Teori Konsep dan Landasan Teori .1 Konsep

1.5.2 Teori

Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:1177. Dalam pelaksanaannya, terutama untuk mencapai tujuannya, penelitian ini menggunakan sejumlah perangkat teori, prinsip pendekatan dan prosedur pemecahan masalah yang relevan yaitu sebagai berikut. 1 Untuk menganalisis fungsi dan guna munajat di dalam komunitas Tarekat Naqsyabandiah, penulis menggunakan teori fungsionalisme. Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan paham ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. 9 9 Lihat Koentjaraningrat ed. Sejarah Teori Antropologi I 1987:171. Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi begitu mantap Koentjaraningrat, 1987:67. Universitas Sumatera Utara Selaras dengan pendapat Malinowski, munajat dalam komunitas Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat, Sumatera Utara, timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakatnya. Munajat timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan dan keagamaan. Namun lebih jauh daripada itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya dan lainnya. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated 1952:181. Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, munajat bisa dianggap sebagai bahagian daripada struktur sosial masyarakat Tarekat Naqsyabandiah. Universitas Sumatera Utara Pertunjukan munajat adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai-bagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat. Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktikal dan integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: 1 untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; 2 sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri, dan 3 sebagai penyajian estetika 1995. Selaras dengan pendapat Soedarsono, munajat mempunyai fungsi sosial, ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan penyajian estetika. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan the ways musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, sama ada ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain 1964:210. Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut.Music is used in certain Universitas Sumatera Utara situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. 1964:210. Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin, dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” Universitas Sumatera Utara menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, sejalan dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya. 2 Untuk mengkaji makna teks yang terkandung di dalam munajat, penulis menggunakan teori semiotik. Untuk menganalisis makna yang terkandung dalam teks munajat menggunakan teori semiotika yaitu teori Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi sound image atau signifier yang berhubungan dengan konsep signified. Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Menurut Encylopedia Brittanica 2007 pengertian semiotika itu adalah seperti yang dijabarkan berikut ini. Semiotic also called Semiology, the study of signs and sign- using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce. Peirces seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: 1 an icon, which resembles its referent such as a road sign for falling rocks; 2 an Universitas Sumatera Utara index, which is associated with its referent as smoke is a sign of fire; and 3 a symbol, which is related to its referent only by convention as with words or traffic signals. Peirce also demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified. Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic concept is Saussures distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians. This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structuralism q.v., which seeks to analyze these relations. Saussures theories are thus also considered fundamental to structuralism especially structural linguistics and to poststructuralism. Modem semioticians have applied Peirce and Saussures principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communi-cations, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi- Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva. Semiotik adalah “ilmu” yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Karena manusia memiliki kemampuan untuk memberikan makna pada berbagai gejala sosial budaya dan alam. Tanda adalah bagian dari kebudayaan manusia. Dengan demikian, semiotik adalah “ilmu” yang dapat digunakan untuk mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda berwujud kata atau gambar mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Penanda terletak pada tingkatan ungkapan dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, Universitas Sumatera Utara huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda terletak pada tingkatan isi atau gagasan dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori semiotik yang ditawarkan empat orang pakarnya. A Semiotik Charles Sanders Peirce. Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda sign, object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk merepresentasikan hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol tanda yang muncul dari kesepakatan, ikon tanda yang muncul dari perwakilan fisik, dan indeks tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat. Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda Santosa, 1993:10 dan Pudentia, 2008:323. Bagan 1.1 Segitiga Makna Objek Representamen Interpretan Menurut Peirce Santosa,1993:10 pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan Universitas Sumatera Utara pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut. Bagan 1.2 Pembagian Tanda Ground representamen : tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum. Objek referent: yaitu apa yang diacu. Interpretant: tanda- tanda baru yang terjadi dalam batin penerima. Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau. Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta. Rheme: tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain. Sinsigntokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas. Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api. Dicent sign: tanda sebagai fakta pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir. Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran. Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata. Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar bahar dengan alasan kesehatan. Sumber: Erni Yunita 2011 Universitas Sumatera Utara Bagan 1.3 Hubungan Tanda Sumber: Erni Yunita 2011 Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri- ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen R, Object O, dan Interpretant I. R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang Universitas Sumatera Utara diwakili oleh O, kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsikan hubungan antara R dan O. Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah R, maka dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang”O, selanjutnya ia menafsirkan bahwa “adalah berbahaya untuk berenang disitu” I. Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional. B Semiotik Ferdinand de Saussure. Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure 1857-1913. Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian dikotomi yaitu penanda signifier dan pertanda signified. Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi danatau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut Culler, 1996:7. Bagan berikut tentang tanda sign yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure dalam Djajasudarma, 1993:23. Universitas Sumatera Utara Bagan 1.4 Tentang Tanda Signifiant signifier “yang menandai” citra bunyi misalnya: pohon [p o h o n] Signe Signifie signified “yang ditandai” pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran. Contoh: Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa signe linguistique atau signe bersifat arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-k- a-l di dalam bahasa Sunda atau w-i-t di dalam bahasa Jawa. Signifiant bersifat linear, unsur-unsurnya membentuk satu rangkaian unsur yang satu mengikuti unsur lainnya. Bagan 1.5 Tentang Hubungan Tanda ---------- signification -------------- Pohon tangkal tangkal Signsymbol Signifier Signified Universitas Sumatera Utara Menurut Saussure Chaer, 2003:348, tanda terdiri dari: bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi- bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” signifier dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan signified. Begitulah, menurut Saussure, “ Signifier dan signified merupakan kesatuan, tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” Bahasa merupakan sistem tanda, di mana setiap tanda yang ada terdiri dari dua bagian yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau gagasan. Sementara signified adalah kata-kata atau tulisan yang menyampaikan konsep, ide, atau gagasan tersebut. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, suatu signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa–apa, sebaliknya suatu signifier tanpa signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia yang masih sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier. Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified “bayi.” C Semiotik Roland Barthes. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes 1915-1980, dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika Universitas Sumatera Utara menjadi 2 dua tingkatan penandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti Barthes, 2007:82. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure, yang tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Menurut Saussure dalam Aminuddin, 1995:168 hubungan antara simbol dan yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan, dan sebagainya. Konsep mental ini kemudian menjadi perhatian Barthes yang mengembangkan konsep tanda Saussure dengan menambahkan konsep “relasi.” Relasi yang dimaksud adalah penghubung penanda disebut expression “ungkapan” dilambangkan dengan E dan petanda disebut contenu content “isi” dilambangkan dengan C. Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi R. Gabungan atau kesatuan tingkatan–tingkatan tersebut dan relasinya itu membentuk satu sistem ERC. Sistem ini terdapat dalam bentuknya sendiri, dan menjadi unsur sederhana dari sistem atau bentuk kedua yang membina bentuk Universitas Sumatera Utara yang lebih luas. Oleh Barthes sistem ini dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi. Konotasi–Denotasi satu sudut, metabahasa dan objek bahasa di sudut lain, seperti bagan berikut ini Pudentia, 2008:335. Bagan 1.6 Konotasi dan Metabahasa Denotasi \ Objek bahasa Konotasi asa Contoh : Tempat jin turun berkecimpung E C Denotasi Konotasi E C E C Objek bahasa Metabahasa E C E d C d E d C d E d C d E C Jin makhluk halus Jin berkecimpung Jin bermain air mandi Jin Bergembira menerima persembahan Universitas Sumatera Utara D Semiotik Halliday. Teori bahasa fungsional sistemik dikembangkan seorang pakar linguistik M.A.K. Halliday seorang pakar bahasa yang berasal dari Inggris dan kini tinggal di Australia sebagai guru besar di Universitas Sydney. Kata sistemik adalah suatu teori yaitu tentang makna. Bahasa merupakan semiotik sistem Halliday dkk., 1992:4. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memiliki bentuk. Dalam pemakaian bahasa sistem semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya dan faktor situasi sebagai semiotik konotatif, pemakaian bahasa menujukkan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh karena itu, semiotik meminjam budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjutnya konteks situasi meminjam semiotik yang berada dibawahnya yaitu bahasa. Jadi konteks situasi direalisasikan oleh bahasa yang mencakupi semantik, tata bahasa dan fonologi. Bahasa dalam pandangan semiotik sosial menandai jenis pendekatan yang dilakukan oleh Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai semiotik, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspresi, berbeda dengan semiotik biasa sebagai semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti, bentuk dan ekspresi. Arti semantic atau discourse semantics direalisasikan bentuk Universitas Sumatera Utara grammar atau lexicogrammar dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh ekspresi atau phonologygraphology Saragih, 2000:1. Proses semiotik adalah suatu proses pembentukan makna dengan melakukan pemilihan. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas semiotik denotatif dan semiotik konotatif yang memiliki arti dan bentuk. Bahasa merupakan semiotik denotatif dengan pengertian bahwa semantik sebagai arti direalisasikan oleh lexicogrammar sebagai bentuk dan selanjutnya lexicogrammar diekspresikan oleh phonology. Dalam rangka penelitian terhadap makna teks munajat pada komunitas Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat, penulis menggunakan empat teori semiotik tersebut di atas, yakni versi Peirce, Saussure, Barthes dan Halliday. Keempatnya memiliki kesamaan dan sedikit perbedaan terutama dalam interpretasi, namun dengan menggunakan keempat-empatnya akan menghasilkan kajian yang relatif sama. Keempat teori tersebut penulis sederhanakan pola-pola atau pokok pikirannya sebagai berikut. a Peirce menggunakan segitiga makna yang terdiri dari: tanda sign, object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk merepresentasikan kepada hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol, ikon, dan indeks, acuan tanda ini disebut objek konteks sosial. b Saussure membagi dua bagian dikotomi yaitu penanda signifier dan pertanda signified. Penanda adalah wujud fisik yang dapat dikenal melalui Universitas Sumatera Utara wujud karya arsitektur atau seni rupa. Dalam konteks penelitian ini adalah madrasah, tempat Tarekat, peralatan, pakaian, dan seterusnya, khususnya yang difungsikan dalam pernyajian munajat. Sedang pertanda adalah makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nilai yang terkandung di dalam karya arsitektur atau rupa. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Dalam konteks ini misalnya komunitas Tarekat ini memiliki ide-ide seperti zikir, suluk, guru, dan lain-lainnya yang terdapat dalam pikiran mereka. c Barthes mengembangkan semiotik menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. d Halliday mengembangkan teori semiotik di dalam bahasa verbal. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memiliki bentuk. 3 Untuk mengkaji struktur melodi munajat, yang menggunakan dimensi maqam dan derivatnya, penulis menggunakan teori weighted scale bobot tangga nada sebagaimana yang ditawarkan Malm 1977. Teori ini pada prinsipnya Universitas Sumatera Utara menawarkan delapan karakteristik yang harus diperhartikan dalam mendeskripsikan melodi yaitu: scale tangga nada, pitch center nada dasar, range wilayah nada, frequency of note jumlah nada, prevalent interval interval yang dipakai, cadence patterns pola-pola kadensa, melodic formulas formula-formula melodis, dan contour kontur Malm 1997:8. Kalau dijelaskan lebih rinci lagi maka tangga nada yang dimaksudkan di sini adalah nada-nada yang digunakan pada munajat, yang didasari oleh sistem maqam Arab atau tangga nada Melayu. Selanjutnya nada dasar adalah nada yang selalu dijadikan sebagai patokan tonalitas dalam sebuah melodi. Nada ini cenderung untuk digunakan pada ujung kadensa frase melodi atau ujung lagu. Kemudian wilayah nada adalah jarak atau selisih frekuensi antara nada yang tertinggi dengan nada yang terendah yang digunakan dalam sebuah arsitektonik lagu dalam hal ini munajat. Selanjutnya jumlah nada-nada adalah jumlah masing- masing nada yang digunakan dalam sebuah komposisi musik, dalam hal ini munajat. Jumlah nada ini dikaitkan juga dengan bersaran nilai nada yang digunakannya bukan hanya sekedar jumlah kemunculan. Selanjutnya, interval yang dipakai adalah bermakna selang nada yang dipergunakan dalam keseluruhan komposisi ini, baik itu yang sifatnya melangkah atau melompat, juga interval ke atas atau ke bawah. Selanjutnya, pola-pola kadensa adalah dua nada atau lebih yang digunakan di ujung frase lagu dalam hal ini munajat termasuk kadensa akhirnya. Sedangkan formula melodi kadang disebut juga dengan bentuk melodi adalah bagaimana lagu tersebut disusun oleh bentuk-bentuk melodi, bahagian mana yang diulang, bahagian pembuka, isi, penutup, dan sejenisnya. Adapun yang Universitas Sumatera Utara dimaksud dengan kontur adalah garis melodi yang disajikan dalam sebuah lagu. Ini biasa dideskripsikan dengan kata-kata seperti melengkung, statis, sekuen, berjenjang, pendulum, dan lain-lainnya. Itulah ketika teori yang digunakan untuk memecahkan tiga pokok masalah yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan harapan fokus dan dalamnya kajian dapat dilaksanakan dalam penelitian ini. Namun untuk mendukung pokok masalah utama tersebut digunakan juga teori-teori lain yang mendukung tiga pokok masalah tersebut seperti diuraikan berikut ini. Untuk mengkaji sejarah Tarekat Naqsyabandiah secara umum dan yang ada di Babussalam, dipergunakan teori fenomenologis agama-historis. Menurut Garraghan 1957, yang dimaksud sejarah itu memiliki tiga makna yaitu: 1 peristiwa-peristiwa mengenai manusia pada masa lampau; aktualitas masa lalu; 2 rekaman manusia pada masa lampau atau rekaman tentang aktualitas masa lampau;dan 3 proses atau tekhnik membuat rekaman sejarah tersebut berkaitan erat dengan disiplin ilmu pengetahuan. Lengkapnya sebagai berikut. The term history stands for three related but sharply differentiated concepts: a past human events; past actuality; b the record of the same; c the process or technique of making the record. The Greek ιστορια, which gives us the Latin historia, the French histoire, and English history, originally meant inquiry, investigation, research, and not a record of data accumulated thereby—the usual present-day meaning of the term. It was only at a later period that the Greeks attached to it the meaning of “a record or narration of the results of inquiry.” In current usage the term history may accordingly signify or imply any one of three things: 1 inquiry; 2 the objects of inquiry; 3 the record of the results of inquiry, corresponding respectively to c, a, and b above Garraghan 1957:3. Universitas Sumatera Utara Untuk menganalisis aktivitas Tarekat Naqsyabandiah dalam perspektif etnosains atau orang dalam, digunakan teori atqakum oleh Sanat 1998 Istilah atqakum diambil dari surah Al-Hujurat 49:13 yang maknanya adalah kamu yang lebih bertakwa. Di sini merujuk kepada manusia yang lebih mulia di sisi Allah ialah yang lebih bertakwa. Di dalam Al-Qur’an, terdapat maksud seperti takwa, bertakwa, ketakwaan, ketakwaannya, dan bertakwalah. Menurut Indeks Al- Qur’an 1999:440-441 Teori atqakum yang dimaksud oleh Sanat adalah melampaui pengertian teori biasa, teori ini merujuk langsung kepada perintah Allah untuk menjadi manusia bertakwa. Manusia wajib melakuknnya dalam konteks hubungan dengan Sang Khalik. Penunaian kewajiban itu adalah sebagai tanda ketaatan dan kesyukuran yang manfaatnya akan didapati manusia yang melaksanakannya. Sebaliknya, keingkaran kepada Allah tidak akan mengurangi kemuliaan dan kekuasaan Allah. Hal ini terekam di dalam Al-Qur’an seperti berikut ini Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Al-Qur’an, surah Lukman, 31:12. Teori atqakum menggagaskan bahwa menjadi lebih bertakwa merupakan hukum perintah yang tidak ada pilihan pada saat apa pun dan tempat mana pun. Universitas Sumatera Utara Dengan syarat taklif syar’i. Penunaian teori dalam semua bidang kehidupan atau disiplin ilmu sebagai tanda ketaatan dan kesyukuran yang membawahi khasanah di dunia dan akhirat. Teori ini menjadi supraordinat kepada teori lain dalam subdisiplin, termasuk linguistik. Untuk dapat melihat isi makna syair munajat, selain teori semiotik, penulis juga menggunakan teori takmilah Shafie Abu Bakar yang diciptakan untuk aplikasi terhadap semua karya bagi menilai dan mengukur nilai keislaman dalam karya. Pada satu posisi mungkin karya itu bebas dari nada keislaman, tetapi setelah dianalisis baru nampak citra keislamannya. Demikian sebaliknya, sesebuah karya yang kelihatan bernada keislaman, setelah dianalisis mengandung citra yang sebaliknya. Mungkin di luar alam sadar pengarangnya. Teori takmilah menekankan tiga komponen penting yaitu pengarang, karya, dan khalayak. Semuanya harus bermula dari kesadaran tauhid pengarang yang menuangkan kesedaran itu ke dalam karya untuk membangkitkan kesadaran tauhid pembaca. Ketiga-tiganya memperlihatkan sifat saling menyempurnakan, yang menjadi sifat Allah dan lambang kesempurnaan-Nya. Karya yang indah harus berdasar kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Karya ini tercerna dalam hubungan sikap dan perlakuan manusia terhadap Allah, sikap dan perlakuan manusia sesama makhluk Allah, serta sikap dan perlakuan manusia dengan alam sekitarannya. Keindahan dan kesempurnaan karya sastra meliputi keindahan isi dan bentuk. Jika isi baik tetapi disampaikan dalam bentuk yang tidak sesuai, atau bentuk baik tetapi isi tidak sesuai, maka karya itu dianggap tidak indah dan tidak Universitas Sumatera Utara sempurna. Isi dan bentuk karya harus sama-sama indah, sebagaimana maksud sastra itu sendiri, dan karya sastra ini berpandukan ajaran Al-Qur’an. Walaupun aspek struktur karya sama, namun teori ini melihat aspek strukturnya harus tidak bertentangan dengan isi, tepat dengan genre, bahasanya tepat, isinya mudah difahami, dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dari segi isinya karya itu harus dapat memberi teladan atau hikmah kepada pembaca. Satu hal yang ditegaskan oleh Shafie Abu Bakar bahwa teori takmilah melihat segala kejadian atau peristiwa sebagai indah, baik peristiwa itu menggembirakan maupun menyedihkan. Misalnya peristiwa tsunami di Aceh. Di dalamnya terkandung hikmah dan keteladanan, dalam konteks tauhid kepada Allah. Untuk menguatkan teori ini, Shafie Abu Bakar mengemukakan tujuh prinsip, yaitu: 1 prinsip ketuhanan yang bersifat kamal, 2 prinsip kerasulan sebagai insan kamil, 3 prinsip keislaman yang bersifat akmal, 4 prinsip ilmu dengan sastra yang bersifat takamul, 5 prinsip sastra bercirikan estetis dan bersifat takmilah, 6 prinsip pengkarya yang seharusnya mengistikmalkan diri, dan 7 prinsip khalayak yang bertujuan memupuk mereka ke arah insan kamil. 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Pendekatan Penelitian