Pendidikan Biografi Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan Khalidy Naqsyabandy

2.4.1 Pendidikan

Pendidikan Syekh Abdul Wahab dimulai ketika belajar membaca Al quran kepada H.M Saleh dan H. Muhammad, seorang ulama terkenal asal Minangkabau. Ia termasuk ahli seni baca Al-Qur’an qari. Dengan berbekal pelajaran membaca Al-Qur’an ini Abu Qasim nama kecil Abdul Wahab melanjutkan pelajarannya ke Tembusai. Pada waktu itu di negri Tembusai terdapat dua orang alim besar yang pandai mengajar kitab-kitab Arab. Seorang di antaranya bernama Maulana Syekh Abdullah Halim, saudara dari Yang Dipertuan Besar Sultan Abdul Wahid Tembusai, dan seorang lagi bernama Syekh Muhammad Saleh Tembusai. Kedua ulama ini sangat tekun dan rajin mengembangkan ilmu agama, termasuk nahu, saraf, tafsir, hadist, tauhid, fiqih, dan tasawuf. Di Tembusai inilah Abu Qasim mendapatkan bapak angkat yang bernama H. Bahaudin. Dengan bantuan bapak angkat inilah pendidikan beliau dapat dilanjutkan kepada Syekh Abdullah Halim dan Syekh Muhammad Saleh. Berkat ketekunannya, maka setelah tiga tahun ia mampu mengalahkan murid- murid terdahulu dari padanya. Abu Qasim banyak memperdalam kitab-kitab Fathul Qarib, Minhaajut Thalibin, Iqna, Tafsir Al Jalalain, dan lain lain dalam ilmu fikih, nahu, saraf, lughah, bayan, mantik, maani, balaghah, arudh, asytiqaq, dan lain-lain . Sebagai puncak dari kemajuannya dalam pelajaran ini, kedua gurunya memberi gelar kehormatan Fakih Muhammad. Fakih artinya orang yang alim dalam hukum fikih, atau sarjana hukum Islam. Upacara pemberian gelar Universitas Sumatera Utara penghormatan ini dilakukan dihadapan suatu majelis resmi, yang dihadiri oleh khalayak ramai. H. Abdullah Halim dan H.M. Saleh melantiknya dengan menyatakan Ikhwanul Muslimin pernyataan tentang persaudaraan Islam. Abu Qasim bin Abdul Manap Tanah Putih namanya dan dikaruniai gelar dengan nama tuan Pakih Muhammad bin Abdul Manap Tanah Putih, berkat Al Fatihah. Pada tahun 1277 H 1861 M di samping berniaga, ia berguru kepada Syekh H. Muhammad Yusuf asal Minangkabau. Tuan Syekh M. Yusuf ini belakangan menjadi mufti dilangkat dan lebih terkenal dengan panggilan Tuk Ongku. Ia bersama dengan Syekh Abdul Wahab Rokan dipandang orang keramat dan meninggal di Tanjung Pura, Langkat dimakamkan di samping Mesjid Azizi. Kurang lebih dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1279 H 1863 M, ia mengajukan permohonan kepada gurunya, agar diizinkan berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk melanjutkan pelajaran. Permintaan ini dikabulkan dan dalam perjalanan menuju Mekah bapak angkatnya H. Bahaudin senantiasa menemaninya. Mula mula mereka berangkat ke Singapura. Pada waktu itu di kota itu terdapat seorang Syekh yang keramat bernama Habib, makamnya di Tanjung Pagar. Setibanya di kota ini, Pakih Muhamad ziarah kepadanya dengan terlebih dahulu memberi salam kepadanya. Begitu melihat Pakih Muhammad, Habib Nuh serta merta mencium tangan, bahu dan seluruh tubuhnya seraya mengatakan, “Barakallahu” Allah memberkatimu. Setelah beberapa hari di sana H. Muhammad dan Pakih Muhammad meninggalkan Singapura menuju Jeddah dengan kapal. Menurut sejarah, Universitas Sumatera Utara pelayaran dengan kapal, baru ada di Singapura pada tahun 1280 H, bernama Sri Jedah. Di Mekah mereka masuk kelompok Syekh M. Yunus bin Abdul Rahman Batu Bara, tinggal di Kampung Qararah tidak jauh dari Mesjid Al Haram. Selesai mengerjakan ibadah haji, Pakih Muhammad beroleh gelar Haji Abdul Wahab Tanah Putih. H. Bahauddin kembali ke tanah air, pulang ke Tembusai. Sementara H. Abdul Wahab tinggal di Mekah untuk melanjutkan pelajaran. Ia belajar kepada Zaini Dahlan, mufti mazhab Syafii, dan kepada Syekh Hasbullah. Beliau juga belajar kepada guru guru asal Indonesia seperti Syekh M. Yunus bin Abdul Rahman Batubara, Syekh Zainuddin Rawa, Syekh Ruknuddin Rawa, dan lain lain. Untuk menambah ilmu, baik ilmu duniawi maupun ilmu akhirat. Perjalanan kesehariannya hanya di sekitar Mesjidil Haram, dari rumah ke mesjid, makam Ibrahim, Hijir Ismail, telaga Zamzam dan ke rumah guru. Teman seperjalanannya, antara lain H. Abdul Majid Batubara dan H.M. Nur bin H.M.Tahir Batubara. Meski telah banyak kitab yang dipelajari, namun H. Abdul Wahab belum puas, sebab menurut anggapannya hatinya belum bersih, masih bersarang sifat sifat yang tercela seperti ujub, sum’ah dan kasih kepada dunia. Ia ingin menjauhkan diri dari sepuluh sifat yang tercela sebagaimana yang tercantum dalam kitab kitab tasawuf. Oleh karena itu H. Abdul Wahab memperdalam pengetahuannya dalam bidang tasawuf, dengan mempelajari kitab Ihya Ulimuddin karangan Imam Ghazali serta meminta nasihat kepada gurunya Syekh M. Yunus. Maka Syekh M. Yunus pun menyerahkannya belajar kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di puncak Jabal Kubis. Universitas Sumatera Utara Syekh Sulaiman Zuhdi adalah seorang pemimpin Tarekat Nasyabandiah dan wali yang terkenal pada masa itu. Memimpin suluk di Jabal Kubis sejak bertahun tahun. Setelah menerima Tarekat Naqsyabandiah dari Syekh Sulaiman Zuhdi H. Abdul Wahab pun mengamalkannya dengan sungguh-sungguh sementara itu tetap terus mengaji kepada Sayid Zaini Dahlan, Mufti Mazhab Syafii, Syekh Hasbullah, dan Syekh Zainuddin Rawa. Syekh Sulaiman Zuhdi amat gembira menyaksikan kemajuannya yang luar biasa dari H.Abdul Wahab dan mendoakan semoga ia kelak akan dapat mengembangkan ilmu Tarekat Naqsyabandiah di Sumatra, Kedah, Pahang Malaysia, dan daerah lain. Pada suatu ketika, Syekh Sulaiman Zuhdi mendapat petunjuk dari Allah, dan bisikan rohaniah dari Syekh Syekh Naqsyabandiah bahwa kepada H. Abdul Wahab harus diberikan gelar khalifah dan diperbolehkan memimpin rumah suluk serta mengajarkan ilmu Tarekat Naqsyabandiah dari Aceh sampai Palembang. Syekh Sulaiman Zuhdi pun dengan resmi mengangkatnya menjadi khalifah besar dengan memberinya ijazah bai’ah dan silsilah Tarekat Naqsyabandiah yang berasal dari nabi Muhammad SAW. sampai kepada Syekh Sulaiman Zuhdi dan seterusnya kepada Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi. Ijazah itu ditandai dengan dua cap. H. Abdul Wahab pun memperlihatkan ijazah tersebut kepada H. M. Yunus Batu bara. Beliau kagum dan tercengang, karena menurut pengetahuannya belum ada seorang pun murid beliau yang diberi ijazah bercap dua. Ketika Syekh M. Yunus menanyakan kepada Syekh Sulaiman Zuhdi. Beliau menjawab, Universitas Sumatera Utara “Dengan ijazah ini semoga H. Abdul Wahab bin Abdul Manap itu akan mengembangkan dan memashyurkan Tarekat Naqsyabandiah di Indonesia, Malaysia dan daerah sekitarnya. Beberapa Sultan akan berguru kepadanya dan beberapa panglima yang gagah perkasa akan tunduk, orang kafir dan Islam hormat kepadanya.”

2.4.2 Mengembangkan Agama dan Tarekat