15 dan pemanfaatan hutan. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut
dikenal dengan kelembagaan formal. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah untuk kepentingan industri
kehutanan dan mengejar nilai ekonomis dan berorientasi ekspor untuk membayar hutang luar negeri. Dampak dari pemanfaatan kekayaan alam untuk
kepentingan ekonomi semata telah menyebabkan deforestasi yang cukup tinggi. Menurut FAO dalam Muhshi 1999, selama 1976 hingga 1980 hutan Indonesia
yang rusak tidak kurang dari 550.000 ha per tahun. Laju kerusakan tersebut meningkat sejalan dengan eksploitasi hutan melalui HPH. Setelah tahun 1980
laju kerusakan hutan mencapai 600.000 ha per tahun. Data terakhir menunjukkan bahwa tingkat deforestasi beberapa tahun terakhir meningkat
menjadi di atas 2 dua juta hektar per tahun. Menurut Departemen Kehutanan 2004
dalam Indonesia Corruption Watch dan Greenomics Indonesia 2004, di Indonesia hampir 60 juta hektar hutan produksi atau 52 dari total kawasan
hutan negara telah dialokasikan sebagai kawasan hutan konsesi. Sekitar 24 dari total luas hutan produksi tersebut dialokasikan sebagai hutan produksi yang
dapat dikonversikan.
2.3. Konsep Daerah Penyangga
Secara konseptual daerah penyangga menurut Alikodra et al., 1985
merupakan kawasan yang mengelilingi suatu taman nasional yang bentuk dan luasnya disesuaikan dengan taman nasional dan kondisi lingkungan sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat sekitar. Sedangkan menurut MacKinnon et al.,
1990 daerah penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang dilindungi, yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk
memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat pedesaan sekitarnya. Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa sebagai aturan umum, prioritas pertama daerah penyangga harus ditujukan bagi keperluan perlindungan, baru kemudian untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk alam yang dapat dipungut hasilnya, dan terakhir adalah untuk “tanaman perdagangan”. Kemudian Meffe
dan Carroll 1994 dalam Basuni 2003 menyatakan bahwa daerah penyangga dapat mempunyai beberapa fungsi eksploitatif terbatas, seperti penebangan kayu
selektif, perburuan terkendali, bahkan pemukiman dengan kepadatan rendah dan masih berfungsi protektif terhadap kawasan konservasi.
16 Menurut MacKinnon
et al. 1993 ada 2 dua fungsi daerah penyangga:
Pertama, daerah penyangga yang berfungsi memperluas habitat, yang pada
hakikatnya untuk memperluas areal habitat yang terdapat di dalam kawasan konservasi. Dengan fungsi daerah penyangga ini memungkinkan ukuran total
populasi tumbuhan dan satwa yang berkembangbiak akan lebih besar dibandingkan dengan ukuran populasi yang dapat bertahan hidup dalam
kawasan konservasi semata-mata. Bentuk daerah penyangga dengan fungsi perluasan habitat diantaranya adalah hutan produksi dengan tebang pilih, areal
buru, hutan alam yang digunakan penduduk untuk mencari kayu bakar, daerah terlantar dan padang pengembalaan.
Kedua, daerah penyangga yang berfungsi
sosial. Tujuan utama pengelolaan daerah penyangga yang berfungsi sosial adalah penyediaan produk yang dapat digunakan atau berharga bagi masyarakat
setempat, seperti tanaman perdagangan, sedangkan pemanfaatan sumberdaya alam merupakan hal sekunder. Namun demikian, penggunaan lahan seperti ini
tidak bertentangan dengan tujuan kawasan konservasi itu sendiri dan tumbuhan yang ditanam pun tidak berdaya tarik sebagai makanan satwaliar.
Secara umum, tujuan pengelolaan daerah penyangga adalah mengendalikan aktivitas penggunaan lahan disekitar dan berbatasan dengan
kawasan konservasi agar lebih kompatibel dengan tujuan konservasi biodiversitas kawasan konservasi Basuni, 2003. Dalam kaitan inilah prioritas
fungsi daerah penyangga dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1 daerah penyangga sebagai perluasan habitat satwaliar; 2 daerah perlindungan fisik; dan 3
sebagai sumber pendapatan masyarakat. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya bahwa daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar batas kawasan konservasi. Pada penjelasan pasal 16 ayat 2 UU tersebut
dinyatakan bahwa daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar dan berbatasan dengan kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah
negara bebas maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fungsi
daerah penyangga untuk menjaga kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari
luar dan dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan PP 68 1998. Untuk membina fungsi
daerah penyangga, pemerintah dapat melakukan beberapa hal antara lain: a
17 peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya; b peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c rehabilitasi lahan; d peningkatan
produktivitas lahan; e dan kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut MacKinnon et al. 1993 terdapat beberapa tipe utama daerah
penyangga, yaitu: 1 Daerah pemanfaatan tradisional. Kegiatan yang diperkenankan di dalam tipe
daerah ini termasuk: penangkapan ikan tanpa menggunakan racun atau bahan peledak; perburuan tradisional dari spesies yang tidak dilindungi,
tanpa menggunakan perangkap, senjata modern atau menggunakan api; mengumpulkan getah dan damar asalkan pohon tidak mati dalam proses
pengambilan; mengumpulkan buah-buahan hutan dan madu; mengumpulkan kayu bakar atau bahan bangunan dari pohon yang tumbang
bagi keperluan pribadi; memotong bambu, buluh, bahan atap rumah atau rotan; pengembalaan ternak peliharaan secara berkala.
2 Penyangga hutan. Tipe penyangga ini termasuk hutan kayu bakar atau bahan bangunan yang terletak di luar batas kawasan yang dilindungi tetapi di
atas tanah negara. Hutan tersebut dapat berupa hutan alami, hutan sekunder yang diperkaya, atau bahkan perkebunan dimana penekanannya adalah
memaksimalkan hasil yang berkelanjutan untuk digunakan penduduk desa setempat, selain berfungsi melindungi air dan tanah.
3 Penyangga ekonomi. Tipe penyangga ini diperlukan untuk mengurangi keperluan masyarakat desa mengambil sumberdaya dari kawasan
konservasi. Penyangga ini dapat berbentuk bantuan pertanian, sosial atau komunikasi maupun lahan penyangga yang produktif.
4 Rintangan fisik. Bila tidak tersedia tanah bagi pengembangan daerah penyangga, maka batas itu sendiri harus berfungsi sebagai penyangga.
Kadang-kadang diperlukan juga rintangan fisik berupa selokan, kanal, pagar tembok atau kawat berduri. Hal ini membantu menghalangi satwa liar
meninggalkan kawasan konservasi dan mencegah orang dan ternak memasuki kawasan konservasi.
18
2.4. Konsep Kelembagaan Pengelolaan Daerah Penyangga