Ajaran Dasar Syekh Muhammad Bahauddin Naqshband

bersama manusia, berjual beli, menikah dan mendapatkan zuriat, namun dalam kesempatan itu sekali-kali tidak pernah meninggalkan Kehadiran Allah walaupun sesaat.” Lebih jauh Khalifah Selamat mengatakan “jangan ada sekali waktu pun yang engkau tidak berzikir dan bertawajjuh serta mengharapkan Kehadiran Allah Ta’ala dan bertemulah dengan manusia dan berzikirlah walaupun berada di dalam keramaian dan sentiasa berjaga-jaga memperhatikan limpahan Allah.” Keadaan inilah yang dinamakan Khalwat Dar Anjuman yaitu Kainun Haqiqat Wa Bainun Surat yakni hakikat dirinya berzama Zat Tuhan dan tubuh badan bersama makhluk ciptaan Tuhan. Kedelapan asas Tariqat ini diperkenalkan oleh Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih dan menjadi ikutan 40 empat puluh Tarekat yang lain dan hingga hari ini menjadi asas yang teguh untuk seorang hamba Allah kembali menuju kepada Tuhannya. Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaihi telah menerima kedelapan asas Tariqat ini dari Hadhrat Khwajah Abdul Khaliq Ghujduwani dan beliau telah menambahkan tiga asas Tarekat yaitu Wuquf Qalbi, Wuquf ‘Adadi dan Wuquf Zamani dan menjadikannya sebelas asas yaitu Hosh Dar Dam Khalwat Dar Anjuman; Yad Kard Yad Dasyat. Nazar Bar Qadam Safar Dar Watan; Baz Gasht Nigah Dasyat..

2.7.5.9 Ajaran Dasar Syekh Muhammad Bahauddin Naqshband

Syekh Muhammad Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih merupakan imam bagi Tarekat Naqsyabandiah dan seorang Mahaguru Tarekat yang Universitas Sumatera Utara terkemuka. Ia telah menambahkan lagi jalan Tarekat ini dengan tiga prinsip penting dalam zikir khafi sebagai tambahan kepada delapan prinsip asas yang telah dikemukakan oleh Syekh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih. Tiga prinsip itu adalah sebagai berikut. a. Wuquf Qalbi. Mengarahkan penumpuan terhadap hati dan hati pula mengarahkan penumpuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada setiap saat dan keadaan. Baik dalam keadaan berdiri, berbaring, berjalan, maupun duduk. Hendaklah bertawajuh kepada hati dan hati pula tetap bertawajuh ke Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wuquf qalbi merupakan syarat bagi zikir. Kedudukan qalbi ini terletak pada kedudukan dua jari di bawah puting susu kiri dan kedudukan ini hendaklah selalu diberikan penumpuan dan tawajuh. Bayangan limpahan cahaya dari Allah hendaklah sentiasa kelihatan melimpah pada qalbi dalam pandangan batin. Ini merupakan suatu kaidah zikir khafi yaitu suatu bentuk zikir yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh para Malaikat. Ini merupakan suatu kaidah zikir yang rahasia. c . Wuquf ‘Adadi. Sentiasa memperhatikan bilangan ganjil ketika melakukan zikir nafi itsbat. Zikir nafi itsbat ialah lafaz La Ilaha Illa Allah dan dilakukan di dalam hati menurut kaifiyatnya. Dalam melakukan zikir nafi itsbat ini, salik hendaklah sentiasa mengawasi bilangan zikir nafi itsbatnya itu dalam jumlah bilangan yang ganjil yaitu 7 tujuh, 9 sembilan, 19 sembilan belas, 21 dua puluh satu, 23 dua puluh tiga atau bilangan yang ganjil lainnya. Menurut para masyaikh, bilangan ganjil mempunyai rahasia tersendiri karena Allah menyukai bilangan yang ganjil dan hal ini akan menghasilkan ilmu Universitas Sumatera Utara tentang rahasia Allah Ta’ala. Menurut Hadhrat Shah Naqshband Rahmatullah ‘alaih, “Memelihara bilangan di dalam zikir adalah langkah pertama dalam menghasilkan ilmu laduni.” sumber Wikipedia Memelihara bilangan bukanlah untuk jumlahnya semata-mata tetapi untuk memelihara hati dari ingatan selain Allah. Selain itu adalah untuk memberikan lebih banyak perhatian dalam usahanya untuk menyempurnakan zikir yang telah diberikan oleh murshidnya. c. Wuquf Zamani. Setiap kali setelah menunaikan salat, hendaklah bertawajuh kepada hati dan sentiasa memastikan hati dalam keadaan bertawajuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dilakukan selama beberapa menit sebelum bangkit dari tempat salat. Kemudian setelah selang beberapa jam hendaklah memperhatikan kembali keadaan hati untuk memastikan apakah masih dalam keadaan mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Apabila seseorang murid itu telah naik ke peringkat menengah dalam bidang kerohanian, maka dia hendaklah selalu memeriksa keadaan hatinya sekali pada tiap satu jam untuk mengetahui apakah dia ingat ataupun lalai kepada Allah dalam masa-masa tersebut. Jika dia lalai. maka hendaklah dia beristighfar dan berniat untuk menghapus kelalaian itu pada masa yang akan datang. Sehingga dia mencapai peringkat dawam hudhur atau dawam agahi yaitu peringkat hati yang sentiasa hadir dan sadar ke hadhrat Zat-Nya. Ketiga-tiga prinsip ini adalah tambahan dari Hadhrat Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih dalam membimbing sekalian para murid dan pengikutnya dan menjadi amalan yang tetap dilakukan di Tarekat Naqsyabandiah. Universitas Sumatera Utara

BAB III GUNA DAN FUNGSI

MUNAJAT Dalam bab ini kajian akan berfokus pada masalah fungsi dan guna munajat dalam Tarekat Naqsyabandiah di Babussalam Langkat. Namun sebelumnya penulis akan mengulas bagaimana sudut pandang Islam memandang munajat sebagai senandung nyanyian. Adapun latar belakang kajian fungsi munajat pada Tarekat Naqsyabandiah menurut teori fungsionalisme yang ditawarkan Radcliffe-Brown dan Merriam telah diuraikan pada Bab I. Tingkatan spiritualitas yang harus dilintasi sufi secara general dapat disimpulkan menjadi dua macam yaitu tingkatan menegasi selain Allah dan yang selanjutnya untuk masuk ke dalam afermasi terhadap Allah, sebagai satu satunya al-mahbub, al-maqshud, dan al-ma’bud. Untuk mencapai tingkatan di atas sebagian dari para sufi menggunakan ajaran maqamat sebagai jalannya. Di samping itu, ada juga sufi yang menggunakan musik sebagai sarana menuju tingkatan spiritualitas yang tinggi, karena musik dapat menyibak tirai hati, mengobarkan api cinta Ilahi, mengangkat pendengarnya ke derajat musyahadah yang merupakan suatu tingkatan spiritualitas yang tinggi. Pro dan kontra tentang kehalalan musik dalam Islam belum berakhir dan mungkin tidak akan pernah berakhir manakala hal tersebut hanya didekati melalui pendekatan normatif. Sebab yang menghalalkan maupun yang menolak Universitas Sumatera Utara