Sejarah Pengelolaan Areal HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sejarah Pengelolaan Areal

Pengelolaan Hak Pengusahaan Hutan HPH PT Maju Jaya Raya Timber PT MJRT dimulai sejak tahun 1974 berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor: 422KptsUM81974 tertanggal 7 Agustus 1974. Adapun areal hutan yang dikonsesikan seluas 80.000 ha dengan masa konsesi selama 20 tahun dan berakhir pada tanggal 7 Agustus 1994. Berdasarkan Surat Menteri Kehutanan RI Nomor: 1454Menhut-IV1994 tanggal 21 September 1994 mengenai permohonan perpanjangan atas nama PT MJRT, izin pengelolaan diserahkan kepada perusahaan patungan antara PT MJRT dengan PT INHUTANI V BUMN yang mengharuskan untuk mengikutsertakan BUMDPemda dan Koperasi. Luas areal yang direkomendasikan berdasarkan surat perpanjangan tersebut adalah 45.100 ha. Izin perpanjangan sementara HPH PT MJRT ini terhitung sejak tanggal 7 Agustus 1994 sampai dengan 1 Maret 1995. Selanjutnya perpanjangan pengusahaan hutan eks HPH PT MJRT harus dilakukan oleh perusahaan patungan antara PT MJRT sendiri dengan BUMN PT INHUTANI V, BUMDPEMDA dan koperasi. Perpanjangan pengusahaan tersebut didasarkan pada Surat Menteri Kehutanan RI Nomor: 1167MENHUT- IV1995 tertanggal 7 Agustus 1995. Berdasarkan surat tersebut perusahaan diizinkan untuk melanjutkan kegiatan pengusahaan hutan pada tahun 19951996. Kemudian pada tanggal 6 Mei 1996 diberikan izin perpanjangan sementara yang berlaku sejak 1 April 1996 sampai dengan 31 Maret 1997. Izin perpanjangan tersebut didasarkan pada Surat Menteri Kehutanan RI Nomor: 634MENHUT- IV1996, dengan luas areal yang sama yakni seluas 45.100 ha. Pada tanggal 12 Agustus 1997 dikeluarkan kembali Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 514Kpts-IV1997 tentang pemberian izin perpanjangan sementara hak pengusahaan hutan kepada PT MJRT. Surat izin yang keempat tersebut berlaku selama 1 satu tahun sampai tanggal 31 Maret 1998 dengan luas areal yang sama dengan sebelumnya dan tetap harus melibatkan BUMN PT INHUTANI V, BUMDPEMDA dan koperasi sebagai pemegang saham. Adapun komposisi kepemilikan saham adalah: BUMN PT INHUTANI V sebesar 45, BUMDPEMDA sebesar 4, Koperasi sebesar 2 dan Pemegang HPH lama PT MJRT sebesar 49. 37 Dengan berakhirnya izin pengelolaan areal hutan oleh PT MJRT pada 31 Maret 1998 dikeluarkan Surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 1175Menhutbun-IV1999. Dalam surat tersebut menugaskan PT INHUTANI V untuk mengelolamengusahakan areal eks HPH PT MJRT bersama-sama dengan koperasi, BUMD dan lembaga keagamaan. Selain itu juga menyetujui rekomendasi Gubernur Bengkulu yang mengusulkan PT SUMARU KENCANA sebagai partner PT INHUTANI V. Namun mensyaratkan agar melakukan pembentukan perusahaan patungan dalam mengelola areal eks HPH PT MJRT tersebut dalam waktu 2 dua tahun sejak tanggal diterbitkannya surat tersebut. Namun, pembentukan perusahaan patungan antara PT INHUTANI dan PT SUMARU KENCANA tidak dapat dilakukan hingga batas waktu yang ditentukan selama dua tahun, sehingga pemerintah melalui Menteri Kehutanan RI pada tanggal 15 Januari 2002 mengeluarkan surat Nomor: 57Menhut-VI2002 tentang pembatalan persetujuan pembentukan perusahaan patungan tersebut. Berdasarkan surat tersebut pengelolaan eks HPH PT MJRT dilakukan oleh Departemen Kehutanan. Dengan demikian sejak tahun 2002 hingga sekarang belum ada perusahaan yang mengelola areal tersebut. Ketidakjelasan pengelolaan areal tersebut berdampak negatif bagi kelestarian hutan, karena dapat terjadi akses terbuka open access. Secara hukum de jure dapat saja dikatakan bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan hutan produksi dengan kepemilikan pemerintah state property. Namun kenyataan di lapangan de facto hampir semua orang dapat masuk dan mengelola daerah tersebut. Hal ini terjadi karena berbagai keterbatasan dana, sumberdaya manusia serta sarana dan prasarana pemerintah baik pusat maupun daerah serta tidak jelasnya kontrak pengelolaan areal tersebut. Areal eks HPH PT MJRT merupakan daerah penyangga yang sangat penting bagi Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS. Laporan Independent Concesion Audits tahun 2001 menunjukkan bahwa di daerah tersebut banyak terdapat satwaliar yang dilindungi dan beberapa diantaranya mempunyai kemiripan dengan satwaliar yang ada di TNKS. Kesamaan jenis ini mengindikasikan bahwa daerah tersebut merupakan perluasaan habitat bagi satwaliar terutama mamalia besar seperti: gajah, harimau, tapir dan lain-lain. Penetapan daerah penyangga TNKS diperlukan untuk mengendalikan kegiatan penggunaan lahan di sekeliling kawasan dan membuat lebih sesuai dengan tujuan perlindungan kawasan konservasi tersebut. Namun kecenderungannya dalam pemanfaatan daerah penyangga agak lebih longgar 38 dibandingkan dengan pemanfaatan kawasan konservasi. Akibatnya aktivitas manusia di luar kawasan konservasi termasuk di daerah penyangga sering tidak terkendali dan menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan konservasi. Ancaman tersebut akan semakin serius jika terbukanya akses masyarakat pada kawasan tersebut, kemudian laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat tentu saja menjadi permasalahan bagi sumberdaya yang terbatas seperti hutan. Daerah penyangga harus mampu memberikan perlindungan fisik pada TNKS dan daerah perluasan satwaliar serta sebagai sumber pendapatan masyarakat sekitar. Dengan demikian diharapkan dapat memberi rintangan ekologis bagi kawasan dan juga merupakan rintangan ekonomis dalam arti menjadi sumber pendapatan masyarakat. Walaupun status kawasan merupakan hutan produksi, namun kawasan tersebut harus mampu memberikan perlindungan bagi kawasan konservasi.

4.2. Kondisi Geofisik