Persepsi Masyarakat tentang Daerah Penyangga TNKS

71 seperti: timex, acodant, dll. Tindakan seperti ini sangat mengancam kelestarian, karena dapat membunuh berbagai spesies yang ada di air serta membunuh ikan yang masih kecil. 3 Hasil hutan non kayu lainnya Hasil hutan non kayu yang teridentifikasi antara lain adalah: madu, petai, jengkol. Pemanfaatan hasil hutan ini sangat tergantung dengan musim. Pengambilan madu biasanya dilakukan masyarakat pada saat musim bunga. Madu yang diambil dari hutan biasanya dijual seharga Rp. 15.000,00-20.000,00 per liter. Hasil hutan berupa petai dan jengkol juga dimanfaatkan masyarakat sebagai sayuran dan bila lebih banyak masyarakat akan menjualnya kepada penampung biasanya ada pada saat itu. Jengkol dijual dengan harga Rp. 10.000,00-15.000,00 per kaleng + 15 kg. Hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat sangat sulit untuk dikuantifikasi nilai dan jumlahnya, karena pemanfaatannya tidak dilakukan setiap hari biasanya insidental dengan harga yang bervariasi. Pemanfaatan hasil hutan skala kecil dengan teknologi tradisional tidak terlalu berpengaruh pada keanekaragaman hayati yang ada. Sejalan dengan hal ini, MacKinnon et al. 1993 mengemukakan bahwa salah satu tipe utama daerah penyangga adalah berupa daerah penyangga pemanfaatan tradisional di dalam kawasan, dimana kawasan semacam itu dapat memenuhi kebutuhan hasil hutan bagi masyarakat setempat, dan salah satu kegiatannya adalah mengumpulkan buah-buahan hutan dan madu asalkan tidak ditebang atau dibakar. Salah satu tujuan daerah penyangga adalah menyediakan beberapa sumber daya yang diperlukan penduduk seperti rumput, buah dan sebagainya dengan batasan-batasan pemanfaatan. Pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat berupa perburuan satwaliar dan penebangan tumbuhan yang dilindungi sangat sulit untuk dilakukan penegakan hukum karena kegiatan tersebut telah dilakukan oleh masyarakat sejak lama dan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat akan tindakan yang dilarang dilakukan dalam kawasan hutan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku akan dijelaskan pada bagian berikutnya.

4.8.3. Persepsi Masyarakat tentang Daerah Penyangga TNKS

Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap daerah penyangga TNKS diukur dengan persentase kepala keluarga contoh yang mengetahui beberapa indikator antara lain: pengetahuan responden tentang keberadaan TNKS, 72 keberadaan pal batas kawasan, kegiatan yang dilarang dan dapat dilakukan serta kegiatan patroli yang dilakukan oleh petugas keamanan jagawana. Berikut disajikan indikator-indikator pengetahuan kepala keluarga contoh dimaksud pada Tabel 15. Tabel 15. Persentase tingkat pengetahuan kepala keluarga contoh Wilayah Desa Indikator Satuan Pengukuran Non Transmigrasi Transmigrasi Gabungan Tingkat pengetahuan tentang keberadaan TNKS responden 44.00 32,00 38,00 Tingkat pengetahuan tentang pal batas responden 20,00 2,00 11,00 Tingkat pengetahuan tentang kegiatan patroli pengamanan responden 26.00 18,00 22,00 Tingkat pengetahuan tentang kegiatan yang dilarang di lakukan dalam kawasan hutan responden 26.00 10,00 18,00 Tabel 15 menyajikan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap daerah penyangga TNKS. Tingkat pengetahuan ini mempunyai implikasi pada pentingnya sosialisasi kepada masyarakat terhadap kawasan konservasi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan hanya sebagian kecil kepala keluarga contoh mengetahui tentang keberadaan TNKS 38, keberadaan pal batas dan kegiatan pengamanan serta kegiatan yang tidak boleh dilakukan pada kawasan hutan. Rendahnya tingkat pengetahuan kepala keluarga ini dikarenakan pemahaman terhadap kawasan konservasi masih rendah dan kemungkinan letak TNKS yang agak jauh. Selain itu, ada juga kepala keluarga contoh yang belum mengetahui adanya pal batas bagi kawasan konservasi dengan persentase sebesar 18. Kebijakan yang perlu dilakukan tentunya mengarah pada pemahaman masyarakat terhadap kawasan konservasi melalui pendekatan sosialisasi dan penyuluhan. Dengan demikian diharapkan masyarakat dapat menyadari pentingnya kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 pasal 20 ayat 2 jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi digolongkan dalam: a tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan; dan b tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang. 73 Selanjutnya pada pasal 21 ayat 1 menyatakan setiap orang dilarang untuk: a mengambil, menebang, memilki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian- bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; dan b mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa: setiap orang dilarang untuk: a menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, merusak, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi keadaan mati; c mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur danatau sarang satwa yang dilindungi. Sedangkan ketentuan pidana diatur pada pasal 40, ayat 2 barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 dan 2 serta pasal 33 ayat 3 dipidana dengan penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah; dan pasal 4 barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 dan 2 serta pasal 33 ayat 3 dipidana dengan penjara paling lama 1 satu tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah. Namun demikian, berdasarkan wawancara dengan kepala keluarga contoh hanya sebagain kecil saja 18 yang mengetahui adanya kegiatan yang dilarang dilakukan dalam kawasan hutan. Berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku hukuman pidana terhadap kegiatan pemanfaatan satwaliar yang dilindungi sangat berat. Dengan demikian, upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, sehingga dapat merubah persepsi terhadap kelestarian pemanfaatan hasil hutan menjadi salah satu prioritas yang harus dilakukan. Berikut disajikan persentase alasan perlunya pelestarian dan 74 penyebab kerusakan hutan di daerah penyangga TNKS berdasarkan pendapat KK contoh disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Alasan perlunya pelestarian dan penyebab kerusakan hutan daerah penyangga TNKS berdasarkan pendapat KK contoh No Alasan Non Transmigrasi Transmigrasi Gabungan I Perlunya Pelestarian: 1 Tempat Hidup satwaliar yang dilindungi 60,00 50,00 55,00 2 Agar tidak terjadi bencana alam 70,00 26,00 48,00 3 Adanya pemanfaatan hutan bukan kayu 30,00 24,00 27,00 II Penyebab Kerusakan Hutan: 1 Pembukaan kebun kelapa sawit 70,00 60,00 65,00 2 Adanya penebangan hutan ilegal 30,00 40,00 35,00 Berdasarkan Tabel 16 bahwa sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa sumberdaya alam yang ada di daerah penyangga TNKS perlu dijaga kelestariannya. Ada beberapa alasan menurut responden perlu dijaganya kelestarian SDA tersebut antara lain: 1 sebagai tempat hidup satwaliar; dan 2 agar tidak terjadi bencana alam seperti longsor dan banjir; serta 3 adanya pemanfaatan lain yang tidak hanya kayu seperti: lebah madu. Sebagian besar 55 kepala keluarga contoh menyatakan perlunya pelestarian daerah penyangga dikarenakan tempat hidup satwaliar yang dilindungi. Selain itu sebesar 60 kepala keluarga contoh juga mempunyai pendapat bahwa faktor utama penyebab kerusakan hutan adalah pembukaan perkebunan kelapa sawit dan adanya penebangan kayu secara ilegal.

4.9. Situasi Sebagai Sumber Interdependensi