45
4.4. Kinerja Performance Pengelolaan Daerah Penyangga TNKS
4.4.1. Pemanfaatan Areal
Penggunaan areal eks HPH PT MJRT untuk mengembangkan pertanianperkebunan kelapa sawit oleh perusahaan perkebunan besar dan juga
perkebunan skala kecil yang dilakukan oleh masyarakat. Pembukaan lahan ini menyebabkan meningkatnya penebangan liar dan konversi lahan. Berdasarkan
laporan ICDP-TNKS komponen C 2002 secara umum penebangan liar dan konversi lahan masih terpusat pada hutan produksi yang menyangga taman
nasional, namun kedepan bila tidak dikendalikan akan menjadi ancaman terhadap kawasan TNKS.
Pasca konsesi, areal eks HPH PT MJRT nyaris seperti sumberdaya open
access karena tersedianya jalan sarad ke dalam kawasan hutan. Dengan demikian masyarakat dapat dengan leluasa masuk pada areal tersebut. Hal ini
juga salah satu yang memacu terjadinya illegal logging pembalakan liar dan
konversi lahan. Kerusakan hutan pada areal kerja eks HPH PT MJRT sangat berpengaruh terhadap ekosistem yang ada di sekitarnya. Hal ini terbukti dengan
semakin berkurangnya berbagai jenis keanekaragaman hayati dan habitat mamalia besar seperti gajah sumatera, harimau sumatera dan sebagainya. Pada
saat yang sama, juga dapat mengancam kelestarian Taman Nasional Kerinci Sebelat TNKS yang berbatasan langsung dengan eks HPH tersebut.
Isu sengketa tata batas merupakan dampak utama dari situasi dan struktur kelembagaan pasca pengelolaan HPH. Isu yang berkaitan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan kawasan eks HPH PT MJRT juga sudah menjadi wacana pembicaraan di lingkungan masyarakat sekitar daerah penyangga. Adanya
perbedaan pandangan tentang pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan di daerah penyangga TNKS dapat menjadi salah satu konflik pengelolaan areal
tersebut di masa depan. Di beberapa desa masih kuat pandangan bahwa sebaiknya kawasan hutan penyangga tetap dipertahankan sebagai kawasan
hutan alam, sedangkan di beberapa desa lainnya malah berkeinginan mendatangkan investor pengusaha di bidang perkayuan agar dapat
mengeksploitasi kayu dari kawasan penyangga. Berbagai sengketa tata batas ini tampaknya bersumber dari kebijakan-
kebijakan pemetaan yang selama ini umumnya dilakukan dengan cara top-down
“dari atas ke bawah”, yaitu tanpa melibatkan partisipasi sosial warga masyarakat sekitar. Implikasi dari pola kebijakan seperti ini seringkali telah menghasilkan
46 suatu keadaan dimana pihak pengambil keputusan dan masyarakat berjalan
sendiri-sendiri. Batas-batas areal hutan dibuat hanya di atas kertas, atau bahkan ada pancang pal batasnya di dalam hutan, tetapi masyarakat tetap saja
melakukan aktivitasnya masuk areal hutan. Faktanya, partisipasi sosial dalam wujud ketaatan terhadap ketentuan tata batas formal tetap rendah, sementara
ikatan-ikatan tradisional dengan hukum adat terus semakin melonggar. Kecenderungan perubahan sosial yang terjadi lebih menggambarkan sebuah
keadaan masyarakat anomi, dimana sistem nilai dan norma yang lama berangsur ditinggalkan sedangkan pegangan nilai dan norma baru yang semestinya
disepakati bersama belum juga ditemukan. Secara umum ada dua jenis penggunaan atas eks areal HPH PT MJRT
yakni kawasan yang masih berhutan dan lahan pertanian milik masyarakat maupun perkebunan swasta. Berdasarkan analisis citra landsat akuisisi tahun
2005, luas areal perkebunan dan ladang mencapai 7.546 ha 16,06 sedangkan sisanya berupa semakbelukar seluas 1.960 ha 4,17, hutan bekas
tebangan seluas 23.409 ha 49,82 serta hutan primer seluas 14.071 ha 29,95.
4.4.2. Kondisi Tutupan Lahan