46 suatu keadaan dimana pihak pengambil keputusan dan masyarakat berjalan
sendiri-sendiri. Batas-batas areal hutan dibuat hanya di atas kertas, atau bahkan ada pancang pal batasnya di dalam hutan, tetapi masyarakat tetap saja
melakukan aktivitasnya masuk areal hutan. Faktanya, partisipasi sosial dalam wujud ketaatan terhadap ketentuan tata batas formal tetap rendah, sementara
ikatan-ikatan tradisional dengan hukum adat terus semakin melonggar. Kecenderungan perubahan sosial yang terjadi lebih menggambarkan sebuah
keadaan masyarakat anomi, dimana sistem nilai dan norma yang lama berangsur ditinggalkan sedangkan pegangan nilai dan norma baru yang semestinya
disepakati bersama belum juga ditemukan. Secara umum ada dua jenis penggunaan atas eks areal HPH PT MJRT
yakni kawasan yang masih berhutan dan lahan pertanian milik masyarakat maupun perkebunan swasta. Berdasarkan analisis citra landsat akuisisi tahun
2005, luas areal perkebunan dan ladang mencapai 7.546 ha 16,06 sedangkan sisanya berupa semakbelukar seluas 1.960 ha 4,17, hutan bekas
tebangan seluas 23.409 ha 49,82 serta hutan primer seluas 14.071 ha 29,95.
4.4.2. Kondisi Tutupan Lahan
Kondisi tutupan lahan pada daerah penyangga TNKS sangat dinamis menjadi berbagai peruntukan. Kondisi tutupan lahan pada tahun 1988 sebagian
besar 60 persen lebih merupakan hutan lebat virgin forestVF. Seiring dengan
adanya kegiatan pemanfaatan hasil hutan, sehingga terjadi perubahan menjadi hutan semakbelukar, kebun, ladang, alang-alang dan lain-lain. Dengan
terjadinya perubahan tutupan yang berarti telah terjadi alih fungsi lahan konversi menjadi non kehutanan. Konversi lahan hutan menjadi tanah terbuka
dan lahan perkebunan peladangan masyarakat sejak HPH masih aktif
2
. Namun pemerintah tidak mampu untuk mengendalikannya. Sejak tahun 1988 hingga
2001 telah terjadi alih fungsi lahan yang cukup tinggi. Perubahan hutan lebat VF menjadi kebun dan ladang Gambar 5 dan 6.
Tingginya tingkat konversi lahan ini kemungkinan karena pada saat itu merupakan masa-masa berakhirnya izin konsesi oleh HPH PT MJRT.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan masyarakat saat
2
HPH aktif merujuk pada adanya kegiatan pegusahaan hutan oleh perusahaan swasta dan atau BUMN dengan izin prinsip dari pemerintah
47 ini 2006 rata-rata kebun kelapa sawit milik masyarakat dan perusahaan telah
menghasilkan. Umumnya kebun kelapa sawit mulai menghasilkan pada umur antara 3-4 tahun. Kondisi demikian menggambarkan bahwa alih fungsi lahan
telah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Terjadinya konversi lahan yang dilakukan oleh masyarakat dan juga perusahaan perkebunan karena lemahnya
pengawasan HPH pada saat izin konsesi. Hal ini menunjukkan kinerja perusahaan tidak baik dalam kaitannya pengamanan areal hutan. Salah satu
penyebab tingginya tingkat konversi lahan adalah ketidakjelasan status kepemilikan
property rights atas lahan.
5.000 10.000
15.000 20.000
25.000 30.000
Jum la
h H
a
Al an
g- ala
ng K
ebu n
La da
ng L.
K oso
ng H
. S ek
un de
r L O
A Se
m ak
B eluk
ar H.
L eb
at V
F
Jenis Land Cover
1988 2001
2003 2005
Gambar 5. Perubahan tutupan lahan land cover eks HPH PT MJRT
Gambaran secara rinci tentang kondisi terakhir tutupan lahan pada daerah penyangga TNKS berdasarkan analisis citra beberapa tahun liputan disajikan
pada Tabel 9. Selanjutnya, berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat TM band 542 hasil
liputan tahun 2000 yang dilakukan Tim Independent Concession Audits 2001,
dari luas areal HPH yang tersisa, sebagian besar berupa hutan bekas tebangan yang mencapai 55,40 sedangkan hutan primer seluas 38,52. Sedangkan
sisanya berupa lahan kosongtanah terbuka mencapai 6,08 yang merupakan
48 areal perluasan perkebunan kelapa sawit milik PT Alno Agro Utama PT AAU
yang terdapat di dalam areal hutan produksi terbatasHPT dan hutan produksi tetapHP. Tabel 9 menunjukkan bahwa penebangan hutan tersebut terjadi
walaupun izin konsesi HPH telah dicabut. Penebangan ini dilakukan secara ilegal dengan memanfaatkan jalan yang dibuat HPH dan juga melalui sungai. Pada
tahun 2001, luas hutan primer adalah 16.186 ha 34,45. Sedangkan hutan sekunder mencapai 22.518 ha 47,92. Terlihat bahwa adanya penambahan
jumlah hutan bekas tebangan seluas 1.984 ha 8,81 pada periode tahun 2001- 2003 dari 22.518 ha menjadi 24.502 ha. Namun pada periode 2003-2005 tidak
terjadi pengurangan luas hutan primer, tetapi yang terjadi malah konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan dan ladang. Pada periode tersebut terjadi
penambahan jumlah kebun dan ladang seluas 1.168 ha 18,31 dari 6.378 ha menjadi 7.546 ha. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan
perkebunan dan ladang masyarakat dilakukan pada hutan bekas tebangan, karena lebih mudah mengakses.
Tabel 9. Kondisi tutupan lahan eks HPH PT MJRT
1988 2001 2003 2005 No Tutupan
Lahan Ha Ha
Ha Ha
1 Alang-alang 42
0,09 351
0,75 -
0,00 -
0,00 2 Kebun
- 0,00
5.879 12,51 5.304 11,29
5.587 11,89
3 Ladang -
0,00 1.627
3,46 1.074
2,29 1.959
4,17 4 Lahan
Kosongterbuka 82
0,17 291
0,62 29
0,06 -
0,00 5
Hutan Sekunder LOA 18.108
38,54 22.518 47,92 24.502 52,15
23.409 49,82
6 SemakBelukar 78
0,17 136
0,29 2.007
4,27 1.960
4,17 7
Hutan Lebat VF 28.677
61,03 16.186 34,45 14.071 29,95
14.071 29,95
Jumlah Luas ha 46.987
100 46.987 100
46.987 100
46.987 100
Sumber: Analisis Citra oleh Tim Hibah Pascasarjana IPB 2006 Kondisi terakhir tutupan lahan terjadi penurunan luas hutan sekunder dari
24.502 ha 52,15 menjadi 23.409 ha 49,82. Sedangkan hutan primer tidak mengalami perubahan yakni seluas 14.071 29,95. Hal ini dikarenakan letak
hutan primer lebih jauh dari pemukiman penduduk dan akses untuk mencapainya relatif sulit dikarenakan kondisi geografis areal tersebut bertopografi agak curam
sampai sangat curam. Selain itu, areal hutan primer secara umum berada di belahan Timur yang berbatasan langsung dengan kawasan TNKS.
Berdasarkan analisis citra Landsat akuisisi tahun 1988 dan 2005 telah terjadi perubahan hutan primer menjadi perkebunan besar seluas 0,1 hatahun,
sedangkan pada hutan bekas tebangan LOA perubahan menjadi perkebunan
49 besar seluas 309 hatahun. Tabel 10 berikut menunjukkan rata-rata alih fungsi
kawasan hutan menjadi non kehutanan antara tahun 1988-2005. Tabel 10. Rata-rata alih fungsi lahan di eks-areal MJRT tahun 1988-2005
Kawasan Non-Hutan hatahun Kawasan Hutan
Perkebunan besar
Ladang kebun masyarakat
Tanah kosong
Semak belukar
Hutan bekas tebangan 309,0
91,9 97,9
Hutan primer 0,1
15,5 2,6
Sumber: Diolah dari hasil analisis perubahan tutupan lahan yang menggunakan Citra Landsat akuisisi tahun 1988 dan 2005
Berdasarkan pemanfaatan areal dan kondisi tutupan lahan pada areal eks HPH PT MJRT tersebut di atas, dipahami bahwa pengelolaan areal tersebut
sebagai daerah penyangga TNKS menunjukkan kinerja yang kurang baik. Adanya alih fungsi konversi menjadi peruntukan non kehutanan perkebunan
dan ladang. Sejak masih beroperasi kinerja HPH tidak cukup baik kaitannya dalam mempertahankan kawasan hutan. Pada beberapa lokasi bekas tebangan
LOA telah terjadi pembukaan lahan perkebunan dan ladang masyarakat sejak HPH masih aktif. Hasil penelitian Hernawan 2001 juga menyatakan bahwa
tebangan ilegalpencurian kayu yang terjadi di areal bekas HPH PT MJRT ini tergolong tinggi. Penebangan ilegal hampir merata pada seluruh areal kecuali
lokasi di sekitar Lubuk Sumpit dan Lebong Tandai.
PROVINSI BENGKULU
50 Gambar 6. Kondisi tutupan lahan
land cover eks HPH PT MJRT, tahun 2005 Laporan Hibah Pascasarjana, 2006
51
4.5. Prilaku Behavior Stakeholders