Konsep Kelembagaan Pengelolaan Daerah Penyangga

18

2.4. Konsep Kelembagaan Pengelolaan Daerah Penyangga

Selama ini kelembagaan institusi banyak diartikan sebagai organisasi, namun sebenarnya juga mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Menurut North 1990, secara umum kelembagaan mengandung dua pengertian penting yaitu: Pertama, kelembagaan diartikan sebagai aturan main the rules of the game. Sebagai aturan main, kelembagaan berupa aturan baik formal maupun informal, yang tertulis dan tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia. Kedua, kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki. Sebagai suatu organisasi, ada beberapa stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya termasuk hutan. Sedangkan menurut Schmid dalam Pakpahan 1989 kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur hubungan antar orang, yang mendefinisikan hak-hak mereka, hubungan dengan hak-hak orang lain, hak-hak istimewa yang diberikan, serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajibannya dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan mempunyai peran penting dalam masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menyusun struktur yang stabil bagi hubungan manusia. Kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama: 1 hak-hak kepemilikan property rights yang berupa hak atas benda materi maupun non materi; 2 batas yurisdiksi jurisdictional boundary, dan 3 aturan representasi rules of representation Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan, 1989. Dengan demikian perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur-unsur kelembagaan. Hak-hak kepemilikan property rights, mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsesus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Pernyataan hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah i hak seseorang adalah kewajiban orang lain; ii hak yang dicerminkan oleh kepemilikan ownership adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Property rights individu atas suatu asset terdiri atas hak-hak atau kekuasaan untuk mengkonsumsi, 19 mendapatkan pendapatan dan melakukan transfer hak-haknya atas aset Barzel dalam Basuni, 2003. Hak dapat diperoleh melalui pembelian apabila barang atau jasa dapat diperjualbelikan, pemberian atau hadiah, atau pengaturan administratif. Batas yurisdiksi jurisdictional boundary menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan dan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya sehingga terkandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Perubahan batas yurisdiksi dipengaruhi oleh empat faktor antara lain: 1 perasaan sebagai suatu masyarakat sense of community. Perasaan sebagai suatu masyarakat menentukan siapa termasuk dalam masyarakat dan siapa yang tidak. Hal ini berkaitan dengan konsep jarak sosial yang menentukan komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan; 2 eksternalitas, merupakan dampak yang diterima pihak tertentu akibat tindakan pihak lain. Perubahan batas yurisdiksi akan merubah struktur ekternalitas yang akhirnya merubah siapa menanggung apa; 3 homogenitas, berkaitan dengan preferensi masyarakat yang merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa; dan 4 skala ekonomi, yang menunjukkan suatu situasi dimana ongkos per satuan terus menurun apabila output ditingkatkan. Batas yurisdiksi yang sesuai akan menghasilkan ongkos per satuan yang lebih rendah dibandingkan dengan alternatif batas yurisdiksi yang lainnya Pakpahan, 1989. Aturan representasi rules of representation merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Dalam proses pengambilan keputusan dalam organisasi, terdapat dua jenis ongkos yang mendasari keputusan, yaitu i ongkos membuat keputusan sebagai produk dari partisipasi dalam membuat keputusan, dan ii ongkos eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan organisasi tersebut. Aturan representasi akan mempengaruhi struktur dan besarnya ongkos tersebut. Aturan pengambilan keputusan yang sederhana untuk masalah ini adalah meminimumkan kedua ongkos. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Konsep aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat, sehingga aturan 20 representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka. Oleh karena itu perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien dalam arti menurunkan ongkos transaksi Pakpahan, 1989. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan terdapat beberapa pemangku kepentingan stakeholder. Stakeholders ini akan mempunyai kepentingan dan mewakili kelompoknya, baik dalam pemanfaatan maupun dalam pelestariannya. Apabila salah satu stakeholder tidak terlibat dalam pengelolaannya akan berdampak pada keberlanjutan pengelolaan kawasan hutan tersebut. Menurut Tadjudin 2000 identifikasi stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan hutan antara lain: pertama, stakeholders primer, yaitu pelaku yang terlibat berkepentingan langsung dalam kegiatan konservasi danatau pendayagunaan sumberdaya hutan: 1 pemerintah, yaitu instansi yang menangani pengelolaan sumberdaya hutan di daerah mapun di pusat; 2 swasta yang memiliki konsesi di kawasan yang bersangkutan; 3 masyarakat yang kegiatan ekonomi maupun kegiatan sosial-budayanya secara langsung bergantung pada sumberdaya hutan yang bersangkutan. Kelompok ini lazim disebut sebagai masyarakat pengguna. Kedua, stakeholders sekunder, terdiri atas: instansi pemerintah yang tidak bertanggungjawab langsung dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan namun berkepentingan terhadap sumberdaya yang bersangkutan, misalnya swasta yang tidak terlibat dalam pengusahaan hutan, namun memiliki lini bisnis yang terkait dengan sumberdaya hutan atau terkait dengan kegiatan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada sumberdaya hutan; masyarakat yang dipengaruhi oleh perubahan pengelolaan sumberdaya hutan sesudah manajemen kolaboratif diterapkan. Secara praktikal kelompok ini adalah masyarakat yang bermukim di sekitar hutan di luar batas yurisdiksi kawasan hutan yang akan dikelola secara kolaboratif Tadjudin, 2000. Kelembagaan terdiri atas peraturan formal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dll dan peraturan informal seperti adat, kebiasaan, agama dll North, 1991. Aturan formal pengelolaan daerah penyangga terdapat pada UU No. 5 tahun 1990, selanjutnya dituangkan dalam PP No. 68 tahun 1998 menyangkut tentang kriteria penetapan daerah penyangga, pengukuhan legalitas daerah penyangga, pengelolaan daerah penyangga dan pembinaan daerah penyangga. Selain kelembagaan formal, terdapat juga kelembagaan informal lokal. Beberapa bentuk kelembagaan lokal antara lain: 1 tata nilai, kebiasaan, adat dan budaya masyarakat setempat yang berkaitan dengan 21 masalah pengelolaan sumberdaya hutan. Selain masalah keberadaannya, patut juga diidentifikasi: apakah setiap atribut budaya tersebut secara praktikal masih dipatuhi oleh anggota masyakatnya dalam kehidupan sehari-harinya atau hanya dijalankan dari ritual tertentu saja; 2 pengetahuan dan teknologi lokal mengenai pengelolaan sumberdaya hutan termasuk pengetahuan dan teknologi usahatani yang berkaitan dengan sumberdaya hutan. Dalam hal ini perlu identifikasi terhadap: a perubahan-perubahan pengetahuan dan teknologi tersebut, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal, dan b kehandalan pengetahuan dan teknologi tersebut menghadapi perubahan kelimpahan sumberdaya resources endowment dan peningkatan populasi masyarakat yang bergantung pada sumberdaya hutan yang bersangkutan; 3 organisasi sosial dan ekonomi masyarakat setempat yang menjadi wacana pengejewantahan kelembagaan masyarakat Tadjudin, 2000.

2.5. Karakteristik atau Situasi yang Menjadi Sumber Interdependensi