tanyangan dan genre acara, ideologi dibalik proses
komodifikasi adalah kapitalisme, kekuasan dibalik komodifikasi adalah kekuatan pasar, dan ideologi kapitalis telah masuk dalam TVRI yang notabene lembaga
pemerintahan yang independen, netral dan tidak komersial. Penelitian ini mempunyai implikasi secara teoritis dan praktis.
Kedelapan, penelitian yang berjudul “Sociocultural Analysis of the
Commodification of Ethnic Media and Asian Consumers in Canada ”, oleh Dal
Yong Jin dan Soochul Kim 2011: 551-565. Penelitian ini menggunakan analisa perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
sosial budaya untuk mengungkap komodifikasi yang terjadi pada media etnis dan konsumen Asia di Kanada. Pendekatan teori ekonomi politik dan studi budaya
menjadi pisau bedah dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa komodifikasi media etnis dan pemasaran etnis pada perusahaan iklan di Kanada
dapat meningkatkan daya beli orang Asia dan jumlah imigran Asia di Kanada. Komodifikasi media etnis dan pemasaran etnis telah menciptakan pasar baru yang
dimana para media dan biro iklan di Kanada mengalihkan perhatian mereka ke penonton Asia yang berkembang dan telah melakukan upaya bervariasi untuk
menjangkau khalayak Asia di Kanada. Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan Kanada dan pengiklan bersama Media etnis sengaja membangun strategi
pemasaran etnis individu berdasarkan bahasa dan budaya yang berbeda. Penelitian ini memberikan pemahaman bahwa komodifikasi adalah sebuah strategi dalam
memodifikasi iklan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Kesembilan, penelitian Ni Made Rai Sukmawati 2012: 216-219 yang
berjudul “Komodofikasi Kerajinan Seni Patung Kayu di Desa Mas, Kecamatan
Ubud, Kabupaten Gianyar”. Ni Made Rai Sukmawati dengan pendekatan teori komodifikasi mencoba menelusuri praktik komodifikasi dalam kerajinan seni
patung di desa Mas. Hasil penelitian ini mengungkapakan dampak adanya proses komodifikasi akan menciptakan produk seni kerajinan patung kayu yang baru.
Dalam proses produksi massal ini akan terjadi pemanfaatan sumber daya manusia yang kreatif agar mampu menciptakan produk-produk yang inovatif dalam artian
produk tersebut bisa diterima oleh pasar. Selain itu departemen produksi tidak hanya mengelola manusia tetapi juga mengelola peralatan yang nantinya bisa
menunjang proses produksi itu agar sesuai dengan target yang telah ditetapkan, sebagai akibat dari adanya perubahan pola konsumsi. Penelitian ini memberikan
pemahaman bahwa komodifikasi adalah suatu proses memodifikasi suatu produk dengan mengalami perubahan-perubahan baik dari segi ukuran, bentuk, dan
penyederhanaan bentuk bahan yang lebih mudah karena faktor permintaan pasar. Kesepuluh, penelitian Oki Rahadianto Sutopo 2012: 65-84 yang berjudul
“Transformasi Jazz Yogyakarta: Dari Hibriditas menjadi komoditas”, penelitian dengan pendekatan sejarah sosial ini menguraikan tentang transformasi yang
terjadi dalam ranah jazz Yogyakarta dengan menggunakan cerita baik dari musisi, perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
pengamat, praktisi, maupun penikmat jazz. Hasil penelitian ini menunjukan transformasi dalam ranah jazz Yogyakarta menunjukkan bagaimana kapital
mampu merasuk hingga aspek yang paling esensial yaitu pemaknaan akan sebuah produk budaya. Lokalitas yang dianggap akan mendatangkan makna justru
menjadi komoditas yang semakin dijauhkan dari makna subtansialnya. Kesebelas, penelitian Andhika Dwi Yulianto 2013: 5-10 yang berjudul
“Komodifikasi Pertunjukan Festival Reog Ponorogo: Dinamika Perubahan Pertunjukan Reog Ponorogo dalam Industri Pariwisata”, penelitian dengan
metode kualitatif dan pendekatan studi kasus ini menguraikan proses komodifikasi pertunjukan Reog untuk kegiatan festival sebagai akibat adanya
industri pariwisata. Hasil penelitian ini menunjukan komodifikasi di Kabupaten Ponorogo telah menjadikan keberadaan reog menjadi semakin dikenal dan dapat
diterima oleh masayarakat luas, komodifikasi dalam pertunjukan reog telah memunculkan penyederhanaan versi besar reog dari reog Suryongalam menjadi
reog versi Bantarangin dalam format festival, keberlangsungan pertunjukan reog semakin terlindungi dengan adanya komodifikasi, proses industri pariwisata
dalam reog telah mengangkat derajat para pemain reog lokal menjadi pemain festival tingkat nasional dan internasional, munculnya industri pariwisata
memunculkan krasi-kreasi baru antar kelompok reog sehingga dalam setiap pertunjukan reog semakin menarik dan dapat dikenal secara luas oleh masyarakat
luas. Keduabelas, penelitian Davide Ponzini 2014: 10-18 yang berjudul
“The Values of Starchitecture: Commodification of Architectural Design in
Contemporary Cities ” penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang
menguraikan tentang komodifikasi nilai arsitektur spektakuler dalam desain arsitektur dua kota kontemporer yang berbeda antara Abu Dhabi dan New York.
Sudah banyak diketahui bahwa nilai bangunan-bangunan arsitek masa lalu telah menginspirasi banyak arsitek dunia dalam menciptakan bagunan yang unik dan
spektakuler. Nilai-nilai arsitektur spektakuler ini menjadi sebuah bentuk komodifikasi dari para arsitek dunia untuk memasarkan segala hasil desain yang
mereka ciptakan. Penelitian ini mengkritik pandangan para arsitek yang menggunakan nilai-nilai arsitek spektakuler dunia atas dugaan penambahan nilai
commit to user
ekonomi semata pada kota Abu Dhabi dan New York. Hasil penelitian ini menujukan bahwa pandangan para arsitek di Abu Dhabi dan New York tidak
sesuai dengan motivasi yang sebenarnya dalam pengambilan keputusan, namun hal ini tetap saja dilakukan dan dijadikan sebagai sarana untuk memberikan
keyakinan dalam menciptakan desain aritektur yang unik dan spektakuler atas dasar mendapatkan keuntungan ekonomi. Komodifikasi dalam penelitian ini
digunakan sebagai alat untuk menambah nilai ekonomi sebuah desain arsitektur kota.
Berdasarkan uraian penelitian diatas menunjukan kajian tentang komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta yang memusatkan pada karya seni
grafis di wilayah Yogyakarta sebagai objek penelitian, ternyata belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini juga diperkuat dengan penggunaan tiga pendeketan
teori secara bersamaan seperti; teori komodifikasi, teori psikologi dan teori ekonomi mikro yang belum pernah dilakukan sebagai pisau bedah dalam
mengungkapkan dugaan terjadinya komodifikasi pada karya seni dalam penelitian sejenis. Hal ini yang pada akhirnya dijadikan penulis sebagai salah satu dasar
perlunya dilakukan penelitian tentang komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta dengan penggunaan tiga pendeketan teori secara bersamaan seperti;
teori komodifikasi, teori psikologi dan teori ekonomi mikro.
C. Kerangka Berfikir