34
Penentuan Prioritas Fungsi Daerah Penyangga TNKS
Tujuan :
Faktor Fungsi Daerah Penyangga:
Daerah Perluasan Habitat
Daerah Pelindung Fisik TNKS
Sumber Pendapatan Masyarakat
Pemda Swasta
Masyarakat LSM
Aktor:
PT
baru bagi kepentingannya. Berdasarkan aturan main yang ada, para aktor yang terlibat akan berprilaku untuk memenangkan permainan dalam rangka
memaksimumkan kesejahteraannya. Perilaku para aktor merupakan hal yang berkembang dan merupakan proses terpisah dari proses kreasi, evolusi, dan
konsekuensi dari aturan-aturan yang diciptakan North, 1991. Oleh karena itu, dalam analisis prioritas fungsi daerah penyangga TNKS sangat penting untuk
mempertimbangkan para aktor yang terlibat. Para aktor yang dimaksud adalah Pemerintah Daerah, swasta, masyarakat, Perguruan Tinggi PT dan Lembaga
Swadaya Masyarakat LSM. Rekayasa sosial merupakan suatu upaya untuk memecahkan masalah
nyata yang dihadapi yaitu perubahan dalam batas yurisdiksi, aturan representasi, dan
property rights atas lahan. Metode AHP dalam kerangka ini dapat digunakan untuk memutuskan suatu prioritas fungsi daerah penyangga dengan
mempertimbangkan berbagai macam kriteria dan memiliki tingkat konsistensi yang terjaga. Berikut disajikan struktur hierarki penetapan prioritas fungsi daerah
penyangga TNKS untuk analisis AHP Gambar 4.
Gambar 4. Struktur hierarki penetapan prioritas fungsi daerah penyangga TNKS
3.6.3. Analisis SWOT
Analisis SWOT Strenghts, Weaknesses, Opportunities and Threats
adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan daerah penyangga TNKS. Analisis SWOT didasarkan
35 pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
strengths dan peluang opportunities dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
weaknesses dan ancaman threats Rangkuti, 2001. Analisis SWOT harus mempertimbangkan situasi dari faktor internal dan faktor eksternal pengelolaan
daerah penyangga TNKS tersebut. Secara umum langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT
adalah: 1 Identifikasi kekuatan kelemahan dan peluang ancaman.
Identifikasi dilakukan berdasarkan kondisi yang ada existing condition. Hal ini
diperlukan untuk mengetahui berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam membuat kebijakan pengelolaan daerah penyangga kedepan; 2
Analisis SWOT. Hasil identifikasi diberi bobotskor berdasarkan tingkat
kepentingan dan kondisi eks areal hutan konsesi. Bobot tertinggi diberikan untuk unsur SWOT yang mempunyai pengaruhi penting bagi kebijakan
pengelolaannya. Setelah masing-masing unsur SWOT diberi bobot, kemudian unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa
alternatif kebijakan. Bobot masing-masing kebijakan tersebut dijumlahkan untuk menghasilkan rangking alternatif kebijakan yang prioritas; 3
Anlternatif kebijakan hasil analisis SWOT. Alternatif kebijakan dihasilkan dari penggunaan
unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang yang ada SO, penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang ST,
pengurangan kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada WO dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan
datang WT. Kebijakan yang dihasilkan terdiri atas beberapa alternatif, sehingga untuk menentukan prioritas kebijakan yang harus dilakukan penjumlahan bobot
yang berasal dari keterkaitan antara unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam suatu alteratif kebijakan. Jumlah bobot akan menentukan rangking prioritas
alternatif kebijakan pengelolaan daerah penyangga.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sejarah Pengelolaan Areal
Pengelolaan Hak Pengusahaan Hutan HPH PT Maju Jaya Raya Timber PT MJRT dimulai sejak tahun 1974 berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor:
422KptsUM81974 tertanggal 7 Agustus 1974. Adapun areal hutan yang dikonsesikan seluas 80.000 ha dengan masa konsesi selama 20 tahun dan
berakhir pada tanggal 7 Agustus 1994. Berdasarkan Surat Menteri Kehutanan RI Nomor: 1454Menhut-IV1994 tanggal 21 September 1994 mengenai
permohonan perpanjangan atas nama PT MJRT, izin pengelolaan diserahkan kepada perusahaan patungan antara PT MJRT dengan PT INHUTANI V BUMN
yang mengharuskan untuk mengikutsertakan BUMDPemda dan Koperasi. Luas areal yang direkomendasikan berdasarkan surat perpanjangan tersebut adalah
45.100 ha. Izin perpanjangan sementara HPH PT MJRT ini terhitung sejak tanggal 7 Agustus 1994 sampai dengan 1 Maret 1995.
Selanjutnya perpanjangan pengusahaan hutan eks HPH PT MJRT harus dilakukan oleh perusahaan patungan antara PT MJRT sendiri dengan BUMN PT
INHUTANI V, BUMDPEMDA dan koperasi. Perpanjangan pengusahaan tersebut didasarkan pada Surat Menteri Kehutanan RI Nomor: 1167MENHUT-
IV1995 tertanggal 7 Agustus 1995. Berdasarkan surat tersebut perusahaan diizinkan untuk melanjutkan kegiatan pengusahaan hutan pada tahun 19951996.
Kemudian pada tanggal 6 Mei 1996 diberikan izin perpanjangan sementara yang berlaku sejak 1 April 1996 sampai dengan 31 Maret 1997. Izin perpanjangan
tersebut didasarkan pada Surat Menteri Kehutanan RI Nomor: 634MENHUT- IV1996, dengan luas areal yang sama yakni seluas 45.100 ha.
Pada tanggal 12 Agustus 1997 dikeluarkan kembali Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 514Kpts-IV1997 tentang pemberian izin
perpanjangan sementara hak pengusahaan hutan kepada PT MJRT. Surat izin yang keempat tersebut berlaku selama 1 satu tahun sampai tanggal 31 Maret
1998 dengan luas areal yang sama dengan sebelumnya dan tetap harus melibatkan BUMN PT INHUTANI V, BUMDPEMDA dan koperasi sebagai
pemegang saham. Adapun komposisi kepemilikan saham adalah: BUMN PT INHUTANI V sebesar 45, BUMDPEMDA sebesar 4, Koperasi sebesar 2
dan Pemegang HPH lama PT MJRT sebesar 49.