32
a. Pelaku jarimah bersama-sama dengan orang lain melaksanakan suatu jarimah
atau dengan pengertian bahwa mereka secara kebetulan bersama-sama melakukan jarimah tersebut;
b. Pelaku mangadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan
jarimah; c.
Pelaku menghasut atau menyuruh orang lain untuk melaksanakan jarimah; d.
Memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai macam cara, tanpa ikut melakukanya.
42
Setelah memeperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan turut serta melakukan suatu jarimah atau suatu tindak
pidana menurut hukum Islam adalah turut serta seseorang atau lebih dalam melakukan suatu perbuatan kejahatan atau kriminal, baik pelakunya turut serta
secara langsung atau tidak langsung. Selanjutnya dalam hal turut serta ini, hal yang harus dipahami adalah
bagaimana dan sejauh mana peranan para pelaku tindak pidana dalam melaksanakan kejahatan itu. Hal ini sangat penting karena pertanggungjawaban
dan hukuman masing-masing pelaku sangat tergantung pada seberapa jauh peranan masing-masing dalam melakukan tindak pidana tersebut.
42
Abdul Qodir Audah, Al- Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998,
h. 357.
33
2. Menurut Hukum Positif
Penyertaan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu deelneming berasal dari kata deelnemen, Satochid Kartanegara mendefinisikan bahwa yang
dimaksud dengan deelneming adalah apabila dalam suatu tindak pidana tersangkut lebih dari satu orang atau beberapa orang lebih dari seorang.
43
Pendapat Satochid Kartanegara di atas kurang tepat, karena walaupun tersangkut
beberapa orang,
jika hanya
satu orang
yang dapat
dipertanggungjawabkan, perbuatan tersebut tidak termasuk deelneming. Lebih tepat deelneming diartikan suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang
dapat dipertanggung jawabkan.
44
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa yang dinamakan deelneming adalah berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu orang
lain melakukan suatu tindak pidana.
45
Dalam turut serta ini, sesuatu yang perlu dipahami adalah bagaimana hubungan dari tiap-tiap peserta terhadap tindak pidana yang terjadi. Hal ini
disebabkan karena hubungan di antara para peserta itu dapat bermacam-macam, yaitu:
43
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bag. II Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, h. 1.
44
Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet. Ke 33, h. 77.
45
Wijaono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Bandung: PT. Eresco Jakarta, 1981, h. 108.
34
a. Mereka bersama-sama melakukan tindak pidana yang terjadi;
b. Hanya seorang saja yang mempunyai kehendak dan orang lain yang
melaksanakan tindak pidana tersebut; c.
Seseorang yang melakukan tindak pidana sedangkan yang lain memberikan bantuan kepadanya untuk melaksanakan tindak pidana.
Oleh karena itulah maka setiap pelaku mempunyai hubungan dan peranan yang berbeda-beda terhadap pelaku tindak pidana tersebut, maka semua ini
berpangkal kepada penetuan pertanggungjawaban dari pada setiap peserta terhadap tindak pidana yang terjadi.
46
Di dalam KUHP istilah penyertaan tidak dijelaskan secara definisi. Namun, berdasarkan pasal 55 dan 56 KUHP yang hanya menyebutkan bentuk-
bentuk penyertaan saja,
47
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan penyertaan adalah tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu orang dalam
mewujudkan perbuatan tindak pidana. Ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP itu menurut rumusannya yang
asli di dalam bahasa Belanda yang artinya: 1.
Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu: a.
mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau yang turut melakukan
46
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bag. I Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, h. 1.
47
Adami Chawawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. III Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, h. 78.