Iklim laut regional dan kebakaran hutan
6. 7. Iklim laut regional dan kebakaran hutan
Meskipun sudah dipahami bahwa mekanisme utama kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah akibat ulah manusia, tetapi pola yang ditemukan menunjukkan kuatnya pengaruh dari iklim dalam pola variabilitas titik kebakaran hutan berdasarkan data hot spot. Akibat kuatnya kesesuaian pola iklim dan titik api, sudah ada beberapa kajian untuk menerapkan metoda prediksi titik api berdasarkan indeks iklim. Pemahaman hubungan iklim dengan kebakaran hutan di wilayah Indonesia sangatlah penting karena dampak merugikan yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan sangatlah besar. Sehingga prediksi yang lebih baik akan memberikan upaya mitigasi yang lebih memadai.
Titik api biasanya marak apabila terjadi kekeringan hebat dan berlangsung pada waktu lama. Pada pola yang umum setelah terjadi kekeringan atau tiada hujan diatas satu minggu akan mulai terjadi penyebaran titik api berdasarkan data hot spot keluaran pemantauan satelit NOAA beresolusi tinggi. Kekeringan terjadi apabila ada gejala regional yang mendukung tingkat kekeringan udara. Untuk kasus Indonesia ada tiga fenomena regional yang seringkali dihubungkan dengan peningkatan kekeringan baik sesaat maupun dalam jangka panjang diatas musiman yaitu seruak dingin (cold surge), indian ocean dipole (IOD) dan El Niño. Dari ketiga fenomena tersebut maka El Niño adalah fenomena regional yang paling konsisten dan memberikan pola titik api kebakaran hutan.
Dari hasil studi Aldrian (2008) ditemukan bahwa selama periode El Niño (La Niña), suhu muka laut dingin (hangat) akan membawa lebih sedikit (lebih banyak) penguapan sehingga membawa kekeringan (kelembaban) di udara yang mendorong (menghambat) kejadian kebakaran. Fenomena ini dapat terlihat pada kasus kebakaran awal tahun 2005 di Riau dimana kebakaran saat itu lebih dipicu oleh episode seruak dingin yang membawa arus muka laut dingin di wilayah perairan sekitarnya. Pada saat itu hanya Riau yang mengalami peningkatan jumlah titik api cukup signifikan. Kontribusi titik api dari propinsi ini terhadap keseluruhan titik api di pulau Sumatera pada bulan Februari dan Maret tahun tersebut adalah, berurut turut 86 % dan 77%. Pada kebalikannya di kasus tahun 1998 dimana terjadi nilai titik api terendah yang diakibatkan hangatnya perairan di sekitar propinsi tersebut dan angin meridional sekitar propinsi tersebut juga melemah.
Sebelum dapat melihat situasi antar tahunan gejala iklim dari jumlah titik api, perlu dipelajari bagaimana pola bulanan dari titik api yang ada. Dalam hal ini karena kebakaran hutan hanya terpusat di dua pulau besar yaitu Sumatera dan Kalimantan maka pembahasan akan terutama pada penyebaran titik api di kedua pulau tersebut. Dari data kebakaran hutan sejak tahun 1997 hingga 2007 terlihat bahwa puncak kebakaran terjadi pada bulan Agustus dan September yang merupakan puncak kering atau puncak musim kemarau, hal ini diperparah pada kasus tahun tahun El Niño seperti pada tahun 1997, 2006, 2002 dan 2004. Pengecualian dengan jumlah titik api besar pada awal tahun 1998 juga lebih disebabkan oleh perpanjangan fenomena El Niño dari tahun sebelumnya yang tetap berlangsung hingga bulan Mei 1998. Sehingga dari nilai nilai tersebut tampak terjadinya tele koneksi antara peristiwa kebakaran hutan dengan ENSO.
Selanjutnya pada Gambar 6.11 ditampilkan hubungan variabilitas nilai antar tahunan jumlah titik api di Sumatera dan Kalimantan dengan nilai indeks El Niño pada daerah NINO3. Pada gambar atas
Meteorologi laut Indonesia
a) Titik-api tahunan
Titik-api Kalimantan
Titik-api Sumatera
IN -ap
Anomali SPL Aug
N it ik
Anomali SPL tahunan
b) Titik-api Jul-Des
Titik-api Kalimantan
Titik-api Sumatera
2.00 a O
Anomali SPL Agu-Des
Anomali SPL tahunan
L 40000 T
0.00 a u J
nom -1.00 A
Gambar 6.11. Pola antar tahunan titik api di Sumatera dan Kalimantan serta hubungannya dengan indeks ENSO (SPL NINO3) untuk total nilai sepanjang tahun (atas) dan nilai antara bulan Juli ke Desember (bawah) dari Aldrian, 2008.
diperlihatkan hubungan antara nilai parameter tersebut pada nilai akumulasi tahunan dan pada nilai parameter untuk nilai antara bulan Juli hingga Desember. Juli hingga Desember seringkali ditenggarai sebagai periode dimana puncak jumlah titik api tercapai hal ini diperlihatkan hubungan antara nilai parameter tersebut pada nilai akumulasi tahunan dan pada nilai parameter untuk nilai antara bulan Juli hingga Desember. Juli hingga Desember seringkali ditenggarai sebagai periode dimana puncak jumlah titik api tercapai hal ini
Hubungan empiris antara jumlah titik api di Sumatera dan Kalimantan dengan anomali iklim mencapai 0.83 dan 0.94 (berdasarkan nilai R 2 )
secara berturut turut. Nilai korelasi yang tinggi tersebut mengindikasikan hubungan yang kuat antara kedua paramater pada periode 1997 hingga 2004, apabila memakai data lanjutan hingga 2007, maka korelasi tersebut turun sedikit. Salah satu penyebabnya adalah maraknya kebakaran pada awal tahun 2005 diakibatkan oleh fenomena seruak dingin. Hal ini terbukti bahwa apabila memakai nilai paruh tahun kedua akan tampak kenaikan nilai korelasi tersebut.
Dari berbagai hasil diatas terlihat bahwa nilai jumlah titik api pada data antar tahunan menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan indikator iklim, akan tetapi terlihat ada anomali pada nilai hotspot pada tahun 2005 dan 2006. Terlihat juga nilai hot spot pada tahun 2006 mencapai sekitar 92.8 % dari nilai tahunan pada tahun 1997 padahal nilai indikator iklim pada tahun tersebut tidak sedemikian parah seperti tahun 1997. Data diatas juga menunjukkan peningkatan korelasi apabila hubungan dilakukan pada paruh kedua tahunan dimana terjadi puncak dampak ENSO terhadap wilayah Indonesia. Dalam hal ini ada potensi besar untuk prediksi jumlah titik api kebakaran hutan memakai data iklim di Pasifik.
Meteorologi laut Indonesia Tabel 6.2. Koefisien korelasi antara nilai titik api dan variabilitas iklim yang
ditampilkan pada nilai akumulasi tahunan dan hanya pada bulan Agustus hingga Desember terhadap nilai indeks iklim ENSO.
Anomali tahunan Anomali Aug-Dec Kalimantan Sumatera Kalimantan Sumatera 1997-2004 0.94