Alternatif Kebijakan Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS

81 merupakan dua aspek yang sulit dipisahkan. Kebijakan pengelolaan daerah penyangga TNKS perlu dilandasi oleh kelembagaan yang optimal. Menurut Basuni 2003 kelembagaan tersebut harus merupakan aturan main yang fleksibel dan secara sosial diterima dalam hubungannya dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya yang langka, jaminan pendapatan dan pekerjaan, pemeliharaan biodiversitas; dan karenanya penggunaan lahan di sekitar dan berbatas dengan kawasan konservasi harus berfungsi sebagai ruang hidup dan bekerja secara sosial, ekonomi dan ekologi berkelanjutan. Implikasi-implikasi sosial ekonomi dari bentuk-bentuk penggunaan sumberdaya yang berbeda, serta pengaruh-pengaruh kebijakan yang mikro dan makro pada cara hidup penduduk di daerah penyangga, harus menjadi perhatian. Untuk merubah prilaku stakeholders tersebut dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah penyangga perlu dilakukan perubahan terhadap kelembagaan yang mengaturnya. Menurut Pakpahan 1989 perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur-unsur kelembagaan seperti: property rights, batas yurisdiksi dan aturan representasi. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan alternatif kebijakan pengelolaan daerah penyangga dilihat dari perspektif kelembagaan.

4.10.2. Alternatif Kebijakan Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS

Paparan terhadap berbagai aspek pada bagian terdahulu mengungkapkan berbagai faktor internal kekuatan dan kelemahan dan faktor eksternal peluang dan ancaman bagi pengelolaan daerah penyangga ke depan. Pada bagian ini akan dijelaskan alternatif kebijakan pengelolaan daerah penyangga TNKS yang didasarkan atas faktor eksternal dan internal daerah penyangga tersebut. Dalam hal ini analisis dilakukan dengan pendekatan SWOT. Berdasarkan situasi pengelolaan areal eks HPH PT MJRT daerah penyangga TNKS sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka didapat beberapa faktor eksternal dan internal untuk pengelolaan daerah penyangga sebagai berikut: Faktor Internal-Kekuatan strengths Adanya kompatibilitas dalam penggunaan lahan pada daerah penyangga merupakan faktor kekuatan strengths dalam pengelolaan daerah penyangga TNKS. Untuk mendukung faktor kekuatan ini harus dilakukan penetapan hak kepemilikan property rights atas lahan. Beberapa hal yang menunjukkan adanya kompatibilitas pengelolaan daerah penyangga antara lain: 82 1. Penggunaan areal sebagai lahan perkebunan kelapa sawit. Secara umum masyarakat mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian perkebunan kelapa sawit. Adapun luas penguasaan lahan usahataninya berkisar antara 3-9 ha per KK. Sektor pertanianperkebunan merupakan sumber pendapatan utama masyarakat di daerah penyangga tersebut. Perkebunan kelapa sawit dapat kompatibel dengan pengelolaan daerah penyangga, karena dapat berfungsi yang mirip dengan hutan dan juga merupakan sumber pendapatan masyarakat. 2. Terdapat Pusat Latihan Gajah PLG Seblat yang merupakan kawasan hutan dengan fungsi khusus dan memiliki kepastian hukum; Salah satu satwaliar yang terdapat di daerah ini adalah Gajah Sumatera Elephas maximus sumatrensis, tetapi mendapat tekanan dengan adanya pembukaan lahan hutan yang dapat mengurangi habitatnya. Dampak lebih lanjut dapat menurunkan kualitas dan kuantitas satwaliar tersebut. Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah membuat kebijakan dengan mendirikan Pusat Latihan GajahPLG Seblat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 658Kpts-II1995. Berdasarkan SK tersebut ditetapkan kawasan hutan dengan luas 6.865 ha sebagai kawasan dengan fungsi khusus. Seperti diketahui bahwa sebagian besar kawasan hutan dengan fungsi khusus tersebut merupakan wilayah eks HPH PT MJRT. Keberadaan kawasan dengan fungsi khusus menjadi peluang karena adanya ketetapan yang mengatur sehingga kebijakan pengelolaan menjadi lebih sesuai dan terarah. Situasi ini menggambarkan bahwa pengelolaan PLG Seblat kompatibel sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi TNKS. Situasi kompatibel tersebut dapat menyelsaikan permasalahan, karena pengelolaan kawasan tersebut mempunyai kelembagaan yang jelas. Faktor Internal-Kelemahan weaknesses Situasi pengelolaan daerah penyangga dicirikan ongkos eksklusi tinggi high cost exclusion. Situasi ini dapat diatasi dengan mempersempit batas yurisdiksi dalam pengelolaannya. Dengan demikian diperlukan adanya distribusi property rights atas sumberdaya lahan yang ada. Beberapa hal yang menunjukkan ongkos eksklusi tinggi dalam pengelolaan daerah penyangga antara lain: 1. Kurangnya sosialisasi pengelolaan daerah penyangga kepada masyarakat. Hal terlihat dari masih relatif rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat 83 tentang taman nasional, kegiatan yang dapat dilakukan dan dilarang di daerah penyangga. Situasi ini menggambarkan ongkos eksklusi tinggi dalam pengelolaan daerah penyangga. Ongkos eksklusi tinggi dapat diatasi dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Masyarakat akan berpartisipasi secara aktif apabila mempunyai persepsi yang baik untuk mendukung upaya pengelolaannya. Dengan demikian, upaya awal untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya kawasan hutan. 2. Belum adanya legalitas sebagai daerah penyangga. Penetapan atas daerah penyangga kawasan konservasi dilakukan oleh Menteri. Eks HPH PT MJRT merupakan kawasan hutan produksi tetap, namun sejak izin konsesinya dicabut belum ada rencana pengelolaan yang jelas. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 57 tahun 2002, bahwa rencana pengelolaan areal tersebut akan diatur lebih lanjut namun kenyataannya hingga saat ini belum terdapat aturan yang jelas yang mengatur pengelolaannya. Belum adanya legalitas dalam pengelolaan daerah tersebut dapat menyebabkan kerusakan sumberdaya kawasan tersebut. Faktor Eksternal-Peluang Opportunities Adanya berbagai konvensi internasional untuk melindungi keanekaragaman hayati dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku memberikan peluang dalam pengelolaan daerah penyangga. Dengan demikian diperlukan penegakan hukum law enforcement. Beberapa hal yang menunjukkan adanya peluang dalam pengelolaan daerah penyangga antara lain: 1. Peningkatan kepedulian stakeholders yang terkait dengan masalah lingkungan; Gajah sumatera merupakan salah satu mamalia besar yang terancam punah karena kerusakan habitatnya. Adanya aktivitas perambahan hutan dan illegal logging mempercepat terjadinya kerusakan habitatnya. Dampak lebih lanjut dapat menimbulkan konflik satwaliar dengan manusia yang telah terjadi akhir-akhir ini. Untuk mengurangi konflik dan mengurangi laju kerusakan hutan telah dilakukan monitoring oleh Tim Conservation Response Unit CRU. Tim ini terbentuk atas kerjasama antara Fauna dan Flora Indonesia FFI, International Elephant Foundation IEF dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA Bengkulu. Situasi pengelolaan eks HPH PT MJRT yang mempunyai ongkos transaksi sebagai ongkos pelaksanaan dan pemantauan kontrak. Dengan adanya kepedulian stakeholders tersebut dapat mengurangi ongkos transaksi tersebut. 84 2. Banyak lembaga donor negara donor yang ingin membantu kegiatan konservasi keanekaragaman hayati; Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Hal ini memberikan peluang untuk memanfaatkan negara donor yang mempunyai kepedulian terhadap keanekaragaman hayati. Adanya konvensi tentang keanekaragaman hayati Convention on Biological DeversityCBD dapat mengurangi transaction cost. Faktor Eksternal-Ancaman Threats Sumberdaya pada daerah penyangga dicirikan adanya kondisi surplus dan hampir seperti sumberdaya yang open acces. Situasi demikian merupakan ancaman dalam pengelolaan daerah penyangga TNKS. Untuk mengatasi situasi ini diperlukan adanya zoning dan penguatan property rights atas sumberdaya di daerah penyangga tersebut. Beberapa hal yang merupakan ancaman dalam pengelolaan daerah penyangga antara lain: 1. Ancaman kerusakan sumberdaya hutan; Berbagai aktivitas di daerah tersebut terutama perambahan hutan dan pembalakan liar merupakan ancaman serius yang dapat merusak kawasan tersebut. Kegiatan ekstraktif berupa pembukaan areal perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat sekitar. Hasil survai menunjukkan bahwa hampir semua KK contoh melakukan usahatani perkebunan. Situasi surplus pada daerah tersebut dengan meningkatnya nilai lahan untuk perkebunan kelapa sawit, menyebabkan meningkatnya tingkat konversi lahan menjadi non kehutanan. Hal ini merupakan ancaman bagi kawasan konservasi. Namun situasi surplus dapat diatasi dengan pemberlakuan zoning pengelolaan daerah penyangga tersebut. 2. Dualisme pemanfaatan kawasan. Eks HPH PT MJRT merupakan kawasan hutan produksi dengan kepemilikan negara. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, eks HPH berupa kawasan hutan diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Namun hingga saat ini bidang kehutanan mengalami kesulitan dalam menyerahkan pengelolaan kepada daerah. Belum tersedianya sumberdaya dan berbagai kepentingan lain merupakan salah satu alasan belum diserahkannya kewenangan pengelolaan kawasan hutan kepada daerah. Disisi lain, dengan adanya otonomi daerah menggiring pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahPAD. Berbagai kasus justru menunjukkan bahwa 85 kebijakan pemerintah daerah justru lebih mementingkan peningkatan PAD dibandingkan kepentingan konservasi jangka panjang. Dengan demikian dapat menyebabkan adanya perbedaan dalam pemanfaatan kawasan antara pemerintah daerah dan pusat. Situasi ini dapat menyebabkan kerusakan sumberdaya tersebut karena tidak jelasnya kepemilikannya. 3. Kondisi sumberdaya hampir seperti open access. Kemudahan akses daerah menyebabkan meningkatnya kegiatan ekstraktif yang dapat menyebabkan kerusakan sumberdaya tersebut. Situasi ini dapat memunculkan rent seeker pada daerah tersebut. Berdasarkan uraian faktor internal dan eksternal di atas, secara ringkas dapat disajikan pada Tabel 18 berikut. Tabel 18. Matriks SWOT Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL Kekuatan Strengths Peluang Opportunities S 1 . Penggunaan areal sebagai lahan perkebunan kelapa sawit O 1 . Peningkatan kepedulian stakeholders yang terkait dengan masalah lingkungan. S 2 . Terdapat Pusat Latihan Gajah PLG Seblat yang merupakan kawasan hutan dengan fungsi khusus dan memiliki kepastian hukum. O 2 . Banyak lembaga donor negara donor yang ingin membantu kegiatan konservasi keanekaragaman hayati Indonesia. Kelemahan Weaknesses Ancaman Threats W 1 . Kurangnya sosialisasi pengelolaan daerah penyangga kepada masyarakat. T 1 . Ancaman kerusakan sumberdaya. T 2 . Dualisme pemanfaatan kawasan. W 2 . Belum adanya legalitas sebagai daerah penyangga T 3 . Kondisi sumberdaya hampir seperti open access. Dari matriks SWOT Tabel 18 dan hasil perhitungan bobot dan nilai Lampiran 3, hasil SWOT dapat ditampilkan dalam gambar kuadran. Pada Gambar 8 diketahui bahwa alternatif pengelolaan daerah penyangga TNKS berada pada kuadran I pada domain kekuatan dan peluang yang merupakan strategi agresif. 86 Gambar 8. Domain analisis faktor internal dan eksternal Pada Gambar 8, strategi agresif pada kuadran I merupakan alternatif kebijakan jangka pendek pengelolaan daerah penyangga TNKS yang dapat memaksimalkan kekuatan strength untuk memanfaatkan peluang opportunities. Berikut disajikan tabel alternatif kebijakan terpilih pengelolaan daerah penyangga TNKS yang merupakan sintesa dari faktor-faktor internal dan eksternal dari matriks SWOT. Dari alternatif kebijakan terpilih Tabel 19 dipilih alternatif kebijakan yang didasarkan sintesa Strategi S-O, karena terkait dengan domain faktor tersebut yang terdapat pada kuadran I strategi agresif. Untuk menentukan prioritas alternatif kebijakan tersebut dilakukan perankingan berdasarkan unsur-unsur penyusunnya Lampira 4. Kuadran III Strategi defensif Kuadran II Strategi diversifikasi Kuadran I Strategi agresif Kuadran IV Strategi turn around -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 Ancaman Peluang Kekuatan Kelem ahan 87 Tabel 19. Alternatif kebijakan terpilih pengelolaan daerah penyangga TNKS berdasarkan analisis SWOT Strategi S – T Strategi W – O Strategi S – O Strategi W – T Mengembangkan sistem reward and punishment S 1 , T 2,3 Pendampingan masyarakat lembaga lain LSM, PT swasta W 1 , O 1 Penguatan property rights atas lahan S 2 , O 1,2 Melakukan penyuluhan dan sosialisasi W 1 , T 1,2 Menghukum pelaku perusak lingkungan S 2 , T 1 Membuat tapal batas daerah penyangga TNKS dengan jelas W 2 , O 2 Mengembangkan agroforestri Agroforestry S 2 , O 1 Kaderisasi dan pendekatan secara persuasif W 1, 2 , T 2,3 Meningkatkan koordinasi antar stakeholders S 2 , T 2 Membangun institusi lokal dalam pengelolaan daerah penyangga S 1 , O 1,2 Memberdayakan pemimpin informal yang dianggap mampu W 1 , T 1,3 Pemberdayaan ekonomi produktif masyarakat melalui ecoturism S 1 , 2 , O 1 Berikut akan dijelaskan masing-masing alternatif kebijakan tersebut dengan dilihat dari perspektif unsur-unsur kelembagaan: 1. Penguatan property rights atas lahan Kejelasan kepemilikan diperlukan untuk mengatur hak dan kewajiban pemegang hak. Dengan demikian masyarakat dapat berperan aktif menjaga daerah tersebut. Kenyataan di lapangan faktor kepemilikan lahan tidak jelas, sehingga terlihat seperti sumber daya open acces yang dapat mempercepat kerusakan sumberdaya. Menurut Pakpahan 1989 konsep kepemilikan property muncul dari konsep hak rights dan kewajiban obligations yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsesus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Property rights bukan hanya hak yang bersumber dari peraturan perundangan yang berlaku atau hukum positif, tetapi juga hak yang ditetapkan bersama dalam suatu kelompok masyarakat lokal. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bahwa eks HPH PT MJRT merupakan kawasan hutan dengan kepemilikan negara state property. Masyarakat yang memiliki dan membuka lahan pada eks HPH tersebut, secara hukum merupakan pemilikan ilegal, karena tidak memiliki 88 bukti kepemilikan atas lahan yang digarap. Izin pemanfaatan kawasan hutan dan konversi lahan harus persetujuan Menteri Kehutanan. Menurut Kartodihardjo 2006b bahwa penetapan hak secara tepat merupakan kunci sukses dari pengelolaan sumberdaya alam. Ketepatan hak yang dimaksud juga mencakup keselarasan antara hak dan kewenangan lembaga lokal serta hak dan kewenangan pemerintah. Disamping itu undang- undang dan peraturan lainnya harus dapat dilaksanakan dengan ongkos transaksi semurah mungkin. Lebih lanjut dijelaskan secara umum dijelaskan hak-hak yang terlibat berdasarkan posisi kelompok masyarakat antara lain: a memasuki dan memanfaatkan acces and withdrawal; b menentukan bentuk pengelolaan management; c menetukan keikutsertaan mengeluarkan pihak lain exclusion; dan d dapat memperjual-belikan hak alienation. Sumberdaya daerah penyangga TNKS merupakan kepemilikan pemerintah, sehingga semua hak yang melekat ada di tangan pemerintah. Kondisi demikian menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan, karena pemerintah tidak mampu membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya tersebut. Kepemilikan pemerintah tersebut, secara de facto tidak diakui oleh masyarakat. Untuk itu diperlukannya penguatan terhadap property rights atas lahan di daerah penyangga TNKS. Kebijakan ini termasuk pendekatan insentif. Penguatan property rights atas sumberdaya langka menyangkut pengeluaran pihak-pihak lain dari penggunaan sumberdaya langka tersebut. Pada dasarnya property rights yang jelas, aturan-aturannya ditegakkan secara konsekuan, serta ongkos transaksi pemberian hak itu nol, lahan akan mendapat nilai penggunaannya paling tinggi Eggertsson dalam Basuni, 2003. Jika pelaksanaan hak didukung secara konsisten oleh negara, nilai asset yang dimiliki perorangan meningkat yang akhirnya membentuk fondasi bagi terjadinya transaksi pasar. Ongkos pelaksanaan hak-hak eksklusif akan berkurang jika publik secara umum mempunyai norma-norma sosial yang bertepatan dengan struktur dasar property rights yang ditegakkan oleh negara. Permasalahan pengelolaan eks HPH PT MJRT sebagai daerah penyangga TNKS adalah tidak diakuinya hak kepemilikan negara atas kawasan tersebut oleh masyarakat. Individu dan kelompok masyarakat membuat struktur property rights sendiri yang berlawanan dengan dengan 89 yang dibuat pemerintah. Situasi demikian berakibat pada tingginya ongkos transaksi pemberian hak-hak eksklusif sehingga sangat membatasi pelaksanaannya, termasuk kepemilikan eksklusif negara. Saat ini situasi surplus telah menyebabkan lahan di eks HPH seperti sumberdaya yang bersifat open acces. Hal ini menyebabkan terjadinya prilaku rent seeking 6 , sehingga berdampak pada alokasi sumberdaya yang tidak efisien. Dalam kaitan inilah pemerintah harus segera berperan dengan mengambil tindakan dengan membuat kebijakan publik, serta menjaga fungsi lingkungan dan sosial daerah penyangga TNKS, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan daerah penyangga TNKS harus melibatkan masyarakat lokal sekitar, sehingga adanya kejelasan property rights lahan hutan dan pengukuhan hutan negara. Pada akhirnya masyarakat mengakui secara hukum de jure dan secara kenyataan di lapangan de facto atas status lahan. Pengakuan ini terkait dengan dukungan masyarakat dalam mengelola suatu kawasan. Terkait dengan pengelolaan eks HPH PT MJRT sebagai daerah penyangga TNKS seyogyanya melibatkan berbagai stakeholders yang ada. Keadaan masyarakat yang tinggal di desa sekitar hutan umumnya berpendidikan rendah dan mempunyai ketergantungan yang tinggi terhdap hutan. Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku bahwa daerah penyangga dapat berupa kawasan hutan lain, sehingga keberadaan kawasan hutan harus tetap dipertahankan dan atau setidaknya dapat berfungsi sebagai kawasan hutan. Eks HPH PT MJRT merupakan kawasan dengan kepemilikan publik sehingga perlu adanya pengaturan dan pengendalian agar mampu mengendalikan perilaku stakeholders agar sejalan dengan tuntutan keberadaan dan kelestarian fungsi hutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguatan property right pengelolaan daerah penyangga dengan memberikan hak dengan status pemilik yang terikat propietor. Dengan demikian kelompok masyarakat memiliki strata hak memiliki dan memanfaatkan, menentukan keikutsertaan mengeluarkan pihak lain dan memperjualbelikan, namun tidak dapat memiliki hak untuk menentukan bentuk pengelolaan areal tersebut. 6 Rent seeking is defined as attempts by individuals to increase their personal wealth at the same time making a negative contribution to the net wealth of their community Eggertson, 1992 dalam Basuni, 2003 90 Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam baca: hutan, satu hal yang penting adalah penentuan hak kepemilikan. Dengan ketegasan property rights dan pengakuan sistem tenurial tersebut sebagai sumber kekuatan yang mengatur hak dan kewajiban serta tanggung jawab terhadap sumberdaya hutan tersebut. Hak kepemilikan merupakan sumber legitimasi hukum untuk memperoleh dukungan yang sebesar-besarnya dari masyarakat setempat. Dengan demikian diharapkan pengelolaan hutan yang memenuhi azas keadilan, keterbukaan, keterpaduan, dan kelestarian juga sesuai dengan kebutuhan pengelolaan hutan yang lebih berorientasikan pada kekuatan yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. 2. Membangun institusi lokal dalam pengelolaan daerah penyangga Penguatan institusi lokal merupakan salah satu bentuk transfer hak dari pemerintah kepada masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mempersempit batas yurisdiksi dan peran pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Namun dapat mengacu pada aturan-aturan formal yang berlaku, sehingga dalam menentukan bentuk pengelolaan kawasan dapat mendukung fungsi daerah penyangga. Kontrak pelaksanaan transfer hak tersebut tidak memerlukan struktur organisasi formal seperti yang telah ditetapkan oleh Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 660.1269VBangda tahun 1999 tentang Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional. Dengan adanya transfer hak tersebut ongkos transaksi akan lebih murah, karena biaya pemantauan dan pelaksanaan policing cost dalam pengelolaan daerah tersebut lebih murah. Bentuk kontrak yang umum terjadi adalah dalam bentuk principal-agent antara pemerintah sebagai pihak pemberi hak dan masyarakat sebagai pihak yang melaksanakannya. Terkait dengan property rights seperti telah dijelaskan di atas, aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian aturan representasi mempengaruhi ongkos membuat keputusan. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme yang efisien, dalam arti menurunkan ongkos transaksi. Sehubungan dengan aturan representasi bagi pengelolaan daerah penyangga TNKS, maka pembinaan daerah penyangga harus menjadi tugas pemerintah, namun sejak adanya otonomi, tugas pembantuan tersebut diserahkan kepada daerah kabupaten. Sesuai dengan peraturan yang 91 berlaku, tugas tersebut harus disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia. Pemerintah daerah dapat melakukan dengan didukung berbagai stakeholder terkait lainnya. Selain itu dapat memanfaatkan kelembagaan yang aktif pada tingkat desa. Dengan demikian dapat lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan. Kelembagaan yang terdapat di desa mempunyai peranan besar dalam mempengaruhi prilaku masyarakat, karena adanya ketaatan pada kelembagaan dengan kelompok masyarakat yang lebih kecil dan homogen. Masyarakat yang tinggal di daerah penyangga mempunyai perasaan sebagai satu masyarakat sense of community cukup tinggi terutama pada desa-desa non transmigrasi. Hal ini dikarenakan masyarakat umumnya telah hidup bersama secara turun-temurun dalam ikatan kekeluargaan, sehingga nilai-nilai tradisional dan adat-istiadat menjadi aturan informal yang berlaku informal rules. Dengan demikian berbagai kearifan masih menjadi pegangan masyarakat dalam kaitannya pemanfaatan sumberdaya alam. 3. Mengembangkan agroforestri agroforestry Penggunaan lahan sebagai agroforestry wanatani dilakukan untuk mengatasi situasi surplus, inkompatibel, ongkos transaksi tinggi dan sebagainya. Seperti telah diuraikan sebelumnya, situasi surplus dapat diatasi dengan penerapan zoning yang ketat, dalam hal ini dengan mengembangkan agroforesty sehingga adanya kesesuaian pemanfaatan kawasan sebagai perlindungan kawasan konservasi. Terutama pada kawasan yang berdekatan dengan kawasan taman nasional. Dengan demikian diharapkan kawasan yang masih berhutan tidak terjadi perubahan tutupan lahan berupa kawasan hutan. Penetapan zoning secara ketat dengan berbagai peruntukan dengan tetap mempertahankan sebagai kawasan hutan,namun untuk kawasan non kehutanan tidak dibiarkan sebagai lahan terbuka. Agroforestry secara sederhana berarti menanam pepohonan di lahan pertanian. Di Indonesia sistem agroforestry telah lama dikembangkan oleh masyarakat. Menurut De Foresta dan Michon 1997 dalam Hairiah et al 2003, agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem 92 agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Sedangkan sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon berbasis pohon baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat liana, tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest ICRAF, 1996 dalam Hairiah et al, 2003. Menurut Hairiah et al 2003 ditinjau dari letaknya, agroforest biasanya berada di tepian hutan forest margin atau berada ditengah-tengah antara sistem pertanian dan hutan. Berdasarkan uraian di atas, semua agroforest memiliki ciri utama yaitu tidak adanya produksi bahan makanan pokok. Namun sebagian besar kebutuhan petani yang lain tersedia pada sistem ini, misalnya makanan tambahan, persediaan bahan bangunan dan cadangan pendapatan tunai yang lain. Lebih lanjut dijelaskan Hairiah et al 2003, ada beberapa manfaat penerapan sistem agroforestri bagi beberapa pihaksudut pandang: 1 agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat- guna, sesuai dengan keadaan petani. Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama agroforest bukanlah produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Agroforest mampu menyumbang 50 hingga 80 pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsungnya maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan pemasaran hasilnya; 2 keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain yang lebih luas; 3 pemanenan hasil hutan non-kayu merupakan pengembangan sumberdaya yang dapat mendukung konservasi hutan 93 karena mengakibatkan kerusakan yang lebih kecil dibandingkan dengan pemanenan kayu; 4 agroforest memainkan peran penting dalam pelestarian sumberdaya hutan baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya yang khas. Agroforest menciptakan kembali arsitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro, dan di dalam habitat mikro ini sejumlah tanaman hutan alam mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Dalam kaitan ini diperlukan adanya pemberdayaan dan pendampingan yang intensif. Kebijakan tersebut berupaya untuk melibatkan masyarakat di sekitar daerah penyangga agar ikut serta dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Hal ini merupakan langkah awal dan juga merupakan koreksi terhadap kebijakan pengelolaan hutan oleh negara yang selama ini telah dilakukan. 4. Pemberdayaan ekonomi produktif masyarakat melalui ecoturism Permasalahan utama pada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan adalah relatif rendahnya tingkat pendapatan. Pilihan-pilihan yang dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi adalah melakukan usahatani dan memanfaatkan hasil hutan. Adanya keterbatasan sumberdaya alam mengharuskan adanya perubahan sumber pendapatan masyarakat. Sesuai dengan fungsi daerah penyangga sebagai sumber pendapatan masyarakat, sehingga diperlukan upaya-upaya alternatif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan sumberdaya alam tanpa harus melakukan kerusakan. Ecoturism ekowisata merupakan salah satu industri yang berkembang pesat dan menjadi pilihan yang tepat untuk dikembangkan di daerah penyangga TNKS. Ecoturism adalah pengelolaan suatu kawasan sebagai objek wisata alam, namun tidak mengabaikan aspek-aspek alaminya. Pengembangan ecoturism ini adalah upaya untuk menciptakan kebiasaan baru internalized habits. Upaya ini untuk mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat akan sumberdaya alam sebagai lahan usahataninya. Tersedianya kawasan hutan dengan fungsi khusus Pusat Latihan Gajah PLG Seblat pada daerah tersebut dapat dikelola bersama masyarakat memberikan peluang bagi peningkatan ekonomi produktif masyarakat. Pada beberapa lokasi dalam kawasan terdapat air terjun yang merupakan potensi untuk pengembangan objek wisata. Selain itu daerah tersebut merupakan sering dijumpai dan merupakan tempat tumbuhnya 94 bunga raksasa Raflesia Arnoldi. Pengembangan ekowisata sejalan dengan program Provinsi Bengkulu untuk menjadikan salah satu tujuan wisata internasional. Dengan demikian masyarakat dapat memanfaatkan peluang berusaha pada sektor jasa tersebut.

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik antara lain: 1 Kinerja pengelolaan areal eks HPH PT MJRT daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat kurang baik, karena tutupan hutan berupa hutan primer yang tersisa sekitar 30; 2 Kondisi areal eks HPH hampir terlihat sebagai sumberdaya open access, pada beberapa lokasi telah terjadi konversi menjadi lahan perkebunan dan ladang masyarakat; 3 Belum terdapat kebijakan dan aturan yang jelas atas pengelolaan daerah penyangga TNKS dan beberapa aturan formal yang ada tidak mampu menjadi kontrak atas pengelolaan areal tersebut; 4 Tingginya tingkat ketergantungan masyarakat pada daerah penyangga, ongkos pelaksanaan kontrak pengelolaan areal tersebut bila dilakukan oleh pemerintah sangat tinggi; 5 Sebagai daerah penyangga TNKS, pengelolaan eks HPH PT MJRT harus berfungsi sebagai sumber pendapatan masyarakat; 6 Beberapa alternatif kebijakan yang dapat dilakukan adalah: a penguatan property rights; b membangun institusi lokal; c mengembangkan agroforestry; dan d pemberdayaan ekonomi produktif.

5.2. Saran

Mengingat strategisnya fungsi daerah penyangga sebagai pelindung bagi Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS, maka pemerintah harus segera menetapkan zona penyangganya. Untuk keperluan pengembangan ekonomi daerah dan mata pencaharian masyarakat sekitar hutan agar masyarakat tidak merambah ke daerah yang masih berhutan dan berbatasan dengan taman nasional. Oleh karenanya perlu dibuat model dan bentuk pemanfaatan hutan pada daerah penyangga dengan melibatkan masyarakat sekitar namun tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Pada kawasan hutan alam agar tetap dipertahankan tutupannya, sedangkan pada kawasan hutan sekunder dapat dimanfaatkan dalam bentuk agroforestry dengan pemanfaatan yang terbatas.