Aturan Informal Aturan-aturan Pengelolaan Daerah PenyanggaTNKS

61 penyangga TNKS akan membutuhkan ongkos yang sangat mahal dalam bentuk ongkos membuat kontrak contractual cost. 6. Kebijakan pengelolaan daerah penyangga kawasan konservasi diluar kewenangan Ditjen PHKA Balai Taman Nasional Kerinci Seblat, sehingga kebijakan pengelolaan areal tersebut dapat bertentangan dengan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi. 7. Berdasarkan Surat Edaran Mendagri No. 660.1269VBangda tahun 1999, pengelolaan daerah penyangga diatur dengan struktur organisasi formal mulai dari Tingkat Provinsi, Kabupaten, Kecamatan hingga Pemerintahan Desa. Dalam pelaksanaannya, organisasi formal dengan hierarki formal tersebut tidaklah efektif karena ongkos pelaksanaannya sangat mahal termasuk ongkos koordinasi antar stakeholders. Selain itu, sampai tahun 2006 belum terdapat organisasi tersebut di tingkat daerah. 8. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak ditindaklanjuti oleh jajaran di bawahnya. Hal ini terbukti dengan belum adanya peraturan di tingkat daerah baik di Tingkat Kabuaten Bengkulu Utara maupun Provinsi Bengkulu yang dapat mengendalikan kegiatan penggunaan hutan di daerah penyangga TNKS tersebut. 9. Berdasarkan surat Menteri Kehutanan No. 57Menhut-VI2002 bahwa pengelolaan areal eks HPH PT MJRT akan diatur lebih lanjut, namun sampai dengan saat ini 2006 belum terdapat aturan pengelolaan eks HPH tersebut. Hal ini berimplikasi pada tidak jelasnya hak pengelolaan atas areal tersebut.

4.6.2. Aturan Informal

Pada bagian ini akan dijelaskan kelembagaan informal yang telah ada dan menjadi pedoman dalam masyarakat di daerah penyangga TNKS. Aturan informal dalam pemanfaatan hutan dan mengakses sumberdaya lebih banyak terdapat pada daerah non transmigran. Sedangkan pada masyarakat transmigran aturan informal tidak banyak digunakan lagi dan yang berlaku hanya hukum positif pemerintah. Ada beberapa kearifan tradisional pada masyarakat suku Pekal kaitannya memanfaatkan SDA, antara lain: Ulu tulung Ulu tulung adalah daerah wilayah bagian hulu sungai yang merupakan sumber mata air. Daerah ini tidak boleh dibuka dijadikan lahan usahatani oleh 62 masyarakat. Daerah sekitarnya dapat saja dijadikan lahan usahatani, tetapi harus menyisakan sekitar seratus meter dari sumber mata air tersebut. Masyarakat menyakini bahwa daerah tersebut mempunyai “penunggu” yang tidak boleh diganggu. Jami Jami merupakan bekas ladang yang telah dibuka dan ditanami dengan kebun muda. Jami tidak boleh dibuka atau dijadikan lahan usahatani lagi, jika belum membuka lahan di tempat lain. Jami biasanya berbentuk kebun campuran seperti: jengkol, petai, kopi, dll. Struktur tegakan jami hampir menyerupai hutan, tetapi mempunyai hasil yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Jami dipelihara dan diakui kepemilikannya. Guling arang Guling arang merupakan pantangan untuk membuat batas lahan antar penduduk pada daerah yang tebing. Namun tata batas harus dilakukan pada daerah yang datar atau daerah yang tidak bergelombang, sehingga batas-batas kepemilikan menjadi jelas. Saling tujah Saling tujah adalah pantangan larangan dalam membuat tata batas lahan yang tidak lurus, karena hal ini berpeluang untuk menyebabkan sengketa lahan. Dalam membuat tata batas, biasanya menggunakan batas alam dan dengan menanam tanaman tertentu seperti: durian, nangka, pinang dan lain-lain sebagai bukti kepemilikan atas lahan tersebut. Ngulang tinyak Ngulang tinyak adalah pantangan larangan untuk membuka jami sebagai lahan usahatani untuk beberapa kali musim tanam. Kearifan ini memberi peluang lahan usahatani untuk memulihkan struktur tanah pertanian sehingga menjadi lebih subur secara alami. Elang kepak Elang kepak adalah pantangan larangan untuk membuka membuat pondok yang dekat dengan sungai. Secara umum larangan pantangan atau dalam bahasa setempat dikenal dengan pamali merupakan aturan-aturan informal yang tidak tertulis, namun keberadaannya diakui oleh masyarakat setempat. Pelanggaran atas larangan tersebut diyakini akan menyebabkan musibah atau balak yang akan menimpa 63 keluarga tersebut. Namun, kearifan-kearifan masyarakat suku Pekal mulai longgar dan mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Beberapa organisasi yang masih aktif di daerah penyangga antara lain: organisasi kepemudaan karang taruna, kelompok pengajianYasinan, arisan. Kebiasaan masyarakat yang sangat baik dan perlu dilestarikan terus seperti kebiasaan bergotong-royong. Setiap pembukaan lahan atau menanam padi di ladang masyarakat melakukannya dengan bersama-sama secara bergiliran. Kebiasaan seperti ini telah dilakukan masyarakat sejak lama dan telah turun- temurun. Selain melakukan usaha budidaya pertanian dan perkebunan, masyarakat juga melakukan kegiatan pemungutan hasil-hasil hutan seperti rotan, damar, madu. Kegiatan tersebut telah dilakukan masyarakat setempat sejak sebelum beroperasinya HPH PT MJRT. Frekuensi melakukan kegiatan ini tergantung dengan kesibukan mereka dalam melakukan usahataninya. Diperkirakan sistem pertanian ladangkebun tanaman komersial seperti di eks HPH PT MJRT secara kompleks –cepat atau lambat namun pasti– memiliki kecenderungan mendorong ekspansi penduduk dan penetrasi perambahan lahan: ‘maju terus ke arah hutan tanpa mengenal titik balik’. Akibatnya, ancaman tekanan terhadap hutan dan degradasi hutan TNKS dapat terus berlanjut. Menurut penduduk asli, lokasi itu sebelumnya merupakan areal ladangkebun yang pernah dibuka oleh nenek moyang mereka. Ancaman tekanan kegiatan perambahan kawasan eks HPH PT MJRT di masa datang diperkirakan akan meningkat terutama kegiatan perambahan lahan untuk membuka ladangkebun terutama komoditas kelapa sawit di areal bekas tebangan HPH. Faktor lain yang mempercepat kegiatan perambahan hutan adalah faktor aksesibilitas penduduk yang kian terbuka karena adanya pembukaan jalan tembus di beberapa tempat. Selain itu, percepatan pembukaan ladangkebun juga berkaitan dengan sistem hak kepemilikan dan pewarisan tanah yang dianut oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan ini. Tanah yang dijadikan ladangkebun biasanya dikategorikan ke dalam sistem kepemilikan individual atau yang secara tradisional digolongkan harta pusaka rendah. Pengalihan hak atas pusaka rendah relatif longgar karena cukup diputuskan oleh individu atau keluarga batih nuclear family pemiliknya 3 . 3 Berbeda dengan harta pusaka tinggi seperti tanah yang sudah diwariskan beberapa generasi, biasanya berupa tanah perumahan, pelak dan sawah untuk mengalihkan 64 Di lain pihak, semangat otonomi daerah tampaknya justru memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Hingga saat ini aspek kelestarian alam hanya sebatas slogan tanpa tindakan nyata, sebab terkalahkan oleh kepentingan peningkatan pendapatan daerah. Perilaku pemerintah daerah demikian pun menjadi ancaman yang terselubung bagi kelestarian keseimbangan hutan di daerah penyangga di sekeliling TNKS. Memang, Pemerintah Daerah Kabupaten Bangkulu Utara belum memperlihatkan tanda– tanda ke arah ini, tetapi cepat atau lambat kepentingan ekonomi akan memaksa pemerintah kabupaten untuk berpikiran lain. Perubahan pemikiran demikian yang harus selalu disimak agar kepentingan pelestarian alam tidak terlepas dari perhatian pemerintah kabupaten.

4.7. Karakteristik Masyarakat di Daerah Penyangga TNKS