Fungsi Politis Seni Teori Substansi

kreativitas, keahlian, dan talenta yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan melalui penawaran kreasi intelektual. Terdapat 14 sektor industri kreatif berdasarkan pemetaan yang telah dilakukan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia yang meliputi sektor periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, feysen, video, film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertujukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, riset dan pengembangan Departemen Perdagangan RI, 2008: 6. Departemen Perdagangan Indonesia memperinci sektor pasar barang seni sebagai kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan dan internet. Secara umum pengembangan industri kreatif sangat penting dilakukan disuatu negara, hal ini disebabkan karena industri kreatif memiliki kontribusi ekonomi yang signifikan bagi perekonomian, menciptakan iklim bisnis yang positif, dapat memperkuat citra dan identitas bangsa, mendukung pemanfaatan sumber daya terbarukan, sebagai pusat penciptaan inovasi dan pembentukan kreativitas, serta memiliki dampak sosial yang posisitf Departemen Perdagangan RI, 2008: 23. Pendekatan teori industri kreatif dalam konteks penelitian ini digunakan untuk menganalisa penyebab dan proses terjadinya praktik komodifikasi dari karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf sebagai pelaku usaha yang telah bergerak dibidang industri kreatif.

e. Fungsi Politis Seni

Setiap karya seni yang diciptakan oleh seorang seniman selalu memiliki fungsi, baik fungsi estetisnya maupun fungsi politisnya. Walter Benjamin dalam Husnan, 2013: 544 memiliki pandangan bahwa karya seni mampu direproduksi secara massal, karena semua commit to user artefak dari hasil tangan manusia akan dapat ditiru oleh manusia lainnya dan reproduksi mekanis terhadap sebuah karya seni dikemudian hari akan melahirkan sesuatu yang baru. Gregory Ulmer dalam Sutrisno dan Putranto, 2005: 34 berpendapat bahwa munculnya reproduksi massal merupakan sebuah bentuk upaya perubahan suatu karya atau penanda yang “dimotivasi ulang” dalam konteks baru. Walter Benjamin kemudian menerbitkan sebuah esai yang berjudul “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”. Esai tersebut memaparkan bahwa adanya kemampuan mereproduksi melalui teknologi berpotensi mengembangkan bentuk dan praktik kreatif dari seni menjadi produksi yang bersifat massal Benjamin,1969: 218. Munculnya aktivitas reproduksi mekanis ini tentunya memiliki dampak tersendiri atas karya seni. Hilan gnya “aura” dalam karya seni menjadi konsekuensi atas lahirnya reproduksi mekanis. Konsep “aura” yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa budaya reproduksi secara masal dalam masyarakat industri kapitalisme telah menghilangkan kekuatan “aura” seni dan kedalaman estetis dari hal-hal yang diproduksi Sutrisno dan Putranto, 2005: 34. “Aura” ini hilang akibat kegiatan mereproduksi yang hanya dimaknai sebagai kegiatan teknis saja untuk mengejar tujuan-tujuan ekonomi. Karya seni dalam hal ini telah berhenti berperan sebagai objek pemujaan keagamaan, kehilangan nilai prosesnya, dan menempati posisi baru sebagai sebuah nilai pertunjukan antara karya dengan penonton Husnan, 2013: 538. Posisi baru inilah yang dipahami oleh Walter Benjamin sebagai sebuah sifat “orisinalitas” karya seni yang telah direproduksi dalam konteks baru. Kenyataan ini kemudian membuka ruang bagi “fungsi politis” dari karya seni. Fungsi politis ini terlihat dengan munculnya praktik- praktik komodifikasi pada karya seni. Pemahaman fungsi politis seni dalam konteks penelitian ini digunakan untuk menganalisa proses commit to user terjadinya praktik komodifikasi pada objek karya seni grafis Sri Maryanto, Bayu Widodo dan Muhamad Yusuf di Yogyakarta.

f. Art and Craft Movement