FULL TESIS EmmanuelPutroPrakoso S01130200 ProgramStudiSeniRupa UNS

(1)

KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS

SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF DI YOGYAKARTA

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Seni Rupa

Minat Utama Seni Murni

Oleh

Emmanuel Putro Prakoso S011302004

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2015


(2)

i

KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS

SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF DI YOGYAKARTA

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Seni Rupa

Minat Utama Seni Murni

Oleh

Emmanuel Putro Prakoso S011302004

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2015


(3)

ii

KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS

SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF DI YOGYAKARTA

TESIS

Oleh

Emmanuel Putro Prakoso S011302004

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal Pembimbing

Pembimbing I Dr. Nooryan Bahari, M.Sn ... ... 26 NIP.196502201990031001 Januari

2015 Pembimbing II Dr. Sarah Rum Handayani, M.Hum ... 26

NIP.195212081981032001 Januari 2015

Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada tanggal 26 Januari 2015

Ketua Program Studi Seni Rupa Program Pascasarjana UNS

Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD NIP.195007091980031003 commit to user


(4)

iii

KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS

SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF DI YOGYAKARTA

TESIS

Oleh

Emmanuel Putro Prakoso S011302004

Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Ketua Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD ... 25

NIP. 19500709 198003 1003 Februari 2015 Sekretaris Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T, M.Trop.Arch ... 25

NIP. 19680609 1994021001 Februari 2015

Anggota Dr. Nooryan Bahari, M.Sn ... 25 Penguji NIP.19650220 199003 1001 Februari

2015 Dr. Sarah Rum Handayani, M.Hum ... 25 NIP.19521208 198103 2001 Februari

2015

Telah dipertahankan didepan penguji dan dinyatakan telah memenuhi syarat

pada tanggal 25 Februari 2015

Direktur Ketua Program Studi Program Pascasarjana Seni Rupa

Porf. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD NIP. 19610717 198061 1001 NIP.19500709 198003 1003


(5)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul: “KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF DI

YOGYAKARTA” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dengan acuan yang disebutkan sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, maka saya bersedia menerima sangsi, baik Tesis beserta gelar magister saya dibatalkan serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah harus menyertakan tim promotor sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila saya melakukan pelannggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, 24 Februari 2015

Emmanuel Putro Prakoso

S011302004


(6)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang,

Supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga”

(Matius 5 Ayat 16)

“The essence of all beautiful art, all great art, is gratitude” (Friedrich Nietzsche)

“Seni memampukan kita untuk melihat karya terbesar Tuhan dalam diri kita,

dan karena seni,

kita disempurnakan sebagai manusia dihadapan-Nya. (Penulis)

Tesis ini saya persembahkan kepada

Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Sistiawan dan Ibunda Trining Indriyati YS dan Kakaku terkasih Pribadi Setyawam Andrianto;

Seluruh Staf Pengajar Program Magister Seni Rupa UNS yang setia membimbingku dan sahabat-sahabat mahasiswa Pogram Magister Seni Rupa; Sahabat-sahabat mahasiswa seni murni FSRD UNS angkatan 2011, 2012, dan

2013 yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu;

Mas Sri Maryanto ORABER, Mas Bayu Widodo SURVIVE!garage dan Mas Muhamad Yusuf Taring Padi yang telah berkenan menjadi narasumber utamaku;

Mas Deni Rahman dan Alexander Nawangseto M dari Grafis Minggiran yang telah berkenan memberikan pandangan tentang perkembangan seni grafis di

Indonesia dan Yogyakarta khususnya;

Sahabat-sahabat terhebatku Galih Reza P, Rais Zakaria, Wahyu Eko P, Nugrahaningdyah Martina S.P. dan Mas Agus Susanto Tugitu United yang telah

mendukung dan menyemangatiku.


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan damai sukacitaNyalah penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan.

Sesuai dengan minat dan bidang keahlian, maka penulis mengangkat sebuah kajian dalam bidang seni grafis di Yogyakarta sebagai dasar penelitian tesis dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master dalam bidang seni rupa di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Berdasarkan hal tersebut, penulis memilih sebuah penelitian yang berjudul “KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF DI YOGYAKARTA” untuk dikaji dan dianalisis dalam bentuk sebuah tesis.

Tidak sedikit pula hambatan dan kendala yang penulis alami dalam proses penyelesaian penelitian ini, namun berkat bantuan serta dukungan dari berbagai pihak akhirnya dapat meminimalisir segala hambatan dan kendala yang penulis alami sehingga penelitian ini dapat diselesaikan sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan.

Banyak perjuangan berharga yang penulis rasakan selama mengerjakan proyek penelitian ini dimana dalam prosesnya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD selaku Ketua Program Studi Seni Rupa, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Dr. Nooryan Bahari, M.Sn., selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengetahuan, ide, gagasan, pengalaman, dan pengarahan selama proses pengerjaan tesis ini.


(8)

vii

4. Ibu Dr. Sarah Rum Handayani, M.Hum selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan pengetahuan, ide, gagasan, pengalaman, dan pengarahan selama proses pengerjaan tesis ini.

5. Bapak Drs. Agustinus Sumargo, M.Sn., selaku rekomendator S2 dan Ketua Jurusan Seni Rupa Murni, Fakultas FSRD Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Bapak Drs. Arfial Arsad Hakim, selaku rekomendator S2 dan Dosen Jurusan Seni Murni Fakultas FSRD Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Progam Magister Seni Rupa dan Jurusan

Seni Rupa Murni Fakultas FSRD Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmunya, sehingga dapat menjadi bekal dikemudian hari.

8. Bapak Sri Maryanto, Bayu Widodo, Muhamad Yusuf selaku nara sumber utama dalam penelitian ini serta Bapak Deni Rahman dan Alexander Nawangseto selaku nara sumber penguat dalam penelitian ini.

9. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Pusat ISI Yogyakarta, Perpustakaan Pascasarjana UNS, IVVA Indonesian Visual Art Archive Yogyakarta, Indonesian Art News, Cemeti Art House. 10. Kedua Orang tuaku tercinta, Ayahanda Sistiawan, Ibunda Trining

Indriyati YS. dan Kakaku tercinta Pribadi Setyawan A yang telah memberikanku semangat dan doa di setiap waktu.

11. Sahabat-sahabat terbaikku, Rais Zakaria, Galih Reza, Wahyu Eko P, Agus Susanto dan Nugrahaningdyah Martina S.P. yang dengan segala kemurahannya telah bersedia membantu dan mendukungku secara nyata maupun doa.

12. Seluruh teman-teman di Prodi S1 Seni Murni angkatan 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013. Heri, Faqih, Efendi, Ratna, Izmi, Aditya, Anggy, Oki, Rezky, Kodi, Algo, Amalia P, Tri Andriani L, M Thata Gilang, A Ovan, Dewi H, Anis K, Aninda DR, Retno W, Nurina S, Sindi M, Latifah H, Stera LR, Luki AR dan sahabat ISI Surakarta serta teman-teman dari Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS atas semua dukungan, doa, saran dan kritiknya. commit to user


(9)

viii

13. Seluruh teman-teman komunitas Taring Padi, SURVIVE!garage, dan ORABER Total Produk Grafis, dam Grafis Minggiran

14. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa apa yang telah penulis buat ini tidaklah mencapai kata sempurna namun hanya dengan niat baik yang melandasi penulis menyelesaikan tesis ini agar dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan salam budaya.

Surakarta, 24 Februari 2015

Emmanuel Putro Prakoso


(10)

ix DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING TESIS ... ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS ...iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A.Deskripsi Teoritik ... 12

1. Teori Substansi ... 12

a. Definisi Komodifikasi ... 12

b. Psikologi Kepribadian ... 15

c. Ekonomi Mikro ... 22

d. Industri Kreatif ... 24

e. Fungsi Politis Seni ... 26

f. Art and Craft Movement ... 28

g. Seni Grafis dan Nilai Orisinalitas dalam karya Seni Grafis ... 29

h. Sejarah Seni Grafis di Yogyakarta dan perubahannya ... 31

2. Fenomenologi dan Analisis Hermeneutik ... 36

a. Defenisi Fenomenologi ... 36

b. Defenisi Hermeneutik ... 37

B. Penelitian yang Relevan ... 38

C. Kerangka Berpikir ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

A.Tempat dan Waktu ... 47


(11)

x

B. Jenis Penelitian ... 47

C. Data, Sumber Data dan Instrumen Penelitian ... 48

D.Teknik Pengambilan/Pemilihan Informan... 49

E. Teknik Pengumpulan Data ... 50

F. Teknik Analisis dan Validasi Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN: BENTUK, SEBAB DAN PROSES KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS DI YOGYAKARTA ... 56

A.Hasil Penelitian ... 56

1. Bentuk Komodifikasi pada Objek Karya Seni Grafis di Yogyakarta ... 56

2. Penyebab Terjadinya Komodifikasi Seni Grafis Di Yogyakarta... 69

a. Sebab Terjadinya Komodikifakasi pada Karya Seni Grafis Sri Maryanto ... 69

b. Sebab Terjadinya Komodikifakasi pada Karya Seni Grafis Bayu Widodo ... 71

c. Sebab Terjadinya Komodikifakasi pada Karya Seni Grafis Muhamad Yusuf ... 72

3. Proses Komodifikasi Karya Seni Grafis di Yogyakarta ... 73

a. Proses Terjadinya Komodifikasi pada Karya Seni Grafis Sri Maryanto ... 73

b. Proses Terjadinya Komodifiaksi pada Karya Seni Grafis Bayu Widodo ... 81

c. Proses Terjadinya Komodifikasi pada Karya Seni Grafis Muhamad Yusuf ... 90

B. Analisis Data dan Pembahasan ... 98

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ... 123

A.Simpulan ... 123

B. Saran ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 126

LAMPIRAN ... 131


(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perubahan Karya Grafis Sri Maryanto Sebelum dan

Sesudah Proses Komodifikasi ...58 Tabel 2 Perubahan Karya Grafis Bayu Widodo Sebelum dan

Sesudah Proses Komodifikasi ...62 Tabel 3 Perubahan Karya Grafis Muhamad Yusuf sebelum

dan Sesudah proses Komodifikasi ...66 Tabel 4 Identifikasi dan Klasifikasi Karya Seni Grafis Atas

Dugaan Munculnya Praktik Komodifikasi di Yogyakarta... 101 Tabel 5 Analisis Perubahan Fisik Karya Seni Grafis ... 102 Tabel 6 Identifikasi Penyebab Terjadinya Komodifikasi Seni

Grafis di Yogyakarta... 108 Tabel 7 Identifikasi Proses Terjadinya Komodifikasi Seni Grafis

Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf

Di Yogyakarta ... 119


(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Piramida Hirarki Kebutuhan Manusia Abraham Maslow ...17 Gambar 2 Kerangka Berpikir ...45 Gambar 3 Analisis Data Model Interaktif ...52 Gambar 4 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “KissBoy” dan Sisi

Kanan Hasil Produk Kaos dari Sri Maryanto yang Dicetak Langsung Pada Kaos dengan Teknik Cetak

Tinggi, Tahun Pembuatan 2008 ...75 Gambar 5 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Malaikat Maut” dan

Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Sri Maryanto yang Dicetak Langsung Pada Kaos dengan Teknik Cetak

Tinggi, Tahun Pembuatan 2008 ...76 Gambar 6 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Tan Malaka” dan Sisi

Kanan Hasil Produk Kaos dari Sri Maryanto, Dicetak Pada Kaos dengan Teknik Cetak Saring,

Tahun Pembuatan 2008 ...78 Gambar 7 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Tirto Suryo Adi”

dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Sri Maryanto, Dicetak Pada Tas dengan Teknik Cetak Saring,

Tahun Pembuatan 2008 ...79 Gambar 8 Sisi Kiri Karya Proses Produksi Kalender dan Sisi

Kanan Hasil Produk Kalender dari Sri Maryanto, yang Dicetak Langsung Pada Kertas dengan Teknik

Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2008 ...80 Gambar 9 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “The Last Tree” dan Sisi

Kanan Hasil Produk Kaos dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan Teknik Cetak Saring,

Tahun Pembuatan 2012 ...82 Gambar 10 Sisi Kiri Karya Sablon Berjudul “Less Hotel More Park

dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan Teknik Cetak Saring, commit to user


(14)

xiii

Tahun Pembuatan 2014 ...84 Gambar 11 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Owl” dan Sisi Kanan

Hasil Produk Emblem dari Bayu Widodo yang Dicetak Pada Kaos dengan Teknik Cetak Saring, Tahun

Pembuatan 2012 ...85 Gambar 12 Sisi Kiri Karya Sablon Berjudul “Less Hotel More Park

dan Sisi Kanan Hasil Produk Emblem dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan Teknik Cetak Saring, Tahun

Pembuatan 2014 ...86 Gambar 13 Sisi Kiri Karya Sablon dan Sisi Kanan Hasil Produk

Kartu Pos dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan

Teknik Cetak Digital, Tahun Pembuatan 2009 ...87 Gambar 14 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Kretek Butuh Korek”

dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Muhamad Yusuf yang Dicetak Langsung dengan Teknik

Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2014 ...92 Gambar 15 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Dewi Saraswati”

dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Muhamad Yusuf yang Dicetak Langsung dengan Teknik

Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2014 ...94 Gambar 16 Sisi Kiri Karya Cukil Berjudul “Matinya Seorang Petani”

dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Muhamad Yusuf yang Dicetak Langsung dengan Teknik

Cetak Tinggi, Tahun Pembuatan 2014 ...95 Gambar 17 Sisi Kiri Mater Plat Grafis dan Sisi Kanan Produk

Emblem Manual dari Muhamad Yusuf yang Dicetak

Langsung dengan Teknik Cetak Tinggi, ...96 Gambar 18 Sisi Kiri Mater Plat Grafis dan Sisi Kanan Produk

Kartu Pos Manual dari Muhamad Yusuf yang

Dicetak Langsung dengan Teknik Cetak Tinggi, ...96 Gambar 19 Produk Kalender Manual dari Muhamad Yusuf yang


(15)

xiv

Gambar 20 Poster Propaganda Politik Kemerdekaan Indonesia Karya dari Affandi, Suromo, Abdul Salam, dan

Mochtar Apin ...99 Gambar 21 Karya Monoprint AT. Sitompul, AC. Andre Tanama

Ariswan Adhitama dan Irwanto Lentho... 100 Gambar 22 Contoh Produk Benda Pakai Hasil Komodifikasi Karya

Seni Grafis Sri Maryanto, Bayu Widoo dan

Muhamad Yusuf ... 104


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Biodata Penulis ... 131 Lampiran 2 Biografi Narasumber Utama dan Narasumber Penguat ... 132 Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian ... 136 Lampiran 4 Daftar Pertanyaan Untuk Menggali Data dari

Narasumber Utama ... 139 Lampiran 5 Daftar Nama Seniman Yogyakarta Yang Melakukan Praktik

Komodifikasi Karya Seni Menjadi Sebuah Produk Pakai

(Merchandise) Rentang Tahun 1999-2014 ... 140


(17)

xvi ABSTRAK

Emmanuel Putro Prakoso. S011302004. 2015. KOMODIFIKASI KARYA SENI GRAFIS SRI MARYANTO, BAYU WIDODO DAN MUHAMAD YUSUF DI YOGYAKARTA. TESIS. Pembimbing 1 Dr. Nooryan Bahari, M.Sn., dan Pembimbing 2 Dr. Sarah Rum Handayani P, M.Hum. Program Studi Seni Rupa, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Seni grafis di Yogyakarta merupakan salah satu media ekspresi diri yang memiliki karakter visual yang khas dan unik. Karya seni grafis di Yogyakarta dalam penelitian ini diposisikan sebagai sebuah objek yang dapat dianalisa untuk dijadikan tolok ukur keberadaan praktik komodifikasi di kota tersebut. Fenomena komodifikasi seni grafis harus dipahami dan dipandang sebagai sebuah proses perubahan nilai guna suatu barang menjadi nilai tukar (jual) dimana perubahan ini ditentukan melalui sebuah mekanisme harga.

Penelitian ini dilakukan dalam ranah ilmu Seni Rupa dengan metode kualitiatif dan teknis analisis data secara deskriptif yang menggunakan strategi studi kasus agar dapat menangkap fenomena di lapangan yang kemudian dikaji lebih mendalam, detail, intensif dan komperehensif melalui pendekatan hermeneutik. Di dalam penelitian ini teori Komodifikasi dari Walter Benjamin diposisikan sebagai teori utama untuk menjawab ketiga rumusan masalah penelitian yang dalam penggunaannya dibantu dengan teori Psikologi Kepribadian dan Ekonomi Mikro yang digunakan secara elektik.

Berdasarkan penelitian komodifikasi karya seni grafis, diperoleh hasil penelitian bahwa telah terjadi komodifikasi seni grafis di Yogyakarta yang ditandai perubahan fisik dan non fisik dari karya grafis yang dilatarbelakangi oleh faktor dorongan psikologis dan kebutuhan ekonomi yang dalam proses terjadinya meliputi aspek ide penciptaan produk, penentuan teknis produksi, penentuan jenis produk yang dicetak, penentuan jumlah barang yang diproduksi, proses produksi, penentuan harga produk, mpenentuan strategi pemasaran dan strategi penjualan produk. Penelitian ini mempunyai implikasi teoritis dan praktis. Hasil studi ini akan memperkaya teori komodifikasi, teori psikologi kepribadian dan teori ekonomi mikro secara umum serta praktik komodifikasi pada karya seni grafis dapat dimungkinkan terjadi atas dasar tujuan komersil.

Kata Kunci: Komodifikasi, Seni Grafis, Yogyakarta, Psikologi Kepribadian, Ekonomi Mikro


(18)

xvii ABSTRACT

Emmanuel Putro Prakoso. S011302004. Co-modification of Graphic Arts Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf in Yogyakarta. Thesis: Advisor: Dr. Nooryan Bahari, M.Sn, Co-advisor: Dr. Sarah Rum Handayani, P., M. Hum. The Graduate Program in Fine Art, Sebelas Maret University, Surakarta 2015.

Graphic art in Yogyakarta is one of the media for self-expression which has a special and unique visual character. The graphic art in Yogyakarta is positioned in this research as an object which can be analyzed to be used as a parameter for modification practice existence in the city. The graphic art co-modification phenomenon must be understood and viewed as a process of change of the use value of an article to be the sale value where this value change is determined by a price mechanism.

This research was done within the fine art studies. It used the descriptive qualitative method with the embedded single case study. The data of research were analyzed by using the descriptive and interpretative qualitative method as to obtain the phenomena in the field to be analyzed deeply, in detail, intensively, and comprehensively through hermeneutics approach. In this research to answer the three proposed problem statements, the theory of co-modification claimed by Walter Benjamin was positioned as the primary theory, which was also supported with theory of personality psychology and that of micro economics. They were used eclectically.

The results of research show that the graphic art co-modification happens in Yogyakarta as indicated by the physical and non-physical changes of graphic arts. The co-modification is due to psychological support and economic need factors. In its process, the co-modification includes product creation ideas, determination of production technique, determination of printed product types, determination of number of products manufactured, production process, determination of product prices and determination of product marketing and sale.

This research has theoretical and practical implications that the results of research enrich theory of co-modification, theory of personality psychology, and theory of micro-economics in general, and the practice of co-modification in graphic arts possibly takes place on the commercial goal basis.

Keywords: Co-modification, graphic art, Yogyakarta, personality psychology, micro economics.


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seni grafis di Indonesia merupakan sebuah proses kerja kreatif yang digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan pengalaman estetis senimannya. Kedudukan seni grafis sejajar dengan bidang seni murni lainnya seperti lukis, patung maupun keramik. Pendapat ini diperkuat oleh Tris Neddy Santo dkk. dalam bukunya yang berjudul “Menjadi Seniman Rupa”, yang menyatakan bahwa seni grafis masuk dalam rumpun seni murni sama seperti seni patung, keramik dan lukis (Santo dkk, 2012: 104). Sebagai sebuah karya, seni grafis memiliki keistimewaan yang khas jika dibandingkan dengan karya seni lainnya. Keistimewaan ini terlihat dalam karya seni grafis yang dapat digandakan sebanyak mungkin tanpa kehilangan nilai orisinalitas disetiap hasil cetakannya. Pernyataan ini diperkuat oleh Nooryan Bahari dalam bukunya yang berjudul “Kritik Seni Wacana, Apresiasi dan Kreasi” yang menyatakan bahwa seni grafis memiliki kelebihan pada karyannya yang dapat dilipatgandakan tanpa mengurangi nilai orisinalitasnnya (Bahari, 2008: 83)

Seni grafis tidak hanya memiliki keistimewaan dalam proses penggandaannya, namun juga memiliki ciri yang kuat berupa sebuah identitas konvensi disetiap karyanya dan hal tersebut sekaligus menjadi pembeda dengan karya seni lainya seperti lukis, keramik maupun patung. Mengacu pada konvesi seni grafis Indonesia dalam kompetisi Trienal Seni Grafis Indonesia, Aminudin TH Siregar menyatakan bahwa identitas konvensi pada karya seni grafis ditandai dengan pencantuman edisi (nomor urut cetakan), teknik yang digunakan, judul karya, tanda tangan, tahun pembuatan atau tempat dimana karya seni grafis tersebut diciptakan dan semua keterangan tersebut ditulis pada bagian bawah setiap karya grafis yang diciptakan (Siregar, 2009: 9).

Seni grafis sebagai sebuah rumpun seni murni memiliki beberapa teknis dalam pengerjaannya. Teknik tersebut meliputi; cetak tinggi, cetak dalam, cetak saring dan cetak datar. Seiring dengan perkembangan zaman terdapat dua teknik commit to user


(20)

dalam seni grafis yang mengalami perubahan dalam aspek media. Kedua teknik tersebut adalah teknik cetak tinggi dan cetak saring. Hal ini diperkuat oleh Tris Neddy Santo dkk, yang menyatakan bahwa karya grafis yang lazimnya disajikan pada media kertas, kemudian berubah dengan media lainnya seperti kain, kayu, fiberglass dan lain-lainnya (Santo dkk, 2012: 104).

Secara singkat teknis dalam proses pembuatan karya cetak tinggi dapat dijabarkan sebagai berikut, langkah pertama yang dilakukan adalah mencukil/mentatah lembaran plat kayu sesuai dengan bentuk rancangan visual yang diinginkan, kemudian permukaan kayu yang telah dicukil dibubuhi dengan tinta cetak dengan cara dirol pada bagian permukaan yang tidak tercukil, kemudian ditransfer/dipindah pada media cetak seperti kertas, kain ataupun kanvas dengan cara menekan media cetak tersebut di atas lembaran plat kayu yang telah dicukil/ditatah. Cetak saring dalam seni grafis memiliki perbedaan teknis dibandingan dengan cetak tinggi. Bentuk visual yang hadir dalam cetak saring disebabkan oleh tembusnya cat pada bidang screen yang berlubang sesuai dengan rancangan visual yang telah dibuat (Marianto, 1988: 17). Cetak tinggi dan cetak saring, merupakan sebuah teknik dalam seni grafis yang berkembang sangat pesat di Indonesia khususnya Yogyakarta.

Karya-karya seni grafis di Yogyakarta memiliki keunikan yang khas jika dibandingkan dengan karya seni grafis di kota lainnya. Hal ini terlihat pada karya cetak tingginya yang memiliki karakter visual rumit dan detail serta pada karya cetak saring yang memiliki karakter khas berupa penggabungan berbagai macam unsur warna dalam satu karya. Yogyakarta sebagai salah satu kota bagi para seniman memiliki tantangan yang besar untuk terus melakukan inovasi dalam rangka memasyarakatkan seni grafis kepada khalayak umum dan turut menjaga keberadaan seni grafis dari kepunahan. Tantangan tersebut dijawab dengan diselenggarakannya berbagai pameran seni grafis baik yang dilakukan secara tunggal, kelompok maupun secara bersama di wilayah Yogyakarta. Beberapa pameran seni grafis tersebut diantaranya adalah Trienal Seni Grafis Indonesia, Festival Seni Grafis Jogjakarta Hi Grapher, dan yang terbaru adalah JMB (Jogja Mini print Bienale) yang diadakan di Bank Indonesia Yogyakarta pada tahun 2014. Beberapa penyelenggaraan pameran seni grafis tersebut pada akhirnya commit to user


(21)

membawa karya cetak tinggi dalam hal ini cukil kayu semakin dikenal oleh masyarakat di wilayah Yogyakarta. Hal ini selaras dengan pernyataan Aminudin TH Siregar dalam pengantar kuratorial pameran tunggal Irwanto Lentho yang berjudul “Sang Pencukil: Catatan-catatan dan Pemaknaan” di dalam pernyataannya Aminudin TH Siregar mengatakan bahwa cetak tinggi merupakan salah satu teknik yang paling populer di Indonesia dan paling mendominasi dibeberapa pameran seni grafis (Siregar, 2011: 7). Kepopuleran teknik cetak tinggi kemudian diikuti pula dengan berkembangnya teknik cetak saring yang telah diakui sebagai “kerja seni” sejak dekade 1970-an (Siregar, 2011: 11).

Kepopuleran seni grafis khususnya teknik cetak tinggi dan cetak saring berdampak dengan semakin banyaknya penggunaan teknik tersebut oleh seniman-seniman di Yogyakarta sebagai sebuah media ekspresi seni yang sifatnya sangat personal. Terlihat dalam dekade tahun 2000an banyak sekali seniman-seniman di Yogyakarta yang melakukan porses inovasi dengan cara memodifikasi karya-karya grafis konvensional atas dasar ekspresi personal dan kepentingan untuk lebih memasyarakatkan seni grafis secara umum. Sebut saja diantaranya adalah seniman grafis AT. Sitompul yang pada tahun 2008 melakukan pameran tunggal karya cukil kayu dengan visual berbentuk garis-garis geometrik dengan teknik scraperboard yang telah dimodifikasi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mikke Susanto dalam pengantar kuratorial pameran tunggal AT. Sitompul yang berjudul

“Abstrak” yang menyatakan bahwa hasil karya cukil kayu AT. Sitompul

diciptakan menggunakan teknik monoprint dimana karya grafis yang dicetak hanya satu kali dengan pencampuran berbagai macam teknis (Susanto, 2008: 07).

Inovasi ini kemudian muncul kembali pada tahun 2010 yang dilakukan oleh seniman grafis yang bernama AC. Andre Tanama. AC Andre Tanama pada pameran tunggalnya yang bertajuk “The Tales of Gwen Silent” menampilkan berbagai jenis karya seni grafis yang telah dimodifikasi dengan penggabungan berbagai macam teknik seperti relief print, woodcut, drawing, dan painting dalam satu karya. Jejak modifikasi karya seni grafis ini kemudian diikuti oleh seniman grafis Ariswan Adhitama yang pada tahun 2010 melakukan pameran tunggalnya dengan menampilkan karya cukil bervisual robot yang juga menggambungkan berbagai macam teknis dalam satu karya. Hal ini selaras dengan pernyataan Fery commit to user


(22)

Oktanio dalam pengantar kuratorial pameran tunggal Ariswan Adhitama yang berjudul “In repair: Imaginantion of Resistance, and Idea of Superhuman” yang menyatakan bahwa karya cukil kayu yang diciptakan Ariswan Adhitama menggunakan teknik monoprint dimana dalam teknis tersebut terjadi berbagai perpaduan antara teknik drawing, painting dan printing yang kemudian hanya di cetak satu kali tanpa adanya proses penggandaan yang merupakan sesuatu yang tidak lazim terjadi pada karya seni grafis konvensional (Oktanio, 2010: 22). Bentuk modifikasi ini berlanjut pada pameran tunggal seniman grafis yang bernama Irwanto Lentho yang mengusung tema “Sang Pencukil”. Irwanto Lentho dalam pameran tunggalnya juga melakukan proses modifikasi dari karya seni grafis dengan melakukan pencampuran teknis di setiap karyanya dan hanya dicetak satu kali atau yang biasa disebut dengan istilah monoprint. Proses inovasi personal dari karya seni grafis yang diciptakan oleh AT. Sitompul, AC. Andre Tanama, Ariswan Adhitama dan Irwanto Lentho merupakan sebuah bentuk munculnya gejala praktik komodifikasi yang nyata terjadi di wilayah Yogyakarta. Munculnya gejala praktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta ternyata tidak hanya terjadi dalam wilayah pameran seni rupa saja melainkan telah merambah pada wilayah komoditas benda pakai seperti kaos, tas, kalender, kartu pos dan embelem dan hal ini juga yang kemudian menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini. Sekitar akhir tahun 1999 muncul sebuah fenomena baru dikalangan seniman di Yogyakarta. Fenomena baru ini adalah menciptakan sebuah produk merchandise/benda pakai dari karya seni grafis konvensional. Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Ketiga seniman tersebut melakukan proses komodifikasi dengan cara menggandakan karya cetak tinggi dan cetak saring ke dalam bentuk media baru seperti kaos, tas, kalender dan kartu pos yang notabene memiliki nilai ekonomi. Sangat menarik untuk dicermati bahwa gejala munculnya praktik komodifikasi seni grafis tidak hanya terjadi dilingkungan pameran seni rupa melainkan telah merambah pada wilayah barang komoditi dalam bentuk merchandise/benda pakai yang dapat dikonsumsi secara massal oleh masyarakat umum. Hal ini menimbulkan satu dugaan terhadap adanya upaya memodifikasi ulang karya seni grafis konvensional dengan motif ekonomi dalam bentuk praktik komodifikasi. commit to user


(23)

Gambaran fenomena di atas merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx dan George Simnel, yang dikutip oleh Turner (1992: 115–132), yang mengatakan bahwa faktor dorongan ekonomi menimbulkan semangat menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya yang berdampak pada munculnya gejala komodifikasi diberbagai sektor kehidupan. Hal ini diperkuat oleh Ardika (2008: 3) dalam penelitiannya yang berjudul “Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Refleksi dan Harapan di Tengah Perkembangan Global”, yang mengatakan bahwa komodifikasi tidak semata-mata dilakukan oleh pelaku ekonomi saja, melainkan masyarakat lokal juga berpotensi untuk melakukan praktik komodifikasi karena mereka mempunyai hak yang sama untuk mengkomodifikasikan setiap poduk yang dihasilkannya. Faktor-faktor lain yang memungkinkan mendorong terjadinya komodifikasi pada karya cetak tinggi dan cetak saring seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf adalah dorongan akan kebutuhan hidup seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, yang dikutip oleh Alwisol (2009: 202), yang mengatakan bahwa setiap manusia hidup memiliki kebutuhan homeostatik seperti makan dan minum, serta kebutuhan dalam aktualisasi diri seperti kreativitas, realisasi diri dan pengembangan diri. Faktor terakhir yang mempengaruhi terjadinya proses komodifikasi adalah pandangan seniman terhadap industri kreatif, dimana seniman memposisikan karya seni dengan standar-standar tertentu, seperti ada karya yang diciptakan khusus sebagai idealisme dengan standar lebih tinggi dari sisi konsep, ukuran, media, harga dan fungsi, namun ada juga karya diperuntukkan atas dasar ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan kualitas karya yang relatif lebih rendah dari sisi konsep, ukuran, media, harga dan fungsi. Hal ini tidak terlepas adanya hubungan antara penawaran dan permintaan yang menghasilkan barang dan jasa.

Berdasarkan pandangan tersebut terlihat adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gejala praktik komodidikasi pada karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Hal tersebut yang kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk perlu dilakukannya penelitian dan proses analisa terhadap munculnya gejala praktik komodifikasi pada karya seni grafis konvensional yang dilakukan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan commit to user


(24)

Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Guna memecahkan persoalan tersebut maka diperlukan beberapa teori pendekatan seperti; teori komodifikasi, teori psikologi kepribadian, dan teori ekonomi mikro.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka inti permasalahan dalam penelitian ini adalah menganalisa munculnya gejala praktik komodifikasi pada karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

C. Pembatasan Masalah

Munculnya sebuah fenomena gejala praktik komodifikasi pada karya seni grafis di Yogyakarta tersebut dirasakan sangat sulit untuk diungkapkan semua secara menyeluruh dalam satu penelitian, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan waktu penelitian, luasnya wilayah penelitian, biaya yang dibutuhkan dan banyaknya seniman yang melakukan praktik komodifiksi karya seni di Indonesia.

Ruang lingkup penelitian ini kemudian dibatasi pada apsek persoalan muculnya gejala praktik komodifikasi karya seni grafis yang hanya dilakukan oleh seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf dengan objek penelitian berupa karya-karya cetak tinggi dan cetak saring serta beberapa hasil produk mereka yang telah mengalami proses komodifikasi. Penelitian ini juga dibatasi di wilayah Kota Yogyakarta dengan rentang antara tahun 1999 hingga tahun 2014.

Pemilihan ketiga seniman tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa mereka melakukan bentuk inovasi baru dalam dugaan munculnya gejala praktik komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta. Gejala praktik komodifikasi yang telah mereka lakukan adalah dengan menciptakan sebuah produk massal dari karya seni grafis konvensional yang diaplikasikan dalam bentuk benda pakai yang sederhana, unik, artistik, orisinal dan bernilai ekonomi serta dapat dirasakan secara nyata kehadiranya bagi masyarakat umum. Terlihat adanya sisi kreatifitas dari ketiga seniman tersebut untuk menciptakan sebuah produk massal yang memiliki nilai ekonomi dengan tetap mepertahankan nilai-nilai keunikan, commit to user


(25)

keindahan dan orisinalitas. Hal inilah yang kemudian dijadikan dasar penulis untuk lebih memfokuskan dan mengkonsentrasikan penelitian ini pada kasus munculnya gejala praktik komodifikasi karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf.

Guna menganalisa praktik komodifikasi karya cetak tinggi dan cetak saring yang dilakukan seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf, maka diperlukan peran serta ketiga seniman tersebut sebagai subjek dari penelitian ini. Fokus dan konsentrasi penelitian ini diarahkan pada produk merchandise dari hasil proses komodifikasi karya grafis konvensional yang dijadikan sebagai objek utama dan beberapa konsumen yang membeli produk hasil dari komodidikasi karya seni grafis seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan Muhamad Yusuf. Diperlukan beberapa pendekatan disiplin ilmu untuk menganalisa praktik komodifikasi seni grafis yang terjadi di Yogyakarta. Pertama, psikologi kepribadian terkait dengan faktor utama pendorong terjadinya proses komodifikasi karya dari Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf. Kedua, teori komodifikasi terkait dugaan perubahaan karya seni grafis pada aspek ukuran, media, harga dan tujuan dari penciptaan karya Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf. Ketiga, ekonomi mikro terkait dengan adanya prilaku dari masing-masing pelaku ekonomi akibat munculnya permintaan dan penawaran pada produk karya seni grafis yang membentuk sebuah mekanisme harga sehingga menentukan keberlangsungan dari proses komodifikasi karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

D. Perumusan Masalah

Ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini. Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang tersebut adalah sebagai berikut.

1. Bentuk komodifikasi apa saja yang terjadi pada objek karya seni grafis di Yogyakarta?

2. Mengapa terjadi komodifikasi pada objek karya seni grafis di Yogyakarta? 3. Bagaimana terjadinya praktik komodifikasi pada objek karya seni grafis


(26)

E. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan praktik komodifikasi karya seni grafis seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta dalam fenomena perubahan bentuk, ukuran, media, harga dan tujuan penciptaan karya. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis bentuk-bentuk komodifikasi yang terjadi pada objek karya seni grafis yang terjadi di Yogyakarta.

2. Menganalisis faktor penyebab terjadinya komodifikasi pada objek karya seni grafis di Yogyakarta.

3. Menganalisis proses terjadinya komodifikasi pada objek karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian 1. Civitas Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan sebagai literatur ilmiah bagi penelitian berikutnya yang terkait dengan permasalahan komodifikasi karya seni khususnya pada seni grafis.

2. Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan informasi mengenai bentuk-bentuk komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya komodifikasi karya grafis, perubahan yang terjadi pada seni grafis di Yogyakarta, dan proses terjadinya paktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta.

3. Industri Kreatif

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi kepada pelaku industri kreatif untuk mengembangkan potensi pada karya seni grafis yang dapat dijadikan sebagai sebuah produk massal yang memiliki nilai ekonomi serta dapat dijadikan sebagai produk yang memiliki nilai keunikan dan orisinalitas yang mampu bersaing dengan produk-produk seni maupuan produk konsumer lainnya. commit to user


(27)

4. Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan keberadaan seniman dan karya seni grafis di Yogyakarta agar keberlangsungannya tetap terjaga. Hasil penelitian ini pun diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan bagi pemerintah dalam membuat program-program pengembangan potensi masyarakat yang berbasis industri kreatif.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini terdari dari lima bab. Masing-masing bab dijelaskan secara singkat seperti berikut.

Bab I adalah “ Pendahuluan”. Bab ini menguraikan latar belakang masalah penelitian ini dengan mengidentifikasi masalah, membatasi masalah, dan memberi rumusan dalam masalah. Secara keseluruhan di dalam bab ini terdapat enam bagian sub bab yaitu latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Melalui penguraian masalah penelitian ini dapat digambarkan dengan jelas dasar argumentasi yang berkaitan dengan komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta. Karya seni grafis diposisikan menjadi objek penelitian di wilayah keilmuan kajian seni rupa sebagai sebuah teks yang harus dibaca ulang sesuai dengan ruang dan waktu untuk mengembangkan pengetahuan mengenai komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta.

Bab II adalah “Orientasi Teoritik”. Bab ini menguraikan berbagai penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan komodifikasi untuk membangun sebuah konsep. Berdasarkan pada konsep yang telah dibangun dalam penelitian-penelitian sebelumnya, hal ini dapat digunakan untuk menentukan posisi peneliti dalam menggunakan teori yang tepat dalam penelitian komodifikasi seni grafis di Yogyakarta ini. Penelitian ini bersifat holistik oleh karena itu digunakan berbagai sudut pandang teori guna memecahkan masalah dalam penelitian ini. Landasan teori penelitian ini terbagi menjadi deskripsi teoritik, penelitian yang relevan dan kerangka berpikir. Deskripsi teoritik dalam penelitian ini dibagi kembali ke dalam dua sub bab, yang pertama teori substansi yang terdiri dari teori komodifikasi, commit to user


(28)

teori psikologi kepribadian, teori ekonomi mikro, industri kreatif, fungsi politis seni, art and craft movement, seni grafis dan nilai orisinalitas dalam seni grafis, serta sejarah seni grafis dan perubahannya. Sub bab yang kedua terdiri dari teori fenomenologi dan analisis hermeneutik. Kerangkang berfikir dalam penelitian ini dijelaskan melalui sebuah bagan alur penelitian, yang memuat inti masalah, alternatif pendekatan masalah, dan hasil penelitian.

Bab III adalah “Metode Penelitian”. Bab ini menguraikan proses kerja dalam penelitian ini yang merupakan penelitian bidang ilmu kajian seni rupa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data kualitatif deskriptif dengan strategi studi khasus dan teknik analisis data model interaktif yang menggunakan pendekatan hermeneutik. Proses kerja penelitian ini terdiri atas lima bagian, yaitu tempat dan waktu penelitian, jenis penelitian, data, sumber data dan instrumen penelitian, teknik pengambilan/pemilihan informan teknik pengumpulan data, teknik analisis dan validasi data.

Bab IV adalah “Pembahasan: Gambaran Umum, Sebab dan Proses Komodifikasi Seni Grafis di Yogyakarta. Bab ini merupakan inti dari penelitian yang terdiri dari sub bab besar. Pertama hasil penelitian yang menjelaskan tentang bentuk komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta, Penyebab terjadinya komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta dan proses terjadinya komodifikasi karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Mahamad Yusuf di Yogyakarta. Yogyakarta merupakan lokasi penelitian dan karya seni grafis merupakan objek material kajian ini yang mengalami dugaan proses komodifikasi. Ketiga hal tersebut penting untuk dijelaskan guna mendapatkan gambaran secara umum dan khusus tentang terjadinya komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta. Kedua analisis data dan pembahasan. Dalam sub bab ini penulis menganalisi dan membahas data yang diperoleh dari hasil observasi lapangan dalam proses kajian ini untuk membahasa tiga hal penting sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini, yaitu (1) menganalisa bentuk komodifiksi yang terjadi pada objek karya seni grafis di Yogyakarta; (2) Menganalisa faktor penyebab terjadinya komodifikasi pada objek karya seni grafis di Yogyakarta; (3) Menganalisa proses terjadinya komodifiakasi pada objek karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta. commit to user


(29)

Bab V adalah “Kesimpulan dan Saran”. Bab ini menjelaskan kesimpulan yang diperoleh penelitian ini melalui proses analisis. Kesimpulan yang diperoleh penulis diuraikan dalam bab ini kedalam tiga hal yang sesuai dengan perumusan masalah penelitian sebagai berikut: (1) Bentuk komodifikasi apa saja yang terjadi pada objek karya seni grafis di Yogyakarta? (2) Mengapa terjadi komodifikasi pada objek karya seni grafis di Yogyakarta? (3) Bagaimana terjadinya praktik komodifikasi pada objek karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta? Kemudian saran yang diajukan dalam penelitian ini diuraikan pada bab ini sesuai dengan manfaat penelitian. Kesimpulan dan saran penelitian ini disajikan sebagai hasil penelitian ilmu Seni Rupa.


(30)

12 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Teoritik 1. Teori Substansi

a. Definisi Komodifikasi

Komodifikasi atau Commodification adalah sebuah istilah yang awalnya populer pada kisaran tahun 1977. Komodifikasi merupuakan sebuah konsep fundamental dari pemikiran Marxisme tentang bagaimana kapitalisme berkembang. Kata komodifikasi sendiri berasal dari kata komoditi yang artinya barang yang diperjual belikan atau diperdagangkan. Marxisme melihat komoditas memiliki nilai guna dan nilai tukar. Nilai guna suatu objek tidak lain merupakan kegunaannya yang terkait dengan pengertian Marxisme tentang pemenuhan kebutuhan tertentu, di sisi lain, nikai tukar akan terkait dengan nilai produk itu di pasar, atau harga objek yang bersangkutan.

Menurut Baudrillard (dalam Barker, 2004: 200) komodifikasi dalam masyarakat konsumen menjadi objek yang tidak lagi dibeli sebagai nilai guna, tetapi sebagai komoditas-tanda. Munculnya proses komodifikasi telah menghadirkan objek tiruan (simulacrum) yang pada akhirnya membuat masyarakat hanya mengkonsumsi produk-produk tersebut sebagai sebuah komoditas-tanda (Sutrisno dan Putranto, 2005: 34). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa komodifikasi merupakan sebuah proses perubahan nilai suatu barang yang menghasilkan produk-produk tiruan sebagai indikasi munculnya budaya seolah-olah dalam masayarakat konsumen. Hal ini selaras dengan pandangan Mosco (2009:132), yang mendefinisikan komodifikasi sebagai proses perubahan nilai pada suatu produk yang tadinya hanya memiliki nilai guna kemudian menjadi nilai tukar (nilai jual) dimana nilai kebutuhan atas produk ini ditentukan lewat harga yang sudah dirancang oleh produsen. Semakin mahal harga suatu commit to user


(31)

produk menunjukkan bahwa kebutuhan individu dan sosial atas produk ini semakin tinggi.

Mengutip istilah Hesmondhalgh (2007:56) komodifikasi merupakan proses transformasi objek dan layanan ke dalam sebuah komoditas. Komodifikasi dalam hal ini lebih menekankan pada aspek proses dibandingkan dengan aspek industrialisasi. Pada tingkatan dasar, hal ini melibatkan proses produksi yang tidak hanya untuk digunakan melainkan sebagai alat pertukaran (exchange). Sejalan dengan perkembangan kapitalisme, pertukaran di pasar dilakukan menggunakan media uang. Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Piliang dalam bukunya yang berjudul “Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan”, yang menjelaskan bahwa komodifikasi adalah sebuah proses yang mengubah sebuah objek benda atau kebendaan yang awalnya bukan untuk dimaharkan kemudian menjadi komoditas yang memiliki nilai jual (Piliang, 2006: 152). Dalam hal ini terjadi apa yang disebutkan sebagai hilangnya nilai-nilai manfaat asli yang hakiki dari benda-benda tersebut karena dominasi nilai tukar dalam kapitalisme. Pandangan ini diperkuat oleh pernyataan Walter Benjamin (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005: 34) yang menyatakan bahwa dalam masyarakat industri telah terjadi budaya reproduksi massal yang telah menghilangkan “aura” seni dan kedalaman estetisnya atas dasar hanya untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomi.

Kemunculan praktik komodifikasi dalam masyarakat tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, hal ini dijelaskan oleh Karl Marx dan George Simnel, yang dikutip dalam Turner (1992: 115-132) yang menyatakan bahwa komodifikasi muncul karena adanya proses produksi massal dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sesuai dengan prinsip dasar ekonomi dalam konteks masyarakat industri. Pelaku komodifikasi melihat adanya peluang dalam budaya masyarakat industri dan memanfaatkan peluang tersebut dengan memberikan sentuhan pada setiap benda budaya yang commit to user


(32)

dihasilkan dengan memproduksinya dalam jumlah yang besar agar dapat dikonsumsi oleh para konsumen secara massal. Adorno (dalam Pilliang 2010: 87) mengatakan bahwa komodifikasi tidak hanya terjadi pada barang-barang kebutuhan konsumer, tetapi juga telah merambah pada bidang seni dan kebudayaan.

Sedangkan dampak dari adanya proses komodifikasi menurut Lessing (dalam Hasan, 2009: 136-150) menjelaskan bahwa proses komodifikasi tidak memakan ruang atau tidak mengikat budaya dan menyebar secara lebih luas serta medalam dengan tampilan yang natural. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan Lessing, proses komodifikasi berjalan seolah-olah tidak merubah produk asli yang telah mengalami komodifikasi. Tampilan produk massal hasil komodifikasi yang nampak natural membuat orang dengan mudah menerima tanpa ada penilaian kritis. Keaslian produk dalam wacana komodifikasi telah menciptakan dikotomi padangan yang berbeda. Di satu sisi, komodifikasi dianggap merusak dan mengorbankan produk asli dan menciptakan produk masal untuk kepentingan kapital. Sedangkan di sisi lain perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah produk asli dimaknai sebagai pengembangan yang bersifat inovatif dan memberi sumbangan pada kesejahteraan masyarakat.

Pendapat ini diperkuat oleh Ni Made Rai Sukmawati dalam penelitiannya yang berjudul “Komodifikasi Kerajinan Seni Patung Kayu di Desa Mas, Kecamatan Ubud, Giyanyar” yang mengungkapkan bahwa munculnya proses komodifikasi berdampak pada terjadinya perubahan-perubahan baik dari segi ukuran, bentuk (tradisional menjadi moderen), dan penyederhanaan pada karya seni, sesuai dengan pengaruh pasar dan permintaan konsumen (Sukmawati 2012: 219). Perubahan-perubahan pada karya asli ini kemudian berdampak atau menjadi konsekuensi atas munculnya praktik komodifikasi dalam karya seni.

Teori komodifikasi dalam konteks penelitian ini digunakan untuk menganalisis perubahan bentuk dan proses terjadinya commit to user


(33)

komodifikasi pada objek karya seni grafis dari seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

b. Psikologi Kepribadian

Sigmund Freud menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki dorongan kreatif dari mekanisme pertahanan (defence mechanisme) dalam diri. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2009: 25) terdapat reaksi kompromis (reaction compromise) dalam mekanisme pertahanan manusia berupa sebuah proses sublimasi yang ditandai dengan terjadinya kompromi antara tuntutan insting id dengan realitas ego. Awilsol menjelaskan bahwa sublimasi merupakan sebuah proses kompromi yang menghasilkan prestasi budaya yang lebih tinggi dan dapat diterima masyarakat sebagai sebuah prestasi kultural kreatif (Alwisol, 2009: 25). Hal ini dapat terlihat dari sosok Leonardo da Vinci yang gemar melukis wanita sebagai sebuah sublimasi rasa rindu terhadap Ibunya yang telah meninggalkan Ia sejak usia muda. Berdasarkan hal tersebut terlihat kemunculan proses sublimasi menjadi awal lahirnya imajinasi yang mampu mendorong seseorang menjadi kreatif.

Hal ini selaras dengan pendapat Carl Gustav Jung (dalam Alwisol, 2009: 41) yang menyatakan bahwa ketidaksadaran kolektif telah menjadi pendorong besar bagi manusia untuk memunculkan kreativitas. Di dalam ketidaksadaran kolektif terdapat sebuah arsetip atau pola tingkah laku, dan di dalam arsetip ini terbagi kembali menjadi tiga bagian yaitu persona, shadow dan self. Persona merupakan sebuah topeng atau wajah yang dipakai manusia untuk menghadapi publik (Alwisol, 2009:43). Dengan adanya persona manusia dapat bertahan hidup, membantu mengontrol perasaan, pikiran dan tingkah laku. Sedangkan shadow merupakan bayangan arsetip yang mencerminkan insting kebinatangan (Semiun, 2013: 59). Insting kebinatangan dalam manusia ini digunakan sebagai upaya untuk bertahan hidup. Insting ini membuat manusia lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan. Terakhir adalah self yang merupakan


(34)

arsetip yang memotivasi perjuangan orang menuju keutuhan (Alwisol, 2009:43). Melalui aspek self kreativitas dalam ketidaksadaran diubah menjadi disadari dan disalurkan menuju aktivitas yang lebih produktif. Semua arsetip tersebut dapat mendorong seseorang untuk bertindak kreatif dan terarah. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa proses sublimasi menurut Freud dan ketidaksadaran kolektif dari Jung dapat menjadi pemicu munculnya praktik-praktik komodifikasi dalam masyarakat sebagai akibat munculnya sifat kreatif dari dalam diri seseorang.

Carl Rogers (dalam Alwisol, 2009: 275) menggunakan istilah pribadi yang berfungsi utuh (fully functioning person) untuk menggambarkan individu yang mampu merealisasi potensi bakatnya menuju pemahaman yang lengkap mengenai dirinya sendiri dan seluruh pengalaman yang dimilikinya. Menurut Alwisol ciri-ciri pribadi yang berfungsi utuh adalah seperti berikut.

1) Memiliki keterbukaan terhadap pengalaman (opennes to experience).

2) Kemampuan untuk beradaptasi terhadap situasi.

3) Kemampuan untuk bebas bereksperimen (experimental freedom) sesuai dengan apa yang diinginkan tanpa adanya perasaaan tertekan atau terhambat.

4) Kreativitas (creativity). Setiap orang yang memiliki pribadi yang berfungsi utuh berkemungkinan besar untuk memunculkan produk kreatif (idea, project, action) dan hidup kreatif.

Ciri-ciri pribadi yang berfungsi utuh diatas tidak menutup kemungkinan dapat mendorong seseoroang untuk melakukan munculnya praktik komodifikasi pada sebuah karya seni.

Abraham Maslow dalam konsep potensi kreatif (dalam Alwisol, 2009: 201) menyatakan bahwa kreativitas merupakan ciri universal manusia sejak dilahirkan dan hal tersebut merupakan potensi setiap orang yang tidak memerlukan bakat dan kemampuan khusus dalam mewujudkannya. Adanya kreativitas dalam diri manusia dapat commit to user


(35)

memotivasi timbulnya ekspresi-ekspresi yang bebas sehingga memungkinkan terjadinya berbagai macam bentuk kreasi produk ciptaan manusia untuk sebuah tujuan tertentu.

Selain hal tersebut, penulis menggunakan teori hirarki kebutuhan manusia Abraham Maslow untuk mendukung dalam mengungkapkan latar belakang terjadinya praktik komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta. Maslow menyusun teori motivasi manusia, dimana variasi kebutuhan manusia dipandang tersusun dalam bentuk hirarki atau berjenjang. Maslow menggunakan piramida (gambar 1) sebagai peraga untuk memvisualisasikan gagasannya mengenai teori hirarki kebutuhan. Menurut Maslow, manusia selalu termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (Alwisol, 2009: 201). Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai yang paling rendah (bersifat dasar) sampai yang paling tinggi. Kebutuhan yang memungkinkan mendorong terjadinya komodifikasi adalah kebutuhan fisiologis, rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri dan kebutuhan aktualiasasi diri.

Gambar 1. Piramida Hirarki Kebutuhan Manusia Abraham Maslow (Sumber: Repro gambar dari buku Dariyo, 2008: 125)

Secara keseluruhan kebutuhan tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain dan jika semua kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka dimungkinkan menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya praktik komodifikasi pada semua benda ciptaan manusia. Praktik

Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan Rasa Aman

Kebutuhan Sosial Kebutuhan Harga Diri Kebutuhan Aktualisasi Diri


(36)

komodifikasi dalam hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu media atau alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia menurut hirarki kebutuhan Maslow.

Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan sangat penting untuk bertahan hidup. Diantaranya adalah kebutuhan udara, air, makan, tidur, dan lain-lain. Maslow percaya bahwa kebutuhan fisiologis sangat penting dan naluriah di dalam hirarki kebutuhan karena kebutuhan yang lain menjadi sekunder sampai kebutuhan ini terpenuhi (Awilsol, 2009: 204). Kebutuhan ini dinamakan juga basic needs yang jika tidak terpenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim maka manusia yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena seluruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya itu. Praktik komodifikasi pada sebuah produk yang dihasilkan manusia dimungkinkan terjadi bila sesorang tersebut membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya.

Kebutuhan fisiologis adalah pertahanan jangka pendek, sedangkan kebutuhan rasa aman adalah pertahanan jangka panjang (Alwisol, 2009: 204). Sejak bayi kebutuhan rasa aman telah muncul, dimana seorang bayi membutuhkan rasa aman seperti ketenangan, keteraturan, dan kesetabilan. Pada masa dewasa kebutuhan rasa aman ini kemudian terwujud dalam kebutuhan pekerjaan, gaji, tabungan, asuransi dan jaminan masa depan (Alwisol, 2009: 205). Kebutuhan-kebutuhan rasa aman pada masa dewasa ini memungkinkan terjadinya komodifikasi pada sebuah produk. Terjadinya pertukaran nilai guna menjadi nilai tukar pada sebuah produk membuat sesorang berfikir untuk berlomba-lomba mendapatkan tabungan dan jaminan masa depan yang lebih baik.

Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Individu diberi kesempatan dan kebebasan tanpa diskriminasi untuk menjalin interaksi sosial dengan siapa saja tanpa terkecuali (Dariyo, 2008: 124). Interaksi sosial sebagai salah satu commit to user


(37)

kebutuhan manusia berdampak pada munculnya sebuah komunikasi diantara masyarakat dan bentuk-bentuk komunikasi ini dapat dilihat dengan jelas pada praktik jual beli antara produsen dan konsumen. Disinilah dimungkinankan terjadinya komodifikasi pada sebuah produk dalam sebuah masyarakat.

Kebutuhan penghargaan dalam masyarakat sangat dibutuhkan bagi manusia dalam sudut pandang psikis. Penghargaan dari orang lain pada seseorang dapat memberikan rasa bangga dan berguna. Kebutuhan penghargaan ini dapat diperoleh jika seseorang dapat berguna bagi masyarakat (Dariyo, 2008: 124). Praktik komodifikasi pada sebuah produk dapat dijadikan seseorang sebagai media untuk memenuhi kebutuhan produk masyarakat sehingga dengan tidak disadari penghargaan itu akan muncul dalam diri si pembuat produk tersebut. Hal ini juga dapat memungkinkan munculnya praktik komodifikasi dalam sebuah masyarakat.

Aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri (Self fullfilment), untuk menyadari semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia dapat lakukan, dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya (Alwisol, 2009: 205). Manusia yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang utuh, memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain bahkan tidak menyadari adanya kebutuhan semacam itu.

Proses pencapaian pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat berkaitan dengan kreativitas diri yang dimiliki setiap individu dalam memperolehnya. Berdasarkan pandangan Maslow tersebut terlihat bahwa manusia berlomba-lomba mencapai kepuasan-kepuasan personal dengan memenuhi segala kebutuhan hidupnya sebagai akibat munculnya dorongan nafsu selera dalam diri. Hal ini kemudian diduga dapat memotivasi terjadinya komodifikasi pada produk seni yang dihasilkan oleh seniman untuk memfasilitasi atau memenuhi kepuasan-kepuasan personal penikmat seni atau masyarakat lain. commit to user


(38)

Menurut Alfred Alder (dalam Alwisol, 2009: 64) manusia terlahir dalam keadaan tubuh yang lemah dan tidak berdaya sehingga menimbulkan persaan inferiorita dan ketergantungan kepada orang lain. Kondisi lemah dan tidak berdaya ini pada akhirnya mendorong manusia untuk melakukan berbagai hal sebagai cara menutupi segala kekurangan yang dimilikinya. Hal-hal tersebut terangkum dalam enam teori pokok Adler sebagai berikut.

1) Perjuangan untuk menjadi suskses atau superiorita (striving for superiority).

Alder berpendapat bahwa setiap individu memulai kehidupannya dengan berbagai macam bentuk kekurangan fisik yang pada akhirnya menggerakkan perasaan inferioritas sang pribadi untuk berjuang ke arah keberhasilan atau superioritas (Semiun, 2013: 238). Adler (dalam Alwisol, 2009: 67) menegaskan bahwa motif utama setiap orang, pria, wanita, anak-anak dan dewasa adalah untuk menjadi kuat, kompeten, berprestasi dan kreatif. Hal inilah yang menjadikan manusia berjuang untuk meraih kesuksesannya ditengan segala kekurangan yang dimiliki.

2) Persepsi subyektif (subjective preception)

Setiap orang menentukan segala tujuan-tujuan untuk diperjuangkan atas dasar interpretasinya sendiri terhadap suatu fakta. Pendapat ini diperkuat oleh pandangan Alwisol dalam bukunya yang berjudul

“Psikologi Kepribadian” yang menyatakan bahwa kepribadian

seseorang dibangun bukan karena realita, tetapi atas keyakinan subjektif orang tersebut terhadap tujuannya untuk menjadi superioritas atau tujuan menjadi sukses (Alwisol, 2009: 67). Perspektif subjektif terhadap realita/fakta inilah yang pada akhirnya mengarahkan setiap individu berjuang menuju sebuah kesempurna hidup yang positif.

3) Kesatuan kepribadian (unity of personality)

Setiap manusia berusaha dengan keras untuk menyatukan segala pikiran, perasaan dan tindakannya menuju satu arah, yaitu arah commit to user


(39)

tujuan superioritas atau keberhasilan (Semiun, 2013: 243-244). Hal ini membuat setiap individu terlihat konsisten dan terarah sesuai dengan tujuan utamanya untuk mencapai keberhasilan.

4) Minat sosial (social interest)

Minat sosial merupakan sikap keterikatan diri dengan kemanusiaan secara umum, serta empati kepada setiap orang dengan tujuan bekerja sama untuk mencari keuntungan pribadi (Alwisol, 2009: 70). Inferioritas alamiah yang dimiliki manusia mengharuskan mereka bekerja sama dalam masyarakat. Tanpa perlindungan dan pemeliharaan orang lain seorang individu akan menghadapi kesulitan dalam kehidupannya (Semiun, 2013: 250). Dengan demikian minat sosial merupakan suatu kebutuhan yang penting dilakukan untuk mencapai suatu tujuan keberhasilan.

5) Gaya hidup (life of style)

Setiap orang memiliki tujuan sama dalam mencapai sebuah superioritasnya, namun untuk mencapai tujuan tersebut setiap manusia memiliki gaya masing-masing (Semiun, 2013: 258). Ada sesorang yang mengejar superioritasnya dengan mengembangkan kemampuan intelektualnya, namun ada juga orang yang mengejar superioritasnya dengan mengembangkan kekuatan otot. Hal ini dilakukan setiap manusia sesuai dengan gaya hidupnya masing-masing. Gaya hidup adalah cara unik bagaimana sesorang berjuang untuk mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan orang itu dalam kehidupan tertentu dimana dia berada (Alwisol, 2009: 73). Dengan kata lain gaya hidup merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi setiap individu dalam mencapai tujuan keberhasilannya.

6) Kekuatan kreatif diri (creative power of the self)

Manusia dalam perspektif psikologi kepribadian dipandang sebagai makhluk yang memiliki sifat alami kreatif. Sifat ini akan terlihat ketika manusia menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Alfred Alder (dalam Semiun, 2013: 262) menjelaskan bahwa setiap commit to user


(40)

manusia memiliki daya kreatif, yang dimaksud daya kreatif adalah kemampuan manusia dalam mengolah fakta-fakta dunia dan mentransformasikan fakta-fakta tersebut menjadi kepribadian yang bersifat subjektif, dinamik, menyatu, personal dan unik. Kekuatan daya kreatif tersebut pada akhirnya membuat setiap manusia menjadi manusia bebas, dan bergerak menuju tujuan yang terarah.

Mekanisme sublimasi Freud, ketidaksadaran kolektif Jung, konsep pribadi yang utuh Rogers, potensi kreatif dan hirarki kebutuhan Maslow, serta enam teori pokok Adler dalam konteks penelitian ini dirasakan tepat digunakan dalam menganalisis faktor pendorong terjadinya komodifikasi seni grafis pada karya cetak tinggi dan cetak saring seniman dari sudut padang psikologis seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf.

c. Ekonomi Mikro

Membicarakan persoalan jual beli barang dan jasa dalam wilayah rumah tangga dan perusahaan tentunya akan membawa kita masuk ke dalam pembahasan tentang ekonomi mikro. Teori ekonomi mikro didefinisikan juga sebagai suatu bidang ilmu ekonomi yang menganalisis bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan ekonomi (Sukirno, 2006: 21). Kajian cabang ilmu ini dipelopori oleh Adam Smith (...the Wealth of Nattion. 1776) yang berisi mengenai bagaimana harga suatu komoditi secara individu terbentuk; mengkaji bagaimana penentuan harga tanah, tenaga kerja dan modal, serta meneliti kelemahan dan kekuatan mekanisme pasar, selain sifat-sifat efesiensi pasar itu sendiri yang sangat mengagumkan dan manfaat ekonomi yang berasal dari tindakan individual yang bersifat self-intersted (Samuelson dan Nordhaus, 2001: 5). Dapat disimpulkan bahwa ekonomi mikro merupakan sebuah cabang ilmu ekonomi yang berada pada lingkup analisis perilaku dari masing-masing pelaku ekonomi.

Pokok pembahasan ekonomi mikro terkait dengan transaksi suatu barang adalah adanya permintaan (demand) dan penawaran


(41)

(supply) yang saling bertemu dan membentuk satu titik pertemuan dalam satuan harga dan kuantitas (jumlah barang). Setiap transaksi perdagangan terdapat permintaan, penawaran, harga dan kuantitas yang saling mempengaruhi satu sama lain.

Sukirno (2005: 25) dalam bukunya yang berjudul “Mikroekonomi: Teori Pengantar”, menyatakan bahwa permintaan adalah teori yang menerangkan tentang ciri-ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Disimpulkan bahwa teori permintaan adalah suatu teori yang menjelaskan khusus tentang permintaan dan tentang jumlah harga yang beredar di pasaran. Pada umumnya semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin sedikit jumlah permintaan atas suatu barang tersebut dan sebaliknya semakin rendah harga suatu barang, maka semakin banyak jumlah permintaan atas barang tersebut (Bangun, 2007: 30).

Penawaran adalah banyaknya barang yang ditawarkan oleh penjual pada suatu pasar tertentu, pada periode tertentu, dan pada tingkat harga tertentu (Sukirno, 2005: 25). Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa semakin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut yang akan ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang, semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan (Marshall, 1890: 15). Adanya penawaran dan permintaan ini mengindikasikan terjadinya transaksi perdagangan antara seniman sebagai produsen pencipta produk dan masyarakat sebagai konsumen yang mengkonsumsi produk sehingga dapat mendorong munculnya praktik-praktik komodifikasi pada karya seni dalam bentuk suatu komoditas barang.

Teori ekonomi mikro dalam konteks penelitian ini dipakai untuk menganalisis jumlah produksi barang dan harga produk yang secara langsung menjadi salah satu faktor keberlangsungan praktik komodifikasi seni grafis pada karya cetak tinggi dan cetak saring pegrafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf hingga saat ini. Kegiatan ekonomi ini tentunya tidak terlepas dari persoalan commit to user


(42)

ekonomi seperti; apa dan berapa barang yang harus diproduksi, bagaimana barang tersebut di produksi dan untuk siapa barang tersebut diproduksi. Menjawab persoalan tersebut pasar membutuhkan sebuah sistem ekonomi yang secara ekstrim keputusan ekonomi dapat ditentukan langsung pada pasar seperti sistem ekonomi pasar atau free-market capitlalist.

Meminjam istilah Adam Smith (dalam Sukirno, 2006: 64) tentang sistem ekonomi pasar yang lebih dikenal dengan sebutan laissez-faire, memiliki pemahaman setiap unit pelaku kegiatan ekonomi diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang akan memberikan keuntungan pada dirinya, maka pada waktu yang bersamaan masyarakat akan memperoleh keuntungan juga. Melalui proses mekanisme pasar, pengusaha dan penjual memiliki kebebasan untuk menentukan produksi barang yang dapat menghasilkan keuntungan dengan demikian produsen dapat melakukan efesiensi terhadap fator-faktor produksi yang terbatas dengan cara mengeluarkan biaya serendah-rendahnya dan meningkatkan produksi pada titik optimal.

Kebebasan sistem ekonomi pasar ini memungkinkan terjadinya praktik komodifikasi dikarenakan masyarakat dalam hal ini produsen diberi kebebasan dalam menciptakan bentuk-bentuk modifikasi produk sesuai kemampuan individu untuk tujuan mencari laba dengan sistem produksi yang efektif dan efisien sesuai dengan selera masyarakat. Pendekatan teori sistem ekonomi pasar ini dirasakan sesuai dalam menganalisis faktor penyebab terjadinya praktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta.

d. Industri Kreatif

Industri kreatif adalah sebuah industri masa depan yang bertumpu pada daya kreasi manusia. Istilah industri kreatif pertama kali dipopulerkan oleh Partai Buruh di Autralia paa awal tahun 1990-an sebagai upaya dalam mencari format baru untuk memperoleh d1990-ana commit to user


(43)

bagi penciptaan lapangan pekerjaan, tetapi kemudian istilah ini berkembang pesat di Inggris pada akhir tahun 1990-an. Pemerintah Inggris secara khusus membentuk Unit dan Penanggung jawab Industri Kreatif di bawah Departemen Budaya, Media dan Olah Raga (Primorac, 2006: 25). Dapat dipahami bahwa industri kreatif merupakan sebuah modal intelektual yang berkaitan erat dengan seni, teknologi, budaya, dan bisnis.

Berdasarkan UK DCMS (Department of Culture, Media and Sport) Task force 1998 (dalam Departemen Perdagangan RI, 2008: 4) defenisi industri kreatif dijelaskan sebagai berikut.

“creatives Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”

Definisi industri kreatif (dalam Departemen Perdagangan RI, 2008: 4) tersebut kemudian menjadi acuan bagi Departemen Perdangangan Republik Indonesia pada tahun 2007 untuk mendefinisikan industri kreatif di Indonesia sebagai berikut.

“Industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut” Peryataan tersebut diperkuat oleh Togar M Simatupang yang menjelaskan Industri kreatif adalah industri yang berfokus pada kreasi dan eksploitasi karya kepemilikan intelektual seperti seni rupa, film, dan televisi, piranti lunak, permainan, atau desain fesyen, dan termasuk layanan kreatif antar perusahaan seperti iklan, penerbitan dan desain (2007: 4). Berdasarkan beberapa defenisi diatas terlihat bahwa industri kreatif banyak bertumpu pada pemanfaatan kreatifitas, keterampilan serta bakat seseorang untuk mewujudkan kesejahteraan serta menyediakan lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan selalu mengupayakan daya kreasi dan daya cipta. Dapat disimpulkan bahwa industri kreatif adalah industri yang unsur utamanya adalah commit to user


(44)

kreativitas, keahlian, dan talenta yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan melalui penawaran kreasi intelektual.

Terdapat 14 sektor industri kreatif berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia yang meliputi sektor periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, feysen, video, film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertujukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, riset dan pengembangan (Departemen Perdagangan RI, 2008: 6). Departemen Perdagangan Indonesia memperinci sektor pasar barang seni sebagai kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan dan internet.

Secara umum pengembangan industri kreatif sangat penting dilakukan disuatu negara, hal ini disebabkan karena industri kreatif memiliki kontribusi ekonomi yang signifikan bagi perekonomian, menciptakan iklim bisnis yang positif, dapat memperkuat citra dan identitas bangsa, mendukung pemanfaatan sumber daya terbarukan, sebagai pusat penciptaan inovasi dan pembentukan kreativitas, serta memiliki dampak sosial yang posisitf (Departemen Perdagangan RI, 2008: 23).

Pendekatan teori industri kreatif dalam konteks penelitian ini digunakan untuk menganalisa penyebab dan proses terjadinya praktik komodifikasi dari karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf sebagai pelaku usaha yang telah bergerak dibidang industri kreatif.

e. Fungsi Politis Seni

Setiap karya seni yang diciptakan oleh seorang seniman selalu memiliki fungsi, baik fungsi estetisnya maupun fungsi politisnya. Walter Benjamin (dalam Husnan, 2013: 544) memiliki pandangan bahwa karya seni mampu direproduksi secara massal, karena semua commit to user


(45)

artefak dari hasil tangan manusia akan dapat ditiru oleh manusia lainnya dan reproduksi mekanis terhadap sebuah karya seni dikemudian hari akan melahirkan sesuatu yang baru. Gregory Ulmer (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005: 34) berpendapat bahwa munculnya reproduksi massal merupakan sebuah bentuk upaya perubahan suatu karya atau penanda yang “dimotivasi ulang” dalam konteks baru. Walter Benjamin kemudian menerbitkan sebuah esai yang berjudul “The Work of Art in the Age of Mechanical

Reproduction”. Esai tersebut memaparkan bahwa adanya kemampuan

mereproduksi melalui teknologi berpotensi mengembangkan bentuk dan praktik kreatif dari seni menjadi produksi yang bersifat massal (Benjamin,1969: 218).

Munculnya aktivitas reproduksi mekanis ini tentunya memiliki dampak tersendiri atas karya seni. Hilangnya “aura” dalam karya seni menjadi konsekuensi atas lahirnya reproduksi mekanis. Konsep “aura” yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa budaya reproduksi secara masal dalam masyarakat industri kapitalisme telah menghilangkan kekuatan “aura” seni dan kedalaman estetis dari hal-hal yang diproduksi (Sutrisno dan Putranto, 2005: 34). “Aura” ini hilang akibat kegiatan mereproduksi yang hanya dimaknai sebagai kegiatan teknis saja untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomi. Karya seni dalam hal ini telah berhenti berperan sebagai objek pemujaan keagamaan, kehilangan nilai prosesnya, dan menempati posisi baru sebagai sebuah nilai pertunjukan antara karya dengan penonton (Husnan, 2013: 538). Posisi baru inilah yang dipahami oleh Walter Benjamin sebagai sebuah sifat “orisinalitas” karya seni yang telah direproduksi dalam konteks baru.

Kenyataan ini kemudian membuka ruang bagi “fungsi politis” dari karya seni. Fungsi politis ini terlihat dengan munculnya praktik-praktik komodifikasi pada karya seni. Pemahaman fungsi politis seni dalam konteks penelitian ini digunakan untuk menganalisa proses


(46)

terjadinya praktik komodifikasi pada objek karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

f. Art and Craft Movement

Art and Craft Movement adalah sebuah gerakan yang muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Inggris. Gerakan ini muncul sebagai sebuah perlawanan untuk mengembalikan proses manual atau buatan tangan (handmade) atas produksi benda-benda seni dan kerajinan yang telah dihasilkan oleh manusia bertenaga mesin pada masa Revolusi Industri (Adityawan S, 2010: 39). Masa Revolusi Industri telah menggeser keterampilan tangan dan kesenangan manusia dalam menciptakan produk-produk seni dan kerajinan.

Tokoh pendiri gerakan Art and Craft Movement ini adalah John Ruskin dan bersama muridnya yang bernama William Morris pada tahun 1888 di Inggris (Adityawan S, 2010: 39). John Ruskin memulai gerakannya melalui sebuah kritik dalam ide-ide tulisannya yang sangat inspiratif. Ide-ide tersebut kemudian diwujudkan oleh William Morris dalam sebuah produk logam, mebel, tekstil, dan produk cetak. Ruskin dan Morris memiliki pemahaman sosialis, hal ini terlihat dari ide-ide yang diusungnya sebagai berikut (Adityawan S, 2010: 39).

1) Reformasi sosial (individu lebih rasional, masyarakat yang lebih harmonis).

2) Penolakan metode kerja pabrik yang membuat buruh bekerja secara mekanis tanpa kesenangan.

3) Berkiblat pada metode kerja abad pertengahan (setiap individu memiliki ketrampilan tangan dan rasa senang ketika menciptakan sebuah barang)

4) Menghasilkan barang yang indah dengan harga yang terjangkau orang banyak.


(47)

Lahirnya gerakan Art and Craft Movement memberikan kesan kembali pada abad pertengahan ketika munculnya aliran-aliran seni seperti gothic, roccoco, dan renaissance. Salah satu ciri utamanya yang menandakan kesan ini adalah karya seni dibuat secara individu oleh seniman dengan sentuhan artistik yang khas dan setiap karya diciptakan dengan serius dan teliti. Atas jasa William Morris dan John Ruskin proses manual atau dengan tangan (handmade) pada penciptaan benda seni telah kembali pada tradisi mulanya. Berdasarkan ide-ide yang muncul pada gerakan Art and Craft Movement di Inggris terlihat ada sebuah benang merah yang sama dengan ide-ide munculnya gejala praktik komodifikasi karya seni grafis yang dilakukan beberapa seniman di Yogyakarta.

Atas dasar persamaan pemahaman inilah gagasan gerakan Art and Craft Movement digunakan dalam konteks penelitian ini untuk menganalisa pemahaman dasar atau ideologi yang digunakan seniman dalam melakukan proses komodifikasi objek karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

g. Seni Grafis dan Nilai Orisinalitas dalam Karya Seni Grafis

Seni grafis dikenal sebagai medium eskpresi dua dimensional, yang dimana pada proses kerjanya menggunakan prinsip teknik cetak. Terdapat beberapa teknik cetak dalam seni grafis, diantaranya adalah teknik cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, dan cetak saring. Kata grafis sendiri berasal dari kata graphein sebuah kata yang memiliki arti “menulis” atau “menggambar” dan graphein merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani. Disimpulkan bahwa seni grafis merupakan pengubahan gambar melalui proses cetak manual yang menggunakan material tertentu dengan tujuan memperbanyak karya (Susanto, 2011: 162). Hal ini selaras dengan pernyataan Nooryan Bahari dalam bukunya yang berjudul “Kritik Seni Wacana, Apresiasi dan Kreasi” menjelaskan bahwa seni grafis merupakan bagian dalam seni murni yang memiliki wujud dua dimensional yang dihasilkan commit to user


(48)

melalui proses cetak (Bahari, 2008: 83). Seni grafis merupakan sebuah media ekspresi seni yang memiliki kecendrungan untuk direproduksi secara masal dengan menggukan prinsip cetak pada pembuatan karyanya.

Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang seni grafis, tentunya kita harus terlebih dahulu memahami posisi seni grafis dalam dunia seni rupa moderen. Dalam dunia seni rupa moderen kedudukan seni grafis sejajar dengan seni-seni lainnya, seperti lukis, patung maupun keramik dan kesemuanya masuk ke dalam bagian rumpun seni murni (Santo, 2012: 104).

Seni grafis sebagai sebuah medium ekspresi yang memiliki beberapa keistimewaan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pilihan teknis cetak yang memiliki karakter visual berbeda-beda dan disamping itu seni grafis memiliki sifat dasar dilipatgandakan atau direproduksi secara masif dengan tetap tidak mengurangi nilai orisinalitas dalam karyannya. Teknis cetak yang terdapat pada proses kerja seni grafis meliputi cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar, dan cetak saring (Bahari, 2008: 83). Nilai orisinalitas dalam karya seni grafis tetap terjaga walaupun karya tersebut dicetak puluhan maupun ratusan kali oleh senimannya, hal ini telah jelas disepakati secara internasional dalam Third International Congress of Plastic 1960 yang diadakan di Wina. Dalam kongres tersebut dengan jelas dipaparkan bahwa karya seni grafis pada prinsipnya adalah karya orisinal dengan pertimbangan kerja tangan seniman berlaku di atas plat cetak dan hasil cetakannya disetujui oleh seniman. Dalam seni grafis, setiap edisi memiliki nilai orisinal yang ditandai melalui pembubuhan tanda tangan seniman pada setiap hasil cetakan serta nomor urut cetakan (Siregar, 2009: 8).

Teori seni grafis dan nilai orisinalitas karya seni grafis dalam penelitian ini digunakan untuk melihat apakah karya seni yang diciptatakan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta merupakan karya seni yang termasuk dalam rumpun seni commit to user


(49)

grafis. teori ini kemudian akan dijadikan sebagai acuan untuk mengkaji apakah karya seni grafis konvensional yang telah dikomodifikasi kehilangan nilai orisinalitasnya sesuai dengan kajian komodifikasi karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan Muhamad Yusuf yang terjadi di Yogyakarta.

h. Sejarah Seni Grafis di Yogyakarta dan Perubahannya

Keberadaan seni grafis di Eropa muncul pertama kali di Jerman pada periode akhir abad bertengahan atau awal periode renaissance yang ditandai dengan kehadiran karya-karya menarik dari seniman terkenal Albercht Durer. Sedangkan di Asia seni grafis sangat terkenal di Jepang dengan istilah cetak cukil Ukiyo-e dan salah satu seniman yang terkenal pada massa itu adalah Hokusai (Santo dkk, 2012: 104). Kemudian seni grafis semakin menyebar keseluruh dunia melalui proses kolonialisme bangsa Barat dan Asia hingga pada akhirnya masuk ke wilayah nusantara.

Keberadaan seni grafis bagi aktivitas masyarakat di Indonesia merupakan sebuah praktik kesenian yang telah muncul sejak lama. Hal ini selaras dengan pernyataan Jakob Sumardjo dalam bukunya yang berjudul “Asal-usul Seni Rupa Modern Indonesia” menyatakan bahwa seni grafis merupakan salah satu praktik seni yang telah akrab dan dekat dengan kehidupan masyarakat di Indonesia sejak abad 18 (Sumardjo, 2009:10). Masuknya seni grafis di Indonesia diiringi dengan kedatangan bangsa-bangsa kolonial pada zaman pra kemerdekaan. Pernyataan ini diperkuat oleh Jakob Sumardjo yang menyatakan bahwa pratik seni grafis pertama kali diperkenalkan oleh Johannes Rach seorang kebangsaan Denmark yang berkerja pada VOC pada abad 18 (Sumardjo, 2009:10). Pada abad ke 19 dominasi seni cetak semakin kuat di nusantara, hal ini ditujukan dengan banyaknya seniman yang melakukan kerja sampingan mencetak untuk keperluan kaum antropolog, botani, arkeologi dan etnografi (Sumardjo, 2009: 39). commit to user


(1)

9 EKO NUGROHO Mural Kaos, Tas, Top, dan Toys (Mainan)

10 FARID STEVY ASA

Lukis Kaos


(2)

12 INDIEGUERILLA S

Lukis Kaos dan Tas

13 IWAN EFFENDI Drawing Kaos

14 ISROL

“MEDIALEGAL”


(3)

15 KRISNA WIDIATHMA

Drawing Kaos

16 KURMA ELDA GUSTRIYANTO

Drawing Kaos dan Tas

17 MUHAMAD

YUSUF

Cukil Kayu Kaos, Emblem, Kalender


(4)

18 RESTU RATNANINGTIY

AS

Lukis Boneka

19 SANTI

ARIESTYOWATI DAN DYAYTMIKO

BAWONO

Lukis Kaos, topi dan Tas

20 SATRIA RIFAI Cukil Kayu Kaos dan Tas


(5)

21 SINTA CAROLINA

Drawing Tas, Bantal dan Tempat Pensil

22 SRI MARYANTO Cukil Kayu Kaos dan Tas

23 TAMIMI BOX Drawing Kaos, Cover Buku,


(6)

24 UJI HANDOKO EKO S

Drawing Kaos

25 WEDHAR RIYADI Lukis dan Drawing Kaos, Bantal dan Tas