Produk ini lihat gambar 8 memiliki perbedaan dibandingkan dengan produk-produk lainnya yang telah diciptakan oleh Sri
Maryanto sebelumnya, sebab master plat yang diciptakan telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan keperluan cetak produk
kalender. Visual yang ditampilakan pada karya ini adalah sesok wajah yang menggunakan topeng berwarna hitam dengan senyum lebar.
Pada karya ini telihat tulisan tahun “2011” berwarna hitam dan tulisan “Calendar” berwarna coklat yang menandakan bahwa karya ini
diciptakan untuk produk kalender pada tahun 2011. Secara keseluruhan karya ini memiliki kualitas garis, warna dan teknik cetak
yang baik sehingga memberikan kemudahan bagi pembaca untuk melihat konten tanggal pada produk kalener ini.
b. Proses Terjadinya Komodifikasi Karya Seni Grafis Bayu Widodo
Berbeda dengan Sri Maryanto, munculnya ide untuk melakukan praktik komodifikasi seni grafis pada Bayu Widodo
berawal dari sebuah kekagumannya terhadap seni grafis. Hal ini terlihat dalam pernyataan Bayu Widodo wawancara pada 6122014
yang dijelaskan sebagai berikut.
“Karena dengan teknik grafis aku bisa bereksperimen, mencoba metode yang baru serta dapat memenuhi kebutuhan
hidupku dan grafis memiliki modal produksi yang lebih murah
dibandingkan dengan karya seni lainnya”. Tidak hanya rasa kekagumannya terhadap seni grafis Bayu
Widodo pun melalukan beberapa strategi dalam menciptakan berbagai inovasi dalam rangka menjaga minat konsumen serta keberlangsungan
produksi dari produk-produk merchandise yang Ia ciptakan. Hal ini Ia jelaskan seccara detail wawancara pada 6122014 sebagai berikut.
“Aku selalu berfikir bagaimana menciptakan sesuatu visual yang sederhana, unik, kreatif dan tidak boleh sama dengan
orang lain”. “Tidak dipungkiri bahwa sesungguhnya karya seni merupakan sebuah pengulangan-pengulangan dari karya-karya
sebelumnya dari tahun ke tahun, tapi kita harus mampu mengumpulkan dan menyatukan semua yang ada menjadi satu
commit to user
yang baru dan berbeda”. “Dan aku rajin mengikuti beberapa event di Jakarta, Bandung, Timor Leste dan Australia agar
produk merchandiseku
dapat berjalan
dan terus
menghidupiku”. Bayu Widodo memiliki beberapa kriteria dalam menentukan
harga produk merchandise yang Ia produksi. Kriteria tersebut Bayu Widodo jelaskan sebagai berikut wawancara pada 6122014.
“Pertimbanganya adalah modal produksi yang kita keluarkan, jumlah barang yang yang diproduksi terbatas limited
edition”. “Terkadang aku juga melihat kemampuan daya beli konsumenku, seperti ketika aku kemarin ke Australia tentu
harga produkku akan lebih mahal dibandingkan di Indonesia tetapi aku tetap menyesuaikan harga pasaran merchandise di
Australia yang berada di sekitar harga duapuluh dolar disetiap
produknya”.
Beberapa jenis produk merchandise dari hasil komodifikasi karya seni grafis konvensional Bayu Widodo berupa sebuah kaos,
emblem dan kartu pos. Wujud dan bentuk Karya Bayu Widodo sebelum dan sesudah proses komodifikas mengalami beberapa
perubahan-perubahan secara fisik. Proses dan perubahan-perubahan ini dapat diamati sebagai berikut.
Gambar 9. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “The Last Tree” dan Sisi
Kanan Produk Kaos dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan Teknik Cetak Saring, Tahun Pembuatan 2012
Sumber: Dokumentasi Bayu Widodo, 2012.
commit to user
Karya tersebut lihat gambar 9 dibuat pada tahun 2012 dan dalam karya tersebut divisualkan sebuah pohon berkepala tengkorak
dengan bagian bola mata dan gigi yang menonjol keluar serta pada bagain bawah terlihat sebuah akar yang bertuliskan survive dan karya
tersebut dicetak sebanyak 30 edisi dengan menggunakan satu warna hitam. Komposisi bidang yang digunakan adalah tertutup dan
memusat pada posisi tengah dengan permainan unsur garis lengkung dan lurus. Makna kata survive dalam karya ini adalah memperkuat
pesan tentang sebatang pohon yang mencoba untuk tetap bertahan hidup dari ancaman kematian. Visual tengkorak pada karya tersebut
menyiratkan sebuah ancaman atau kematian yang sekaligus memperkuat pesan dalam karya ini. Secara keseluruahan visual dalam
karya ini Bayu widodo telah berhasil dengan baik menyampaikan pesannya, karena karya ini dapat dipahami secara nyata dan jelas oleh
publik. Kemudian setelah karya tersebut diciptakan, Bayu Widodo
melakukan proses modifikasi dengan mencetak ulang karya tersebut menjadi sebuah produk merchandise, dalam wujud sebuah kaos
berwarna putih. Secara detail desain visual dari hasil karya “The Last
Tree” tersebut diolah secara digital untuk menciptakan master film untuk keperluan proses cetak saring dan kemudian dicetak ulang
melalui proses teknik cetak saring. Produk kaos yang diciptakan Bayu Widodo ini telah mengalami beberapa proses perubahan. Perubahan
ini dapat dilihat dari sisi visual, seperti warna yang berubah, ukuran karya yang berubah dan penghilangan unsur background dari karya
asli yang berjudul “The Last Tree”.
Karya berikutnya lihat Gambar 10 merupakan karya grafis dengan teknik cetak saring. Karya ini memiliki dimensi ukuran 40cm
x 55cm yang dicetak sebanyak 10 edisi. Karya ini memvisualkan sebuah bentuk potongan tangan yang diisi dengan gedung-gedung
bertingkat seperti hotel dan mall berwarna coklat tua dan coklat muda serta pada sisi terluar objek gedung-gedung diselimuti oleh tumbuhan-
commit to user
tumbuhan yang merambat keseluruh bagian dari bawah hingga menuju ke atas. Karya ini diciptakan pada tahun 2014 dengan judul
“Less Hotel More Park”. Unsur warna coklat tua, coklat muda sangat dominan pada karya ini dengan perpaduan warna hijau yang
menyelimuti di seluruh visual gedung-gedung.
Gambar 10. Sisi Kiri Karya Cetak Saring Berjudul “Less Hotel More Park”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Kaos dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan Teknik Cetak Saring, Tahun Pembuatan 2014
Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014
Garis melengkung vertikal keats sangat dominan terlihat pada karya ini dengan perpaduan tulisan-tulisan mall dan hotel. Bagian
ujung gedung terlihat visual bentuk pemancar satelit, piramida dan bendera. Komoposisi bidang yang digunakan adalah tertutup dan rata
pada bagaian tengah. Unsur warna coklat berasosiasi dengan tanah, warna tanah atau warna natural dan hijau secara qualisign
memperlihatkan sifat segar, hidup, dan tumbuh. Pesan yang inin disampaikan Bayu Widodo adalah sebuah kritik atas hilangnya lahan-
lahan subur bagi tumbuh-tumbuhan yang kemudian berganti dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Secara keseluruhan visual
dalam karya ini telah berhasil dengan baik membawa pesan sosial terhadap kondisi lingkungan di Yogyakarta saat ini.
Bayu Widodo kemudian menciptakan produk kaos dari visual karya grafis tersebut dengan teknis cetak, dan ukuran visual yang
commit to user
sama, namun Ia melakukan pengolahan ulang dari sisi visuaal dengan menambahkan sebuah kata
“Less Hotel More Park” yang merupakan judul dari karya tersebut pada bagian bawah dari visual karyannya.
Gambar 11. Sisi Kiri Karya Cetak Tinggi Berjudul “Owl” dan Sisi Kanan
Hasil Produk Emblem dari Bayu Widodo, Dicetak dengan Teknik Cetak Saring, Tahun Pembuatan 2012
Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014
Bayu Widodo pada tahun 2012 membuat sebuah karya cukil yang berjudul
“Owl” lihat Gambar 11. Karya ini berukuran 25cm x 10cm dengan visual burung hantu yang sedang berdiri pada sebuah
batang pohon dan pada sisi sebelah kanan burung hantu tersebut terdapat tulisan SURVIVE. Karya ini dicetak pada selembar kertas
sebanyak 30 edisi dengan satu unsur warna hitam. Garis yang digunakan dalam karya ini adalah lengkung dengan keseimbangan
asimetris. Format penempatan objek burung hantu pada sisi kiri memberikan kesan yang dinamis. Secara keseluruhan karya ini
memiliki objek visual, warna dan garis yang minim. Sehingga karya ini terlihat lemah dan sulit untuk dipahami secara visual.
Visualisai karya “Owl” ini kemudian dijadikan inspirasi untuk
menciptakan sebuah produk emblem. Proses pembuatan produk emblem ini mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan pada karya
“Owl”, perubahan ini terlihat dari sisi visual, seperti warna yang berubah, ukuran yang berubah, dan teknik cetak yang digunakan.
Produk emblem ini memiliki ukuran lebih kecil dari karya aslinya, dan Ia menggunakan teknik cetak saring dalam hal ini sablon untuk
menciptakan produk emblem ini. Karya “Owl” ini secara visual
nampak berubah, dimana pada produk emblem tersebut hanya menampilkan outline dari keseluruhan karya tersebut sedangkan pada
bagian background telah dihilangkan dan karya tersebut berubah perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
menjadi warna merah. Jika dibandingkan dengan karya aslinya, visual burung hantu digambarkan dalam bentuk outline saja dan memiliki
background berwarna hitam.
Gambar 12. Sisi Kiri Karya Cetak Saring Berjudul “Less Hotel More Park”
dan Sisi Kanan Hasil Produk Emblem dari Bayu Widodo Dicetak dengan Teknik Cetak Saring, Tahun Pembuatan 2014
Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014
Karya sablon yang berjudul “Less Hotel More Park” lihat
Gambar 12 oleh Bayu Widodo kembali dijadikan sebuah produk dengan jenis lain atau berbeda, yaitu berupa produk emblem. Karya
ini mengalami proses perubahan yang diolah secara digital dan dicetak kembali pada sebuah kain dengan satu unsur warna hijau saja dan
secara ukuran mengalami proses pengecilan menjadi 12,5cm x 17cm. Proses cetak pada produk ini masih sama seperti karya aslinya, yaitu
dengan teknik cetak saring. Produk berikutnya lihat Gambar 13 yang telah di ciptakan
berupa kartu pos. Sejarah karya asli dari produk ini adalah terdiri dari delapan karya grafis yang dicetak dengan kertas cetak jenis fabriano
dan teknik cetak yang digunakan adalah silk screen cetak saring yang dibuat oleh Bayu Widodo ketika melakukan residensi seni di
Megalo Print Studio Canbera, Australia pada tahun 2009. Karya ini banyak mengangkat persoalan-persoalan sosial yang divisualkan
secara sederhana oleh Bayu Widodo. Kesederhanaan ini dapat pula perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
dilihat dari aspek judul-judul yang diciptakan oleh Bayu Widodo dari kedelapan karya grafisnya tersebut.
Gambar 13. Sisi Kiri Karya Cetak Saring dan Sisi Kanan Hasil Produk Kartu Pos dari Bayu Widodo yang Dicetak dengan Teknik Cetak Digital,
Tahun Pembuatan 2009 Sumber: Dokumentasi Emmanuel Putro Prakoso, 2014
Kedelapan karya tersebut berjudul “City of Nightmare”
dengan ukuran 50cm x 70cm , “Way of Living 2” dengan ukuran
50cm x 70cm , “Way of Living 1” dengan ukuran 50cm x 70cm,
“Human Building” dengan ukuran 60cm x 95cm, “Soft Drink” dengan ukuran 60cm x 84cm
, “Outsider” dengan ukuran 60cm x 90cm
, “Clownsumerism” dengan ukuran 50cm x 70cm, “Trafficjam” dengan ukuran 55cm x 88cm. Pada karya
“City of Nightmare” terlihat sesosok wajah manusia paruh baya berwarna oranye dengan kerut
wajah yang kuat. Pada bagian bawah sosok manusia itu terdapat sebuah gedung-gedung yang terbentuk dari penggalan-penggalan
kepala tengkorak berwarna hijau tua dan hijau muda. Unsur garis lurus, zig-zag dan melengkung sangat kuat terlihat dalam karya ini.
Garis-garis yang rumit mengesankan suasana yang tidak nyaman dan mencekam ditambah ekspresi wajah manusia yang sedang merintih.
Secara keseluuhan visual karya ini memiliki kualitas garis dan warna yang baik sehingga konten pesan yang disampaikan dapat terasa
dengan baik. Visual karya yang berjudul
“Way of Living 1” yang dibuat pada tahun 2009 ini berisikan sosok manusia berwarna hitam yang
sedang berdiri di atas permukaan berwarna coklat dan berdiri di sudut kanan dengan mengangkatkan tangan terbuka keatas. Di atas sosok
manusia itu terlihat rumah berwarna-warni melayang-layang. Unsur perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
garis yang muncul dalam karya ini adalah garis lurus dang lengkung dengan perpaduan warna hijau, oranye, coklat, biru, merah, dan hitam
pada objek. Sedangkan latar belakang karya ini berwarna putih. Pencampuran berbagai warna dalam satu bidang karya ini
memberikan kesan yang membingungkan. Hal ini kemudian diperkuat oleh gestur dari sosok manusia mengangkat tangan yang memiliki
asosiasi menyerah dan pasrah. Jika kedua hal ini dikaitkan dengan judul yang diangkat maka akan bertemu satu benang merah berupa
sebuah kebingunan terhadap kondisi lingkungan yang telah berubah. Karya ini telah berhasil dengan baik menyampaikan pesan itu dengan
senderhana dan jelas. Kesan dan pesan ini pun sama terlihat pada karya yang berjudul
“Way of Living 1”, hanya saja ekspresi wajah manusia pada karya ini lebih kuat dan diposisikan pada bagian sisi kiri
karya sedangkan pada sisi kanan terlihat objek rumah kecil yang berwarna hijau. Kritik terhadap berubahnya kondisi lingkungan dalam
karya ini menjadi pesan yang utama untuk disampaikan kepada publik secara luas.
Karya berikutnya berjudul “Human Building” yang dicetak
pada tahun 2009 ini memvisualkan sebuah sosok manusia bertubuh gedung besar berwarna hitam yang berdiri diantara objek-objek
gedung lainnya yang berukuran kecil. Latar belakang karya ini berwarna kuning tua dengan permukaan pada bagaian bawah
berwarna oranye. Unsur garis-garis lurus vertikal berwarna hitam pada karya ini sangat dominan. Warna hitam secara qualisign menyiratkan
kekokohan, kekuatan dan ketegasan. Sedangkan warna kuning pada latar belakang karya memberikan kesan sakit, penakut, iri dan luka.
Hal ini kemudian diperkuat dengan ekspresi raut wajah yang meberikan kesan termenung, sedih dan kecewa. Secara keseluruhan
karya ini telah berhasil menyampaikan pesan kekecewan dari senimannya.
Secara visual karya yang berjudul “Soft Drink” yang
diciptakan pada tahun 2009 ini menggabarkan susunan repetisi gelas perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
berjumlah 36 buah yang berisikan potongan-potongan tengkorak dan sebatang sedotan berwarna kuning. Latar belakang karya ini berwarna
kuning. Susunan repetisi gelas-gelas tersebut membetuk sebuah garis ilusif yang berbentuk vertikal dan horisontal. Kualitas garis yang
ditampilkan cukup baik untuk mempertegas objek gelas beserta isinya, hal ini diperkuat dengan penggunaan warna objek gelas yang
kontras terhadap warna latar belakang dalam karya ini. Kumpulan tengkorak dalam gelas ini meberikan kesan bahwa minuman ini
sangat berbahaya dan beracun, karena gambar tengkorak dapat berasosiasi
dengan sebuah
kematian atau
sesuatu yang
membahayakan. Secara sederhana karya
ini telah mampu
menyampaikan pesan kepada publik tentang bahaya minuman “soft drink” yang selama ini kita konsumsi.
Karya “Outsider” menampilkan sebuah visual garis-garis
melengkung membentuk sebuah figur manusia yang menggunakan sebuah topeng wajah berwarna hijau. Bagian dalam pada figur
tersebut terisi sebuah objek berwarna merah dengan latar belakang karya berwarna putih. Unsur garis melengkung pada karya ini sangat
dominan dengan
perpaduan keseimbangan
asimetris yang
memberikan kesan dinamis. Secara keseluruhan kualitas garis, warna dan keseimbangan pada karya ini cukup baik. Karya berikutnya
berjudul “Clownsumerism”, yang memvisualkan sesosok badut
bermata besar berwarna kuning, berhidung bulat dan berbibir lebar dengan warna merah. latar belakang keseluruhan karya ini berwarna
biru muda. Figur badut tersusun dari unsur garis tunggal yang memiliki karakter melengkung dengan perpaduan isi dalam tubuh
badut tersebut berupa kumpulan merk dari beberapa produk benda buatan negara asing. Konotasi badut dalam karya ini menyiratkan
sesuatu yang lucu, menarik dan meyenangkan. Apabila beberapa objek dalam karya ini disatukan maka akan menghasilkan sebuah
kritik terhadap pemahaman manusia yang terjebak oleh budaya konsumerisme yang mengasyikan dan sekaligus membodohi karena
commit to user
kita semakin pasif dan tidak berfikir kreatif untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Karya terakhir pada seri ini berjudul “Trafficjam” yang
memperihatkan sebuah kemacetan kedaraan roda empat yang diberikan warna coklat. Tidak hanya suasana kemacetan tetapi
terdapat figur-figur manusia yang dihasilkan dari sebuah garis hitam yang terkurung dalam pusaran merah yang melayang terbang. Terlihat
sebuah garis ilusif yang terbentuk dari deretan kemacetan kendaraan roda empat yang mengarah vertikal. Dimensi ruang pada karya ini
sangat terlihat karna adanya repetisi pusaran-pusaran merah yang menyelimuti figur manusia dari ukuran terkecil hingga yang terbesar.
Karya ini mencoba memberikan sebuah kritik atas situasi kemacetan kota yang sudah membuat setiap manusia terkurung oleh sesuatu yang
tidak pasti. Kualitas warna, garis dan dimensi ruang pada karya ini sangat baik dan jelas terlihat sehingga dapat menyampaikan pesan
dengan nyata kepada publik. Semua karya tersebut kemudian dicetak kembali secara digital
menjadi sebuah produk kartu pos dengan ukuran yang lebih kecil. Ukuran kartu pos tersebut berdimensi 11,5cm x 15cm dan di cetak
pada kertas print berjenis ivory dan dicetak pada tahun yang sama.
c. Proses Terjadinya Komodifikasi Karya Seni Grafis Muhamad