Aturan Formal Aturan-aturan Pengelolaan Daerah PenyanggaTNKS

56 Tabel 12. Prilaku stakeholders dan kinerja pengelolaan eks HPH PT MJRT No Stakeholders Peraturan Pemerintah yang berlaku seharusnya Perilaku Kinerja 1 Masyarakat Pemilik tenaga kerja Free access terhadap eks HPH PT MJRT Masyarakat mengkonversi eks HPH menjadi lahan perkebunan kelapa sawit 2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pemerintah Daerah Kab. Bengkulu Utara Membuat tataruang dan meningkatkan PAD Mengeluarkan izin pemanfaatan kayu IPK kepada pengusaha Perubahan penggunaan lahan dan terjadi perubahan tutupan hutan 3 Pemerintah Departemen Kehutanan Menetapkan daerah penyangga TNKS Membuat kebijakan pengelolaan eks HPH PT MJRT Belum ada ketetapan daerah penyangga Belum menetapkan pengelolaan eks HPH PT MJRT Tidak ada kejelasan batas fisik daerah penyangga Pengelolaan eks HPH PT MJRT menjadi tidak jelas 4 Swasta PT Agricinal dan PT Alno Agro Utama Mendapat izin konsesi perkebunan kelapa sawit Membuka perkebunan di luar areal yang di konsesikan Meningkatnya konversi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit

4.6. Aturan-aturan Pengelolaan Daerah PenyanggaTNKS

4.6.1. Aturan Formal

Daerah penyangga merupakan kawasan yang terletak di luar kawasan konservasi yang berfungsi melindungi dari tekanan terhadap kawasan tersebut. Ketentuan pengelolaan daerah penyangga didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terutama Pasal 16 dan penjelasannya. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar dan berbatasan dengan kawasan konservasi, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Kawasan hutan lain yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah kawasan hutan selain kawasan hutan konservasi, yaitu hutan lindung, 57 hutan produksi, dan taman buru. Dengan demikian kawasan hutan lain adalah kawasan hutan milik negara. Sedangkan tanah negara bebas adalah tanah negara yang bebas dari semua hak pihak lain yan membebani tanah tersebut. Selanjutnya tanah yang dibebani hak adalah tanah dengan hak tertentu yang diberikan negara kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik diri sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum; seperti hak milik, hak guna usaha HGU, hak guna bangunan, hak sewa, dan hak-hak lainnya. Selanjutnya dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, serta Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam PHPA No. 49KptsDJ-IV1997 tentang Petunjuk Teknis Pengembangan Daerah Penyangga Kawasan Konservasi. Terkait dengan pengelolaan daerah penyangga, dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 660.1269VBangda tanggal 16 Februari 1999 tentang Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional. Dalam surat edaran tersebut perlu memadukan kepentingan dan manfaat kawasan taman nasional dengan masyarakat sekitar yang berada di daerah penyangga. Ada beberapa aspek yang diatur dalam peraturan perundang-undangan daerah penyangga antara lain: pengertian daerah penyangga; fungsi daerah penyangga; kriteria penunjukkan atau penetapan daerah penyangga; pengusulan wilayah daerah penyangga; pengukuhan atau pemberian kepastian hukum atas wilayah daerah penyangga; pengelolaan daerah penyangga; pembinaan fungsi daerah penyangga; pola pengembangan daerah penyangga; serta monitoring dan evaluasi pengembangan daerah penyangga. Beberapa hal yang diatur dalam PP No. 68 tahun 1998 pasal 56, antara lain: fungsi daerah penyangga untuk menjaga kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan dalam kaitan ini taman nasional. Kriteria penetapan daerah penyangga didasarkan pada hal-hal antara lain: a secara geografis berbatasan dengan kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam; b secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam; c mampu menangkal segala macam gangguan baik dari dalam maupun dari luar 58 kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam. Penetapan tanah negara bebas yang dibebani dengan suatu hal alas titel sebagai daerah penyangga sebagai daerah penyangga ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Gubernur. Sedangkan kriteria dan tata cara penetapan kawasan hutan sebagai hutan daerah penyangga diatur dengan keputusan Menteri. Selanjutnya pada Pasal 57 dijelaskan bahwa untuk membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan: a peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; b peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c rehabilitasi lahan; d peningkatan produktivitas lahan; e kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 660.1269VBangda tahun 1999 terdapat beberapa hal yang diatur meliputi: A Perencanaan: penunjukkan daerah penyangga, penyusunan program, rancang tindak, penyusunan rancangan; B Organisasi: struktur organisasi tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa, tugas dan tanggung jawab; C pelaksanaan; D pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan. Daerah penyangga dapat berupa kawasan hutan lain, sehingga keberadaan kawasan hutan harus tetap dipertahankan. Kawasan hutan tersebut merupakan kawasan hutan tetap selain kawasan konservasi yang dapat berupa hutan lindung, hutan produksi, taman buru, hutan adat yang dikelola masyarakat. Sedangkan tanah negara bebas merupakan tanah negara yang bebas dari segala hak pihak lain yang membebani atas tanah tersebut. Berbeda halnya dengan tanah yang dibebani hak adalah tanah dengan hak tertentu yang diberikan negara kepada dan dipunyai oleh orang-orang lain serta badan-badan hukum, seperti hak milik, hak guna usaha HGU dan hak lainnya. Namun demikian hak atas tanah tidaklah dibenarkan untuk dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan apalagi dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dalam kaitan ini, hak atas tanah harus mempunyai fungsi sosial dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan negara. Penetapan daerah penyangga TNKS diperlukan untuk mengendalikan kegiatan penggunaan lahan di sekeliling kawasan dan membuat lebih sesuai dengan tujuan perlindungan kawasan konservasi tersebut. Namun kecenderungannya dalam pemanfaatan daerah penyangga agak lebih longgar 59 dibandingkan dengan pemanfaatan kawasan konservasi. Akibatnya aktivitas manusia di luar kawasan konservasi termasuk di daerah penyangga sering tidak terkendali dan menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan konservasi. Ancaman tersebut akan semakin serius jika terbukanya akses masyarakat pada kawasan tersebut, kemudian laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat di daerah tersebut. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 57Menhut-VI2002 berkaitan dengan pengelolaan areal eks HPH PT MJRT di Provinsi Bengkulu dinyatakan bahwa persetujuan untuk pembentukan perusahaan patungan antara PT INHUTANI V dan PT SUMARU KENCANA dinyatakan batal dan pengelolaan areal eks HPH akan diatur lebih lanjut. Pembentukan perusahaan patungan tersebut didasarkan pada Kepmenhut No. 380Kpts-II1996 pasal 4 menyebutkan bahwa: “Apabila dalam jangka waktu 2 dua tahun perusahaan swasta atau perusahaan swasta lain tidak dapat menyelsaikan kewajiban pembentukan perusahaan patungan, maka persetujuan prinsip untuk mendirikan perusahaan patungan menjadi batal dengan sendirinya dan areal HPH dikembalikan kepada negara”. Sebelumnya, dalam surat Menteri Kehutanan No. 1175Menhutbun-IV1999 tanggal 11 Agustus 1999, PT INHUTANI V dan PT SUMARU KENCANA diberi persetujuan prinsip untuk membentuk perusahaan patungan pada areal eks HPH PT MJRT seluas + 45.100 ha, dengan tetap mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan N0. 380-Kpts-II1999 tentang Pedoman Pembentukan Perusahaan Patungan Bidang Pengusahaan Hutan pada Areal Eks HPH. PT INHUTANI V dan PT SUMARU KENCANA diberi waktu selama 2 tahun untuk menyelsaikan pembentukan perusahaan patungan terhitung sejak tanggal 27 Agustus 1999. Namun sampai tahun 2002 tidak dapat menyelsaikan pembentukan perusahaan patungan tersebut, sehingga pengelolaan eks HPH PTMJRT menjadi tanggung jawab pemerintah Departemen Kehutanan. Terdapat beberapa kelemahan dalam peraturan perundang-udangan yang berlaku di atas antara lain: 1. Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku UU No. 10 tahun 2004, PP merupakan jabaran teknis dari Undang-undang, sedangkan Keputusan Menteri dan Keputusan Dirjend harus mengacu pada PP yang mengamanatkannya. Namun peraturan perundang-undangan yang mengatur daerah penyangga kawasan konservasi tidak mengacu pada hierarki tersebut. Hal ini terbukti pada tahun penerbitan Kepdirjend PHPA No. 60 49 tahun 1997 lebih awal dibandingkan dengan penerbitan PP No. 68 tahun 1998. Sampai saat ini 2006 belum ada revisi atas peraturan tersebut. 2. Pasal 16 ayat 2 UU No. 51990 menyatakan bahwa daerah penyangga merupakan wilayah “ yang diperlukan dan mampu” menjaga keutuhan kawasan. Istilah tersebut memberikan interpretasi bahwa kurang tegasnya dalam penentuan keberadaan daerah penyangga. 3. Kriteria penetapan daerah penyangga yang diatur dalam PP No. 681998 pasal 56 butir b yang menyatakan bahwa “secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik, baik dari dalam maupun dari luar kawasan”. Ketentuan ini tidak mengatur wilayah-wilayah yang berbatasan dengan kawasan konservasi dan berpengaruh tidak baik atau tidak mampu menangkal berbagai gangguan, tidak harus ditetapkan sebagai daerah penyangga. Seharusnya kriteria penetapan daerah penyangga berlaku bagi suatu wilayah yang berada di luar dan berbatasan dengan kawasan konservasi bagaimanapun kondisi wilayah tersebut. Daerah penyangga merupakan diperlukan desain rancangan fisik kawasan konservasi untuk menurunkan eksposur kawasan pada kondisi-kondisi yang berbahaya dari lansekap yang dibudidayakan di sekeliling kawasan. Kepentingan utama daerah penyangga adalah untuk mengendalikan kegiatan penggunaan lahan di sekeliling kawasan dan membuatnya lebih kompatibel dengan tujuan perlindungan kawasan konservasi Meffe dan Carrol dalam Basuni, 2003. 4. Adanya tumpang tindih kewenangan. Berdasarkan PP No. 681998, penetapan tanah negara bebas sebagai daerah penyangga oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan gubernur. Tetapi pada Surat Edaran Mendagri No. 660.1269VBangda tahun 1999, penetapan daerah penyangga sangat situasional, bila mencakup satu kabupaten ditetapkan oleh Peraturan Daerah Tingkat II Perda KabupatenKota; bila meliputi beberapa kabupaten oleh Peraturan Daerah Tingkat I Perda Provinsi; bila mencakup lebih dari satu provinsi oleh Mendagri. 5. Ketentuan tentang daerah penyangga harus didasarkan atas kajian, kemudian diusulkan kepada Menteri. Sampai saat ini belum ada aturan yang mengatur daerah penyangga TNKS sebagai kepastian hukum. Ketentuan penetapan kawasan konservasi umumnya tidak langsung diikuti dengan penetapan daerah penyangga. Dengan demikian penetapan kriteria daerah 61 penyangga TNKS akan membutuhkan ongkos yang sangat mahal dalam bentuk ongkos membuat kontrak contractual cost. 6. Kebijakan pengelolaan daerah penyangga kawasan konservasi diluar kewenangan Ditjen PHKA Balai Taman Nasional Kerinci Seblat, sehingga kebijakan pengelolaan areal tersebut dapat bertentangan dengan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi. 7. Berdasarkan Surat Edaran Mendagri No. 660.1269VBangda tahun 1999, pengelolaan daerah penyangga diatur dengan struktur organisasi formal mulai dari Tingkat Provinsi, Kabupaten, Kecamatan hingga Pemerintahan Desa. Dalam pelaksanaannya, organisasi formal dengan hierarki formal tersebut tidaklah efektif karena ongkos pelaksanaannya sangat mahal termasuk ongkos koordinasi antar stakeholders. Selain itu, sampai tahun 2006 belum terdapat organisasi tersebut di tingkat daerah. 8. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak ditindaklanjuti oleh jajaran di bawahnya. Hal ini terbukti dengan belum adanya peraturan di tingkat daerah baik di Tingkat Kabuaten Bengkulu Utara maupun Provinsi Bengkulu yang dapat mengendalikan kegiatan penggunaan hutan di daerah penyangga TNKS tersebut. 9. Berdasarkan surat Menteri Kehutanan No. 57Menhut-VI2002 bahwa pengelolaan areal eks HPH PT MJRT akan diatur lebih lanjut, namun sampai dengan saat ini 2006 belum terdapat aturan pengelolaan eks HPH tersebut. Hal ini berimplikasi pada tidak jelasnya hak pengelolaan atas areal tersebut.

4.6.2. Aturan Informal