tesis tsabit azinar ahmad sejarah pps uns 2010

(1)

ii TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh

Tsabit Azinar Ahmad S860209113

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

iii Disusun oleh

Tsabit Azinar Ahmad S860209113

Telah disetujui oleh tim pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Dr. Warto, M.Hum ___________ _______ NIP 196109251986031001

Pembimbing II Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. ___________ _______ NIP 195907081986012001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Dr. Warto, M.Hum. NIP 196109251986031001


(3)

iv Disusun oleh

Tsabit Azinar Ahmad S860209113

Telah disetujui oleh tim penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Dr. Suyatno Kartodirdjo ___________ _______ Sekretaris Prof. Dr. Siswandari, M.Stat. ___________ _______ Anggota Penguji 1. Dr. Warto, M.Hum. ___________ _______ 2. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. ___________ _______

Mengetahui

Ketua Prodi. Dr. Warto, M.Hum. ___________ _______ Pendidikan Sejarah NIP 196109251986031001

Direktur Program Prof. Dr. Suranto, M.Sc. Ph.D. ___________ _______ Pascasarjana NIP 195708201985031004


(4)

v NIM : S860209113

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota Semarang” adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, 29 Juli 2010 Yang membuat pernyataan


(5)

vi  Belajar, Bergerak, Berkarya


(6)

vii

 Untuk kedua orang tuaku, adik-adikku (Diaz Cagar Biru Langit & Kembang Gunung Rinjani), serta saudara-saudaraku atas segala limpahan cintanya

 Untuk Robiatul Adawiyyah, atas inspirasi yang tak habis-habisnya

 Untuk guru-guruku yang telah memberi teladan ilmu dan teladan laku

 Untuk sahabat-sahabatku yang bersama-sama belajar “berilmu” dan “ber-laku”


(7)

viii

rahmat-Nya tesis dengan judul “Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota Semarang” telah diselesaikan. Disadari bahwa dalam penyusunan tesis ini, keberhasilan bukan semata-mata diraih oleh penulis, melainkan diraih berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, penulis bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyusunan penelitian ini. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur PPs UNS yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian.

2. Dr. Warto, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS Surakarta sekaligus pembimbing I tesis yang dengan kesabaran senantiasa memberikan pengarahan, motivasi, dan masukan-masukan yang berharga dalam penelitian.

2. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan Sejarah PPs Surakarta, sekaligus pembimbing II tesis, atas masukan-masukan yang sangat berharga, koreksi-koreksi yang kritis, dan bimbingan dengan penuh kesabaran.

3. Prof. H.B. Sutopo, M.Sc., M.Sc., Ph.D. (alm.) atas masukan-masukan yang berharga dan catatan-catatan kritis pada awal penelitian tesis.


(8)

ix

6. Guru-Guru sejarah di SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA N 12 Semarang atas partisipasinya dalam penelitian ini.

7. Teman-teman pada Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS, terutama angkatan 2009 dan 2010 (Atno and the gang) atas kekompakan dan nasihat-nasihatnya pada penulis.

8. Teman-teman di komunitas Taman Baca Ngudi Kawruh (Syaiful Amin, Ahmad Fauzan Mubarok), PMII Komisariat Al Ghozali Semarang, Patemon Syndicate (Taofiq, Saif, Vicki, Fatkhan), Kos Al Ikhlas Kentingan (Bambang, Anjar, Agung, Ncep, Topan), teman-teman dan saudara di Solo (mba Cicun, Ivan, Ari) atas segala keceriaan dan kebersamaannya. Terima kasih juga pada sahabat Edi Subkhan atas referensi-referensi mutakhir tentang critical pedagogy, untuk Astria Ratna Wardhani atas koreksi Bahasa Inggrisnya. 9. Kedua orang tua (Abdul Aziz Baihaqi dan Diyah Lindiarti), adik-adik, Pak

Dhe/Bu Dhe, Pak Lik/Bu Lik, dan semua saudara atas segenap limpahan cintanya. Spesial untuk Robiatul Adawiyyah (Dhay), terima kasih atas inspirasi-inspirasinya. Tesis ini spesial untuk kado ultahmu.

Pada penyusunannya, tesis ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat dibutuhkan sebagai upaya perbaikan.

Surakarta, 29 Juli 2010


(9)

x

PENGESAHAN PEMBIMBING ……… PENGESAHAN PENGUJI TESIS ………. PERNYATAAN ……….. MOTO ………. PERSEMBAHAN ………... KATA PENGANTAR ………. DAFTAR ISI ……….. DAFTAR TABEL ………... DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR LAMPIRAN ………... ABSTRAK ………... ABSTRACT ………

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………. B. Rumusan Masalah ……… C. Tujuan Penelitian ………. D. Manfaat Penelitian ………...

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori ……….

1. Critical Pedagogy ………. 2. Sejarah Kontroversial ……… 3. Pembelajaran Sejarah Kontroversial ……… B. Penelitian yang Relevan ……….. C. Kerangka Pikir ……….

iii iv v vi vii viii x xi xiii xiv xv xvi 1 10 10 11 12 12 31 40 53 65


(10)

xi

D. Teknik Pengumpulan Data ………. E. Teknik Cuplikan ……….. F. Validitas Data ……….. G. Teknik Analisis ………

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ……… 1. Deskripsi Latar ………..

2. Sajian Data ……….

B. Pokok-Pokok Temuan

1. Pemahaman Guru terhadap Critical Pedagogy sebagai Pendekatan Pembelajaran Sejarah Kontroversial ………. 2. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah

Kontroversial ………. 3. Kendala Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy dalam

Pmbelajaran Sejarah Kontroversial ……….. 4. Apresiasi Peserta Didik terhadap Implementasi Critical

pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial ………

C. Pembahasan ……….

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan ………..

B. Implikasi ………..

C. Saran ………

73 75 76 78 81 81 108 183 183 185 186 187 272 275 277


(11)

(12)

xiii

1. Beberapa Aspek Perbedaan dalam Sejarah Kontroversial Nonkontemporer dan Kontemporer ……….. 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ……… 3. Beberapa media dan sumber belajar tentang peristiwa Gerakan 30

September tahun 1965 ………. 4. Analisis Kendala-Kendala dalam Perencanaan Pembelajaran

Sejarah yang Bersifat Kontroversial ……… 5. Analisis Kendala-Kendala dalam Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah yang Bersifat Kontroversial ………

38 69

237

241


(13)

xiv

1. Kerangka Pikir Penelitian ……… 2. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif………….. 3. Kemunculan Sejarah kontroversial dan macam pertentangan yang

terjadi di dalamnya ……….. 4. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Pemahaman

Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy pada Pembelajaran Sejarah Kontroversial ……….. 5. Fungsi Media Pembelajaran dalam Pembelajaran Sejarah

Kontroversial ……….. 6. Identifikasi Penyebab Permasalahan Pembelajaran Sejarah

Kontroversial ………... 7. Keterkaitan antara Pembelajaran, Historiografi, dan Masyarakat

dalam Pendidikan Sejarah dalam Perspektif Critical Pedagogy …. 8. Upaya Pemecahan Permasalahan Pembelajaran Sejarah

Kontroversial dalam Perspektif Critical Pedagogy ……….……... 9. Pola Hubungan Sinergis Enam Komponen Penopang Pendidikan

Sejarah ………...……….. 66 80

220

225

236

247

251

264


(14)

xv

1. Pedoman Wawancara, Observasi, dan Analisis Dokumen 2. Daftar Informan

3. Contoh Silabus, RPP, dan Materi Ajar 4. Dokumentasi Penelitian

5. Surat Izin Penelitian

287 291 293 306 308


(15)

xvi Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang (1) Pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial; (2) Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial; (3) Kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial; (4) Pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus terpancang (embedded research). Penelitian dilakukan di beberapa SMA Negeri se-Kota Semarang, yaitu di SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA N 12 Semarang. Sumber data terdiri atas informan (guru-guru sejarah dan peserta didik), dokumen (silabus, RPP), serta tempat dan peristiwa (kelas dan kegiatan pembelajaran). Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi, dan content analysis. Validitas data menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Analisis data menggunakan analisis interaktif dengan tiga tahapan analisis, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan yang berinteraksi dengan pengumpulan data secara siklus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dalam praksis pendidikan di Indonesia, critical pedagogy hanya dipahami oleh kalangan terbatas dan belum diperkenalkan formal dan teknis karena rendahnya kemauan dan kemampuan guru serta adanya masalah historiografi, ideologi penguasa, dan kebijakan yang belum mendukung pelaksanaan critical pedagogy; (2) Pelaksanaan critical pedagogy masih berjalan setengah hati karena konsep yang dipegang oleh guru masih berada dalam tahap refleksi dan lemah dalam tahap aktualisasi, sehingga pembelajaran menjadi out of context; (3) Implementasi critical pedagogy masih mengalami kendala dalam pembelajaran sejarah kontroversial dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan faktor penunjang pembelajaran; (4) Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy memiliki potensi untuk dapat menarik minat peserta didik dan melibatkan mereka aktif dalam menanggapi berbagai permasalahan.

Kata kunci : critical pedagogy, pembelajaran sejarah, sejarah kontroversial, SMA.


(16)

xvii Graduate Program of Sebelas Maret University.

This research is aimed to describe (1) History teachers’ understanding about critical pedagogy as an approach to study controversial history; (2) the implementation of critical pedagogy in controversial history learning; (3) obstacles found when implementing critical pedagogy in controversial history learning; (4) students’ opinions and perceptions toward critical pedagogy implementation in controversial history learning.

This research used qualitative method with embedded research. This research was conducted in several public high schools in Semarang city namely: SMAN 1 Semarang, SMAN 5 Semarang, and SMAN 12 Semarang. The data source consists of informant (history teachers and the students), document (syllabus, RPP), place and event (classroom and learning activity). The data were collected through depth interview, observation, and content analysis. The data validity was achieved through data and method triangulation. This research uses interactive analysis to analyze the data. This analysis method consist of three steps; data reducing; data presenting; and conclusion drawing interacted with data collecting in a cyclic framework.

The research results show that: (1) in Indonesian educational praxis, critical pedagogy is only being understood by limited number of people and not being formally and technically introduced yet for some reason; less willingness and capability of the teachers; historiography; political reason (government); and unsupportive policy in implementing critical pedagogy: (2) the implementation of critical pedagogy can be considered stuck in halfway since the concepts held by the teachers are still in the stage of reflection and weak in the actualization stage so that the learning activity becomes out of context: (3) there are still some obstacles in implementing critical pedagogy in controversial history learning, especially in its plan, implementation, and supportive learning factor: (4) in the perspective of critical pedagogy, learning controversial history can potentially attract students’ interest in the class activity and involve them actively in responding varied issues.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan sejarah tidak pernah lepas dari unsur kepentingan politik. Di dalam praksisnya, minimal ada dua jenis kepentingan dalam pendidikan sejarah. Pertama, pendidikan sejarah dipandang sebagai alat untuk menumbuhkan nasionalisme dan kesadaran kolektif tentang identitas kebangsaan. Kedua, pendidikan sejarah dilihat sebagai alat legitimasi kekuasaan. Makna politis pertama dikategorikan sebagai kepentingan yang bersifat afirmatif. Sementara itu, makna kedua bersifat kompulsif dan manipulatif. Sifat kompulsif dan manipulatif itu disebabkan adanya pemanfaatan sejarah untuk kepentingan salah satu pihak dengan menonjolkan keunggulan-keunggulan penguasa dan mereduksi sejarah yang tidak sesuai dengan “sejarah resmi”. Realisasi dalam pembelajaran sejarah di sekolah kecenderungan kedua ini lebih menonjol daripada kecenderungan yang pertama.

Pemanfaatan pendidikan sejarah sebagai alat kepentingan kekuasaan pernah terjadi pada pemerintahan Orde Baru. Dwight Y King (dalam Arif Rohman, 2009: 177) menjelaskan bahwa kekuasaan politik Orde Baru memiliki karakter bureaucratic authoritarian yang ditandai dengan adanya dominasi peran negara di segala bidang dan adanya penekanan terhadap kekuatan politik lain. Dominasi itu terlihat dari pemberlakuan kurikulum nasional untuk seluruh


(18)

sekolah. Arif Rohman (2009: 13) menjelaskan bahwa “pemberlakukan kurikulum nasional memiliki hidden goals berupa terwujudnya penyeragaman yang memungkinkan negara mengatur materi dan isi kurikulum, serta adanya marginalisasi dan kooptasi otonomi guru”.

Pada pemerintahan Orde Baru, pendidikan digunakan sebagai alat kepentingan kekuasaan negara. Darmaningtyas dalam Media Indonesia (2005: 22) menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Orde Baru, pendidikan merupakan ajang indoktrinasi ideologi militeristik dan pemenangan partai tertentu dalam pemilihan umum, sehingga menyebabkan terhambatnya kualitas pendidikan nasional. Selanjutnya, Winarno Surakhmad dalam Suara Pembaruan (2008: 13) menyatakan bahwa intervensi politis dalam bidang pendidikan menyebabkan dunia pendidikan tergantung oleh proses politik penguasa dan hal ini merupakan kesalahan terbesar pemerintah dalam hal pengembangan pendidikan. Permasalahan-permasalahan di atas terjadi dalam pendidikan nasional secara umum, termasuk dalam pendidikan sejarah. Materi-materi sejarah telah diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan tujuan penguasa. Pengaturan itu tampak dengan adanya tulisan sejarah yang bersifat manipulatif. Oleh karena itu, pendidikan nasional terutama pendidikan sejarah telah mengalami proses eksploitasi menjadi instrumen untuk menanamkan watak loyal dan kepatuhan bagi warga negara terhadap kekuasaan negara (Arif Rohman, 2009: 11).

Pada masa Orde Baru, pemerintah sedemikian rupa melakukan upaya pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang seragam dan sesuai dengan versi pemerintah. Upaya pembentukan pengetahuan sejarah telah


(19)

menyebabkan tidak adanya apresiasi terhadap tulisan dan pemikiran sejarah yang bersifat alternatif, serta memunculkan kecenderungan rekayasa sejarah untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (2008: 3) menyatakan “para sejarawan kritis telah menunjukkan bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam suara dari pihak-pihak yang dianggap mengganggu dan mengancam pemerintahan militer yang berkuasa”. Senada dengan hal di atas, Bambang Purwanto (2001a: 111) menjelaskan bahwa “Indonesian history is considered primarily as a product of social and political engineering of the New Order rather than an appropriate scholarly apparatus”. Sejarah Indonesia ditetapkan sebagai hasil dari mesin sosial dan politik dari Orde Baru daripada (hasil dari) pihak akademisi.

Dominasi penguasa terhadap pendidikan sejarah pada pemerintahan Orde Baru memunculkan dampak yang negatif. Slamet Soetrisno (2006: 55) menyebutnya sebagai “teror sejarah” yang ditandai dengan pergeseran sejarah ke arah mitos dan penggunaan sejarah untuk kepentingan-kepentingan individual. Pada masa pemerintahan Orde Baru kisah kepemimpinan Soeharto digeser ke arah mitos sebagai godfather, penyelamat bangsa, pengaman Pancasila, sampai kemudian mendapatkan gelar “Bapak Pembangunan” (Slamet Soetrisno, 2007: 55-56). Kecenderungan tersebut tampak pada penempatan sosok Soeharto sebagai tokoh sentral sejarah Indonesia, terutama semenjak Serangan Umum 1 Maret sampai memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 dan keluarnya Surat Perintah 11 Maret tahun 1966. Selain itu, tema sentral yang sering dimunculkan adalah tentang keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh Orde


(20)

Baru. Peristiwa-peristiwa inilah yang senantiasa ditampilkan secara berlebihan dan tidak seimbang dalam pendidikan sejarah.

Kecenderungan mitologisasi dalam pendidikan sejarah memunculkan dikotomi yang oleh Paulo Freire (2008: 12-24) disebut dengan kaum penindas dan kaum tertindas. Penguasa Orde Baru bertindak sebagai kaum penindas. Sementara itu, guru, murid, dan masyarakat termasuk dalam kelompok tertindas. Penindas melakukan proses “penjinakan” melalui proses “pemolaan” dengan pemaksaan pilihan dan mengembangkan kesadaran palsu (Freire, 2008: 16). Kenyataan ini berkembang dalam proses pendidikan sejarah pada pemerintahan Orde Baru.

Pemanfaatan sejarah sebagai alat semakin terlihat dengan ditetapkannya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) pada kurikulum 1984 dan 1986. Pelaksanaan PSPB didasarkan pada Ketetapan MPR No. II/MPR/1982 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Di dalam PSPB terdapat tujuan instruksional yang sangat bermakna politis untuk menonjolkan peran Orde Baru sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi. Tujuan instruksional tersebut berbunyi “peserta didik meyakini bahwa Orde Baru mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat” (Asvi Warman Adam, 2005: 96).

Kecenderungan pendidikan sejarah digunakan sebagai alat penguasa mulai terkikis setelah reformasi. Kecenderungan tersebut tampak dari munculnya tahapan baru dalam penulisan sejarah. Penulisan sejarah merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pendidikan sejarah karena menunjang pelaksanaan pembelajaran sejarah. Kuntowijoyo seperti dikutip Asvi Warman Adam (2007a: 8-9) menyebut tahapan baru penulisan sejarah Indonesia dengan istilah


(21)

“gelombang ketiga historiografi Indonesia”. Gelombang ketiga dalam historiografi Indonesia ditandai dengan adanya upaya pelurusan terhadap hal-hal yang kontroversial dalam sejarah yang ditulis semasa Orde Baru.

Berkembangnya nuansa kebebasan dalam masyarakat dan munculnya tahapan baru historiografi Indonesia telah memberikan pandangan baru bagi masyarakat tentang pemikiran-pemikiran alternatif. Pada saat ini telah banyak beredar buku-buku tentang peristiwa-peristiwa yang semasa Orde Baru dianggap terlarang, seperti penulisan beberapa versi baru tentang Gerakan 30 September. Selain itu, ada pula penerbitan-penerbitan sejarah akademis kritis berupa karya-karya ilmiah yang berasal dari penelitian-penelitian baik disertasi, tesis, skripsi, atau penelitian lainnya. Kemudian setelah reformasi muncul pula penerbitan biografi tokoh-tokoh terbuang, seperti A.M. Hanafi, Sulami, Aidit dan keluarganya, serta Tan Malaka. Beberapa hal tersebut menurut Asvi Warman Adam (2007a: 9-14) menjadi ciri dalam tahapan ketiga historiografi Indonesia yang di satu sisi memunculkan konsekuensi bahwa kontroversi sejarah tidak lagi dianggap tabu dalam perbincangan umum. Namun demikian, di sisi lain dinamika penulisan sejarah tidak sejalan dengan pelaksanaan pembelajaran sejarah di sekolah.

Keterbukaan dalam pendidikan sejarah setelah reformasi yang ditandai dengan dinamika penulisan sejarah, ternyata belum memberikan perubahan dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Praksis pembelajaran sejarah ternyata tidak sejalan dengan perkembangan yang pesat dalam historiografi setelah reformasi. Pembelajaran sejarah sekolah masih berada dalam situasi yang stagnant. Stagnasi


(22)

dalam pembelajaran senada dengan pendapat bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang paling konservatif di dalam era refomasi dewasa ini (Tilaar, 2002: 101). Stagnasi dalam pembelajaran sejarah terlihat pada upaya penguasa yang masih tetap melakukan campur tangan secara berlebihan dalam pendidikan sejarah. Walaupun terjadi perubahan dalam kurikulum, mulai dari adanya suplemen tahun 1999, Kurikulum 2004, sampai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, masih ada seperangkat kebijakan pemerintah yang masih belum membuka peluang maksimal untuk pengembangan proses berpikir kritis peserta didik.

Kecenderungan sikap pemerintah yang represif terutama tampak pada pembelajaran sejarah kontroversial di sekolah. Pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial masih belum maksimal. Materi-materi yang diajarkan masih sebatas pada materi-materi yang tidak memberikan pengaruh dan bersinggungan langsung dengan masyarakat, seperti materi-materi dari sejarah yang peristiwanya jauh dari masa sekarang. Sementara itu, materi-materi sejarah kontemporer yang bersifat sensitif dan politis seperti Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 belum sesuai dengan perkembangan historiografi setelah reformasi. Hal ini tampak dari adanya intervensi yang berlebih dari pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965 (Asvi Warman Adam, 2007a: xiv). Munculnya kenyataan seperti ini merupakan salah satu hal yang menghilangkan kaidah sejarah sebagai ilmu, sekaligus menjadikan sejarah sebagai


(23)

alat indoktrinasi untuk menghasilkan pengikut yang penurut (Bambang Purwanto, 2006: 270).

Keadaan tersebut bertentangan dengan tahapan pengajaran sejarah yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo. Kuntowijoyo (1995: 3-4) menyatakan bahwa pendekatan pengajaran sejarah pada jenjang pendidikan SMA, mestinya diajarkan secara kritis. Melalui pendekatan itu diharapkan peserta didik “mampu berpikir mengapa sesuatu terjadi, apa yang sebenarnya terjadi, serta ke mana arah kejadian-kejadian itu”, sebab pada jenjang tersebut daya nalar peserta didik sudah bisa diajak untuk berpikir secara kritis (Kuntowijoyo, 1995: 4).

Kenyataan itu membutuhkan satu pendekatan khusus dalam pelaksanaan pendidikan sejarah, agar pembelajaran sejarah dapat sesuai dengan perkembangan pemikiran anak yang telah mampu berpikir secara kritis. Di negara-negara maju pada saat ini telah berkembang satu ideologi pendidikan yang berupaya memberikan suatu kesadaran kritis bagi peserta didik, yakni dengan menerapkan

critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan dan

pembelajaran.

Critical pedagogy merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang

memandang bahwa terdapat muatan-muatan politis dalam pendidikan. Critical

pedagogy bertujuan memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi

ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan (Agus Nuryatno, 2008: 1-2). Pendidikan kritis memandang bahwa terdapat relasi antara pengetahuan, kekuasaan, dan ideologi. Di dalam pendidikan kritis, dikenal adanya


(24)

menyingkap fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan common sense (akal sehat). Oleh karena itu, pendidikan kritis atau critical pedagogy sangat relevan sebagai pendekatan dalam pendidikan sejarah. Terlebih lagi dalam pendidikan kritis landasan yang digunakan adalah keadilan dan kesetaraan. Penerapan critical pedagogy dalam pendidikan sejarah diharapkan mampu menjadikan pendidikan sebagai medium bagi kritik sosial sekaligus mampu menawarkan kemungkinan-kemungkinan dikembangkannya democratic public spheres melalui proses self empowerment (pemberdayaan diri) dan self reflection (refleksi diri) sebagai titik tolak mewujudkan transformasi sosial (Agus Nuryatno, 2008: 5).

Relevansi critical pedagogy dalam pendidikan sejarah, khususnya pembelajaran sejarah disebabkan pula oleh adanya kesamaan-kesamaan pandangan di antara keduanya. Persamaan pertama, keduanya memandang bahwa ada keterkaitan antara pendidikan dengan politik, bahwa ada dalam pendidikan terdapat kepentingan-kepentingan politik, begitu pula sebaliknya bahwa dalam aktivitas politik terdapat muatan-muatan edukatif. Persamaan kedua adalah keduanya tidak dapat melepaskan diri dari konteks yang melingkupinya. Pendidikan sejarah maupun critical pedagogy memandang bahwa kondisi sekitar, baik kondisi politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Pendidikan senantiasa mengaitkan antara realitas dengan konsep-konsep. Persamaan ketiga ditinjau dari tujuan yang dicapai, yakni terbangunnya kesadaran kritis dari peserta didik atau masyarakat dalam melihat realitas yang menjadikannya sebagai landasan dalam bertindak. Persamaan keempat adalah


(25)

keduanya memiliki landasan yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan. Keadilan dan kesetaraan menjadi kata kunci yang penting dalam proses pemberdayaan masyarakat dan refleksi diri guna mencapai transformasi sosial.

Dari pemikiran di atas, penelitian ini mencoba untuk menganalisis pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial ditinjau dari perspektif critical

pedagogy, serta bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap

implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Secara lebih spesifik, penelitian ini dilakukan di Kota Semarang karena berdasarkan data awal yang diperoleh dari penelitian Abu Su’ud (2008a) terhadap guru-guru sejarah di 16 Sekolah Menengah Atas Negeri ternyata kepedulian para pengajar sejarah terhadap isu kontroversial yang berkembang cukup tinggi. Hal ini menjadi modal awal dalam penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, sehingga sangat menarik untuk meneliti tentang pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial yang dilakukan oleh guru-guru sejarah di Kota Semarang. Selain itu, Semarang termasuk kota yang dinamis karena banyak terdapat informasi-informasi terbaru yang dapat diakses dengan mudah.

Penelitian ini akan menganalisis pemahaman guru-guru terhadap pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, bagaimana penerapannya, serta apa kendala-kendala yang ditemui. Selain itu, diamati pula bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik dengan implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan satu kajian tentang


(26)

pelaksanaan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial, sehingga dapat menghasilkan masukan-masukan baru dalam pendidikan sejarah yang bertujuan untuk menumbuhkan pola pikir dan kesadaran kritis peserta didik.

B.Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial?

2. Bagaimana implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial?

3. Apa kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial?

4. Bagaimana pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial?

C.Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut,

1. Mengetahui pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial.


(27)

2. Mendeskripsikan implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.

3. Mendeskripsikan kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial.

4. Mengetahui pandangan dan apresiasi peserta didik terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini memberikan satu kajian ilmiah tentang pembelajaran sejarah kontroversial ditinjau dari perspektif critical pedagogy. Kajian tentang pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy di Indonesia masih sangat jarang, sehingga penelitian ini dapat digunakan sebagai perbandingan dan acuan dalam penelitian selanjutnya tentang penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan bagi guru tentang pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial dengan penerapan critical pedagogy.

b. Bagi pihak sekolah dan pemerintah dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kebijakan dalam pembelajaran sejarah, terutama sejarah yang bersifat kontroversial.


(28)

(29)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A.Kajian Teori

1. Critical Pedagogy

a. Konsep-Konsep Dasar Critical Pedagogy

Critical pedagogy merupakan pendekatan dalam pendidikan yang

menempatkan peserta didik untuk mampu menghadapi dominasi. Critical pedagogy dalam diskursus pendidikan disebut juga “aliran kiri” karena orientasi politiknya berlawanan dengan ideologi konservatif dan liberal (Agus Nuryatno, 2008: 1). Jika dalam pandangan konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada (Mansour Fakih, 2001: xvi). Paulo Freire yang dikutip Monchinski (2008: 2) menjelaskan bahwa “… make oppression and its causes objects of reflection by the opressed with the hope that from that reflection will come liberation”. Pandangan Paulo Freire melihat bahwa critical pedagogy pada dasarnya adalah sebuah refleksi terhadap ketertidasan dan berbagai alasan yang menyebabkannya, sehingga dengan refleksi itu diharapkan akan menuju pada kebebasan.


(30)

Ira Shor 2009), seorang tokoh dalam pendidikan kritis, mendefinisikan critical pedagogy sebagai

… habits of thought, reading, writing, and speaking … to understand the deep meaning, root causes, social context, ideology, and personal consequences of any action, event, object, process, organization, experience, text, subject matter, policy, mass media, or discourse.

Critical pedagogy merupakan kebiasaan berpikir, membaca,

menulis, dan mengungkapkan sesuatu untuk memahami makna yang terdalam, memahami akar permasalahan berdasarkan konteks sosial, ideologi, dan pemahaman personal atas segala macam kegiatan, peristiwa, objek, proses, organisasi, pengalaman, teks, pokok bahasan, kebijakan, media massa, maupun wacana.

Henry Giroux yang dikutip Monchinski (2008: 2) menyatakan bahwa critical pedagogy sama dengan political pedagogy, artinya adalah

critical pedagogy menyatakan bahwa proses pendidikan pada dasarnya

bersifat politik, yang bertujuan untuk mewujudkan sebuah keterhubungan, kesepahaman, dan keterpautan secara kritis dengan berbagai isu-isu sosial dan bagaimana memaknainya. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya melakukan sebuah sikap yang kritis tetapi juga cukup tanggap untuk “bertarung” dengan kondisi politik dan ekonomi sehingga mampu mewujudkan sebuah demokratisasi.

Critical pedagogy merupakan pandangan yang bersifat


(31)

Marxisme, teori kritis Mazhab Frankfurt, feminisme, pascakolonialisme, pascastrukturalisme, media studies, cultural studies, anti-racis studies, dan pascamodernisme. Critical pedagogy dipengaruhi pula oleh pemikiran Antonio Gramsci tentang pengetahuan dan hegemoni, serta Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 9; Agus Nuryatno, 2008: 4). Sebagai pendekatan dalam pendidikan, critical pedagogy telah mulai muncul pada tahun 1960-an dan berkembang secara luas di Amerika Serikat sekitar 30 tahun yang lalu sebagai pendekatan pembelajaran yang menyediakan inovasi pembelajaran untuk pemberdayaan peserta didik. Pendekatan ini mulai dikenalkan oleh Paulo Freire dan beberapa teoretisi pendidikan lain yang berpengaruh terhadap pembelajaran dan aktivitas di akar rumput, dan banyak mengawali transformasi pendidikan yang bertujuan untuk menghubungkan antara teori dan praktik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (Ochoa & Lassalle, 2008: 2).

Di dalam pemikirannya, critical pedagogy merupakan pengembangan dari pemikiran-pemikiran Paulo Freire. H.A.R. Tilaar (2002: 236) menjelaskan bahwa secara singkat filsafat pendidikan Paulo Freire menekankan pada tiga hal, yaitu

(1) masalah penindasan, (2) ketergantungan pada bekas penjajah (atau sumber-sumber pengetahuan eksternal dalam pengambilan keputusan politik, ekonomi, dan juga pendidikan, (3) orang-orang yang tersisih atau termarginalisasi yang membentuk “budaya bisu”.


(32)

Oleh karena itu, konsep-konsep yang dikembangkan dan tujuan yang hendak dicapai dalam critical pedagogy pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pemikiran Freire tersebut.

Peter Mc Laren (dalam Agus Nuryatno (2008: 1-2) menyatakan walau pemikiran ini tidak merepresentasikan satu gagasan yang tunggal dan homogen, terdapat satu tujuan yang sama dalam critical pedagogy. Tujuan tersebut adalah memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan. Transformasi tersebut dilakukan dengan melakukan pemahaman terlebih dahulu terhadap konteks sosiopolitik dan melakukan demokratisasi dalam konteks yang lebih luas (Fischman & Mc Laren, 2005: 425). Dengan demikian, tidak ada lagi ketimpangan, karena cita-cita yang diinginkan adalah adanya kesetaraan dan keadilan.

Critical pedagogy memberikan titik kajian pada hubungan antara pendidikan dan politik, relasi antara kehidupan sosial-politik dan praksis pendidikan, antara reproduksi atas struktur hierarkis yang saling berkaitan, antara kekuasaan dan keistimewaan dalam ranah yang terjadi dalam kehidupan sosial keseharian dan dalam ruang kelas, serta institusi-institusi pendidikan (Fischman & Mc Laren, 2005: 425). Pemikiran ini dilandasi sebuah anggapan bahwa pendidikan tidaklah berada pada ruang hampa yang menyebabkan pendidikan tidak dapat dipahami dalam bingkai analisis ekonomi dan keadaan politik yang lebih luas (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 3).


(33)

Atas dasar pandangannya yang bersifat menyeluruh, maka tidak ada satu gagasan yang berifat tunggal dan homogen dalam critical pedagogy. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pelaksanaan critical

pedagogy berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena itu,

pendidikan tidak hanya berkutat pada masalah sekolah, kurikulum, dan kebijakan pendidikan, tetapi juga tentang keadilan sosial dan kesetaraan (Agus Nuryatno, 2008: 3).

Ditinjau dari aspek kajiannya, critical pedagogy merupakan bagian dari ideologi kritis dalam pendidikan. Pada ideologi kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap the dominant

ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah

menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Mansour Fakih (2001: xvii) menjelaskan bahwa tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil. Pendekatan kritis berorientasi pada terwujudnya kesadaran kritis dari peserta didik agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemampuan manganalisis bagaimana struktur dan sistem itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal penting yang dibangun dalam critical pedagogy adalah kesadaran kritis peserta didik agar mereka mampu mendemistifikasi


(34)

kepentingan ideologis yang menyelimuti realitas (Agus Nuryatno, 2008: 2). Kesadaran kritis menurut Marthen Manggeng (2005: 43) ditandai dengan “kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat”. Seseorang dengan kesadaran kritis diharapkan mampu menyingkap fenomena-fenomena tesembunyi yang melampaui asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan common sense (Agus Nuryatno, 2008: 2-3).

Paulo Freire (dalam Au, 2007: 3) menyatakan bahwa kesadaran itu penting terhadap manusia karena manusia “are not only in the world, but with the world and have the capacity to adapt… to reality plus the critical

capacity to make choices and transform that reality”. Artinya adalah

bahwa manusia tidak hanya di dunia, tetapi di dalam dunia dan memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri terhadap realitas dan memiliki kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas.

Untuk mencapai kesadaran dibutuhkan adanya proses yang disebut penyadaran atau conscientization. Penyadaran diartikan sebagai belajar memahami kontradiksi sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut (Freire, 2008: 1). Senada dengan itu, Pepi Leistyana (2004: 17) menjelaskan bahwa penyadaran adalah “ability to analize, problematize (pose questions), and affect the sociopolitical, economic, and cultural


(35)

realities that shape our lives”, yaitu kemampuan untuk menguraikan, mempermasalahkan (menyikapi pertanyaan-pertanyaan), dan memberikan suatu sentuhan perasaan terhadap keadaan sosiopolitik, ekonomi, dan realitas kebudayaan yang melingkupi hidup kita. Proses penyadaran ini menurut Paulo Freire (2008: 2-3) memungkinkan seseorang untuk memasuki proses sejarah sebagai subjek-subjek yang bertanggung jawab, dan mengantarkan mereka masuk ke dalam pencapaian afirmasi diri sendiri sehingga menghindarkan fanatisme. Agus Nuryatno (2008: 9) menjelaskan bahwa proses penyadaran menjadikan seseorang memiliki

critical awareness, sehingga mampu melihat secara kritis

kontradiksi-kontradiksi sosial yang ada di sekelilingnya dan mengubahnya.

Dalam critical pedagogy, satu kata kunci yang melingkupi keseluruhan landasan, pelaksanaan, dan upaya pencapaian tujuannya adalah adanya “kritik”. Kritik dalam konteks critical pedagogy berarti “usaha-usaha untuk mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat, sehingga mampu menyingkap kenyataan sejarah sekaligus hendak membebaskan masyarakat (Agus Nuryatno, 2008: 28)”.

b. Critical Pedagogy dalam Konteks Indonesia

Critical pedagogy merupakan sebuah padangan yang lahir dan

berkembang di luar negeri, maka untuk penerapannya di Indonesia perlu ada penyesuaian-penyesuaian terhadap konteks Indonesia. Penyesuaian


(36)

terhadap konteks Indonesia dibutuhkan karena pada dasarnya critical pedagogy tidak dapat lepas dari konteks di mana ia diterapkan. Ini karena

critical pedagogy mencoba melakukan pemaknaan terhadap berbagai isu

sosial yang terjadi di masyarakat (Monchinski, 2008: 2).

Penyesuaian terhadap konteks lokalitas tertentu di mana critical pedagogy tersebut diterapkan sesuai dengan padangan dari Giroux yang dikutip Tilaar (2002: 249-253) bahwa ada beberapa prinsip yang mendasar dalam critical pedagogy, yakni (1) Pendidikan bukan hanya terbatas kepada menghasilkan ilmu pengetahuan, melainkan juga melahirkan subjek politik, yakni masyarakat yang mempunyai dan mampu memanfaatkan hak-hak politiknya; (2) Etika merupakan masalah sentral di dalam masyarakat demokratis karena masyarakat tanpa etika tidak mungkin melahirkan suatu masyarakat demoktastis secara substansial; (3) Perlu lahir mekanisme pertukaran ide secara terbuka melalui proses yang komunikatif dan dialogis; (4) Kebudayaan bukanlah suatu yang telah ditetapkan melainkan suatu diskursus mengenai kekuasaan dan ketidakadilan; (5) Mengedepankan isu mengenai ke-bhineka-an dalam masyarakat yang menekankan pada pentingnya toleransi dengan win-win

solution; (6) Kebenaran yang berlaku di dalam suatu masyarakat

mempunyai akar di dalam sejarah dan merupakan konstruksi sosial; (7) Mengembangkan sikap kritis yang ditindaklanjuti dengan mengungkapkan adanya kemungkinan-kemungkinan yang tersedia; (8) Guru berperan bukan hanya sebagai sarana produksi dari ideologi dan praktik sosial yang


(37)

ada, melainkan juga membantu membuka cakrawala melalui pemikiran-pemikiran kritis terhadap kehidupan ideologi dan sosial yang hidup di masyarakat.

Dari prinsip-prinsip di atas, tampak bahwa konteks di mana critical

pedagogy diterapkan banyak memberikan pengaruh terhadap praksisnya

dalam pendidikan dan pembelajaran. Etika menjadi satu faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran. Berkait dengan hal itu Antonio Gramsci yang dikutip Tilaar (2002: 254) menyatakan bahwa “… etika merupakan jiwa dari pedagogik yang membebaskan. Tanpa etika, pedagogik akan menjadi tumpul dan tidak peka terhadap ketimpangan-ketimpangan yang ada di masyarakat.”

Dalam konteks Indonesia aspek yang diperhatikan dalam penerapan critical pedagogy adalah bahwa dalam masyarakat berkembang konsep pemikiran yang diidealkan, yakni nilai-nilai Pancasila. Tilaar (2002: 199) menyebutkan ada beberapa nilai yang disandang oleh manusia Indonesia berdasarkan Pancasila yakni (1) Manusia yang memiliki landasan moral dan etika; (2) Mengapresiasi hak asasi manusia, toleransi dan kerjasama global untuk kemakmuran dan perdamaian; (3) Saling menghargai perbedaan, menjunjung persatuan, menghormati simbol-simbol negara persatuan, serta bangga sebagai orang Indonesia; (4) menjunjung nilai-nilai demokrasi, populis, serta penerapan teknologi untuk kemakmuran rakyat, serta; (5) memiliki rasa solidaritas sosial sebagai bangsa dan gotong royong menanggulangi permasalahan nasional.


(38)

Oleh karena itu, penerapan critical pedagogy tidak boleh lepas dari kerangka pemikiran bahwa manusia yang dididik adalah manusia Indonesia yang telah berada pada satu konteks pemikiran sosiokultural yang membingkai kehidupan dan keseharian masyarakat menuju manusia Indonesia baru.

H.A.R. Tilaar (2002: 79) menyebutkan ada beberapa aspek yang menjadi ciri dari manusia Indonesia baru. Konsep manusia Indonesia baru ini merupakan sebuah gambaran ideal tentang konsep manusia yang diharapkan dalam kondisi sosial yang senantiasa mengalami perubahan melalui pendidikan dan pembelajaran. Dengan demikian, jika critical

pedagogy diterapkan di Indonesia maka diharapkan tidak terlepas dari

konteks manusia Indonesia baru tersebut, yakni

(1) Lahirnya masyarakat demoktaris dan terbuka serta toleran; (2) Manusia dan masyarakat yang cerdas; (3) Partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial; (4) Revitalisasi budaya lokal; (5) Lahirnya nasionalisme yang “genuine” dalam perkembangan kapital sosial; (6) Ekonomi berdasarkan ilmu pengetahuan dan sumber lokal; (7) Lahirnya masyarakat telematika; (8) Pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam daerah; (9) Sumber daya manusia berkualitas dan mampu bersaing dalam dunia regional dan global; (10) Anggota masyarakt global yang berbudaya. (Tilaar, 2002: 79)

Selain itu, penerapan critical pedagogy pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yakni manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang


(39)

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

c. Critical Pedagogy dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Di dalam pendidikan sejarah, critical pedagogy memiliki fungsi untuk mengubah ketidaksetaraan hubungan yang muncul akibat kekuasaan di dalam kelas maupun dalam masyarakat. Dengan demikian, critical

pedagogy mencoba melakukan pendekatan yang lebih lentur untuk

mendekonstruksi struktur hierarkis yang melemahkan demokratisasi dalam kelas, melakukan redefinisi atas pengetahuan, memahami bagaimana pengetahuan itu dibuat, serta mengubah ketidakadilan (Ochoa & Lassale, 2008: 1).

Pada pendidikan sejarah, secara lebih operasional Kuntowijoyo (1995: 2) menyatakan bahwa pendidikan sejarah yang diberikan secara kritis pada dasarnya menyangkut tiga hal, yakni aspek (1) mengapa sesuatu terjadi, (2) apa yang sebenarnya terjadi, serta (3) ke mana arah kejadian-kejadian itu. Dari pemikiran tersebut, Tsabit Azinar Ahmad dkk. (2008: 12) menyatakan bahwa kandungan yang harus terdapat dalam

critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah meliputi aspek (1)

kausalitas, (2) kronologis, (3) komprehensif, serta (4) kesinambungan. Aspek kausalitas menggambarkan kondisi masyarakat dalam berbagai aspek yang turut melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Aspek kronologis adalah urutan terjadinya suatu peristiwa. Aspek komprehensif


(40)

yang dimaksud adalah bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial, berbagai pendapat yang menyatakan tentang peristiwa tersebut harus disampaikan, sehingga pemikiran peserta didik terbuka terhadap suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Aspek keempat adalah aspek kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tersebut dengan peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan peristiwa sejarah memiliki keterkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan setelahnya.

Critical pedagogy di dalam praksisnya menekankan pembelajaran

sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan mengubahnya. Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi merupakan proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan peserta didik dan kemudian mempermasalahkannya (problematizing) dan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas fakta-fakta melalui dua metode, yakni deskriptif dan analitis (Agus Nuryatno, 2008: 6). Metode deskriptif mencoba untuk memahami surface sctucture, sedangkan analitis digunakan untuk memahami deep structure, sebagai upaya memahami relasi antarkategori dalam membentuk realitas (Agus Nuryatno, 2008: 6).

Proses yang ditekankan dalam critical pedagogy adalah self reflection dan self actualization (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 10). Tahap refleksi mempertanyakan “mengapa sesuatu itu bisa terjadi”


(41)

sementara tahap aktualisasi yang merupakan proses kontekstualisasi menekankan pada pertanyaan “bagaimana keterkaitan dengan kehidupan di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”.

Oleh karena penekanannya pada aspek pengembangan peserta didik, pembelajaran berada pada pertanyaan how to think bukan what to

think. Aspek what to think lebih menekankan pada aspek materi.

Sementara itu, how to think lebih menekankan pada proses atau metodologi pada aktivitas pembelajaran daripada aspek materi. Dengan demikian, proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi pendapat, menjadi lebih penting daripada materi pelajaran itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam proses tersebut akan terjadi kritisisme, sharing ideas, saling menghargai dan assesment terhadap pengetahuan (Agus Nuryatno, 2008: 8).

Guru dalam critical pedagogy tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilih otoritas kebenaran dan pengetahuan dan penguasa tunggal atas kelas. Guru dan murid sama-sama

learner, subjek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam

critical pedagogy tidak semata-mata hak prerogatif guru, kepala sekolah, atau para ahli tanpa melibatkan peserta didik. Pendekatan bottom up lebih dipilih dalam mengkonstruksi isi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar pendidikan lebih bermakna dan agar peserta didik paham dengan realitas hidup yang sebenarnya (Agus Nuryatno, 2008: 7).


(42)

Posisi guru dalam critical pedagogy harus mampu mengarahkan peserta didik untuk memahami keterkaitan antara teori dan praktik atau antara refleksi dan aksi. Konsep ini dalam critical pedagogy dikenal dengan istilah “praxis” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 7). Program yang dirancang oleh guru harus mampu mengembangkan critical

languages untuk menjelaskan dunia yang melingkupi kehidupan

keseharian masyarakat, tentang mengapa dan bagaimana sesuatu hal terjadi dalam kehidupan masyarakat. Di dalam pelaksanaannya, ada pertanyaan yang harus dipahami oleh guru, seperti “apa kacamata ideologis yang digunakan untuk melihat realitas sosial yang terjadi?”, “bagaimana cara kita merasakan aspek sosial, politik, ekonomi, dan institusional yang melingkupi kehidupan kita?”, bagaimana kita dapat mengenali dan melihat hubungan dan penyalahgunaan power dan berapa besar tingkat signifikansinya dalam dunia pendidikan dan dalam kehidupan masyarakat?” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004: 8).

Sejarah dalam perspektif critical pedagogy tidak bersifat unidimensional (Carr, 2008: 86). Guru dan peserta didik harus memahami bahwa sejarah adalah multidimensional, sehingga dibutuhkan padangan yang multiperspektif bahwa sejarah adalah dilingkupi, didefinisikan, ditampilkan, dan dihubungkan dengan konteks pada saat ini. Artinya terdapat aspek kesinambungan dalam sejarah dan adanya sifat sejarah yang multiinterpretasi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembelajarannya,


(43)

guru harus memiliki perhatian terhadap konstruksi dan interpretasi yang beragam dari sejarah (Carr, 2008: 86).

Penerapan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dilakukan dengan mengutamakan proses dialogis dan bersifat kontekstual. Konsep pedagogis yang digunakan terutama mengacu pada konsep yang dikembangakan oleh Paulo Freire. Paulo Freire (2008: 51) mengecam adanya konsep pendidikan “gaya bank” yang menganggap peserta didik sebagai tempat penyimpanan pengetahuan belaka. Pendidikan “gaya bank” merupakan proses belajar mengajar ketika guru tidak memberikan pengertian kepada peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada peserta didik untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya mereka itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Oleh karena itu, pendidikan “gaya bank” menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia (Marthen Manggeng, 2005: 42). Model pendidikan “gaya bank” kemudian melahirkan kebudayaan bisu sebagai dampak dari berhentinya proses berpikir kritis akibat pendidikan yang satu arah dan tidak dialogis. Hal ini bertentangan pula dengan konsep masyarakat ideal model J. Habermas yang menghendaki terwujudnya masyarakat yang rasional.

Proses pendidikan yang dilakukan dalam pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy mengacu pada kosep pendidikan


(44)

“hadap masalah” seperti yang diterapkan oleh Paulo Freire (2008: 64). Pendidikan yang membebaskan dengan konsep “hadap masalah” bukan berisi pengalihan-pengalihan informasi (transfers of knowledge), melainkan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition). Konsep berpikir tersebut sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan sejarah senantiasa diajarkan dengan model kontekstual.

Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada naradidik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi, dan politik (Marthen Manggeng, 2005: 42).


(45)

Utomo Dananjaya (2005: 57) menjelaskan bahwa pendidikan “gaya bank” adalah metode pendidikan yang tidak dialektis atau searah. Paulo Freire (2008: 63) menawarkan metode pendidikan dengan mengembangkan kesadaran ke arah keterbukaan, yaitu proses pendidikan terdiri atas guru yang murid, dan murid yang guru serta realitas dunia. Pendidikan yang benar adalah pendidikan yang harus menjadi kekuatan penyadaran dengan pembebasan, yaitu pendidikan “hadap masalah”. Pendidikan “hadap masalah” adalah proses kodifikasi dan dokumentasi, diskusi kultural, dan aksi kultural. Dengan pendekatan semacam itu, guru dan murid dibawa kepada dedikasi yang sesungguhnya, yaitu kemampuan untuk mengerti secara kritis mengenai dirinya sendiri dan dunianya (Utomo Dananjaya, 2005: 58).

d. Implementasi Critical Pedagogy dalam Pembelajaran Sejarah

Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dapat ditinjau dari beberapa aspek. Aspek tersebut dilihat dari unsur-unsur dalam pembelajaran meliputi (1) tujuan, (2) subjek belajar, (3) materi pelajaran, (4) strategi pembelajaran, (5) media pembelajaran, (6) evaluasi, dan (7) penunjang (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30). Ditinjau dari aspek tujuan, implementasi dilakukan dengan menyusun tujuan pembelajaran yang sesuai dengan critical pedagogy, yakni dengan menerapkan aspek kesetaraan dan keadilan. Tujuan-tujuan yang disusun dalam pembelajaran sejarah sedapat mungkin mengakomodasi aspek-aspek keadilan dan


(46)

kesetaraan. Artinya tujuan pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy diarahkan pada terbentuknya kesadaran kritis peserta didik dan demokratisasi. Oleh karena itu, prinsip keterbukaan, keterkaitan dengan realitas yang terjadi di lingkungan sekitar, dan berbagai permasalahan masyarakat menjadi hal yang diangkat dalam tujuan pembelajaran sejarah.

Aspek selanjutnya dalam implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah dilihat dari aspek subjek belajar, yakni guru dan peserta didik. Dalam perspektif critical pedagogy posisi antara guru dan peserta didik sama-sama sebagai learner, artinya tidak ada dominasi peran antara guru dan peserta didik. Dalam membangun komunikasi di antara keduanya, harus terjadi proses yang dialogis, sehingga terjadi proses yang saling mengisi. Guru tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber dalam pembelajaran.

Ditinjau dari aspek materi, terutama pada pembelajaran sejarah kontroversal, S.K. Kochhar (2008: 454-455) memberikan beberapa batasan pemilihan, yakni (1) topik yang diangkat berada dalam batas kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan kemampuan guru dan peserta didik, (2) topik yang diminati dan penting bagi kelas, (3) isu yang tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada kekhawatiran munculnya pretensi, dan justifikasi, (4) isu yang pembahasannya tidak memakan banyak waktu, serta (5) isu dengan materi yang memadai.


(47)

Strategi yang diterapkan dalam pembelajaran sejarah dengan pendekatan critical pedagogy pada dasarnya bersifat fleksibel. Namun demikian, ada dua hal yang diperhatikan, yakni model pembelajaran harus bersifat dialogis dan kontekstual (Freire, 2008: 51). Pada pelaksanaan

critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah, konstruktivisme dapat

dijadikan salah satu landasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Agar pembelajaran menjadi bermakna, pembelajaran harus berpusat pada peserta didik (student centered) artinya adalah guru memberikan peluang dari siswa untuk berapresiasi, bisa dalam bentuk kegiatan diskusi, debat, tugas mandiri, dan sebagainya. Kemudian, penggunaan variasi model dan media juga menjadi hal yang diperhatikan dalam pembelajaran agar peserta didik mudah dalam melakukan visualisasi, interpretasi, dan generalisasi (Tsabit Azinar Ahmad dkk., 2008: 25).

Implementasi critical pedagogy dalam aspek evaluasi pada prinsipnya menekankan bahwa evaluasi tidak hanya diberikan pada akhir pembelajaran, tetapi juga pada saat pembelajaran (evaluasi proses), berupa menilai keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran seperti keaktifan dalam bertanya, menanggapi pertanyaan, menanggapi pernyataan, mengerjakan tugas, serta keaktifan dalam diskusi (Tsabit Azinar Ahmad dkk., 2008: 29). Penyusunan alat evaluasi tidak hanya sebatas soal ujian, tetapi juga bisa berupa penugasan-penugasan yang bertujuan untuk mengembangkan kreasi dari peserta didik melalui pendekatan inquiry, seperti siswa ditugaskan untuk mencari berita tentang peristiwa Gerakan


(48)

30 September kemudian siswa ditugaskan untuk mengulas isi dan memberikan pendapatnya tentang berita tersebut. Artinya peserta didik diberikan peluang untuk melakukan suatu proses penemuan terhadap berbagai data dan fakta tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965. Penugasan diberikan bisa dalam bentuk karya tulis sederhana tentang berbagai pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 (Tsabit Azinar Ahmad, 2008: 29).

Aspek penunjang dalam pembelajaran meliputi fasilitas-fasilitas pembelajaran. Implementasi critical pedagogy pada aspek penunjang dapat dilakukan dengan adanya pemanfaatan fasilitas-fasilitas secara maskimal oleh guru. Selain itu, guru juga harus mampu memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai salah satu sumber belajar.

2. Sejarah Kontroversial

Sejarah didefinisikan sebagai rekonstruksi masa lalu (Kuntowijoyo, 1995: 17). Sejarah yang dimaksud dalam penelitian ini mencakup pengertian sejarah sebagai kisah, yakni catatan dari kejadian yang dilakukan oleh manusia pada masa lampau. Sementara itu, yang dimaksud dengan kontroversial adalah “perbedaan pendapat; pertentangan karena berbeda pendapat atau penilaian” (Badudu dan Sutan Muhammad Zein, 2001: 715). Dengan demikian, sejarah kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi bahkan pertentangan antarversi. Pada


(49)

sejarah kontroversial, antara pendapat satu dengan pedapat lain masing-masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat. Sebuah isu dapat menjadi kontroversial karena memberi dampak politik, sosial, maupun personal serta membangkitkan perasaan karena berkaitan dengan hal yang mempertanyakan kepercayaan dan nilai yang dianut (Global Citizenship Guides, 2006: 2). Permasalahan tresebut dapat menjadi lebih rumit apabila sulit untuk dijelaskan dan disebabkan adanya perbedaan yang kuat dalam cara pandang terhadap perbedaan karena masalah pengalaman, minat, dan nilai-nilai tertentu.

Wellington yang dikutip Cavet (2007: 2) menyatakan bahwa “a controversial issue must: involve value judgements, so that the issues cannot be settled by facts, evidence or experiment alone; be considered important by an appreciable number of people” (masalah kontroversial harus: melibatkan penilaian, sehingga masalah tidak dapat diselesaikan oleh fakta, bukti atau percobaan sendiri; dianggap penting oleh jumlah orang yang cukup banyak).

Cavet (2007: 2) mengutip The report Teaching controversial issues: A European perspective from the Children's Identity & Citizenship in Europe programme menyatakan bahwa “a controversial issue is one in which: there are competing values and interests; there is political sensitivity; emotions become strongly aroused; the subject/area is complex; the subject/area is of topical interest”. (masalah kontroversial adalah satu di mana: ada bersaing nilai-nilai dan kepentingan, ada sensitivitas politik; emosi menjadi sangat


(50)

terangsang; subjek/area adalah kompleks; subjek/kawasan adalah kepentingan topikal )

Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini karena sejarah senantiasa berproses dan bukan sebagai suatu hal yang sudah selesai, sehingga ada kecenderungan munculnya fakta-fakta dan interpretasi-interpretasi baru terhadap suatu peristiwa sejarah (Kochhar, 2008: 453). Dengan demikian, terdapat beberapa pendapat yang berbeda tentang suatu peristiwa sejarah, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Sejarah kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu peristiwa di kalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.

Ada beberapa sejarah kontroversial yang disampaikan dalam kelas. Jika ditinjau dari pengaruhnya terhadap masyarakat pada masa sekarang, ada dua jenis sejarah kontroversial. Kategori pertama sejarah kontroversial adalah kontroversi terhadap sejarah yang terjadinya pada kurun waktu yang lama dari sekarang atau disebut juga sejarah nonkontemporer. Kategori kedua adalah sejarah kontroversial yang terjadinya pada masa kontemporer (Tsabit Azinar Ahmad, 2008: 119).

Sejarah kontroversial kategori pertama menjadi bersifat kontroversial karena adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah. Secara umum, adanya perbedaan pandangan itu menurut tipologi Asvi Warman Adam (2007 b: 4) hanya disebabkan adanya ketidaktepatan dan ketidaklengkapan fakta dan


(51)

interpretasi yang dilakukan, dan biasanya ketidaktepatan itu muncul setelah ada beberpa sejarawan yang mengungkapkan ketidaktepatan itu menurut versi sejarawan itu. Artinya sifat kontroversial ini sangat tergantung dari sejarawan. Hal ini karena pada kategori ini tidak terdapat sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah, sehingga sejarawan memainkan peranan penuh dalam menuliskan suatu peristiwa sejarah.

Beberapa sejarah kontroversial untuk kategori pertama antara lain perbedaan pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Nusantara, perdebatan antara Poerbatjaraka dan F.D.K. Bosch tentang dinasti yang terdapat di kerajaan Mataram lama, pendapat tentang masuknya Islam di Nusantara, sampai pada mitos tentang penjajahan nusantara selama 350 tahun. Kategori pertama ini tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam masyarakat.

Sejarah kontroversial kategori kedua adalah sejarah yang biasanya dimasukkan ke dalam kategori sejarah kontemporer. Sejarah kontemporer merupakan satu istilah untuk menyebutkan satu pembabakan dalam sejarah yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dengan masa sekarang, atau masa ketika sejarah itu menjadi satu kajian dalam ilmu sejarah (Nugroho Notosusanto, 1978). Batasan kontemporer ini belum jelas, akan tetapi bila ditinjau dari saat ini peristiwa sejarah kontemporer adalah mulai tahun 1940-an.

Sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial karena kadar subjektivitas yang terkandung dalam sejarah kontemporer lebih besar daripada


(52)

masa-masa sebelumnya. Hal ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini (Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 3).

Hal lain yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa masih banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Merujuk tipologi Asvi Warman Adam (2007 b: 4), sejarah kontroversial yang termasuk ke dalam sejarah kontemporer disebabkan oleh tiga faktor sekaligus, yakni adanya ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan interpretasi yang dilakukan dalam penyusunan suatu tulisan sejarah.

Ditinjau dari aspek pengaruhnya terhadap masyarakat, sejarah kontroversial kategori kedua memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh masyarakat. Hal ini karena peristiwa yang terjadi pada kurun sejarah kontemporer secara teoretis menjadi kajian yang lebih membuka peluang bagi masyarakat luas untuk mengulas dan memperoleh sumber-sumber berkaitan dengan masa tersebut secara lebih mudah. Ketersediaan sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah juga masih ada. Selain itu memori kolektif masyarakat tentang satu peristwa tersebut juga masih sangat kuat.

Permasalahan lainnya adalah adanya kemungkinan terbentuknya satu konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat tentang satu pemahaman


(53)

sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah benar adanya (Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 5). Adanya hal ini telah menyebabkan adanya satu hal yang memacu terjadinya pertentangan terhadap satu peristiwa sejarah ketika pada satu saat ditemukan fakta baru yang bertolak belakang dari pemahaman masyarakat selama ini diyakini.

Selain permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan metodologis, satu hal yang menyebabkan sejarah kontemporer itu cenderung bersifat kontroversial adalah adanya unsur kepentingan lain yang bermain di dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah atau dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu (Tsabit Azinar Ahmad, 2007: 6). Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu.

Beberapa peristiwa sejarah yang dapat diklasifikasikan masih bersifat kontroversial antara lain Gerakan 30 September, peristiwa seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Serangan Umum 1 Maret 1949, lahirnya Pancasila, lahirnya Orde Baru, dan Integrasi Timor-Timur. Berkaitan dengan sejarah yang bersifat kontroversial, Bambang Purwanto (2001a: 112) menjelaskan bahwa

... in fact many controversies in Indonesia history during the last fifty years. Four of them, Serangan Umum Satu Maret (1 March Attack) of 1949, Gerakan 30 September (30 September Movement) of 1965, Surat Perintah Sebelas Maret (11 March Instruction) of 1966, and social-political role of Indonesian armed forces…


(54)

Dari tulisan Purwanto (2005), yang menarik adalah tentang kontroversi keempat, yakni social-political role of Indonesia armed forces (peran sosial-politik kepemimpinan Angkatan Darat di Indonesia). Kontroversi tersebut terletak pada tindakan militer pada saat revolusi dan penumpasan pergerakan lokal, konflik ideologi internal pada tahun 1950-an, keterlibatan pemimpin tentara dalam kegiatan ekonomi dan politik pada masa demokrasi terpimpin, serta kepemimpinan militer yang dominan pada pemerintahan Orde Baru (Purwanto, 2001:116).

Beberapa peristiwa sejarah kontemporer yang termasuk dalam sejarah kontroversial yang dapat dijadikan materi pembelajaran di kelas sejarah antara lain kontroversi tentang penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, peristiwa 17 Oktober 1952, Gerakan 30 September, perdebatan seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), peristiwa Malari 1974, permasalahan Timor-Timur, sampai dengan peristiwa seputar reformasi dan jatuhnya Soeharto pada 1998. Akan tetapi, yang paling banyak diperdebatkan di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 (Asvi Warman Adam, 2007 b: 14).


(55)

Tabel 1 Beberapa Aspek Perbedaan dalam Sejarah Kontroversial Nonkontemporer dan Kontemporer

Aspek Perbedaan

Kategorisasi Sejarah Kontroversial Sejarah Kontroversial

Nonkontemporer

Sejarah Kontroversial Kontemporer Aspek temporal Rentang waktu terjadinya

lama dari masa sekarang / pada saat dilakukan kajian

Terjadi pada kurun waktu yang tidak terlalu lama dari sekarang

Ketersediaan sumber primer

Sumber primer hanya berupa peninggalan atau bukti berupa benda

Masih terdapat pelaku dan saksi sejarah

Alasan kontroversial

o adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah

o subjektivitas yang lebih besar

o ada perbedaan padangan dari pelaku sejarah

o adanya unsur kepentingan lain di dalam sejarah Penyebab o ketidaktepatan dan

ketidaklengkapan fakta dan interpretasi yang dilakukan

o adanya ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan interpretasi yang dilakukan

Sifat Sejarawan memegang peranan penting

Terbuka bagi masyarakat untuk mencari data Akses masyarakat

untuk pencarian data

Masyarakat sulit untuk mengakses/mencari data fakta tentang peristiwa sejarah

Masyarakat mudah mengakses informasi tentang peristiwa sejarah kontemporer

Pengaruh di masyarakat

tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam masyarakat

memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh masyarakat

Contoh perbedaan pendapat tentang masuknya

pengaruh Hindu Budha di Nusantara, pendapat tentang masuknya Islam di Nusantara

peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Gerakan 30 September, perdebatan seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) Sumber: Tsabit Azinar Ahmad (2008: 119)


(56)

Kategorisasi sejarah kontroversial seperti yang dijelaskan di atas, tidaklah bersifat tertutup. Artinya ada kecenderungan munculnya peristiwa-peristiwa sejarah nonkontemporer yang memiliki sifat seperti sejarah kontemporer, seperti adanya peristiwa yang terjadi jauh dari masa sekarang yang memberi pengaruh terhadap masyarakat pada masa kini. Sejarah kontroversial nonkontemporer juga masih dapat memunculkan perdebatan dalam masyarakat ketika ada versi sejarah yang bertentangan dengan pemahaman sejarah masyarakat selama ini. Hal ini disebabkan proses sejarah telah menjadi konsensus di kalangan masyarakat. Contoh kasus seperti ini adalah tentang peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh raja Mataram yang membunuh tokoh agama pada abad XVII.

Selain kategorisasi yang dilakukan oleh Tsabit Azinar Ahmad (2008), ada kategorisasi sejarah kontroversial dari S. K. Kochhar (2008: 453) yang menjelaskan bahwa ada dua jenis isu kontroversial dalam sejarah, yakni (1) kontroversial mengenai fakta-fakta, dan (2) kontroversial mengenai signifikansi, relevansi, dan interpretasi sekumpulan fakta. Isu kontroversial jenis pertama, yakni kontroversi mengenai fakta-fakta terjadi karena kurangnya data atau tidak masuk akalnya suatu penemuan. Di dalam isu kontroversial jenis ini pertanyaan berkaitan dengan “apa”, “siapa”, “kapan”, dan “di mana”. Di dalam sejarah Indonesia, permasalahan kontroversial yang termasuk dalam kategori ini misalnya tentang siapa yang pertama kali membawa pengaruh India ke Nusantara, kapan Islam pertama masuk di Nusantara.


(57)

Jenis isu kontroversial interpretasi karena pendekatan yang dilakukan oleh sejarawan tidak ilmiah, bias, dan dipengaruhi prasangka. Kontroversi yang disebabkan oleh interpretasi berada pada pertanyaan tentang “mengapa” dan “bagaimana” peristiwa tersebut terjadi. Terkadang peristiwa atau fenomena dipelajari secara tertutup, sehingga interpretasi sejarawan terhadap suatu peristiwa bisa salah dan mengakibatkan kontroversi (Kochhar, 2008: 453-454). Permasalahan kontroversi karena perbedaan interpretasi sejarawan terjadi seperti ketika sejarawan-sejarawan mengeluarkan versi yang berbeda tentang peristiwa Gerakan 30 September. Ada sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa permasalahan tersebut terjadi karena konflik internal di tubuh Angkatan Darat, ada pula yang menyatakan bahwa Suharto yang menjadi dalang. Sementara itu muncul pula teori tentang keterlibatan Sukarno atau CIA sebagai faktor yang utama. Kemudian yang tidak kalah penting adalah tentang berkembangnya “versi resmi” bahwa yang menjadi penggerak adalah Parai Komunis Indonesia.

3. Pembelajaran Sejarah Kontroversial

a. Komponen Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran adalah seperangkat peristiwa (events) yang mempengaruhi si belajar sedemikian rupa sehingga si belajar memperoleh kemudahan (Haryanto, 2003: 2-3). Kata pembelajaran sengaja dipakai sebagai padan dari kata instruction yang berasal dari bahasa Inggris. Kata instruction memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengajaran. Jika


(58)

pengajaran ada dalam konteks guru-murid di kelas (ruang) formal, maka pembelajaran mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tidak dihadiri guru secara fisik. Oleh karena dalam instruction yang ditekankan proses belajar, maka usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri peserta didik disebut pembelajaran. Pembelajaran juga dapat berarti proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Kosasih Djahiri A. (dalam Isjoni, 2007: 78) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan proses keterlibatan totalitas diri peserta didik dan kehidupannya atau lingkungannya secara terarah, terkendali ke arah penyempurnaan, pembudayaan, pemberdayaan totalitas diri dan kehidupannya melalui proses learning to know, learning to belief, learning to do dan to be serta learning to life together.

Menurut Darsono (2000: 26), pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk membantu peserta didik agar memperoleh pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah laku peserta didik bertambah baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Tingkah laku tersebut meliputi pengetahuan, keterampilan dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan perilaku peserta didik.

Atas dasar pemikiran di atas, pemerintah RI telah merumuskan pengertian dari pembelajaran yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional, yakni


(59)

pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dengan demikian, pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memberikan kegiatan interaksi yang aktif dari peserta didik dan guru atau pendidik.

Berkaitan dengan sejarah, I Gde Widja (1989: 23) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. Selanjutnya Isjoni (2007:13) menyatakan bahwa,

Pembelajaran sejarah memiliki peran fundamental dalam kaitannya dengan guna atau tujuan dari belajar sejarah, melalui pembelajaran sejarah dapat juga dilakukan penilaian moral saat ini sebagai ukuran menilai masa lampau.

Sebagai sebuah sistem, pembelajaran merupakan suatu rangkaian yang merupakan suatu kesatuan. Pembelajaran sebagai sistem merupakan interaksi fungsional antarsubsistem (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 20). Pada hakikatnya pembelajaran sebagai sistem merupakan suatu kesatuan berbagai unsur/elemen yang memiliki hubungan fungsional dan berinteraksi secara dinamis untuk mencapai tujuan/fungsi sistem tersebut.

Di dalam proses pembelajaran terdapat komponen-komponen yang menyusun suatu pembelajaran yaitu (1) tujuan, (2) subjek belajar, (3) materi pelajaran, (4) strategi pembelajaran, (5) media pembelajaran, (6) evaluasi, dan (7) penunjang (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30). Tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran adalah membantu peserta didik


(60)

agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu, tingkah laku peserta didik bertambah. Tujuan pembelajaran ini mengacu para ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik. Sementara itu subjek belajar mencakup pribadi yang ada dalam proses pembelajaran, yakni peserta didik dan guru. Materi merupakan hal/informasi yang diberikan dalam proses pembelajaran. Materi ini telah disesuaikan dengan kurikulum. Strategi pembelajaran merupakan pola umum dalam mewujudkan proses pembelajaran yang diyakini efektivitasnya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Media pembelajaran merupakan alat yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membantu menyampaikan informasi atau pesan pembelajaran. Evaluasi merupakan kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Komponen penunjang dalam pembelajaran antara lain fasilitas-fasilitas yang berfungsi untuk melancarkan dan mempermudah proses pembelajaran.

Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran guru perlu mengembangkan perencanaan pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran, pembuatan perencanaan atau desain pembelajaran berfungsi untuk memudahkan serta memberikan efektivitas dalam pembelajaran agar tujuan yang hendak dicapai bisa dengan mudah terlaksana.


(61)

Desain pembelajaran atau desain instruksional merupakan keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik mengajar dan materi pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 46). Dalam kegiatan pembelajaran agar terwujud efektivitas pembelajaran dan agar tujuan bisa dengan mudah terwujud harus ada perencanaan pembelajaran dalam bentuk desain pembelajaran. Desain pembelajaran ini bermanfaat bagi guru karena dapat memberikan gambaran awal tentang rencana pengajaran dalam kelas.

Di dalam prosesnya, desain pembelajaran ini melakukan pendekatan secara sistematis dalam perencanaan dan pengembangan sarana serta alat untuk mencapai kebutuhan dan tujuan pembelajaran. Tujuan penyusunan atau pendesainan desain pembelajaran ini adalah pada dasarnya untuk mempermudah dalam pelaksanaan proses pembelajaran karena terjadi pembelajaran yang terencana dan efektif, sehingga tujuan dari pembelajaran yaitu peserta didik yang cerdas (ranah kognitif), kreatif (ranah psikomotorik) dan memahami norma (afektif) bisa terwujud.

Penyusunan desain pembelajaran pada awalnya harus memperhatikan komponen-komponen dalam pembelajaran meliputi (1) tujuan, (2) subjek belajar, (3) materi pelajaran, (4) strategi pembelajaran, (5) media pembelajaran, (6) evaluasi, serta (7) sarana penunjang seperti fasilitas belajar, buku sumber, pemanfaatan ligkungan dan sebagainya (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 28-30).


(62)

Desain atau perencanaan pembelajaran dikembangkan oleh para pengembang yaitu guru di sekolah, pengarang, pendidik dan psikolog serta para profesional dalam bidang pendidikan. Tugas para pengembang dan pendesain model pembelajaran adalah menentukan hasil belajar (prestasi peserta didik) yang dapat diamati dan diukur, mengidentifikasi peserta didik yang akan belajar, menulis dan menyelenggarakan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, menentukan media, menentukan situasi dan kondisi (pengenalan kelas), menentukan kriteria seberapa prestasi peserta didik telah dianggap cukup, memilih metode yang tepat, menentukan model tes/evaluasi, mengadakan perbaikan (remidi untuk yang tertinggal) (Haryanto, 2003: 53).

Di dalam pembelajaran dikenal adanya beberapa model pengembangan sistem dan desain instruksional. Model pengembangan sistem dan desain instruksional adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan pengembangan sistem dan desain instruksional. Dalam pelaksanaannya ada beberapa macam model desain pembelajaran yaitu model PPSI, model Gerlach dan Ely, model Bela H. Banathy, model Jerold E. Kemp serta model IDI (Ahmad Sugandi dkk., 2004: 48).

Pada kurikulum tingkat satuan pendidikan, perencanaan pembelajaran meliputi pengembangan silabus dan rencana pembelajaran. Beberapa aspek yang terkadung dalam silabus meliputi pengembangan kompetensi dasar dalam materi dan indikator-indikator, pengembangan


(63)

model pembelajaran, penyusunan alat evaluasi, penentuan media, dan sumber belajar. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 20 yang berbunyi,

Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. (PP No. 19 tahun 2005)

Dalam penelitian ini komponen-komponen dalam perencanaan atau desain pembelajaran sejarah akan dijadikan acuan untuk melakukan analisis terhadap pelaksanaan pembelajaran.

b. Tujuan Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Pembelajaran sejarah yang tertuang dalam mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini karena pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik (Permendiknas No. 22 tahun 2006).

Tujuan dari pelaksanaan pendidikan sejarah dalam kurikulum 2006 seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut,

(1) membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau,


(1)

7. Tanggapan apakah guru sejarah peserta didik hanya mengajarkan seperti yang ada di buku teks

8. Intensitas melakukan kegiatan diskusi atau debat

9. Tanggapan terhadap apakah guru peserta didik pernah mengaitkan peristiwa-peristiwa aktual saat ini dengan materi pelajaran

10. Media-media yang digunakan oleh guru saat mengajarkan sejarah 11. Keadaan kelas ketika guru sejarah mengajarkan materi

12. Penugasan yang biasanya digunakan oleh guru bagi peserta didik

13. Peserta didik pernah ditugaskan untuk mencari data-data dari koran atau internet contohnya

14. Tanggapan apakah peserta didik membaca buku-buku sejarah selain buku teks untuk menambah pengetahuan peserta didik

15. Sumber yang digunakan selain buku teks untuk belajar sejarah

16. Intensitas diskusi kelompok untuk mengerjakan tugas dari guru sejarah 17. Pengetahuan tentang kontroversi sejarah

18. Pengetahuan tentang peristiwa kontroversi sejarah

19. Tanggapan terhadap beberapa peristiwa sejarah kontroversial

20. Tanggapan apakah guru peserta didik pernah menjelaskan tentang kontroversi sejarah dalam kelas

21. Tanggapan terhadap cara penyampaian guru sejarah dalam pembelajaran kontroversi sejarah

22. Tanggapan peserta didik tentang kontroversi sejarah di Indonesia

23. Model pembelajaran seperti apa yang diharapkan dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah

C. Pedoman Observasi A. Pelaksanaan Pembelajaran

1. Performa guru

a. Saat membuka materi b. Menyampaikan apersepsi c. Menerapkan metode d. Pemberian umpan balik

e. Memberi tanggapan peserta didik 2. Metode yang diterapkan

3. Media-media yang digunakan 4. Pemanfaatan media-media 5. Substansi materi yang diberikan B. Apresiasi Peserta didik

1. Peserta didik saat awal pembelajaran 2. Peserta didik saat pembelajaran 3. Peserta didik saat kegiatan diskusi

4. Peserta didik saat memberikan tanggapan 5. Peserta didik saat bertanya


(2)

290

D. Panduan Pencatatan Dokumen 1. Perangkat Pembelajaran, meliputi

a. Program tahunan b. Program semester c. Silabus

d. RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) 2. Sumber belajar tertulis yang dimanfaatkan 3. Alat evaluasi yang digunakan


(3)

Lampiran 2

DAFTAR INFORMAN

No Nama Jabatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 Dra. Susilowati Dra. Zainab Inawati Dra. Ningrum S. Drs. Sugeng H. Dra. Mindarwati ZRD Drs. Suratno

Dra. Sri Lestari.

Hari Rohayuningsih, S.Pd. Sugiyarto S.Pd.

Prof. Dr. Abu Su’ud Kinanti Widiari Reza Wijaya Dedi Permana Sinta Anindita Yulia Meutia Ahmad Firdaus Yuliana Dwi A Dhini Pramesti Erlinda Pramudya Donny Yudhistira Ahmad Jama’ah Maharani Amanda Rizki Dani Nugroho Erlinda Pramudya W Probo Firman

Yunita Tri Cosmos Tri N Dani Nugroho Donny Yudhistira Ahmad Rizky Dwi Prabowo R Indra S Dani Nugroho

YunitaTri Anggraheni Dian Perwita Sari Umu Nur Imamah Kandu Risma Iana Turroshidah Eko Wahyu P Rizky Montrya

Guru Sejarah SMA N 1 Semarang Guru Sejarah SMA N 1 Semarang Guru Sejarah SMA N 1 Semarang Guru Sejarah SMA N 1 Semarang Guru Sejarah SMA N 5 Semarang Guru Sejarah SMA N 5 Semarang Guru Sejarah SMA N 5 Semarang Guru Sejarah SMA N 12 Semarang Guru Sejarah SMA N 12 Semarang Guru Besar Jurusan Sejarah Unnes Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 1 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 5 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang


(4)

292

No Nama Jabatan

42 43 44

Dian Sadewo Siti Isnaeni Dea Agnes

Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang Peserta didik SMA N 12 Semarang


(5)

Peneliti Wawancara dengan Salah Satu Guru Sejarah (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Peneliti Wawancara dengan Peserta Didik (Sumber: Dokumentasi Pribadi)


(6)

Suasana Pembelajaran di SMA N 1 Semarang dengan Penerapan Moving Class (Sumber: Dokumentasi Pribadi)