205
Lembaga Keuangan Syariah dan Dinamika Sosial
BAB III
PRINSIP-PRINSIP SYARIAH PADA PERBANKAN SYARIAH
A. Perbankan Syariah
Ide pendirian bank syariah di Indonesia berawal dari salah satu rekomendasi workshop tentang bunga bank pada tahun 1990 yang
diselenggarakan oleh MUI. Pada 1 November 1991 Bank Muamalat Indonesia BMI didirikan dengan ICMI dan MUI sebagai penyokong
utamanya. Masalahnya BMI tidak dapat beroperasi karena terhambat oleh UU Perbankan yang berlaku, yaitu UU No 14 tahun 1967.
UU No 14 tahun 1967 mendeinisikan pendapatan bank sebagai pendapatan bunga. Deinisi ini yang menghambat pendirian bank
syariah di Indonesia karena tidak memberi tempat bagi bank yang mengharamkan bunga. Pada tanggal 25 Maret 1992, UU No 141967
direvisi menjadi UU No 71992 yang memberi landasan hukum bagi berdirinya bank bagi hasil istilah bank syariah belum digunakan. Bank
Muamalat beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992, meskipun petunjuk pelaksanaannya berupa peraturan pemerintah belum diterbitkan.
Beberapa bulan kemudian, baru diterbitkan PP No 721992 yang menjelaskan petunjuk pelaksanaan dari UU No 71992.
Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem
206
Lembaga Keuangan Syariah dan Dinamika Sosial
perbankan syariah. Setelah terbitnya undang-undang ini dan krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1997 mulailah perkembangan
perbankan syariah semakin pesat. Jumlah bank umum syariah telah meningkat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun
1998 menjadi 3 bank umum syariah, 25 Unit Usaha Syariah UUS dan 111 BPRS pada akhir tahun 2007.
Undang-undang yang secara khusus mengatur perbankan syariah dikeluarkan pada tahun 2008, yaitu UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Dengan dikeluarkannya undang-undang ini, maka dasar hukum perbankan syariah di Indonesia semakin kuat. Sejak saat
itu perkembangan perbankan syariah semakin pesat. Perkembangan perbankan syariah selanjutnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Perkembangan Kelembagaan Perbankan Syariah Kelompok Bank
2008 2009
2010 2011
2012 2013
2014 BUS
5 6
11 11
11 11
12 UUS
27 25
23 24
24 23
22 BPRS
131 138
150 155
158 163
163 Jlh Kantor BUS
581 711
1.215 1.401
1.745 1.998
2.145 Jlh Kantor UUS
241 287
262 336
517 590
322 Jlh Kantor BPRS
202 225
286 364
401 402
477 Sumber: BI dan OJK Statistik Perbankan Syariah,
2008-2014. Indonesia adalah Negara yang menerapkan dual banking system
terutama setelah lahirnya UU No 71992 dan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Oleh
karena itu bank syariah atau Islamic banking pada dasarnya adalah sebuah
sistem perbankan yang secara teknis perbankan mempunyai kesamaan dengan perbankan konvensional. Namun demikian, terdapat banyak
perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu meliputi aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja.
18
18
Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Muhammad Syai’i Antonio, Bank
Syariah: Dari Teori ke Praktik Jakarta: Gema Insani, 2001, h. 29-34.
207
Lembaga Keuangan Syariah dan Dinamika Sosial
Pertama, dari aspek legal, dalam perbankan konvensional akad
atau transaksi utama yang digunakan adalah didasarkan pada hubungan debitur – kreditur yang dilandaskan pada transaksi system bunga, baik
bank dalam posisi debitur maupun dalam posisi kreditur. Dalam bank syariah, akad justru memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena
akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, karena itu akad atau perjanjian itu memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah.
19
Setiap akad dalam perbankan syariah harus memenuhi kriteria rukun dan syarat. Jika salah satu unsur dari kriteria tersebut dapat mengakibatkan
cacat dalam transaksi yang kemudian akad atau perjanjian menjadi batal. Karenanya, hubungan antara bank dan nasabah dalam perbankan
syariah adalah hubungan kemitraan.
Kedua, perbedaan yang mendasar dalam struktur organisasi
adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang posisinya biasanya diletakkan setingkat Dewan Komisaris. Hal ini untuk
menjamin efektivitas setiap opini yang diberikan Dewan Pengawas Syariah, terutama dalam menjalankan fungsinya untuk memastikan dan
mengawasi berjalannya prinsi syariah di bank tersebut.
Ketiga, dari aspek bisnis dan usaha yang dibiayai. Bank
konvensional tidak membedakan core bisnis nasabah yang dibiayai,
apakah halal atau haram. Yang menjadi perhatian bank asal memenuhi prinsi 5 C
character, capital, capacity, condition of economy, collateral, maka usaha atau bisnis nasabah tersebut dapat diberikan pembiayaan
atau kredit. Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan syariah. Selain tetap menggunakan prinsip
5 C di atas, perbankan syariah akan memperhatikan jenis pembiayaan tersebut beberapa hal pokok, di antaranya i objek pembiayaan halal,
ii tidak menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat, iii tidak berkaitan dengan perbuatan mesumasusila, iv tidak berkaitan dengan
perjudian, v tidak berkaitan dengan industri senjata illegal atau senjata pembunuh masal, vi tidak merugikan syiar Islam, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Keempat, dari aspek lingkungan kerja. Pada dasarnya lembaga
perbankan modern telah mengembangkan sistem lingkungan kerja atau
19
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam Lahore: Islamic Publication, 1990.