79 atau lokasi dari pasar. Perbedaan produktivitas ini menunjukkan bahwa apabila
penggunaan lahan tersebut berkembang ke lahan marginal, maka lahan intramarginal memperoleh rente pengembalian di atas ongkos produksi. Rente
ini, tidak seperti keuntungan, tidak dapat dihilangkan dengan menggunakan aturan mekanisme kompetisi karena ketersediaan lahan secara alami adalah
tetap. Kondisi surplus menggambarkan adanya peningkatan nilai lahan tersebut, walaupun tanpa ada sedikitpun korbanan dari pemiliknya. Kondisi surplus belum
menjamin akan terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat, bila rente tersebut bukan dimiliki masyarakat yang berada di daerah tersebut tetapi dimiliki
pihak lain yang mempunyai pengetahuan lebih tentang nilai rente tersebut. Akses terhadap surplus tersebut dicirikan oleh sifat inkompatibilitas dan kepemilikan
Pakpahan, 1989. Secara umum dapat dikatakan, sumberdaya lahan yang berada di areal
eks HPH PT MJRT tersebut memiliki nilai jual yang cukup tinggi seiring dengan meningkatnya harga jual kelapa sawit. Meningkatnya minat masyarakat maupun
pengusaha untuk melakukan usahatani kelapa sawit, secara langsung menyebabkan tingginya nilai jual lahan tersebut. Kondisi surplus ini dapat
memberikan dampak negatif bagi pengelolaan daerah penyangga, karena tidak sejalan dengan fungsi pengelolaan daerah penyangga sebagai perlindungan
terdepan bagi kawasan konservasi. Selain itu, masyarakat akan cenderung untuk ekstraktif dan melakukan konversi kawasan hutan menjadi lahan budidaya.
Situasi surplus dapat diatasi dengan penerapan zoning penetapan pembagian
suatu wilayahdaerah untuk peruntukan tertentu, namun tetap memerlukan policing cost yang cukup tinggi. Pakpahan 1989 menyarankan untuk
memberlakukan pajak untuk mengatasi situasi surplus ini.
4.10. Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS
4.10.1. Prioritas Fungsi Daerah Penyangga TNKS
Penentuan prioritas alternatif fungsi daerah penyangga TNKS didasarkan pada persepsi para aktor yang terlibat. Metode yang digunakan dalam penentuan
prioritas adalah metode Analytical Hierarchy Process AHP. Ketiga alternatif
fungsi daerah penyangga dimaksud sesuai dengan penelitian Basuni 2003 pada daerah penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.
Tabel 17 merupakan hasil analisis AHP yang menunjukkan tingkat kepentingan antar faktor dalam menentukan prioritas fungsi daerah penyangga TNKS.
80 Tabel 17. Hasil analisis prioritas fungsi daerah penyangga TNKS menggunakan
AHP
Tujuan Fungsi Daerah Penyangga
Nilai Prioritas
1. Sumber pendapatan masyarakat
0,650 1
2. Daerah perluasan habitat 0,236
2 Penentuan kebijakan
pengelolaan daerah penyangga
3. Daerah pelindung fisik TNKS 0,114
3 Berdasarkan persepsi para aktor terhadap fungsi daerah penyangga Tabel
17, secara normatif harus dipilih adalah: Pertama, fungsi daerah penyangga
sebagai sumber pendapatan masyarakat 65; kemudian Kedua, sebagai
daerah perluasan habitat 23,6; serta Ketiga, sebagai daerah pelindung fisik
bagi kawasan TNKS 11,4. Fungsi daerah penyangga sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat, sangat beralasan karena aktor mempunyai
pandangan apabila masyarakat sejahtera, maka tingkat aksesibilitas terhadap kawasan hutan menjadi berkurang. Selain itu, pemanfaatan hasil hutan oleh
masyarakat bukan hanya terbatas pada tegakan baca: kayu saja tetapi ada pemanfaatan lain yang dikenal dengan ”
non timber forest product” seperti lebah madu, bambu, rotan dll.
Faktor lain yang mempengaruhi tinggi persepsi pemanfaatan daerah penyangga sebagai sumber pendapatan masyarakat, karena di eks HPH PT
MJRT banyak terdapat kebun milik masyarakat yang telah menghasilkan sehingga menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Kondisi demikian merupakan
pandangan secara umum terhadap kawasan hutan pada negara yang sedang berkembang, dimana lebih mementingkan tingkat kesejahteraan masyarakat
terlebih dahulu. Pemahaman seperti ini tidaklah salah, namun yang perlu diperhatikan bahwa pemanfaatan daerah penyangga tidak harus dengan
mengkonversi hutan, terutama pada daerah yang berbatasan langsung dengan TNKS. Berdasarkan persepsi para aktor dalam pengelolaan daerah penyangga
TNKS ini, perlu adanya inovasi kelembagaan yang mengatur antar masyarakat dengan daerah penyangga TNKS. Salah satunya adalah upaya-upaya
pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan penggunaan lahan di daerah penyangga TNKS mebutuhkan kelembagaan formal dan informal yang mengatur interaksi
stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan daerah tersebut. Kebijakan dan kelembagaan
81 merupakan dua aspek yang sulit dipisahkan. Kebijakan pengelolaan daerah
penyangga TNKS perlu dilandasi oleh kelembagaan yang optimal. Menurut Basuni 2003 kelembagaan tersebut harus merupakan aturan main yang
fleksibel dan secara sosial diterima dalam hubungannya dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya yang langka, jaminan pendapatan dan pekerjaan,
pemeliharaan biodiversitas; dan karenanya penggunaan lahan di sekitar dan berbatas dengan kawasan konservasi harus berfungsi sebagai ruang hidup dan
bekerja secara sosial, ekonomi dan ekologi berkelanjutan. Implikasi-implikasi sosial ekonomi dari bentuk-bentuk penggunaan sumberdaya yang berbeda, serta
pengaruh-pengaruh kebijakan yang mikro dan makro pada cara hidup penduduk di daerah penyangga, harus menjadi perhatian. Untuk merubah prilaku
stakeholders tersebut dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah penyangga perlu dilakukan perubahan terhadap kelembagaan yang mengaturnya. Menurut
Pakpahan 1989 perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur-unsur kelembagaan seperti:
property rights, batas yurisdiksi dan aturan representasi. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan alternatif kebijakan
pengelolaan daerah penyangga dilihat dari perspektif kelembagaan.
4.10.2. Alternatif Kebijakan Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS