78 Dampak negatif dan positif yang ada tidak hanya terbatas pada
sekelompok orang yang melakukan konversi lahan, tetapi masyarakat yang terdapat di sekitar merasakan dampaknya. Terjadinya konflik gajah-manusia
bukan hanya terjadi pada areal yang terdapat di dalam eks HPH, tetapi bisa terjadi pada kawasan pemukiman penduduk. Terjadinya banjir besar pada tahun
1999 di Sungai Seblat yang merusak beberapa unit jembatan dan merendam pemukiman penduduk tanpa dapat memilah masyarakat yang berkebun dan
tidak berkebun. Tersedianya jasa ojek untuk mengangkut hasil perkebunan kelapa sawit merupakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat yang tinggal
di daerah penyangga TNKS merupakan salah satu dampak positif adanya pembukaan kebun tersebut. Areal eks HPH PT MJRT merupakan barang milik
publik public goods sehingga harus dikelola oleh pemerintah. Alternatif
kelembagaan akan menentukan siapa menanggung memperoleh apa berapa banyak.
4.9.4. Inkompatibilitas Incompatibility
Menurut Pakpahan 1989 dua atau tiga aktivitas dikatakan memiliki sifat inkompatibilitas apabila satu aktivitas yang dipilih, karena adanya persyaratan
tertentu, maka aktivitas lainnya tidak dapat disertakan. Dengan demikian satu aktivitas secara lengkap mengeluarkan atau bahkan meniadakan aktivitas
lainnya. Adanya pembukaan lahan perkebunan dan ladang oleh perusahaan maupun masyarakat di daerah penyangga TNKS menyebabkan kegiatan lain
menjadi inkompatibel, karena beberapa fungsi hutan menjadi tidak dapat dipenuhi. Perubahan fungsi hutan akan menyebabkan meniadakan fungsi
lainnya yang tidak sesuai dengan fungsi daerah penyangga. Secara umum, masyarakat mempunyai preferensi untuk mengkonversi kawasan hutan menjadi
lahan pertanianperkebunan dibandingkan mempertahankan sebagai kawasan hutan. Situasi ini tidak sesuai dengan peruntukkan kawasan sebagai kawasan
hutan tetap. Salah satu faktor yang dapat mengendalikan situasi inkompatibilitas ini adalah faktor kepemilikan, walaupun tidak dapat mengendalikan karakteristik
lain seperti: ongkos eksklusi tinggi, ongkos transaksi, dan lain-lain.
4.9.5. Surplus
Hamparan lahan yang berbeda memiliki tingkat produktivitas yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh karakteristik inheren dari lahan seperti tingkat kesuburan
79 atau lokasi dari pasar. Perbedaan produktivitas ini menunjukkan bahwa apabila
penggunaan lahan tersebut berkembang ke lahan marginal, maka lahan intramarginal memperoleh rente pengembalian di atas ongkos produksi. Rente
ini, tidak seperti keuntungan, tidak dapat dihilangkan dengan menggunakan aturan mekanisme kompetisi karena ketersediaan lahan secara alami adalah
tetap. Kondisi surplus menggambarkan adanya peningkatan nilai lahan tersebut, walaupun tanpa ada sedikitpun korbanan dari pemiliknya. Kondisi surplus belum
menjamin akan terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat, bila rente tersebut bukan dimiliki masyarakat yang berada di daerah tersebut tetapi dimiliki
pihak lain yang mempunyai pengetahuan lebih tentang nilai rente tersebut. Akses terhadap surplus tersebut dicirikan oleh sifat inkompatibilitas dan kepemilikan
Pakpahan, 1989. Secara umum dapat dikatakan, sumberdaya lahan yang berada di areal
eks HPH PT MJRT tersebut memiliki nilai jual yang cukup tinggi seiring dengan meningkatnya harga jual kelapa sawit. Meningkatnya minat masyarakat maupun
pengusaha untuk melakukan usahatani kelapa sawit, secara langsung menyebabkan tingginya nilai jual lahan tersebut. Kondisi surplus ini dapat
memberikan dampak negatif bagi pengelolaan daerah penyangga, karena tidak sejalan dengan fungsi pengelolaan daerah penyangga sebagai perlindungan
terdepan bagi kawasan konservasi. Selain itu, masyarakat akan cenderung untuk ekstraktif dan melakukan konversi kawasan hutan menjadi lahan budidaya.
Situasi surplus dapat diatasi dengan penerapan zoning penetapan pembagian
suatu wilayahdaerah untuk peruntukan tertentu, namun tetap memerlukan policing cost yang cukup tinggi. Pakpahan 1989 menyarankan untuk
memberlakukan pajak untuk mengatasi situasi surplus ini.
4.10. Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS