1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IPS merupakan sebuah nama mata pelajaran integrasi dari mata pelajaran Sejarah, Geografi, dan Ekonomi serta mata
pelajaran ilmu sosial lainnya Sapriya, 2009:7. Ciri khas mata pelajaran IPS pada jejang pendidikan dasar adalah sifat terpadu integrated dari sejumlah mata
pelajaran dengan tujuan agar mata pelajaran IPS lebih bermakna bagi peserta didik. Karakteristik mata pelajaran IPS dilihat dari dimensi tujuan pembelajaran,
yaitu: 1 pengembangan kemampuan berpikir siswa; 2 pengembangan nilai dan etika; dan 3 pengembangan tanggung jawab dan partisipasi sosial. Berdasarkan
karakteristik tersebut tujuan dari pembelajaran IPS bukan sekedar siswa memperoleh pengetahuan saja namun juga dalam pengembangan keterampilan
sosial siswa. Keterampilan sosial tersebut akan menjadi dasar bagi siswa dalam berinteraksi di lingkungan masyarakat.
Mata pelajaran IPS di sekolah dasar yang merupakan integrasi dari beberapa ilmu sosial membuat materi yang harus di pelajari siswa dalam pembelajaran IPS
cukup kompleks. Konsep-konsep IPS seperti waktu, perubahan, lingkungan, akulturasi, kekuasaan, dan demokrasi adalah konsep-konsep abstrak yang harus
dibelajarkan kepada siswa. Oleh karena itu penyampaian pembelajaran IPS di sekolah dasar harus dikemas guru melalui pendekatan, model, dan metode yang
tepat agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam. Namun pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak guru yang masih menerapkan
model pembelajaran konvensional dalam pembelajaran IPS. Hal tersebut
2
didukung oleh pernyataan dari Susanto 2014:3, bahwa dalam pemilihan model pembelajaran guru kurang mengikutsertakan peseta didik dalam proses
pembalajaran namun cenderung menggunakan ceramah yang mengutamakan siswa pada kekuatan ingatan dan hafalan kejadian-kejadian serta nama-nama
tokoh, tanpa mengembangkan wawasan dan penyelesaian masalah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar aktif.
Belajar merupakan proses dimana anak-anak harus aktif Nasution, 2000:88. Dalam pembelajaran guru hanya dapat menyediakan bahan pelajaran, namun
siswa sendiri yang mengolah dan mencernanya sesuai dengan bakat dan kemauan masing-masing. Seorang siswa akan lebih menguasai materi pelajaran jika siswa
tersebut memiliki keaktifan dalam belajar. Keaktifan adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental, yaitu berbuat dan berfikir sebagai suatu rangkaian yang
tidak dapat dipisahkan Sardiman, 2001: 98. Paul B. Diedrich Sardiman, 2012:101 menggolongkan keaktifan siswa yang meliputi 1 visual activities, yang
termasuk didalamnya misalnya membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain; 2 oral activities, seperti: menyatakan,
merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi; 3 Listening activities, sebagai contoh mendengarkan:
percakapan, diskusi, musik, pidato; 4 writing activities, seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin; 5 drawing activities, misalnya
menggambar, membuat grafik, peta, diagram; 6 motor activities, yang termasuk didalamnya antara lain: melakukan percobaan, membuat konstruksi, bermain; 7
mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan
3
soal, menganalisa, mengambil keputusan; dan 8 emotional activities, seperti: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, tenang.
Berdasarkan hal tersebut peneliti berniat melakukan penelitian di SD Negeri 1 Kepurun. Setelah berdiskusi dengan Kepala Sekolah dan beberapa guru akhirnya
diputuskan bahwa kelas yang akan dijadikan subyek penelitian adalah kelas V dengan alasan bahwa tingkat keaktifan di kelas tersebut menurut guru masih
rendah. Akhirnya peneliti melakukan observasi dan wawancara yang dilakukan pada hari Sabtu tanggal 05 November 2016. Observasi dilakukan di kelas V SD
Negeri 1 Kepurun yang berjumlah 23 siswa. Dari observasi yang telah peneliti lakukan hal-hal ditemui adalah sebagai berikut.
Pertama, metode berkelompok yang digunakan guru masih konvensional. Dalam wawancara guru menyampaikan bahwa dalam pembelajaran IPS dan PKn
guru memang menggunakan metode berkelompok dalam menyampaikan materi. Selaian memudahkan guru dalam menyampaikan materi pembentukan kelompok
tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan keaktifan siswa. Namun metode berkelompok yang digunakan guru belum bervariasi. Metode berkelompok yang
diterapkan guru adalah metode berkelompok yang umum. Aktifitas yang dilakukan siswa dalam kelompok yaitu mulai dari mendengarkan guru
menjelaskan materi, mengerjakan soal dalam LKS, dan mengkoreksi hasil pekerjaan. Dalam pembentukan kelompok cenderung bersifat homogen karena
kelompok dibentuk oleh siswa sendiri. Kelompok antara siswa putra dan putri berbeda, selain itu jumlah siswa dalam setiap kelompok juga tidak sama yaitu
antara 2 sampai 6 siswa setiap kelompok. Ketika peneliti melakukan wawancara
4
dengan wali kelas V guru menyampaikan bahwa ketika berkelompok memang siswa yang membentuk kelompok sendiri, karena ketika guru yang menentukan
kelompok ada beberapa anak yang tidak mau satu kelompok dengan anak yang lain. Hal tersebut menjadi salah satu kendala guru ketika melakukan pembelajaran
secara berkelompok. Kedua, keaktifan siswa di kelas tersebut masih rendah. Kurangnya
keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran IPS membuat tingkat keaktifan siswa kurang. Hal berbeda terlihat ketika peneliti melakukan observasi pada mata
pelajaran IPA. Dalam pembelajaran dengan materi gaya siswa melakukan beberapa percobaan sederhana mengenai gaya magnet. Dengan adanya percobaan
maka aktivitas siswa tidak hanya sebatas mendengarkan dan mencatat namun siswa terlibat langsung dalam percobaan, hal tersebut membuat keaktifan siswa
dalam mata pelajaran IPA lebih tinggi dibandingkan dengan keaktifan siswa pada saat mata pelajaran IPS. Selama proses pembelajaran IPS dari 23 siswa terlihat
hanya 5 anak yang aktif bertanya kepada guru, 6 anak aktif menanggapi pertanyaan guru, 8 anak aktif menyampaikan pendapat dalam diskusi, 10 anak
mau bekerja sama dalam kelompok, dan 15 anak aktif mencatat hal-hal penting dalam pembelajaran. Ketika guru membagikan LKS kepada setiap kelompok dan
meminta kelompok untuk mengerjakan tidak semua siswa menyampaikan pendapatnya ketika diskusi. Bahkan ada kelompok yang hanya satu siswa saja
yang mengerjakan, sedangkan anggota kelompok yang lain tidak, hal ini menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kerja sama siswa dalam satu kelompok.
5
Tingkat keaktifan siswa dalam mata pelajaran IPS masing-masing dijabarkan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Hasil Observasi Awal Tingkat Keaktifan Siswa Kelas V pada Mata Pelajaran IPS
No. Indikator Keaktifan
Jumlah Persentase
1. Bertanya kepada guru 5
21,73 2. Menanggapi pertanyaan dari guru
6 26,1
3. Menyampaikan pendapat
dalam diskusi
8 34,78
4. Mencatat hal-hal penting dari materi yang dipelajari
15 65,21
Sumber : Observasi langsung oleh peneliti Ketiga, sumber belajar siswa masih terbatas. Sumber belajar merupakan hal
utama bagi siswa dalam memperoleh suatu ilmu. Dalam pembelajaran IPS di kelas tersebut sumber belajar yaitu terdiri dari guru, buku teks, dan lembar kerja
siswa. Salah satu permasalahan sumber belajar siswa yaitu adanya keterbatasan jumlah buku teks yang di miliki oleh sekolah. Jumlah buku teks yang dimiliki
tidak sesuai dengan jumlah siswa yang ada di kelas V, sehingga terkadang guru perlu menggandakan materi yang ada dalam buku teks ketika sedang menjelaskan
materi IPS. Keempat, kurangnya pemanfaatan sarana prasarana. Sebagai penunjang proses
pembelajaran keberadaan sarana prasarana sangat penting. Di SD N Kepurun 1 belum memiliki LCD dimana hal ini menjadi salah satu penyebab guru jarang
menggunakan media yang variatif khususnya dalam mata pelajaran IPS. Selain itu adanya ruang TIK belum begitu dimanfaatkan oleh guru dalam proses
pembelajaran. Penggunaan
komputer masih
sebatas digunakan
untuk ekstrakulikuler TIK saja.
6
Berdasarkan hasil observasi tersebut peneliti menemukan bahwa keaktifan belajar siswa di kelas tersebut pada saat mata pelajaran IPS masih rendah.
Keaktifan belajar siswa masih rendah kurangnya aktivitas pembelajaran yang diciptakan oleh guru. Selain itu penyebab rendahnya keaktifan peserta didik
berdasarkan hasil observasi adalah karena kurangnya interaksi yang terjalin antara guru dengan peserta didik. Maka untuk meningkatkan keaktifan peserta didik
diperlukan suatu inovasi pengajaran dimana siswa dapat terlibat secara aktif dalam pembelajaran.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan keaktifan siswa diantaranya adalah penggunaan media yang melibatkan siswa secara
langsung, penggunaan metode yang bervariasi, dan pemilihan model pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran merupakan salah satu alternatif
yang dapat digunakan guru dalam meningkatkan keaktifan siswa. Pengajaran modern mengutamakan aktivitas anak-anak Nasution, 2000:88, maka dalam hal
ini guru sebaiknya mampu memilih model pembelajaran yang berpusat pada siswa student centered sehingga peran guru hanya terbatas sebagai fasilitator dan
motivator. Keaktifan di dalam pembelajaran dapat memacu siswa untuk termotivasi
dalam memperoleh ilmu sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu dengan keaktifan yang baik akan meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hal
tersebut dibuktikan dari hasil penelitian dari Parwanti 2015 dalam penelitiannya yang berjudul “Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar IPS Melalui
Pembelajaran Kooperatif Model Permainan” yang menunjukkan bahwa hasil
7
belajar siswa dapat meningkat seiring meningkatnya keaktifan siswa dalam pembelajaran. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian dari Pembeu Olfin
2014 dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan Keaktifan di kelas dengan Hasil Belajar Siswa pada Kelas V d
i SDN 25 Palu”. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran,
memiliki hubungan yang sangat erat dengan pencapaian prestasi belajar siswa. Hal ini terlihat pada Presentase keaktifan siswa yang tinggi, memiliki hubungan
dengan prestasi belajar siswa yang tinggi. Apabila siswa berada pada kategori cukup dan kurang, maka akan terlihat prestasi belajar yang rendah pula.
Dalam upaya peningkatkan keaktifan belajar siswa dalam mata pelajaran IPS di kelas V SD Negeri 1 Kepurun dipilih model pembelajaran kooperatif yaitu
Team Games Tournament TGT. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki lima komponen yaitu presentasi di kelas, tim, game, turnamen, dan
penghargaan Slavin, 2008:166-167. Pembelajaran kooperatif tipe TGT dinilai mampu meningkatkan keaktifan belajar siswa karena metode ini membutuhkan
peran langsung dari siswa, mulai dari siswa melakukan diskusi kelompok hingga siswa melakukan tournament antar kelompok. Setiap siswa memiliki peran
masing-masing dalam kelompoknya sehingga tidak ada siswa yang pasif. Proses pembelajaran yang berlangsung mengacu pada siswa student centered dan peran
guru dalam pembelajaran adalah sebagai fasilitator. Siswa kelas 5 SD memiliki beberapa karakter yang sesuai dengan tahapan
dari model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Pertama, siswa kelas 5 SD cenderung membentuk kelompok-kelompok teman sebaya. Karakter tersebut
8
sesuai dengan model cooperative learning tipe TGT pada tahap tim dimana pada tahap tersebut siswa akan dibentuk dalam kelompok-kelompok heterogen. Kedua,
kehidupan sosialnya diperkaya selain kemampuan dalam hal kerjasama juga dalam hal bersaing dan kehidupan kelompok sebaya. Karakter siswa yang
memiliki kemampuan bekerjasama dan bersaing sesuai dengan tahapan TGT yaitu tahap turnamen dimana siswa akan saling bersaing untuk mengumpulkan poin
bagu timnya. Dengan penggunaan model kooperatif tipe TGT maka dalam pembelajaran
harapannya adalah siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajar sehingga suasana belajar menjadi lebih kondusif dan menyenangkan. Dari beberapa hal tersebut
diharapkan bahwa keaktifan belajar siswa dalam mata pelajaran IPS dapat mengalami peningkatan melalui penggunaan model pembelajaran Team Games
Tournament TGT.
B. Identifikasi Masalah