Sosok wanita pertama merupakan seorang petani yang membawa cangkul dan bertopikan camping, sedangan sosok wanita
kedua adalah seorang gadis berpakaian seragam dan bertopikan pramuka dengan model rambut dikepang di sisi kanan dan kiri
wajahnya. Sedangkan sosok ketiga adalah seorang peria pekerja tambang yang menggunakan helm dan baju kerja sambil memegang
sebuah perkakas kerja. Terdapat berbagai macam kalimat yang di sisipi dalam karya ini seperti pada sudut kiri atas “tragedi negara
dibawah ketergantungan modal company” sedangkan pada bagian bawah kalimat tersebut tertulis “bayar rugi ganti lunas” dan kalimat
selanjutnya yang berada di bawah tulisan tersebut berbunyi “soro
bareng seneng bareng”. Sudut kanan atas pada karya ini tertulis sebuah kalimat “lapindo bersalah mengorbankan tanah, jiwa, raga,
rakyat 16 desa” dan pada bagian tengah karya dibawah sosok ular
terdapat kalimat bertuli skan “solidaritas korban lumpur menolak
lupa”. Berbagai kalimat dalam karya ini mencoba memberikan pemahaman sekaligus sebuah kritik bahwa bencana lumpur lapindo
harus segera diselesaikan secara tuntas karna mengancam masa depan anak-anak, petani dan para pekerja disana. Seacar keseluruhan visual,
dan teknik dalam karya ini dibuat dengan baik sehingga mampu menyampaikan konten pesan seniman dengan sempurna.
B. Analisis Data dan Pembahasan
Guna mempermudah proses analisis data dan pembahasan hasil, maka penulis melakukan proses identifikasi dan klasifikasi berdasarkan data lapangan
yang telah diolah dan diuraikan pada bab sebelumnya terhadap dugaan terjadinya komodifikasi seni grafis di Yogyakarta, penyebab terjadinya komodifikasi seni
grafis di Yogyakarta dan proses terjadinya komodifikasi seni grafis di Yogyakarta.
Berdasarkan proses analisa dan reduksi data, maka bentuk komodifikasi pada objek karya seni grafis di Yogyakarta dapat dinarasikan sebagai berikut.
Sejarah seni grafis di Indonesia seperti yang telah dijelaskan oleh Tris Neddy Santo dan kawan-kawan menyatakan bahwa karya seni grafis pertama kali
commit to user
digunakan sebagai sebuah alat propaganda politik untuk kemerdekaan Indonesia pada tahun 1940-1950 Santo dkk, 2012: 104. Karya seni grafis pada masa ini
diposisikan sebagai karya terapan applied art. Teknik dalam seni grafis dimanfaatkan oleh beberapa seniman untuk menciptakan poster-poster
propaganda politik kemerdekaan.
Gambar 20. Poster Propaganda Politik Kemerdekaan Indonesia Karya dari Affandi, Suromo, Abdul Salam dan Mochtar Apin
Sumber: Repro dari Majalah Visual Arts, edisi Juni 2010, halaman 23-26. Penerbit Jakarta: PT Media Visual Arts
Propaganda berbasis pemanfaatan seni grafis ini dipelopori oleh Affandi, Abdul Salam, Suromo, Baharuddin Marasutan dan Mochtar Apin. Namun
munculnya institut seni di Yogyakarta seperti ASRI Akademi Seni Rupa Indonesia yang sekarang dikenal sebagai ISI Yogyakarta Institut Seni Indonesia
Yogyakarta telah membuat kedudukan seni grafis di Indonesia berubah. Tokoh-tokoh seniman yang mencetuskan dan membangun pencitraan
baru seni grafis di Yogyakarta adalah seniman seperti Affandi, Suromo, dan Abdul Salam. Pencitraan seni grafis yang dilakukan ketiga seniman ini merupakan
sebuah bentuk awal munculnya gejala praktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta. Bentuk komodifikasi ini ditunjukan dengan adanya perubahan pada
aspek non fisik yaitu fungsi seni grafis yang awalnya sebagai alat propaganda politik menjadi sebuah media ekspresi diri dengan pertimbangan keindahan.
Affandi, Suromo, dan Abdul Salam dalam hal ini telah memposisikan karya seni grafis keluar dari posisi awalnya sebagai seni terapan applied art dan
merubahnya menjadi sebuah seni murni fine art dua dimensional yang memanfaatkan proses cetak pada penciptaan karyanya. Hal ini serupa dengan
pernyataan Nooryan Bahari yang menjelaskan bahwa seni grafis merupakan bagian dalam rumpun seni murni yang memiliki wujud dua dimensional yang
dihasilkan melalui sebuah proses cetak Bahari, 2008: 83. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
Kehadiran institusi seni di Yogyakarta sangat banyak mempengaruhi keberadaan seni grafis di kota tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya
sekelompok seniman dari Institut Seni Indonesia yang telah merubah karya seni grafis seperti sebuah karya seni lukis. Sekelompok seniman tersebut adalah AT.
Sitompul, AC. Andre Tanama, Ariswan Adhitama dan Irwanto Lentho dengan karya-karya grafis monoprint. Grafis monoprint merupakan sebuah fenomena
baru yang menyatukan teknik cetak grafis dengan beberapa teknik seperti drawing dan painting yang kemudian dicetak pada media kanvas dengan jumlah tunggal
layaknya sebuah karya lukis yang eksklusif. Hal yang dilakukan oleh sekelompok seniman ini merupakan sesuatu yang tidak lazim dilakukan dalam ranah seni
grafis seperti adanya pencampuran teknis drawing dan painting, penghilangan identitas konvensi seni grafis dalam karya serta karya yang dicetak dalam jumlah
tunggal pada media kanvas.
Gambar 21. Karya Monoprint AT. Sitompul, AC. Andre Tanama, Ariswan Adhitama, dan Irwanto Lentho
Sumber: Repro gambar dari Katalog Trienal Seni Grafis III, Katalog Pameran Tunggal AC. Andre Tanama “Agathos”, Katalog Pameran Tunggal Ariswan Adhitama “In Repair, dan Katalog
Pameran Tunggal Irwanto Lentho “Sang Pencukil”
Perubahan-perubahan yang dilakukan
sekelompok seniman ini
merupakan sebuah bentuk komodifikasi pada karya seni grafis yang bertujuan membawa karya seni grafis masuk kedalam sebuah eksklusifitas karya tunggal
seperti sebuah karya lukis. Praktik komodifikasi karya seni grafis ini dimungkinkan terjadi karena munculnya dunia akademisi seni seperti yang
dijelaskan oleh Sanento Yuliman bahwa pendidikan seni rupa telah mendorong kesadaran yang lebih tajam tentang kerja seni, tentang bahan, proses, unsur-unsur
bentuk serta pengubahannya dan adanya dorongan tersebut memunculkan sikap menjelajah atau sikap eksperimental, dan sikap kritis bagi seniman akademisi.
commit to user
Keberadaan seni grafis di Yogyakarta kembali dimotivasi ulang kedalam sebuah format baru. Format baru ini mencoba mengaplikasikan karya seni grafis
kedalam bentuk baru berupa benda-benda pakaimerchandise seperti kaos, tas, kartu pos dan emblem. Perubahan baru ini dapat dilihat pada karya-karya grafis
konvensional dari seniman Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan Muhamad Yusuf yang telah diaplikasikan ke media pakai. Perubahan ini merupakan sebuah bentuk
komodifikasi lanjutan yang terjadi pada seni grafis di Yogyakarta. Bentuk perubahan yang terjadi pada karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan
Muhamad Yusuf meliputi aspek fisik karya dan aspek non fisik karya. Perubahan fisik dan non fisik ini terbagi kedalam beberapa kategori, hal ini dapat dilihat pada
tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Identifikasi dan Klasifikasi Karya Seni Grafis Atas Dugaan Munculnya Praktik Komodifikasi di Yogyakarta.
Perubahan Fisik Karya
Perubahan Non Fisik Karya
1. Terjadi perubahan unsur bentuk,
warna dan ukuran karya seni.
2.
Terjadi perubahan media cetak.
3.
Hilangnya identitas konvensi seni grafis dalam karya, seperti nomor
edisi cetakan, tandatangan seniman, teknik cetak dan tahun pembuatan
karya.
4.
Dicetak dalam berbagai benda pakai seperti kaos, tas, emblem, kartu pos,
dan kalender. 1.
Terjadinya perubahan jumlah karya yang dicetak menjadi sangat masif.
2. Munculnya nilai tambah ekonomi
dan nilai fungsi dari karya tanpa kehilangan
pesan-pesan idealis
seniman, nilai keindahan serta nilai keuinikan visual.
3. Berubahnya nilai harga pada karya.
4. Karya semakin mudah didapat,
diterima dan dikonsumsi masyarakat secara luas.
Berdasarkan identifikasi dan klasifikasi pada tabel 4 diatas ditemukan beberapa perubahan yang menandakan terjadinya paktik komodifikasi pada karya
seni grafis di wilayah Yogyakarta. Terlihat poin satu dan dua dalam kategori perubahan fisik karya yang mengidentifikasi adanya proses modifikasi ulang
dengan cara melakukan perubahan bentuk, warna, ukuran, media dan penghilangan identitas konvesi pada karya seni grafis.
Seperti pemahaman yang diungkapkan oleh Adorno bahwa praktik komodifikasi tidak hanya terjadi pada barang-barang kebutuhan konsumer, tetapi
telah merambah pada bidang seni dan kebudayaan. Proses komodifikasi ini pun ternyata terjadi pada karya seni grafis di Yogyakarta yang dapat diidentifikasi
berdasarkan fakta-fakta perubahan yang terlihat pada aspek fisik yang meliputi bentuk, warna, ukuran, media dan identitas konvensi seni grafis. Secara otentik
commit to user
fakta-fakta perubahan ini dapat diamati dengan jelas pada tabel analisis perubahan fisik beberapa karya grafis berikut lihat tabel 5.
Tabel 5. Analisis Perubahan Fisik Karya Seni Grafis.
No Perubahan Unsur Bentuk, Warna, Ukuran, Media Cetak Karya dan Identitas Konvensi Seni Grafis
Sebelum Proses Komodifikasi Sesudah Proses Komodifikasi
1
Media cetak yang digunakan berupa kertas dan memiliki identitas konvensi
seni grafis dibagian bawah karya. Media cetak berubah menjadi kaos dan
hilangnya identitas konvensi seni grafis. 2
Memiliki background berwarna hitam, objek karya berwana hitam, ukuran
30cm x 45cm, dicetak pada media kertas, dan memiliki identitas konvensi
seni grafis. Tidak memiliki background, objek karya
berwana merah, ukuran +- 25cm x 35cm, dicetak pada media kaos, dan
tidak memiliki identitas konvensi seni grafis.
3
Memiliki background berwarna hitam, objek karya berwana coklat muda,
ukuran 25cm x 10cm, dicetak pada media kertas, dan memiliki identitas
Memiliki background berwarna hitam, objek karya berubah bentuk menjadi
outline dengan warna merah, ukuran 30cm x 45cm, dicetak pada media kain,
commit to user
konvensi seni grafis. dan tidak memiliki identitas konvensi
seni grafis. 4
Objek gedung pada karya berwana coklat tua dan coklat muda, objek daun
berwarna hijau muda, ukuran 40cm x 55cm, dicetak pada media kertas, dan
memiliki identitas konvensi seni grafis. Muncul penambahan objek baru berupa
tulisan MORE PARK LESS HOTEL dibagian bawah karya, Objek gedung
dan daun berwarna hijau tua, ukuran 12,5cm x 17cm, dicetak pada media
kertas, dan tidak memiliki identitas konvensi seni grafis.
5
Objek visual berwarna merah dan di cetak pada media kertas.
Warna objek visual berubah menjadi hitam dan di cetak pada media kaos.
Poin tiga dalam kategori perubahan fisik lihat tabel 4 dapat diuraikan bahwa pada karya-karya yang telah mengalami proses komodifikasi telah
kehilangan identitas konvensi seni grafis. Proses modifikasi produk-produk benda pakai ini sudah tidak lagi mencantumkan edisi cetak dan tandatangan seniman,
sehingga memunculkan sebuah produk baru yang berbeda dari karya aslinya. Disimpulkan bahwa produk hasil proses komodifikasi pada karya seni grafis Sri
Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf ini adalah sebuah bentuk karya baru dan bukan merupakan sebuah karya seni grafis konvensional lagi. Hal ini
diperjelas oleh pandangan Aminudin TH Siregar yang menyatakan bahwa seni perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
grafis konvensional memiliki ciriidentitas yang kuat yaitu se buah “identitas
konvesi” yang selalu melekat pada setiap hasil cetakan Siregar, 2009: 8. Artinya, sebuah karya seni dapat dikategorikan kedalam sebuah karya seni grafis apabila
memiliki ciri-ciri identitas konvensi seni grafis, dan jika tidak memiliki identitas konvensi tersebut maka karya tersebut bukanlah sebuah karya seni grafis
konvensional. Komodifikasi merupakan sebuah proses yang memiliki fokus pada
perubahan nilai pada suatu objek benda atau kebendaan. Perubahan nilai ini dipahami oleh Yasraf Amir Piliang sebagai sebuah proses perubahan objek benda
yang tadinya tidak untuk dimaharkan kemudian menjadi barang komoditas yang memiliki nilai jual. Poin empat dalam kategori perubahan fisik dalam tabel 4 ini
membuktikan bahwa karya grafis dicetak atau diaplikasikan pada benda pakai seperti kaos, tas, emblem, kartu pos dan kalender yang notabene merupakan
sebuah komoditas bernilai komersil.
Gambar 22. Contoh Produk Benda Pakai Hasil Komodifikasi Karya Seni Grafis Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro P, 2014
Walter Benjamin memiliki pandangan bahwa karya seni mampu direproduksi secara massal, karena semua artefak dari hasil tangan manusia dapat
ditiru oleh manusia lainnya dan reproduksi mekanis terhadap sebuah karya seni dikemudian hari akan melahirkan sesuatu yang baru. Hal tersebut sesuai dengan
fakta bahwa produk-produk tersebut direproduksi secara masal kedalam berbagai macam jenis bentuk komoditas produk pakai lihat gambar 20. Dalam gagasan
Turner, hal ini menandakan bahwa komodifikasi seni grafis muncul karena adanya proses produksi massal dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besaarnya sesuai dengan prinsip dasar ekonomi dalam konteks masyarakat industri.
commit to user
Perubahan pada karya seni grafis tidak hanya terjadi pada aspek fisik saja, melainkan terjadi pula pada aspek non fisik. Pada poin satu dalam kategori
perubahan non fisik dipaparkan bahwa telah terjadi perubahan jumlah karya yang semakin masif. Dalam hal ini terlihat bahwa karya seni telah mengalami
reproduksi secara massal. Walter Benjamin dalam pandangannya memaparkan bahwa adanya kemampuan mereproduksi melalui sebuah teknologi berpotensi
mengembangkan bentuk dan praktik kreatif dari seni menjadi produksi yang bersifat massal. Hal ini selaras dengan pandangan Karl Marx dan George Simnel,
yang menyatakan bahwa komodifikasi muncul karena adanya proses produksi massal dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besaarnya sesuai
dengan prinsip dasar ekonomi dalam konteks masyarakat industri Turner, 1992: 115-132. Artinya, adanya kesempatan untuk melakukan proses reproduksi masal
dalam karya seni grafis telah mendorong munculnya sebuah praktik komodifikasi pada karya tersebut.
Poin dua dalam kategori perubahan non fisik memaparkan telah munculnya nilai tambah ekonomi dan nilai fungsi dari karya tanpa menghilangkan
pesan-pesan idealis seniman, nilai keindahan serta nilai keuinikan karya itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Tina Rou yang merupakan
konsumen pembeli produk dari Bayu Widodo dalam wawancara 3 Maret 2015 yang menyatakan sebagai berikut.
commit to user
Pernyataan Tina Rou ini menegaskan bahwa produk yang dihasilkan oleh Bayu Widodo masih tetap memiliki “aura” yang mampu menarik perhatiannya
sebagai konsumenpenikmat seni. Disimpulkan bahwa pandangan Walter Benjamin tent
ang budaya reproduksi massal yang dapat menghilangkan “aura” dan kedalaman estetis pada sebuah karya, ternyata tidak sepenuhnya berlaku di
semua karyaproduk yang mengalami reproduksi massal. Poin tiga dalam kategori perubahan non fisik terlihat adanya perubahan
nilai harga pada karya yang telah mengalami proses komodifikasi. Hal ini dilakukan oleh seniman sebagai sebuah politik dagang untuk mendapatkan respon
konsumen sebanyak-banyaknya terhadap produk yang dihasilkan olehnya. Gagasan Wilson Bangun dalam hal ini menjelaskan jika harga suatu produk
diturunkan, maka semakin banyak jumlah permintaan atas barang tersebut Bangun, 2007: 30. Artinya, pelaku komodifikasi karya seni grafis di
Yogyakarta memanfaatkan efek domino dari penurunan harga ini, sehingga strategi penurunan harga ini mampu meningkatkan jumlah penjualan yang
berdampak pula pada meningkatnya keuntungan seniman atas penjualan produknya. Fakta inilah yang kemudian disebut sebagai sistem ekonomi pasar
oleh Adam Smith, yang memiliki pemahaman disetiap unit pelaku kegiatan ekonomi diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang akan
memberikan keuntungan pada dirinya produsen, maka pada waktu yang bersamaan masyarakat konsumen akan memperoleh keuntungan juga Sukirno,
2006: 64. Melalui proses mekanisme pasar pengusaha dan penjual memiliki kebebasan untuk menentukan produksi barang yang dapat menghasilkan
“keuntungan”, dengan demikian produsen dapat melakukan efesiensi terhadap fator-faktor produksi yang terbatas dengan cara mengeluarkan biaya serendah-
rendahnya dan meningkatkan produksi pada titik optimal. Kemudian pada poin empat dalam kategori perubahan non fisik terlihat
bahwa karya semakin mudah didapat, diterima dan dikonsumsi masyarakat secara luas. Dalam hal ini terlihat bahwa karya-karya seni grafis semakin tersebar secara
masif dan sangat mudah untuk didapatkan dengan harga yang relatif terjangkau. Pandangan Lessing dalam hal ini menjelaskan bahwa proses komodifikasi tidak
memakan ruang atau tidak mengikat budaya dan menyebar secara lebih luas serta perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
medalam dengan tampilan yang natural Hasan, 2009: 136-150. Artinya, tampilan produk masal hasil komodifikasi yang nampak natural membuat orang
dengan mudah menerima tanpa adanya penilaian kritis pada karya tersebut. Berdasarkan proses analiasia data di atas, dapat disimpulkan bahwa telah
terjadi gejala komodifikasi pada karya-karya grafis dari seniman di Yogyakarta. Hal ini terlihat dengan banyaknya perubahan yang terjadi dari aspek fisik dan non
fisik dari karya grafis konvensional yang mengarah pada tujuan-tujuan dari komodifikasi seperti perubahan nilai guna sebuah produk menjadi nilai jual.
Dapat dikatakan bahwa gejala praktik komodifikasi telah merambah pada benda- benda seni seperti karya seni grafis konvensional di wilayah Yogyakarta.
Kemunculan praktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta tentunya tidak hadir secara tiba-tiba melainkan memiliki latarbelakang yang panjang
sehingga hal tersebut dapat terjadi dan berkembang sampai saat ini. Pada bab ini akan diuraikan dengan jelas alur terjadinya komodifikasi karya seni dari berbagai
pandangan yang kemudian dielaborasikan pada fakta-fakta yang terjadi. Dalam perspektif Simel, sejatinya manusia tidak pernah terlepas dari
sturuktur dan kultur. Didalam kultur terdapat sebuah fenomena budaya yang berkaitan dengan karya grafis. Karya grafis terbuat dari proses cetak yang
menggunakan papan kayu dari pohon sebagai desain awal. Karya grafis memiliki nomena sebuah potongan papan kayu dari pohon yang mendapat sentuhan
seniman yang kemudian menjadi sebuah karya seni. Karya seni grafis memiliki sifat dasar dapat dilipatgandakan sebanyak mungkin. Sifat dasar dalam karya seni
grafis ini kemudian dimanfaatkan beberapa orang untuk menciptakan produk pakai seperti kaos, tas, kartu pos, emblem dan kalender yang diproduksi secara
massal dan menghasilkan keuntungan secara finansial. Produk pakai yang telah diciptakan ini bukan merupakan karya seni lagi melainkan telah berubah menjadi
benda ekonomi. Hal ini dilakukan atas dasar memenuhi kebutuhan masyarakat moderen
terhadap benda bernilai seni. Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya Awilsol, 2009: 201. Termasuk dalam
hal ini adalah kebutuhan manusia akan sesuatu yang indah dan menyenangkan. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk menciptakan
commit to user
produk yang memiliki nilai keindahan dan menyenangkan bagai pembelinya. Maka diciptakanlah sebuah produk yang seolah-olah menyerupai karya seni grafis
yang dijual dengan harga relatif lebih terjangkau bagi masyarakat. Proses penciptaan produk yang menyerupai karya seni grafis ini disebut
sebagai gejala komodifikasi. Menurut Baudrillard dalam Barker, 2004: 200 komodifikasi dalam masyarakat konsumen menjadi objek yang tidak lagi dibeli
sebagai nilai guna, tetapi sebagai komoditas-tanda. Munculnya proses komodifikasi telah menghadirkan objek tiruan simulacrum yang pada akhirnya
membuat masyarakat hanya mengkonsumsi produk-produk tersebut sebagai sebuah komoditas-tanda Sutrisno dan Putranto, 2005: 34. Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa komodifikasi merupakan sebuah proses perubahan nilai suatu barang yang menghasilkan produk-produk tiruan
sebagai indikasi munculnya budaya seolah-olah dalam masayarakat konsumen. Paktik komodifikasi ini secara nyata terjadi pada objek karya seni grafis
konvensional yang diciptakan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan Muhamad Yusuf dalam wawancara yang dilakukan pada bulan November dan
Desember pada tahun 2014 maka dilakukan proses identifikasi dan klasifikasi. Hal ini dilakukan guna melihat faktor penyebab terjadinya praktik komodifikasi
karya seni grafis di Yogyakarta dalam perspektif seniman sebagai pelaku dan kemudian akan dielaborasikan dengan beberapa teori, pernyataan seniman lain
serta konsumen yang membeli produk hasil komodifikasi ini.
Tabel 6. Identifikasi Penyebab Terjadinya Komodifikasi Seni Grafis di Yogyakarta.
Nama Seniman
No Pernyataan dalam
Wawancara Keterangan
Waktu Wawancara
Interpretasi
Sri Maryanto 1
“Awal mulanya membuat sebuah produk merchandise
dari karya seni grafis saya, karena keinginan untuk
bertahan hidup dari hasil karya sendiri”.
8112014 Menunjukan adanya
dorongan untuk bertahan hidup.
Adanya kenyakinan dapat hidup mandiri
dengan kemampuan sendiri.
2 “Ditambah dengan kenyataan
menjual karya seni, apalagi Menunjukan adanya
rasa kekhawatiran
commit to user
masih menjadi mahasiswa yang tidak dikenal,...tidaklah
semudah membalikan tangan” dalam memperoleh
penghasilan tetap Adanya rasa tidak
berdaya atau lemah dalam diri untuk
mencapai tujuan hidup.
3 “jadi saya pun berfikir
terbalik”. “Kalau biasanya produk merchandise di ciptakan
setelah karya aslinya terkenal, justru saya memproduksi
merchandise sebelum karya saya terkenal”.
Menunjukan adanya pola berfikir kreatif
dalam menghadapi masalah.
Bayu Widodo 1
“Tahun 2000 aku mulai mempelajari teknik cukil dan
sablon untuk memenuhi kebutuhanku sebagai seorang
seniman, dan berfikir bagaimana karyaku itu bisa
semua orang pakai”
6122014 Menunjukan adanya
motivasi hidup dengan cara
memampukan diri mempelajari sebuah
ilmu untuk untuk bertahan hidup.
Munculnya pemikiran dalam
diri untuk bermanfaat bagi
masyarakat luas 2
“Kalau karya grafisku kan dijual sekitar satu setengah juta
sampai lima juta rupiah per edisi tapi kalo kaoskan
masyarakat bisa beli dengan harga antara delapan puluh ribu
sampai seratus duapuluh ribu per kaos dan mereka bisa
memiliki selamanya”. Adanya strategi
ekonomi dengan menurunkan harga
asli karya agar perrmintaan
masyarakatkonsume n terhadap produk
semakin banyak. 3
“Lukis itu bagiku sebuah karya yang mengekspresikan
idealismeku tapi di grafis aku merasa bisa
mengkomunikasikan idealismeku ditambah dapat
memenuhi kebutuhan hidupku sebagai seorang seniman”.
Adanya fungsi politis dalam karya
seni grafis yang dapat dijadikan alat
untuk mengkomunikasikan
pesan yang lebih efektif dan dapat
memenuhi kebutuhan hidup
sebagai seniman.
Muhamad Yusuf
1 “Semuanya bermulai dari
sebuah keisengan saja, ketika Taring Padi mencetak poster
dan ada kaos nganggur kemudian aku cetak”. “Setalah
dilihat ternyata menarik, lalu aku produksilah kaos tersebut
secara masal”
22112014
Melihat adanya potensi ekonomi dari
produk yang diciptakan dapat
direproduksi ke media baru sehingga
mendorong produksi barang secara masif.
2 “Konsep awal mebuat produk
pakai yang pertama adalah Adanya dorongan
menciptakan strategi
commit to user
membuat kaos dengan harga murah dan artistik agar semua
orang bisa memakai dan mengkonsumsinya”.
ekonomi untuk menarik minat pasar
dengan menciptakan produk seni dengan
harga murah namun tetap memiliki nilai
keindahan tinggi.
3 “Kedua, aku membuat kaos itu
memiliki konten pesan yang ingin aku sampaikan kepada
masyarakat, karena aku berfikir bahwa kaos itu juga sebagai
media kampanye bagiku untuk mensosialisasan ide-ide dan
gagasanku secara lebih luas, masif, mobile dan dapat
menyalurkan kesenanganku selain sebagai alat untuk
memenuhi kebutuhan hidupku”. Adanya pemikiran
bahwa media baru tidak menghilangkan
esensi pesan dalam karya.
Menunjukan adanya fungsi ganda
terhadap sebuah produk seni yang
telah diciptakan. Adanya dorongan
untuk menyalurkan potensi dalam diri.
4 “Selebihnya dengan membuat
produk maka kita akan lebih dikenal secara personal dan
karater karya kita juga akan semakin luas dikenal
masyarakat”. Adanya motivasi
untuk mendapatkan penghargaan dan
pengakuan sebagai seorang seniman
dimata masyarakat.
Berdasarkan identifikasi pada tabel 6 diatas ditemukan beberapa penyebab yang menjadi faktor terjadinya paktik komodifikasi pada karya seni grafis di
wilayah Yogyakarta. Terlihat poin satu dalam pernyataan Sri Maryanto menunjukan adanya dorongan untuk bertahan hidup dan adanya kenyakinan
dalam diri bahwa Ia dapat hidup mandiri dengan kemampuan sendiri. Pernyataan ini ditunjukan oleh Sri Maryanto dalam wawancara 8112014 sebagai berikut.
“Awal mulanya membuat sebuah produk merchandise dari karya seni grafis saya, karena keinginan untuk bertahan hidup dari hasil karya
sendiri”. Pernyataan tersebut dalam pemikiran Abraham Maslow dipahami sebagai
sebuah munculnya dorongan terhadap individumanusia untuk memenuhi segala kebutuhan fisiologisnya seperti kebutuhan akan udara, air, makan, tidur dan lain-
lain Awilsol, 2009: 201. Artinya, setiap manusia yang terlahir ke dunia selalu memiliki cara untuk memenuhi segala kebutuhan fisiologisnya sebagai upaya
untuk betahan hidup. Sedangkan gagasan Alwisol dalam pernyataan Sri Maryanto perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
tersebut dipahami sebagai sebuah proses “Aktualisasi diri”. Sri Maryanto dalam hal ini memiliki keinginan untuk memperoleh kepuasan dari dirinya sendiri Self
fullfilment, menyadari semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia dapat lakukan, dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi atas
potensi yang dimilikinya. Pernyataan ini diperkuat kembali oleh sudut pandang Deni Rahman sebagai seoroang seniman grafis dari komunitas Grafis Minggiran
Yogyakarta yang menjelaskan sebagai berikut wawancara pada 21112014. “Zaman berubah, teknologi berubah, tuntutan orang berubah, karya seni
bukan sebuah dogma dan pada akhirnya sah-sah saja ketika setiap orang merubah cara berkaryannya, dan sekarang tinggal dikembalikan pada
tujuan utama dari senimannya, kalo tujuan berkarya untuk mencari uang...
“ya tidak apa-apa yang penting mereka sadar dengan apa yang mereka lakukan
”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa setiap manusia selalu dihadapkan
oleh perubahan zaman, kemajuan teknologi sehingga tuntutan hidup semakin tinggi dan berakibat adanya perubahan dalam pola berkesenian yang mengarah
pada satu titik untuk menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Pernyataan ini selaras dengan gagasan Walter Benjamin yang menjelaskan adanya kemampuan
mereprosuksi melalui “teknologi” berpotensi mengembangkan bentuk dan praktik kreatif dari seni menjadi produksi yang bersifat massal. Artinya, setiap seniman
memiliki hak yang utuh untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya melalui sebuah penjualan produk seni sebagai akibat adanya tekanan perkembangan
zaman dan teknologi yang secara tidak langsung dapat memicu munculnya praktik komodifikasi pada karya seni grafis.
Poin dua dalam pernyataan Sri Maryanto menujukan adanya rasa khawatir atas penghasilan kerja yang tidak menentu serta munculnya sikap merasa lemah
dan tidak berdaya mencapai tujuan hidup. Pernyataan ini ditunjukan oleh Sri Maryanto dalam wawancara 8112014 sebagai berikut.
“Ditambah dengan kenyataan menjual karya seni, apalagi masih menjadi mahasiswa yang tidak dikenal,...tidaklah semudah membalikan tanga
n” Alwisol berpendapat bahwa hal ini merupakan bagaian dari sebuah
kebutuhan akan rasa aman yang terwujud dalam bentuk jaminan pekerjaan layak, gaji yang tetap, dan jaminan masa depan. Pendapat Alwisol ini memperkuat
pernyataan Sri Maryanto bahwa setiap individu membutuhkan rasa aman yang perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
terwujud dalam jaminan atas pekerjaan, gaji dan masa depan. Sedangkan pandangan menurut Alfred Alder dalam hal ini adalah manusia terlahir dalam
keadaan tubuh yang lemah dan tidak berdaya sehingga menggerakan persaan inferioritas pribadi untuk berjuang ke arah keberhasilan atau superioritas semiun,
2013: 238. Pendapat Alfred Alder ini selaras dengan pernyataan Sri Maryanto bahwa setiap individu terlahir dengan keadaan yang lemah dan tidak berdaya
sehingga menimbulkan rasa inferioritas dalam diri. Artinya, pernyataan Alwisol dan Alder ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki dorongan kebutuhan
atas rasa aman dan memiliki sikap inferioritas dalam diri yang dapat memicu munculnya praktik komodifikasi pada karya seni grafis sebagai sebuah kopensasi
terhadap pemuasan kebutuhan dan menutupi sikap inferioritas tersebut. Pernyataan Sri Maryanto dalam poin tiga menunjukan adanya pola berfikir
yang kreatif dalam menghadapi masalah dan strategi ekonomi dalam menarik minat konsumen terhadap produknya. Pernyataan ini ditunjukan oleh Sri
Maryanto dalam wawancara 8112014 sebagai berikut. “jadi saya pun berfikir terbalik”. “Kalau biasanya produk merchandise di
ciptakan setelah karya aslinya terkenal, justru saya memproduksi merchandise
sebelum karya saya terkenal”. Gagasan Alfred Alder dalam hal ini yang menjelaskan bahwa daya kreatif
adalah kemampuan manusia dalam mengolah fakta-fakta dunia dan mentransformasikan fakta-fakta tersebut menjadi kepribadian yang bersifat
subjektif, dinamik, menyatu, personal dan unik Semiun, 2013: 262. Artinya, Sri Maryanto memiliki daya kreatif yang memungkinkan Ia untuk mengolah fakta-
fakta yang dihadapinya untuk menjadi pribadi yang dinamik, personal dan unik. Pandangan Carl Rogers dalam hal ini menjelaskan bahwa Sri Maryanto memiliki
ciri-ciri pribadi yang utuh mampu merealisasi potensi bakatnya menuju pemahaman yang lengkap mengenai dirinya sendiri dan seluruh pengalaman yang
dimilikinya. Sedangakan menurut Alwisol setiap orang yang memiliki pribadi
yang berfungsi utuh berkemungkinan besar untuk memunculkan produk kreatif idea, project, action dan hidup kreatif
Alwisol, 2009: 275. Dapat disimpulkan bahwa pola berfikir terbalik yang dilakukan oleh Sri Maryanto dapat memicu
munculnya praktik komodifikasi pada sebuah karya seni. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
Pernyataan mengenai penyebab terjadinya praktik komodifikasi seni grafis berikutnya diungkapakan oleh Bayu Widodo dalam beberapa poin. Poin satu
dalam tabel 5 dijelaskan Bayu Widodo bahwa adanya motivasi hidup dengan cara memampukan diri mempelajari sebuah ilmu untuk bertahan hidup dan berfikir
bagaimana dirinya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Pernyataan ini dijelaskan oleh Bayu Widodo dalam wawancara 8112014 sebagai berikut.
“
Tahun 2000 aku mulai mempelajari teknik cukil dan sablon untuk memenuhi kebutuhanku sebagai seorang seniman, dan berfikir bagaimana
karyaku itu bisa semua orang pakai” Semiun dalam gagasannya memaparkan bahwa setiap manusia berusaha
dengan keras untuk menyatukan segala pikiran, perasaan dan tindakannya menuju satu arah, yaitu tujuan superioritas atau keberhasilan Semiun, 2013: 243-244.
Gagasan tersebut memperkuat penjelasan Bayu Widodo yang terlihat sebagai sebuah kesatuan kepribadian unity of personality yang menyatukan segala
pikiran, perasaan dan tindakannya menuju tujuan superioritas atau keberhasilan. Pandangan Alwisol tentang minat sosial memperlihatkan sikap keterikatan diri
dengan kemanusiaan secara umum, serta empati kepada setiap orang dengan tujuan bekerja sama untuk mencari keuntungan pribadi Alwisol, 2009: 70.
Artinya, apa yang dilakukan oleh Bayu Widodo menunjukan adanya minat sosial yang terlihat dalam penjelasan bagaimana dirinya dapat bermanfaat bagi
masyarakat. Poin dua dalam pernyataan Bayu Widodo menjelaskan adanya strategi
ekonomi dengan menurunkan harga barang untuk meningkatkan permintaan konsumen terhadap produk yang telah diciptakan olehnya. Hal ini dijelaskan oleh
Bayu Widodo dalam wawancara 8112014 sebagai berikut. “Konsep awal mebuat produk pakai yang pertama adalah membuat kaos
dengan harga murah dan artistik agar semua orang bisa memakai dan mengkonsumsinya”.
Gagasan Wilson Bangun dalam hal ini menjelaskan jika harga suatu produk diturunkan, maka semakin banyak jumlah permintaan atas barang tersebut
Bangun, 2007: 30. Artinya, Bayu Widodo memanfaatkan efek domino dari strategi penurunan harga ini, sehingga mampu meningkatkan jumlah penjualan
yang berdampak pula pada meningkatnya keuntungan seniman atas penjualan perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
produknya. Fakta inilah yang kemudian disebut sebagai sistem ekonomi pasar oleh Adam Smith, yang memiliki pemahaman disetiap unit pelaku kegiatan
ekonomi diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang akan memberikan keuntungan pada dirinya produsen, maka pada waktu yang
bersamaan masyarakat konsumen akan memperoleh keuntungan juga Sukirno, 2006: 64. Melalui proses mekanisme pasar pengusaha dan penjual memiliki
kebebasan untuk menentukan produksi barang yang dapat menghasilkan “keuntungan”, dengan demikian produsen dapat melakukan efesiensi terhadap
fator-faktor produksi yang terbatas dengan cara mengeluarkan biaya serendah- rendahnya dan meningkatkan produksi pada titik optimal.
Poin tiga dalam pernyataan Bayu Widodo melihatkan adanya fungsi ganda dari seni grafis yang dapat dijadikan sebagai media komunikasi pesan idealisme
sekaligus sebagai alat pemenuh kebutuhan hidup. Pernyataan ini diungkapkan oleh Bayu Widodo dalam wawancara 8112014 sebagai berikut.
“Lukis itu bagiku sebuah karya yang mengekspresikan idealismeku tapi di grafis aku merasa bisa mengkomunikasikan idealismeku ditambah dapat
memenuhi kebutuhan hidupku sebagai seorang seniman”. Ungkapan Bayu Widodo ini menunjukan bahwa ada keistimewaan pada
karya seni grafis jika dibandingkan dengan karya seni lainnya. Seperti yang telah dijelaskan diawal bahwa karya seni grafis merupakan sebuah proses kreatif yang
digunakan seniman untuk mengungkapkan segala pengalaman estetisnya melalui sebuah proses cetak. Seni grafis juga merupakan sebuah karya seni yang memiliki
ciri dapat dilipatgandakanreproduksi secara masif Bahari, 2008: 83. Pandangan ini yang kemudian dijadikan Bayu Widodo dalam memilih seni grafis sebagai
media ekspresi seni dan sekaligus sebagai alat pemenuh kebutuhan hidupnya. Gagasan Turner dalam hal ini memberikan pemahaman bahwa seni grafis dapat
dilipatgandakandiproduksi secara massal dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya sesuai dengan prinsip dasar ekonomi dalam konteks
masyarakat industri telah mendorong munculnya proses komodifikasi pada karya seni. Ada hal yang menarik dari pernyataan Bayu Widodo ini. Bayu Widodo
menjelaskan bahwa “...di grafis aku merasa bisa mengkomunikasikan idealismeku
...” hal ini menegaskan bahwa reproduksi massal dalam karya seni grafis tidak menghilangkan pesan idealisme atau aura dari produk yang
commit to user
dihasilkannya. Dalam kasus ini pandangan Walter Benjamin yang menjelaskan bahwa budaya reproduksi secara masal dalam masyarakat industri kapitalisme
telah menghilangkan kekuatan “aura” seni dan kedalaman estetis dari hal-hal yang diproduksi tidak sepenuhnya tepat.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Antonius Ipur yang merupakan konsumen pembeli produk dari Bayu Widodo dalam wawancara 3 Maret 2015
yang menyatakan sebagai berikut.
Pernyataan Antonius Ipur ini menegaskan bahwa produk yang dihasilkan oleh Bayu Widodo masih memiliki “aura” yang mampu menarik perhatiannya
sebagai konsumenpenikmat seni. Hal ini menunjukan bahwa pesan idealisme dalam produk Bayu Widodo tidak hilang dan dapat ditangkap oleh publik dengan
baik. Dapat disimpulkan bahwa budaya reproduksi pada karya seni tidak selamanya menghilangkan kekuatan “aura” seni dan kedalaman estetis.
Penyebab terjadinya praktik komodifikasi seni grafis selanjutnya diungkapakan oleh Muhamad Yusuf dalam beberapa poin. Poin pertama adalah
commit to user
adanya potensi ekonomis dari barang ciptaan yang dapat direproduksi ke dalam media baru sehingga menimbulkan pemikiran untuk memproduksi secara masif.
Pernyataan ini diungkapkan secara lisan oleh Muhamad Yusuf dalam wawancara 22112014 sebagai berikut.
“Semuanya bermulai dari sebuah keisengan saja, ketika Taring Padi mencetak poster dan ada kaos nganggur kemudian aku cetak”. “Setalah
dilihat ternyata menarik, lalu aku produksilah kaos tersebut secara masal” Gagasan Walter Benjamin dalam esainya yang berjudul
“The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” memaparkan bahwa adanya kemampuan
mereproduksi melalui teknologi berpotensi mengembangkan bentuk dan praktik kreatif dari seni menjadi produksi yang bersifat massal Benjamin,1969: 218.
Pendapat Walter Benjamin ini memperkuat bahwa adanya kemampuan mereproduksi sebuah karya seni berpotensi mengembangkan praktik kreatif seni
menjadi sebuah produksi massal. Poin dua adalah munculnya dorongan menciptakan strategi ekonomi untuk menarik minat pasar dengan menciptakan
produk seni dengan harga murah namun tetap memiliki nilai keindahan tinggi. Pernyataan ini diungkapkan secara lisan oleh Muhamad Yusuf dalam wawancara
22112014 sebagai berikut. “Konsep awal mebuat produk pakai yang pertama adalah membuat kaos
dengan harga murah dan artistik agar semua orang bisa memakai dan mengkonsumsinya”.
Hal ini menunjukan bahwa Muhamad Yusuf mencoba menurunkan harga untuk meningkatkan permintaan atas produk yang diciptakan. Terlihat dengan
jelas bahwa Muhamad Yusuf memanfaatkan efek domino dari strategi menurunkan harga produknya untuk meningkatkan permintaan konsumen atas
produknya. Selain itu Muhamad Yusuf memiliki pemahaman yang sama dengan pandangan John Ruskin dan William Morris dalam gerakan Art and Craft
Movement yang menjelaskan bahwa bahwa seniman menghasilkan barang yang indah dengan harga yang terjangkau orang banyak Adityawan S, 2010: 39.
Kemudian poin tiga Muhamad Yusuf menjelaskan adanya pemikiran bahwa media baru tidak menghilangkan esensi pesan dalam karya. Pernyataan ini
diungkapkan secara lisan oleh Muhamad Yusuf dalam wawancara 22112014 sebagai berikut.
commit to user
“Kedua, aku membuat kaos itu memiliki konten pesan yang ingin aku sampaikan kepada masyarakat, karena aku berfikir bahwa kaos itu juga
sebagai media kampanye bagiku untuk mensosialisasan ide-ide dan gagasanku secara lebih luas, masif, mobile dan dapat menyalurkan
kesenanganku selain sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidupku”. Pernyataan Muhamad Yusuf ini bertentangan juga dengan pandangan
Walter Benjamin dalam Sutrisno dan Putranto, 2005: 34 yang menyatakan bahwa dalam masyarakat industri telah terjadi budaya reproduksi massal yang
telah menghilangkan “aura” seni dan kedalaman estetisnya atas dasar hanya untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomi. Muhamad Yusuf menjelaskan bahwa produk
hasil proses komodifikasi tetap diposisikan sebagai sebuah karya yang memiliki konten pesan dan dapat dijadikan sebagai media kampanye untuk mensosialisasan
gagasannya secara lebih luas, masif, dan mobile. Hal ini di perkuat oleh penryataan Didit Haryo W yang merupakan konsumen pembeli produk dari
Muhamad Yusuf dalam wawancara 3022015 yang menyatakan sebagai berikut.
Pernyataan Didit Haryo W ini menegaskan bahwa produk yang dihasilkan oleh Muhamad Yusuf dari Taring Padi memiliki kesamaan ideologi, produk yang
dihasilkan sangat mencerminkan ideologi yang diusung oleh komunitasnya dan produk yang dihasilkan memiliki keunikan yang khas karena adanya efek cukilan
commit to user
grafis. Adanya proses komodifikasi pada karya Muhamad Yusuf ternyata tidak menghilangkan esensi pesan melainkan justru menambah nilai baru dalam
karyanya. Pendapat ini diperkuat oleh Alexander Nawang Seto seorang seniman grafis dari Yogyakarta dan staf pengajar seni grafis di Institut Seni Indonesia
Surakarta yang menjelaskan dalam wawancara pada 28112014 sebagai berikut. “Ketika seniman membuat sebuah produk pasti memiliki pesan dan
gagasan dan tidak hanya semata-mata menjual produk yang memiliki nilai estetik saja
”. Disimpulkan bahwa budaya reproduksi pada karya seni tidak selamanya
menghilangkan kekuatan “aura” seni dan kedalaman estetis melainkan dapat menambah nilai baru pada karya seni.
Pernyataaan berikutnya dari Muhamad Yusuf dalam poin yang sama menunjukan adanya fungsi ganda terhadap sebuah produk seni yang telah
diciptakan. Hal ini selaras dengan pendapat Husnan yang menyatakan bahwa reproduksi mekanis terhadap sebuah karya seni, dikemudian hari akan melahirkan
sesuatu yang baru Husnan, 2013: 544. Gagasan Gregory Ulmer dalam hal ini memberikan pemahaman bahwa munculnya reproduksi massal merupakan sebuah
bentuk upaya perubahan suatu karya atau penanda yang “dimotivasi ulang” dalam konteks baru. Sesuatu yang baru dalam konteks ini menjelaskan bahwa karya seni
memiliki fungsi sebagai media komunikasi pesan, media berekspresi seni sekaligus sebagai alat pemenuh kebutuhan hidup dari seniman. Pernyataan
terakhir dalam poin ini adalah adanya motivasi untuk menyalurkan potensi dalam diri. Pendapat ini selaras dengan pandangan Abraham Maslow dalam hirarki
kebutuhan manusia menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki dorongan untuk melakukan proses aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah keinginan untuk
memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri Self fullfilment, untuk menyadari semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia dapat lakukan, dan untuk
menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya Awilsol, 2009: 205. Hal ini memperlihatkan bahwa apa yang dilakukan oleh Muhamad Yusuf
merupakan proses aktualisasi diri seperti apa yang digambarkan oleh Maslow dalam hirarki kebutuhan manusia.
Poin empat adalah adanya motivasi untuk mendapatkan penghargaan dan pengakuan sebagai seorang seniman dimata masyarakat. Pernyataan ini
commit to user
diungkapkan secara lisan oleh Muhamad Yusuf dalam wawancara 22112014 sebagai berikut.
“Selebihnya dengan membuat produk maka kita akan lebih dikenal secara personal dan karater karya kita juga akan semakin luas dikenal
masyarakat”. Penghargaan yang diperoleh seseorang dari pihak lain dapat memberikan
rasa bangga dan berguna. Kebutuhan penghargaan ini dapat diperoleh jika seseorang dapat berguna bagi masyarakat Dariyo, 2008: 124. Pendapat tersebut
memperkuat pernyataan Muhamad Yusuf yang membutuhkan sebuah penghargaan dari masyarakat untuk memberikan rasa bangga dalam dirinya. Hal
ini kemudian menjadi penyebab sesorang melakukan proses komodifikasi agar produk yang dihasilkan dapat berguna bagi masyarakat dan menimbulkan rasa
kebanggaan secara pribadi. Berdasarkan proses analiasia data di atas, dapat disimpulkan bahwa
terdapat berbagai penyebab terjadinya praktik komodifiksi seni grafis di Yogyakarta yang meliputi faktor psikologis, ekonomi, fungsi politis seni, dan
adanya kesempatan untuk mereproduksi karya seni grafis konvensional secara massal. Keempat faktor ini menjadi sesuatu yang kuat sebagai dasar atas
terjadinya praktik komodifikasi seni grafis di Yogyakarta hingga saat ini. Kemudian bagaimana proses terjadinya komodifikasi karya seni grafis Sri
Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta dapat berjalan hingga saat ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka akan dilakukan proses
identifikasi dan klasifikasi dalam sebuah tabel berdasarkan pernyataan dari Sri Maryanto, Bayu Widodo, dan Muhamad Yusuf dalam wawancara berikut.
Tabel 7. Identifikasi Proses Terjadinya Komodifikasi Karya Seni Grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan
Muhamd Yusuf di Yogyakarta.
Seniman No Urut
Proses Proses Terjadinya
Sri Maryanto 1
Ketika semester V muncul ide untuk membuat produk merchadise dari karya murni yang telah diciptakan
sebelumnya. 2
Akhir tahun 2003 membuat sebuah brandmerk untuk produknya bernama ORABER Total Produk Grafis. ORABER
merupakan singkatan dalam bahasa Jawa “Ora Bermerek”
yang artinya tidak bermerek se dangkan “Total Produk Grafis”
sebagai tanda bahwa produk yang dihasilkan merupakan produk dari karya seni grafis.
commit to user
3 Tekniks produksi awal yang digunakan untuk memproduksi
merchadise adalah teknik cetak tinggi dalam hal ini cukil kayu yang diaplikasikan langsung pada setiap jenis produk. Kemudia
beralih ke teknik cetak saring dalam hal ini sablon, dikarenakan tinta cetak pada teknik cukil kayu mudah pudar dan proses
cetaknya dirasakan kurang praktis 4
Karakter cukilan lebih menonjol disetiap produk yang dihasilkan dan sebagai identitas dari produk Sri Marayanto
5 Produk yang diproduksi setiap jenisnya dicetak terbatas
limited edition. Namun satu desain visual dapat diaplikasikandicetak lebih dari satu jenis produk.
6 Harga produk ditentukan berdasarkan biaya produksi, tenaga
dan jumlah produk yang dicetak. 7
Promosi yang dilakukan dengan mengikuti berbagai event festival seni dan dipromosikan melalui media online
8 Produk yang dihasilkan berupa kaos, tas, dan kalender.
Bayu Widodo 1
Berawal dari sebuah eksperimen kemudian memilih teknis grafis untuk memenuhi kebutuhan hidup
2 Kemudian memulai memproduksi merchadise yang sederhana,
unik, kratif dan berbeda dengan produk lainnya dari karya- karya grafis konvensional yang telah diciptakan sebelumnya.
3 Sistem promosi yang dilakukang dengan dipromosikan melalui
media online dan rutin mengikuti berbagai event seperti di Jakarta, Bandung, Timor Leste, dan Autralia untuk
memperkenalkan produk yang diciptakan. 4
Pertimbangan menentukan harga adalah modal produksi, jumlah barang yang diproduksi dan daya beli konsumen
5 Teknik yang digunakan dalam proses produksi adalah cetak
saring dalam hal ini sablon dan cetak digital. 6
Produk yang dihasilakan berupa kaos, emblem dan kartu pos. Muhamad
Yusuf 1
Berawal dari ketidak sengajaan ketika kawan-kawan Taring Padi mencetak karya grafis, kemudian muncul ide untuk
mencetak di kaos karena melihat ada kaos polos yang terjatuh dilantai pada waktu itu. Ternyata setelah dicetak terlihat
menarik dan kemudian dikembangkan sebagai produk sampai saat ini.
2 Teknik produksi yang digunakan adalah cetak tinggi dalam hal
ini cukil kayu karena pertimbangan kepraktisan dan dapat dicetak dalam tempo waktu singkat dan berulang kali.
3 Kemudian desain-desain tersebut dicukil, dicetak, dan dijual
sendiri oleh Muhamad Yusuf. 4
Produk yang dihasilkan berupa kaos, emblem, kartu pos, cover buku, stiker, dan bandana.
5 Strategi promosi yang dilakukan dengan cara memberikan
gratis pada awal produksi, produk yang dicetak tidak terbatas unlimited edition , dipromosikan melalui media online dan
konsumen dapat memilih desain visual yang ingin dicetak dengan sistem made to order
“mereka pesan, aku buatkan” 6
Penentuan harga produk berdasarkan kualitas bahan, tingkat kerumitan, waktu pengerjaan, ukuran desain, refrensi harga
lama dan kemampuan daya beli konsumen adanya proses nego harga secara langsung.
Berdasarkan identifikasi tabel 7 diatas, terlihat bagaimana proses terjadinya praktik komodifikasi karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan
commit to user
Muhamad Yusuf di Yogyakarta. Proses ini diawali dengan beberapa cara seperti munculnya ide menciptakan produk dari karya seni murni, proses eksperimen
media, sampai dari sebuah ketidak sengajaan. Teknis yang digunakan dalam proses produksipun beragam dari mulai teknik cetak tinggi, cetak saring hingga
proses cetak digital. Produk yang dihasilkan dari proses komodifikasi ini berupa kaos, tas, kartu pos, emblem, dan kalender. Sedangkan proses penentuan harga
dilakukan berdasarkan biaya produksi, jumlah barang yang dicetak, proses produksi, refrensi harga lama dan daya beli konsumen. Strategi promosi yang
dilakukan diantaranya promosi langsung keberbagai event, jumlah poduk yang dicetak terbatas dan tidak terbatas, melakukan promosi di media online dan
konsumen dapat memilih desain terlebih dahulu sesuai keinginan sebelum dilakukan proses cetak atau dengan sistem made to order.
Praktik komodifikasi yang dilakukan oleh Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf merupakan bagian dalam proses Industri Kreatif. Hal ini
terlihat dengan adanya pemanfaatan kreativitas individu dalam proses kreasi dan eksplorasi benda seni untuk menciptakan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan
yang merupakan karakteristik dari proses Indutri Kreatif. Pernyataan ini diperkuat dengan defenisi Industri Kreatif dari Departemen
Perdagangan Republik Indonesia yang menjelaskan sebagai berikut Departemen Perdagangan RI, 2008: 4.
“Industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan
melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu
tersebut”. Hal ini menegaskan bahwa fenomena praktik komodifikasi pada karya
seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta merupakan salah satu bagian dalam Industri Kreatif dalam sektor perdagangan
pasar barang-barang seni yang memiliki nilai keaslian, keunikan, dan estetika tinggi. Selain itu pandangan seniman terhadap industri kreatif telah memposisikan
karya seni dengan standar-standar tertentu, seperti diciptakannya karya idealisme dengan standar lebih tinggi dari aspek ukuran, teknik, media, harga, fungsi dan
konsep penciptaan, namun ada juga karya yang diciptakan atas dasar ekonomi perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan kualitas konsep, fungsi, ukuran, media, dan harga yang lebih rendah.
commit to user
123
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Komodifikasi merupakan sebuah proses perubahan nilai guna suatu barang menjadi sebuah nilai tukar, dimana barang tersebut direproduksi ulang dengan
berbagai macam pengolahan menjadi sebuah benda pakai yang dapat dikonsumsi secara masif. Dalam konteks ini karya seni grafis konvensional di Yogyakarta
merupakan sebuah objek yang digunakan seniman untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat dan pribadinya sendiri sebagai masyarakat moderen yang
haus dengan segala kebutuhan akan keindahan dan ekonomi. Sehingga proses komodifikasi ini muncul untuk menciptakan produk yang serupa dengan karya
seni grafis yang kemudian diaplikasikan secara nyata dalam bentuk suatu produk benda pakai merchandise yang diproduksi secara masif. Dalam hal ini, proses
komodifikasi karya seni grafis di Yogyakarta harus dipandang sebagai sebuah proses yang diawali dengan mengidentifikasi bentuk komodifikasi apa saja yang
terjadi pada objek karya seni grafis, kemudian apa penyebab yang melatarbelakangi terjadinya proses komodifikasi tersebut dan bagaiman proses
komodifikasi tersebut dapat terjadi di Yogyakarta. Berdasarkan pada paparan dan analisa pembahasan yang merujuk pada
rumusan permasalahan dalam penelitian ini, dapat diuraikan kedalam tiga pokok simpulan berikut.
Komodifikasi seni grafis di Yogyakarta adalah sebuah proses perubahan nilai guna karya seni grafis konvensional menuju pada nilai tukar atas tujuan
komersil yang ditandai dengan adanya perubahan fisik dan non fisik dari karya tersebut. Perubahan fisik karya tersebut meliputi warna, ukuran, media, teknik,
dan hilangnya identitas konvesi dalam karya seni grafis tersebut. Sedangkan perubahan non fisik meliputi jumlah karya yang dicetak, munculnya nilai tambah
ekonomi dalam karya, perubahanya nilai harga karya dan kemudahan dalam memperoleh karya tersebut. Hal ini menujukan bahwa perubahan karya dalam
commit to user