Otonomi Daerah di Bidang Kehutanan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Otonomi Daerah di Bidang Kehutanan

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan UU No. 322004. Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peranserta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan salah satu wujud demokrasi yang mendekatkan pemerintah dengan masyarakat yang selama ini bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Hal ini didasarkan bahwa kebijakan yang diterapkan selama orde baru yang sentralistis telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antar wilayah, antar golongan dan antar sektor Nasution dalam Sudrajat, 2002. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam sendiri. Sumberdaya alam terutama hutan yang terdapat di daerah merupakan aset yang harus dikelola dengan baik dengan memperhatikan aspek kelestariannya, agar dapat dimanfaatkan dengan optimal. Selama ini pengelolaan sumberdaya hutan bersifat sentralistis dengan pendekatan top down dan seragam serta mengabaikan adanya keberagaman pluralitas daerah, sehingga menimbulkan ketimpangan distribusi manfaat hasil pengelolaan hutan yang lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. 12 Menurut Warsito dalam Ohorella 2003 ada 3 tiga faktor yang membuat desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan menjadi penting. Pertama, keadilan pembagian pendapatan yang tercermin dari porsi perimbangan keuangan pusat daerah, daerah dengan sub daerah, dan seterusnya. Kedua, distribusi tanggung jawab; dengan adanya otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan akan terdapat pembagian tugas yang disertai dengan beban tanggung jawab dan mutu pengelolaannya. Ketiga, keragaman teknik pengelolaan; dengan penerapan otonomi daerah disektor kehutanan, dimungkinkan daerah dapat menerapkan sistem pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi setempat site spesific sehingga diharapkan sumberdaya dan fungsi hutan dapat terjaga. Menurut Wardojo 2002 penyelenggaraan otonomi daerah dalam pengurusan hutan memerlukan peletakan peran dan kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota secara proporsional dan optimal agar pengurusan hutan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkeadilan dapat terwujud. Peranserta masyarakat dalam pembangunan kehutanan perlu dikembangkan melalui pelimpahan wewenang dan tanggung jawab kepada daerah, dengan tetap mengacu pada arah dan tujuan pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah, khususnya dalam bidang kehutanan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan di daerah dengan adanya kebijakan pembagian manfaat yang berimbang dan proporsional antara daerah dan pusat. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan efek ganda yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat serta dapat mengurangi berbagai persoalan yang terkait dengan pengelolaan hutan. Selain itu, berbagai konflik yang selama ini terjadi belum mampu ditangani dengan baik oleh pemerintah pusat diharapkan dengan adanya otonomi daerah dan peningkatan peranserta masyarakat dapat dikelola dengan baik. Berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan otonomi daerah seperti kesiapan sumberdaya manusia SDM, sarana dan prasarana telah menyebabkan kerusakan hutan dengan laju yang cukup tinggi di era otonomi daerah Sudrajat, 2002. Suparna 2005 memperkirakan bahwa tingkat deforestasi beberapa tahun terakhir ini mencapai lebih dari 2 dua juta hektar per tahun. Di Indonesia saat ini diperkirakan luas areal berhutan tidak lebih dari 90 juta hektar. 13 Dipahami bahwa sumberdaya alam SDA tidak mengenal batas-batas administrasi, sehingga pengelolaannya harus meliputi satuan kawasan atau Daerah Aliran Sungai DAS. Otonomi Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk mengelola SDA-nya masing-masing. Hal ini dapat menimbulkan ketimpangan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Adanya ego sektoral dan kurangnya koordinasi antar daerah akan menyebabkan timbulnya konflik antar daerah. Adanya batas-batas administrasi yang menyekat suatu daerah dan kawasan menimbulkan potensi-potensi konflik antar daerah, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dengan pusat dan antar kelompok masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai upaya untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dalam bidang kehutanan diantaranya: perlunya koordinasi antar instansi terkait sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsinya masing-masing sehingga terdapat keselarasan dan keserasian tindak dalam meningkatkan keberhasilan desentralisasi bidang kehutanan; adanya persamaan pemahaman dan persepsi tentang desentralisasi bidang kehutanan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dari seluruh komponen bangsa dan negara melalui berbagai pertemuan formal informal; diperlukan adanya penguatan sumberdaya manusia, perangkat peraturan perundang-undangan dan fasilitas pendukung lain yang diperlukan melaui optimalisasi potensi yang dimiliki. Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 14

2.2. Tinjauan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Konsesi