Penyertaan dalam pembunuhan berencana dalam hukum Islam dan hukum positif (kajian yurisprudensi no.1429 K/Pid/2010)

(1)

(Kajian Yurisprudensi no.1429 K/Pid/2010)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Syari’ah (S.sy

)

Oleh:

Hanifah Azwar

(107045102219)

JURUSAN KEPIDANAAN ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh

Hanifah Azwar 107045102219

Dibawah Bimbingan :

Pembimbing I : Pembimbing II :

Zubir Laini, S.H Dr. H.M.Nurul Irfan, M.Ag

150009273 197308022003121001

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil kaya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (satu) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 21 September 2011


(5)

i

“ Penyertaan dalam Pembunuhan Berencana dalam Hukum Islam dan Hukum Positif” (Kajian Yurispudensi no.1429 K/Pid/2010).(127,vi)

Tindak pidana semakin marak terjadi di kota- kata besar baik perampokan, pencurian hingga pembunuhan yang direncanakan .

Dalam perkembangan zaman dan pertambahan manusia yang sangat pesat manusia telah mengalami urbanisasi yang sangat tinggi. Masyarakat pedesaan beranggapan bahwa di kota besar seperti Jakarta terdapat lapangan pekerjaan yang banyak. Meningkatnya urbanisasi ke Jakarta telah menjadi zoon politicon, manusia dalam berinteraksi satu sama yang lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan di antara mereka, konflik yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan pelangaran hak dan kewajiban dari pihak satu ke pihak yang lain. Konflik-konflik seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikanya. Dalam keadaan seperti ini hukum sangat diperlukan untuk menyelesaikan

persoalan yang terjadi. Seperti ungkapan “di mana ada masyarakat, maka di situlah diperlukan hukum”. Eksitensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia,

tanpa adanya hukum, kehidupan manusia akan liar. Siapa yang kuat dialah yang menang. Maka perumusan masalah adalah Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan pandangan hukum positif tentang masalah tindak pidana pembunuhan berencana

Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap kasus No. 1429 K/PID/2010

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Adapun cara menganalisa datanya adalah deskripif kualitatif, yaitu penelitian yang menggambarkan secermat mungkin tentang hal yang diteliti, dengan jalan mengumpulkan data-data atau informasi yang berkaitan dengan penyertaan dalam pembunuhan berencana, dengan cara menganalisa putusan No. 1429 K/PID/2010 dan disajikan menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia.


(6)

ii

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin tiada terhenti karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Shalwat dan salam seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan, Nabi Muhammad SAW.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa, skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan, dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis di dalamnya, karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.

Dengan kerendahan hati dan rasa hormat, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta jajaranya.

2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Pidana Islam yang telah memberikan sarana dan prasarana yang baik selama peneliti berada di kampus ini.


(7)

iii kampus ini.

4. Bapak Zubir Laini, S.H., dan Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag., yang telah membimbing, memberikan arahan, meluangkan waktu dengan penuh

keikhlasan, dan kesabaran serta dukungan, do’a, waktu, dan motivasi sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis. Semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan, bermanfaat dan berguna untuk penulis.

6. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah membantu peneliti dalam mencari referensi berupa buku-buku yang menunjang dalam skripsi ini.

7. Seluruh karyawan serta Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang telah meluangkan waktunya kepada penulis dalam mencari sumber data dalam penulisan skripsi ini.

8. Ibunda Nur Istianah dan ayahanda Sahmari tercinta, yang telah menjaga dengan kesabaran, membesarkan dengan cinta dan kasih sayang, mendidik dengan pengorbanan yang tidak mengharapkan balik jasa dari buaian hingga saat ini, serta do`a-do`anya dengan harapan peneliti menjadi manusia yang


(8)

iv

Safira Yuni Sahana, semoga kita sekeluarga dijadikan oleh Allah SWT menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan, teman-teman Jurusan Pidana Islam Fakultas

Syari’ah dan Hukum angkatan 2007, khususnya Dori, Farhan Huri, dan

Shanti, teman-teman KKN Remigio 2010, teman-teman dlitzamba, khususnya Bigwanto, juga untuk Nur Hasanah Ismatullah yang memberikan konstribusi besar dan slalu mendukung dan memberikan motifasi kepada saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini, dan Aam Aminah yang banyak membantu dalam menyelesaikan skirpsi ini, terima kasih atas dukungan dan semangatnya yang tak pernah putus kepada peneliti sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini. 10.Juga kepada berbagai pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,

terimakasih atas

Dengan harapan yang tinggi, semoga Allah SWT membalas amal dan kebaikan mereka dengan pahala yang berlipat ganda atas bantuannya kepada peneliti secara moril maupun materil. Terima kasih atas segalanya. Kurang dan lebihnya penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya.

Jakarta, 21 September 2011


(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metode penelitian ... 9

F. Sistematik Penulisan ... 12

BAB II PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ... 14

1. Pengertian Tindak Pidana ... 14

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 18

3. Pembagian Tindak Pidana ... 22

B. Pengertian Penyertaan ... 31


(10)

vi

A. Pengertian Tindak Pembunuhan ... 44

B. Kualifiksi Pembunuhan ... 47

C. Sanksi Pidana Pembunuhan ... 62

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG A. Deskripsi Kasus Pembunuhan Berencana ... 84

1. Kronologis Pembunuhan ... 84

2. Dakwaan dan tuntutan jaksa... 99

B. Putusan Hakim Mahkamah Agung ... 100

C. Analisa Putusan Mahkamah Agung ... 103

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 125

B. Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 128

LAMPIRAN ... 131


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Dalam perkembangan zaman dan pertambahan manusia yang sangat pesat manusia telah mengalami urbanisasi yang sangat tinggi. Masyarakat pedesaan beranggapan bahwa di kota besar seperti Jakarta terdapat lapangan pekerjaan yang banyak. Meningkatnya urbanisasi ke Jakarta telah menjadi zoon politicon, manusia dalam berinteraksi satu sama yang lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan di antara mereka, konflik yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan pelangaran hak dan kewajiban dari pihak satu ke pihak yang lain. Konflik-konflik seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikanya. Dalam keadaan seperti ini hukum sangat diperlukan untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi. Seperti ungkapan “di mana ada masyarakat, maka di situlah diperlukan hukum”. Eksitensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia, tanpa adanya hukum, kehidupan manusia akan liar. Siapa yang kuat dialah yang menang.1

Dalam Al-Qur’an telah disebutkan tentang kejahatan, khususnya kejahatan yang bersifat kekerasan terhadap fisik manusia, pertama kali diperkenalkan di

1

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 2.


(12)

bumi ini oleh anak Adam, Qabil pada waktu ia membunuh Habil, saudaranya sendiri. Demikianlah seterusnya kekerasan demi kekerasan dalam berbagai bentuknya mengancam jiwa manusia yang dilakukan oleh dan terhadap anak-anak manusia itu sendiri berlangsung terus hingga sekarang.2

Adapun perbuatan tindak pidana dapat berupa pelanggaran atau kejahatan, yang dimaksud dengan perbuatan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan-aturan hukum dilarang dan diancam dengan hukuman pidana bagi masyarakat yang tidak mentaati dan melanggar aturan tersebut.3

Perbuatan tindak pidana ditinjau dari objek kejahatannya dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Kejahatan terhadap benda-benda sebagai objek hukum;

2. Kejahatan yang berhubungan dengan subjek hukum yaitu tubuh dan nyawa seseorang.

Kejahatan adalah suatu fenomena sosial yang terjadi pada setiap waktu dan tempat, kehadirannya di bumi ini dapat dianggap setua dengan umur manusia dengan banyaknya pemberitaan tentang kejahatan khususnya dalam hal pembunuhan dan perbuatan anarki dan perbuatan sadisme, bertambahnya tingkat kejahatan tersebut terjadi dikarenakan banyaknya kekurangan sarana dan pra sarana yang dapat menghambat perkembangan kejahatan. Pembunuhan dalam

2

JE. Sahetapy, Viktimologi Sibuah Bangsa Bunga Rampai (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), cet. ke-1, h. 35-36.

3


(13)

bahasa Indonesia diartikan dengan prosis, perbuatan atau cara membunuh.4 Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh sesorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal dunia. Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang dan atau beberapa orang dalam melakukan pembunuhan, maka dapat diklasifikasikan atau dikelompokkan menjadi: disengaja (amd), tidak disengaja (khata), dan semi disengaja (syibhu al-amd).5

Jadi dalam Islam pemidanaan dapat berfungsi sebagai pencegahan dan juga perbaikan, dan lain halnya dengan hukum pidana positif yang hanya mengancam dengan hukuman dan menghukumnya. Oleh karena itu kita membutuhkan suatu tatanan hukum untuk memperbaiki keseimbangan suasana dengan mengadakan suatu aturan hukum yang disepakati bersama dalam menutup kebobrokan moral dengan hukum yang tegas dan lugas dalam menyikapi suatu persoalan hukum.6

Pada saat ini kejahatan merajalela di mana-mana, dan sudah tidak menjadi rahasia lagi, terutama di kota-kota besar di Indonesia khususnya kota metropolitan Jakarta banyak atau sering terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang atau secara beramai-ramai. Khususnya dalam tindak pidana pembunuhan yang akan penulis bahas, banyak sekali dilakukan oleh lebih dari

4

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 136. 5

Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 24. 6


(14)

satu orang, yang disebut dengan “penyertaan dalam tindak pidana“ sesuai dengan pasal 340 KUHP pasal 55 (ayat 1).

Dalam kasus pembunuhan telah banyak terjadi di Jakarta khususnya di daerah Jakarta selatan, di catatan pengadilan negeri Jakarta Selatan dimulai dari bulan Januari hingga bulan April telah tercatat ada 1 kasus tehadap kejahatan terhadap nyawa dan 2 kasus kejahatan yang menyebabkan kematian. Di antara kasus-kasus yang ditangani oleh pengadilan Jakarta selatan di antaranya adalah kasus pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen direktur PT. Rajawali Sakti yang dilakukan oleh Antasari Azhar.

Dalam kasus pembunuhan berencana, yang merupakan tindakan kejahatan yang mengancam eksistensi jiwa dan nyawa seseorang. Tindakan tersebut merupakan tindakan kejahatan yang bisa menggoncang stabilitas keamanan terhadap jiwa dan nyawa masyarakat. Oleh karena itulah, Al-Qur’an melarang keras tindakan kejahatan tersebut dan menegaskan ancaman hukuman secara rinci dan berat atas diri pelanggarnya.7 Dalam kejahatan tersebut bukan hanya dilakukan seseorang saja tetapi banyak dilakukan oleh lebih dari seseorang, ada yang merencanakan, ada yang menyuruh, ada yang melakukan langsung atau lainnya, baik terlibat langsung maupun tidak langsung. Dalam Qur’an Surat Al-Maidah Allah swt. tegas melarang umat manusia untuk saling tolong menolong dalam kejahatan.8

7

Muhammad Amin Suma dkk, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek Dan Tantangan

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. ke-1, h. 108. 8

Imam Nawawi, Terjemahan Riyadhus Shalihin Jilid 1 (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 200.


(15)

































































































































































































































“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sidang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sisuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sisungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”(QS. Al-Maidah/5 : 2)

Ketentuan penyertaan yang dibentuk dan dimuat dalam kitab undang-undang hukum pidana yang bertujuan agar dapat dipertanggung-jawabkan dan dipidana orang-orang yang terlibat dan mempunyai andil baik secara fisik (objektif) maupun psikis (subjektif). Pembentuk undang-undang merasa perlu membebani tanggung jawab pidana dan yang sekaligus besarnya bagi orang-orang yang perbuatannya semacam itu, untuk menjadi pegangan hakim dalam menjatuhkan pidana.

Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama untuk mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda antara satu dengan yang


(16)

lain, dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang semuanya mengarah pada satu tujuan yaitu terwujudnya tindak pidana.9 Perampasan nyawa orang lain merupakan tindak pidana yang mengambil kebebasan seseorang untuk hidup.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana tindak pidana pembunuhan berencana, dan bagaimana tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan dan bagaimana pandangan hukum pidana Islam tentang tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan yang ditulis dalam sebuah skripsi

dengan judul: “PENYERTAAN DALAM PEMBUNUHAN BERENCANA

DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF: Kajian Yurisprudensi No. 1429 K/PID/2010

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat ditemukan suatu permasalahan yang cukup penting untuk dikaji lebih mendalam sehingga dapat ditemukan titik terang mengenai permasalahan yang akan dikaji.

Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi ini penulis mencoba untuk membatasi masalah ini, sebagai berikut:

9

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag.III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-1, h. 71.


(17)

1. Tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan yang penulis maksud adalah tindak pidana pembunuhan yang telah direncanakan dengan matang yang dilakukan oleh beberapa pihak, yaitu: pelaku, pihak yang menyuruh melakukan, pihak yang turut melakukan, pihak yang memberi upah, jani-janji atau sengaja membujuk, pihak yang membantu waktu kejahatan dilakukan dan atau yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

2. Hukum Islam yang dimaksud di sini adalah kajian hukum pidana Islam yang membahas tentang tindak pidana (jarimah) khususnya tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan.

3. Hukum positif yang penulis maksud adalah hukum positif yang terkait dalam pembahasan mengenai pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan.

Beralih dari pembahasan dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis memformulasikan permasalahan dalam perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan pandangan hukum positif tentang masalah tindak pidana pembunuhan berencana?

2. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap kasus No. 1429 K/PID/2010?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat penelitian

1. Adapun tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Memberikan gambaran atau penjelasan menurut hukum Islam dan hukum positif tentang bentuk penyertaan dalam pembunuhan berencana.

b. Untuk memberikan gambaran atau penjelasan mengenai tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan menurut pandangan hukum Islam.

c. Untuk memberikan gambaran atau penjelasan mengenai tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan menurut pandangan hukum pidana positif.

2. Manfaat penelitian

a. Hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan studi hukum pidana Islam mengenai tindak pidana khususnya mengenai pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan menurut hukum Islam.

b. Hasil penelitian ini berguna bagi para pihak-pihak yang berkepentingan dalam tranformasi hukum Islam dalam tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan dengan penyertaan.

c. Hasil penelitian ini berguna bagi akademisi hukum pidana Islam dalam rangka mengembangkan pemikiran dan khazanah hukum pidana Islam.


(19)

D. Tinjauan Pustaka

Sehubungan dengan skripsi yang penulis buat, terdapat sejumlah penelitian tentang topik tindak pidana yang dilakukan dengan penyertaan yang telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik maupun yang menyingung secara umum. Berikut paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut.

Karya ilmiyah dari skripsi Suniroh yang berjudul “Sanksi Pidana Atas

Tindak Pidana Penyertaan Dalam Perampokan Menurut Hukum Pidana Islam dan

Hukum Pidana Indonesia (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat)”.

Pokok masalah yang dikaji membahas tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana serta pembagian tindak pidana, pengertian penyertaan, bentuk-bentuk penyertaan, pengertian perampokan, bentuk-bentuk perampokan, sanksi pidana terhadap pelaku perampokan, sanksi pidana atas tindak pidana penyertaan perampokan.

Temuan penting dalam skripsi ini adalah bahwa hukum pidana Islam tidak sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan tidaklah memberikan keadaan yang sesungguhnya karena syarat dari pemberian hukuman telah terpenuhi. Yang seharusnya dalam kasus tersebut menurut hukum pidana Islam, apabila pelaku mengambil harta orang lain tanpa membunuh maka hukumannya adalah potong tangan dan kakinya dengan bersilang. Sedangkan menurut hukum pidana Indonesia pelaku seharusnya dikenakan hukuman pidana penjara paling lama 12 tahun karena perbuatan tersebut dilakukan di jalan umum.


(20)

Jadi dalam skripsi ini hanya menitik-beratkan pada sanksi yang diberikan pada pelaku perampokan yang disertai dengan kekerasan, sedangkan skripsi yang ditulis oleh penulis ini menjelaskan tentang keikutsertaan dalam tindak pidana pembunuhan berencana, meskipun terdapat kesamaan dalam menjelaskan tindak pidana secara umum.

E. Metode penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah library resiarch, dengan mengacu pada:

1. Sumber data a. Data Primer

1) Wawancara (interview), yaitu metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab antara dua orang atau lebih secara langsung.10 Pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung berhadapan dengan yang diwawancarai, tetapi dapat juga tidak secara langsung seperti memberikan daftar pertanyaan untuk dijawab pada kesempatan lain.11 Wawancara akan membantu mengungkapkan apa yang berkaitan dengan penelitian12 yaitu dengan mewawancarai narasumber yang

10

Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Research (Jakarta: Adi Offset, 1990), cet. ke-2, h. 193. 11

Jalaluddin Rachmat, Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistik,

h. 51. 12

Jane Stokes, How To Do Media and Cultural Studies: Panduan Untuk Melaksanakan Penelitian Dalam Kajian Media dan Budaya (Bandung: PT. Bentang Pustaka, 2006), cet. ke-1, h. 135.


(21)

berkaitan dengan penelitian ini, yaitu pihak Panitera Pengadilan Jakarta Selatan, Bagian Hukum dan Bagian Banding dan Kasasi. 2) Sumber data lapangan, yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang berupa data putusan No. 1429 K/PID/2010, data tahun 2011 tentang kejahatan terhadap jiwa dan kejahatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

b. Data Sekunder

Dokumentasi yaitu pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen. Pengumpulan data ini diperoleh dari dokumen-dokumen yang berupa catatatan formal dan dengan mengumpulkan serta menelaah beberapa literatur baik berupa buku-buku,catatan-catatan dan dokumen atau diktat yang ada pada redaksi.13 yaitu buku-buku,catatan-catatan dan dokumen yang berhubungan dengan dengan judul skripsi ini (Literature dan referensi kepustakaan).

2. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi (keputusan), yaitu pengumpulan data-data yang terdapat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berupa Putusan Majelis Hakim No. 1429 K/Pid/2010/Mahkamah Agung, tentang pembunuhan berencana yang

13

Husni Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodelogi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), h. 32.


(22)

dilakukan dengan penyertaan, dan buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini, dan berita yang disiarkan kepada media masa.14

3. Teknik analisa data

Adapun cara menganalisa datanya adalah deskripif kualitatif, yaitu penelitian yang menggambarkan secermat mungkin tentang hal yang diteliti, dengan jalan mengumpulkan data-data atau informasi yang berkaitan dengan penyertaan dalam pembunuhan berencana, dengan cara menganalisa putusan No. 1429 K/PID/2010 dan disajikan menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia.

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari‟ah dan Hukum, tahun 2007.

F. Sistematis Penulisan

Untuk mencapai sarana seperti yang diharapkan, maka sistematika pembahasan ini dibagi menjadi lima bab. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori dan konsiptual, sistematika penulisan.

14

Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), cet. ke-1, h. 163.


(23)

BAB II : Pada bab ini membahas tentang penyertaan dalam tindak pidana menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana Indonesia yang dibagi menjadi: A. Tinjauan umum tentang tindak pidana yang terdiri dari: 1. Pengertian tindak pidana 2. Unsur-unsur tindak pidana 3. Pembagian tindak pidana B. Pengertian penyertaan C. Bentuk-bentuk penyertaan.

BAB III : Pada bab ini menjelaskan tentang tindak pidana pembunuhan berencana menurut hukum Islam dan hukum pidana Indonesia, yang dibagi menjadi: A. Pengertian pembunuhan B. Macam-macam pembunuhan C. Sanksi pidana dan konsep pemaafan.

BAB IV : Pada bab ini menjelaskan tentang penyertaan dalam pembunuhan berencana (studi kasus putusan No. 1429 K/PID/2010): A. Dalam hukum Islam B. Dalam hukum positif.

BAB V : Penutup merupakan hasil akhir yang memuat beberapa kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan perbandingan antara Hukum Islam dan Hukum positif. Selanjutnya penulis juga memberikan saran-saran yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.


(24)

14

HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

a. Menurut Hukum Pidana Islam

Dalam hukum pidana Islam istilah tindak pidana sering diistilahkan dengan jarimah, yang berasal dari kata مرج yang berarti melakukan usaha atau upaya.15 Pengertian secara umum yaitu:

Melakukan perbuatan yang diharamkan yang dikenal dengan sanksi atas melakukan perbuatan itu atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan yang dikenai sanksi atas meninggalkan perbuatan tersebut.

Imam Al-Mawardi mendefinisikan jarimah sebagai berikut:

Segala larangan-larangan syara‟ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau takzir.16

15

A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 11.

16

Abu Al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah (Musthafa Al-Baby Al-Halaby, Mesir, 1975), cet. ke-3, h. 219.


(25)

Para fuqaha mendefinisikan jarimah:

“segala larangan-larangan yang haram karena dilarang oleh Allah yang diancam dengan hukuman had atau takzir, maksud al-mahdhurot ialah: baik mengerjakan perbuatan yang dilarang maupun meninggalkan perbuatan yang

dilarang”

Larangan-larangan menurut definisi yang diberikan oleh para fuqaha di atas, adakalanya mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diwajibkan kepadanya, dan dapat dikenakan sanksi berupa had atau qishas. Adanya kata syara berarti bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila telah ada larangan dari syara.

Kemudian Abdul Qadir Audah dalam kitabnya Al-Tasyri Al-Jina’i Al-Islami mengemukakan sebagai berikut:

“jinayah menurut bahasa adalah nama dari tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang dari kejahatan yang ia lakukan, dan menurut istilah ialah nama dari

perbuatan yang diharamkan oleh syari‟at baik perbuatan itu terhadap jiwa, atau harta atau yang lainnya”17

Para fuqaha juga sering memakai kata-kata jinayah untuk jarimah. Semula pengertian jinayah ialah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan

17

Abdul Al-Qodir Audah, Al-tasri‟ Al-Jinai Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), jilid I, h. 67.


(26)

kata-kata jinayah adalah perbuatan yang dilarang syara’, baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta maupun benda lainnya.

Kebanyakan fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul, mengugurkan kandungan dan sebagainya. Ada pula golongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud dan qishas saja.

Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata jinayah dan jarimah di kalangan para fuqaha, maka dapatlah kita mengatakan bahwa kata-kata jinayah dalam istilah fuqaha sama pengertiannya dengan kata jarimah.18

A.Hanafi dalam buku Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam mengemukakan sebagai berikut: hukum pidana ialah kumpulan aturan-aturan yang mengatur cara melindungi dan menjaga keselamatan hak-hak dan kepentingan masyarakat (Negara) dan anggota-anggotanya dari perbuatan yang tidak dibenarkan.19

Sedangkan menurut Haliman, hukum pidana Islam ialah ketentuan-ketentuan hukum syariat Islam yang melarang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan terhadap pelanggaran ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman yang berupa penderitaan badan atau denda kepada pelakunya.20

18

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), cet. ke-5, h. 1-2.

19

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 45. 20

Haliman, Hukum Pidana Syari‟at Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 64.


(27)

b. Menurut Hukum Positif

Pembentuk undang-undang kita telah mengunakan perkataan “straffbaar

feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam

kitab undang-undang hukum pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit”. Tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu, sehingga para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dari istilah itu. Sayangnya sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat.21 Kemudian muncullah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemah dari istilah straffbaar feit ini, antara lain:

1) Moeljatno memberikan rumusan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dan diancam dengan pidana bagi yang melanggarnya.22 Dan perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang telah dicita-citakan oleh masyarakat itu.

2) R.Tresna memilih peristiwa pidana yang berarti sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lainnya terhadap perbuatan yang diadakan tindakan penghukuman.23

21

Adami Chawawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-1, h. 67.

22

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. ke-7, h. 54. 23


(28)

3) Wirjono lebih memilih pada tindak pidana yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman atau sanksi pidana.24

Dalam bahasa feit berarti sebagian dari kenyataan sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum, maka secara harfiah strafbaar feit berarti sebagian dari sesuatu kenyataan yang dapat dihukum.25

Menurut hukum positif kita, tindak pidana adalah suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.26 Sesungguhnya tidak ada seorangpun dapat dihukum kecuali apabila tindakanya itu memang benar-benar bersifat melanggar hukum dan telah dilakukan berdasarkan kesengajaan ataupun tidak sengaja.

Tindak pidana adalah: a. Suatu perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu diancam dengan hukuman oleh undang-undang;

c. Perbuatan harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana a. Menurut Hukum Islam

Dalam hukum pidana Islam, tindak pidana atau jarimah itu memiliki unsur-unsur atau rukun-rukun, yaitu unsur umum dan unsur khusus.27 Unsur

24

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT. Eresco Jakarta, 1981), cet. ke-3, h. 50.

25

Van Bemmelen, Ons Strafrecht I, h. 62. 26

Pompe, Handboek, h. 39. 27

A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 12.


(29)

umum jarimah adalah unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, yang terdiri dari:

1) Unsur formal (al-rukn al-syar’i), yakni adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman;

2) Unsur materil (al-rukn al-madi), yakni adanya perbuatan yang membentuk jarimah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang maupun meninggalkan perbuatan yang diperintahkan;

3) Unsur moril (al-rukn al-adaby), yakni pelaku jarimah, ia adalah orang yang dapat menerima khitab atau dapat memahami taklif, atau disebut sebagai mukallaf.

Menurut unsur khusus jarimah adalah unsur yang terdapat pada suatu jarimah yang lain. Sebagai contoh: menghilangkan nyawa manusia oleh manusia lainnya dalam jarimah pembunuhan.

b. Menurut Hukum Positif

Unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang, yakni: dari sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Maksud dari teoritis adalah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.28

28

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-1, h. 78-79.


(30)

1) Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi  Menurut moeljatno, unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

 Menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur sebagai berikut: a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. Diadakan tindakan penghukuman atau sanksi.

 Menurut Apeldoorn elemen atau unsur delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum (onrecht matig/wederrechttelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang pembuat (dader) yang mampu bertanggungjawab atau dipersalahkan (toerekeningsyat baarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum.29

Di samping itu pula ada yang membagi unsur tindak pidana secara terperinci, dan ini didasarkan atas susunan dari tiap-tiap tindak pidana yang bersangkutan, sehingga secara alternatif setiap tindak pidana harus mempunyai unsur yang pada umumnya sesuai dengan luasnya isi rumusan tindak pidana yang pada umumnya sesuai dengan luasnya isi rumusan

29

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradya Paramita, 1978), cet. ke-15, h. 338-339.


(31)

tindak pidana yang berkembang dalam ilmu pengetahuan. Kemudian dalam hal menentukan pembagian perincian unsur-unsur dalam suatu tindak pidana tidak terdapat kesatuan doktrin dari para ahli.

Dari unsur yang telah dikemukakan oleh para ahli hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu tindak pidana harus memiliki unsur-unsur yang terdiri dari:

a) Subjek; b) Kesalahan;

c) Sifat melawan hukum;

d) Suatu tindakan yang diancam dengan hukuman atau sanksi. 2) Unsur Tindak Pidana dalam Rumusan Undang-Undang

Buku II KUHP memuat rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dalam buku III adalah pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan. Unsur kesalahan dan melawan hukum terkadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantumkan.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu:

a) Tingkah laku; b) Melawan hukum; c) Kesalahan;


(32)

d) Akibat konstitutif;

e) Keadaan yang menyertai;

f) Syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana; g) Syarat tambahan untuk memperberat pidana; h) Syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.30

3. Pembagian Tindak Pidana a. Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam seperti telah disebutkan sebelumnya tindak pidana disebut dengan jarimah. Menurut cara meninjaunya jarimah dapat dibedakan menjadi:

1) Dilihat dari segi berat ringanya hukuman jarimah dibagi menjadi tiga, yaitu: jarimah hudud, jarimah qishas diyat dan jarimah takzir.

2) Dilihat dari segi niat si pelaku, jarimah dibagi menjadi: sengaja dan tidak sengaja.

3) Dilihat dari cara mengerjakan, jarimah dibagi menjadi positif dan negatif. 4) Dan dari segi yang menjadi korban, jarimah dibagi menjadi jarimah

perseorangan dan jarimah masyarakat.31

30

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-1, h. 81-82.

31


(33)

1) Jarimah: Hudud, Qishas Diyat dan Takzir a) Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Adapun pengertian hukuman had sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah, adalah:

“hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan merupakan hak Allah SWT”.32

Oleh karena hukuman had itu merupakan hak Allah, maka hukuman tersebut tidak dapat digugurkan oleh perseorangan (korban atau pihak keluarga) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara.

Yang termasuk dalam jarimah hudud ada tujuh macam, yaitu: 1. Zina;

2. Qadzaf atau menuduh berzina;

3. Syurbul khamar atau meminum minuman keras; 4. Pencurian;

5. Hirabah atau perampokan; 6. Riddah atau murtad; 7. Jarimah pemberontakan.

32

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), h. 79.


(34)

b) Jarimah Qishas-Diyat

Jarimah qishas-diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman qishas atau hukuman diyat, tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban atau ahli warisnya dapat memaafkan si pelaku kejahatan. Bila dimaafkan, maka hukumanya dapat terhapus.

Jarimah ini terdiri dari lima macam, yaitu: 1) Pembunuhan sengaja;

2) Pembunuhan menyerupai sengaja; 3) Pembunuhan karena kesalahan; 4) Penganiayaan sengaja;

5) Penganiayaan tidak sengaja. c) Jarimah takzir

Yang termasuk jarimah golongan ini ialah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman takzir. Jarimah takzir dari segi bahasa berartikan mencegah atau menolak, sedangkan menurut istilah berartikan peraturan mengenai jarimah yang ancaman hukumnya diserahkan kepada kebijakan hakim. Jadi secara definisi jarimah takzir ialah suatu tindakan yang diancam dengan hukuman takzir. Dalam hal ini, syara tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah takzir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringanya sampai pada yang


(35)

seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberikan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah takzir serta keadaan si pelaku.

2) Jarimah Sengaja dan Jarimah Tidak Sengaja

Pada jarimah sengaja, si pembuat dengan sengaja melakukan perbuatannya, sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang (salah). Begitulah arti umum tentang kesengajaan, meskipun pada jarimah pembunuhan, kesengajaan mempunyai arti khusus, yaitu sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dan akibat perbuatan itu dikehendaki pula. Kalau si pelaku dengan sengaja berbuat tetapi tidak menghendaki akibat-akibat perbuatannya itu, maka disebut pembunuhan semi sengaja.

Pada jarimah tidak sengaja, si pelaku tidak sengaja melakukan perbutan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut sebagai akibat kekeliruan.33

3) Jarimah Positif dan Jarimah Negatif

Jarimah positif (jarimah ijabiyah) terjadi karena mengerjakan suatu perbuatan yang dilarang, seperti: mencuri, memukul, dan sebagainya. Disebut juga sebagai delicta commissionis. Jarimah negatif (jarimah salabiyah) terjadi karena tidak mengerjakan suatu perbuatan yang diperintahkan. Disebut juga sebagai delicta ommissionis.

33

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), h. 11-12.


(36)

4) Jarimah Masyarakat dan Jarimah Perorangan

Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah di mana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jarimah itu mengenai perseorangan atau mengenai ketentranman masyarakat dan keamananya.

Jarimah perseorangan adalah suata jarimah di mana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya apa yang menyingung perseorangan juga berarti menyinggung masyarakat.34

b. Menurut Hukum Positif dan menurut KUHP dan doktrin

Dalam hukum positif, tindak pidana dibagi menjadi:

1) Menurut KUHP, tindak pidana dibedakan menjadi dua, yaitu kejahatan dan pelangaran. Di dalam KUHP dibagi menjadi tiga buku, yaitu buku I yang berisikan tentang aturan-aturan umum, buku II yang berisikan tentang tindak pidana yang termasuk dalam tindak pidana kejahatan, dan dalam buku III berisikan tentang tindak pidana yang termasuk dalam pelangaran.35 Dalam hal ini undang-undang hanya membagi penggolangan saja tanpa memberikan arti yang jelas.

34

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), h. 14.

35

Adami Chawawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 118.


(37)

Manfaat pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelangarn: a) Pada pasal 5 kejahatan yang dilakukan di luar negeri dapat dijatuhkan

hukuman sedangkan pelanggaran tidak.

b) Pada pasal 10 hukuman kejahatan lebih berat daripada hukuman pelaggaran.

c) Kesalahan dalam kejahatan harus dibuktikan dengan tegas sedangkan pelanggaran tidak perlu dibuktikan dengan tegas.

d) Pada pasal 53 percobaan melakukan tindak kejahatan dapat dikenakan hukuman sedangkan percobaan dalam pelanggaran tidak.

e) Pada pasal 56 membantu dalam kejahatan dihukum sedangkan dalam pelanggaran tidak.

f) Pada pasal 65 dan 66 mengenai pengabungan tindak pidana hanya dijatuhkan satu hukumn tersebut sedangkan pada pasal 70 jika terjadi pengabungan terhadap pelanggaran maka dihukum sendiri-sendiri.

Namun demikian oleh ilmu pengetahuan hukum mencoba lebih lanjut memberikan ukuran perbedaan kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut:

a) Kejahatan adalah recht delict, yakni perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum. Dan pelanggaran adalah wet delict, perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara.


(38)

b) Kejahatan adalah memperkosa suatu kepentingan hukum (krenkings delicten) seperti pembunuhan, pencurian dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang hanya membahayakan kepentingan hukum, seperti menabrak dan melewati lampu merah, dan lain-lain.

2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formil delicten) dan tindak pidana materiil (materiel delicten).

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya sesuatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sedangkan tindak pidana materiil, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.36

3) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culposi delicten).

Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.

36

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 122.


(39)

Sedangkan tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa dan tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang unsur kesalahannya adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan.37

4) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta comissionis) dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi (delicta ommissionis).

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya merupakan perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkanya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materiil. Sedangkan tindak pidana pasif adalah di dalam tindak pidana pasif ada suatu kondisi atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan perbuatan itu maka ia telah melanggar kewajiban hukumnya tadi. Di sini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini dapat juga disibut juga tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum.38

37

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bag I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 124-125.

38

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 125-126.


(40)

5) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (buku II dan buku III KUHP), sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut, misalnya tindak pidana korupsi, tindak pidana psikotropika, dan lain-lain.39

6) Dilihat dari sudut hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukanhanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu).

Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang sebagian tersebar tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian, akan tetapi ada perbuatan-perbuatan yang tidak patut tertentu yang khusus hanya dapat oleh orang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nahkoda (pada kejahatan pelayaran dan sebagainya). Di samping itu ada juga tindak pidana yang berdiri sendiri, misalnya seorang ibu melakukan pembunuhan bayinya.40

39

Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 127.

40

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 128.


(41)

B. Pengertian Penyertaan 1. Menurut Hukum Islam

Dalam bahasa Arab penertaan berasal dari kata اًكارتْشإ كرتْشي كرتْشإ

yang

berarti persekutuan, perserikatan, asosialisasi dan partnership. Dalam hukum Islam terdapat istilah (istirak fi jarimah) yang berarti bersama-sama, keterlibatan atau delik penyertaan.41

Penyertaan menurut hukum Islam seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah adalah:

Suatu jarimah kadang-kadang dilakukan oleh individu sindiri, kadang-kadang dilakukan oleh beberapa orang yang masing-masing individu mendapat bagian dalam pelaksanaan jarimah tersebut atau saling membantu satu dengan yang lainnya demi terlaksananya jarimah tersebut.

Setelah memperhatikan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan dari penyertaan dalam suatu tindak pidana menurut hukum Islam adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang.

Di dalam hukum pidana Islam apabila jarimah atau tindak pidana itu diperbuat oleh beberapa orang maka bentuk kerjasama mereka, tidak lebih dari empat macam bentuk, yaitu:

41

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika Yogyakarta, 2003), cet. ke-8, h. 131.


(42)

a. Pelaku jarimah bersama-sama dengan orang lain melaksanakan suatu jarimah atau dengan pengertian bahwa mereka secara kebetulan bersama-sama melakukan jarimah tersebut;

b. Pelaku mangadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah;

c. Pelaku menghasut atau menyuruh orang lain untuk melaksanakan jarimah; d. Memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan

berbagai macam cara, tanpa ikut melakukanya.42

Setelah memeperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan turut serta melakukan suatu jarimah atau suatu tindak pidana menurut hukum Islam adalah turut serta seseorang atau lebih dalam melakukan suatu perbuatan kejahatan atau kriminal, baik pelakunya turut serta secara langsung atau tidak langsung.

Selanjutnya dalam hal turut serta ini, hal yang harus dipahami adalah bagaimana dan sejauh mana peranan para pelaku tindak pidana dalam melaksanakan kejahatan itu. Hal ini sangat penting karena pertanggungjawaban dan hukuman masing-masing pelaku sangat tergantung pada seberapa jauh peranan masing-masing dalam melakukan tindak pidana tersebut.

42

Abdul Qodir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), h. 357.


(43)

2. Menurut Hukum Positif

Penyertaan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu deelneming berasal dari kata deelnemen, Satochid Kartanegara mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan deelneming adalah apabila dalam suatu tindak pidana tersangkut lebih dari satu orang atau beberapa orang (lebih dari seorang).43

Pendapat Satochid Kartanegara di atas kurang tepat, karena walaupun tersangkut beberapa orang, jika hanya satu orang yang dapat dipertanggungjawabkan, perbuatan tersebut tidak termasuk deelneming. Lebih tepat deelneming diartikan suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang dapat dipertanggung jawabkan.44

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa yang dinamakan deelneming adalah berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu orang lain melakukan suatu tindak pidana.45

Dalam turut serta ini, sesuatu yang perlu dipahami adalah bagaimana hubungan dari tiap-tiap peserta terhadap tindak pidana yang terjadi. Hal ini disebabkan karena hubungan di antara para peserta itu dapat bermacam-macam, yaitu:

43

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bag. II (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa), h. 1. 44

Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet. Ke 33, h. 77.

45

Wijaono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT. Eresco Jakarta, 1981), h. 108.


(44)

a. Mereka bersama-sama melakukan tindak pidana yang terjadi;

b. Hanya seorang saja yang mempunyai kehendak dan orang lain yang melaksanakan tindak pidana tersebut;

c. Seseorang yang melakukan tindak pidana sedangkan yang lain memberikan bantuan kepadanya untuk melaksanakan tindak pidana.

Oleh karena itulah maka setiap pelaku mempunyai hubungan dan peranan yang berbeda-beda terhadap pelaku tindak pidana tersebut, maka semua ini berpangkal kepada penetuan pertanggungjawaban dari pada setiap peserta terhadap tindak pidana yang terjadi.46

Di dalam KUHP istilah penyertaan tidak dijelaskan secara definisi. Namun, berdasarkan pasal 55 dan 56 KUHP yang hanya menyebutkan bentuk-bentuk penyertaan saja,47 dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan penyertaan adalah tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu orang dalam mewujudkan perbuatan tindak pidana.

Ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP itu menurut rumusannya yang asli di dalam bahasa Belanda yang artinya:

1. Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu:

a. mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau yang turut melakukan

46

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bag. I (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa), h. 1. 47

Adami Chawawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 78.


(45)

b. mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman, atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan.

2. Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini, yang dapat dipertanggung jawabkan kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya dihukum sebagai pembantu-pembantu di dalam suatu kejahatan, yaitu:

a. mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut;

b. mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempata, sarana-sarana atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.48

C. Bentuk-Bentuk Penyertaan 1. Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam penyertaan hanya dibedakan berdasarkan keikutsertaan seseorang dalam melakukan jarimah. Apakah secara langsung atau tidak langsung. Berdasarkan hal tersebut para fuqaha membagi penyertaan menjadi dua golongan, yaitu:

48


(46)

a. Turut Berbuat Langsung

Yang dimaksud dengan turut berbuat langsung adalah orang yang secara langsung turut serta melakukan tindak pidana. Dalam istilah fiqh jinayah peristiwa turut berbuat langsung disibut isytirak mubasyir.

Abdul Qodir Audah berpendapat bahwa turut berbuat langsung pada dasarnya baru terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari seseorang atau berbilangnya jumlah pelaku. 49

Para fuqaha mengadakan pemisahan tentang kerjasama para pelaku dalam mewujudkan tindak pidana yang terjadi. Dikatakan apabila kerjasama antar mereka dalam melakukan suatu tindak pidana terjadi secara kebetulan maka kejadian ini dinamakan tawafuq, dan kerja sama yang terjadi memang sudah direncanaan maka kejahatan itu dinamakan tamalu.50

Pada tawafuq pelaku tindak pidana tidak mempunyai kesepakatan sebelumnya, melainkan masing-masing berbuat karena dorongan pribadi dan fikiran yang timbul secara tiba-tiba, seperti yang sering terjadi pada kerusuhan dalam demontrasi atau perkelahian masal. Dan masing-masing pelaku bertangung jawab atas akibat perbuatannya saja, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain.

49

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), h. 360.

50

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), h. 107.


(47)

Adapaun tamalu pelaku telah bersepakat sebelumnya untuk melakukan tindak pidana dan mereka menginginkan terlaksananya kejahatan tersebut, serta saling bantu membantu melaksanakanya. Misalnya ada dua orang bersepakat untuk membunuh orang ketiga, kemudian keduanya pergi menemui orang tersebut, yang satu mengikat korban yang lainnya memukul kepala korban sampai korban tewas, maka kedua pelaku tersebut bertanggung jawab atas kematian korban. Dan para pelaku harus mempertanggungjawabkan secara keseluruhan. Apabila korban kejahatan meninggal maka setiap pelaku dapat dihukum sebagai pembunuh.51

Menurut para fuqaha ada perbedaan pertanggungjawaban antar pelaku tawafuq dan tamalu. Pada tawafuq masing-masing pelaku hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatnya saja, dan tidak bertanggung jawab atas pebuatan orang lain. Akan tetapi pada tamalu para peserta harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatan sebagai keseluruhan. Apabila korban meninggal maka masing-masing pelaku dianggap sebagai pembunuh.

Adapun menurut imam Abu Hanifah, antara tawafuq dan tamalu sama saja hukumnya, yaitu masing-masing pelaku hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya sendiri, jadi dalam keadaan tamalu seperti pada contoh

51

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), h. 108.


(48)

tersebut hukumanya adalah yang dipersalahkan karena mengikat dan yang lainnya karena memukuli.52

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dinamakan turut berbuat langsung dalam tindak pidana adalah berbilangnya para pelaku dalam melaksanakan tindak pidana baik secara kebetulan atau berencana, atau adanya keterlibatan orang lain dalam suatu tindak pidana, baik keterlibatan secara kebetulan atau berencana.

Dengan adanya keterlibatan orang lain dalam suatu tindak pidana, dan dengan adanya bermacam-macam bentuk tindak pidana, maka para fuqaha mengadakan pemisahan kerjasama mereka dengan tawafuq dan tamalu, yaitu kerjasama yang terjadi karena kebetulan dan kerjasama yang terjadi berdasarkan adanya kesepakatan, agar mudah menjatuhkan hukuman pada masing-masing pelaku.

b. Turut Berbuat tidak Langsung

Yang dimaksud dengan turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.53

52

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), h. 108.

53

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), h. 111.


(49)

Definisi yang kongkrit adalah yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah, yaitu:

“Dianggap sebagai turut berbuat tidak langsung, orang yang mengadakan persikokongkolan dengan orang lain unutk melakukan suatu tindak pidana atau menyuruh orang lain atau member bantuan dalam perbuatan

tersebut”.54

Dari keterangan tersebut kita mengetahui unsur-unsur turut berbuat tidak langsung, yaitu:

1) Perbuatan yang dapat dihukum (jarimah);

2) Niatan dari orang yang turut berbuat agar sikapnya itu perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi;

3) Cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan kesepakatan, atau menyuruh, atau membantu.55

Unsur pertama

Perbuatan di mana kawan berbuat tidak langsung memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperklukan harus selesai dan juga tidak diperlukan si pelaku asli (pelaku langsung) harus dihukum pula. Jadi pada jarimah percobaan, kawan berbuat tidak langsung dapat pula dihukum.

54

Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami (Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998), h. 365-366.

55

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 111.


(50)

Unsur kedua

Dengan kesepakatan atau dengan hasutan atau bantuan, dimaksudkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya suatu jarimah tertentu. Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka ia dianggap turut berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Kalau jarimah yang terjadi bukan yang dimaksudkan, maka tidak ada turut berbuat, meskipun karena kesepakatan dan lain-lain itu sindiri ia dijatuhkan hukuman.56

Unsur ketiga

Turut berbuat tidak langsung bias terjadi dengan jalan: 1) Kesepakatan

Kesepakatan biasanya terjadi karena adanya saling memahami dan karena kesamaan kehendak untuk memperbuat jarimah. Kalau tidak ada kesepakatan sebelumnya, maka tidak ada turut berbuat. Jadi tidak ada turut berbuat kalau sudah ada kesepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama.

2) Menyuruh (menghasut)

Yang dimaksudkan dengan menghasut adalah membujuk orang lain untuk melakukan jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk diperbutnya suatu jarimah, walaupun tidak ada hasutan atau bujukan,

56

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 111.


(51)

maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya. Baik bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap adanya jarimah, namun bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhkan hukuman.57 3) Memberi bantuan

Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam meperbuat jarimah dianggap sebagai kawan berbuat langsung, meskipun tidak ada kesepakatan untuk itu sebelumnya, seperti mempelajari jalan untuk memudahkan melakukan tindak pidana. Perbedaan antara memberi bantuan dengan pembuat asli ialah kalau pembuat asli adalah orang yang memperbuat pekerjaan yang dilarang, maka pemberi bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksana terhadap perbuatan tersebut.58

2. Menurut Hukum Pidana Positif

Dapat diketahui bahwa hukum positif tidak mengadakan perbedaan deelneming seperti yang terdapat dalam hukum Islam, tetapi membuat perincian antara pelaku (dader) dan membantu melakukan (medeplichtigheid).

Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut ketentuan-ketentuan pidana dalam pasal 55 dan 56 KUHP itu dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

57

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), h. 112. 58


(52)

a. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam pasal 55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader), adalah mereka:

1) Pihak yang melakukan (plegen), orangnya disebut dengan pembuat pelaksana (pleger)

2) Pihak yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut dengan pembuat penyuruh (doen pleger), Doen plegen atau menyuruh melakukan adalah seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana, syarat yang terpenting adalah bahwa yang disuruh adalah orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan seperti dalam pasal 44 dan 48 KUHP.

3) Pihak yang turut serta melakukan (made plegen), orangya disebut dengan pembuat peserta (mede pleger), Medeplegen atau turut melakukan: adalah seseorang pelaku dan seseorang atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya. Bersama-sama melakukan suatu tindak pidana.

4) Mereka yang sengaja menganjurkan (uitlokken), orangnya disebut sebagai pembuat penganjur (uitlokker).59 Uitloken atau menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana: adalah orang yang dengan sengaja menggerakan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk

59

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag. III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 79.


(53)

melakukan suatu tindak pidana dengan mengunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang karena telah bergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan.

b. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige) kejahatan, Medeplichtigheid atau membantu melakukan tindak pidana adalah seseorang yang dengan sengaja membantu melakukan kejahatan, atau orang yang dengan sengaja membantu dengan cara memberikan cara untuk mempermudah orang lain melakukan kejahatan, bantuan yang diberikan dapat berupa materi seperti memberikan senjata pada orang yang akan mengeksikusi korban, dapat juga berupa intelektual misalnya meberikan kesempatan pada orang lain untuk mencuri barang-barang yang berada di dalam pengawasanya, yang dibedakan menjadi:

1) Yang membantu waktu kejahatan dilakukan;

2) Yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan, sebelum kejahatan dilakukan.


(54)

44

DAN SANKSI HUKUMANYA

A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan 1. Menurut Hukum Pidana Islam

Definisi pembunuhan menurut hukum pidana Islam yaitu perbuatan seseorang yang menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan jiwa anak Adam oleh perbuatan anak Adam yang lain. Dalam bahasa Arab, pembunuhan berasal dari kata لتق yang sinonimnya ت ام ا dalam istilah, pembunuhan didefinisikan oleh Abdul Qodir Audah sebagai berikut:

Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya kehidupan yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan perbuatan manusia lainya.60

Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur jarimah pembunuhan adalah:

a. Menghilangkan nyawa manusia

b. Adanya perbuatan, baik perbuatan itu aktif maupun pasif. Maksud dari aktif adalah adanya perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan sehingga meninggalnya seseorang, misalnya menusuk seseorang dengan pisau.

60


(55)

Perbuatan pasif, misalnya seorang ibu tidak mau menyusui anaknya yang sedang lapar sehingga anak tersebut meninggal, tidak ada perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan tetapi karena tidak berbuat itu mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

Adapun definisi pembunuhan dalam hukum Islam, menurut Wahbah Al-Zuhaili yaitu:

Pembunuhan adalah perbuatan yang dapat menghilangkan nyawa atau mematikan jiwa atau perbuatan dari sebagian manusia yang menyebabkan hilangnya kehidupan, maksudnya perbuatan tersebut dapat merusak hakikat kemanusiaan.61

Tindak pidana pembunuhan sering juga disebut dengan al-jinayah „ala an -nafs al-insaniyyah yang berarti kejahatan terhadap jiwa manusia,62ulama fiqh

mendifinisikan pembunuhan dengan “perbuatan manusia yang berakibat hilangnya nyawa seseorang”.

Jenis pembunuhan dalam hukum Islam ada dua macam. Yaitu pembunuhan yang diharamkan. Adapun maksud dari pembunuhan yang diharamkan yaitu setiap pembunuhan yang didasari dengan niat pelaku untuk melawan hukum. Jenis pembunuhan lainnya yaitu pembunuhan secara legal. Artinya, setiap pembunuhan tanpa ada niat melawan hukum, seperti membunuh

61

Wahbah Al-zuhaili, Al-fiah Al-Islam Wa Adillatuhu (Damsik: Dar Al-Fikr, 1989), cet. ke-3, h. 217.

62

Abdul Aziz Dahlan, et. Al, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1379.


(56)

orang yang membunuh orang lain dan membunuh orang murtad (keluar dari Islam).63

2. Menurut Hukum Positif

Tindak pidana menurut Wirjono Prodjodikoro berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.64

Kata bunuh berarti mematikan, menghilangkan nyawa, membunuh artinya membuat seseorang mati, pembunuhan berarti perkara membunuh, perbuatan atau hal membunuh. Perbuatan yang dikatakan pembunuhan adalah perbuatan oleh siapa saja yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain.65

Pembunuhan adalah suatu kejahatan terhadap nyawa seseorang, yaitu berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan merupakan objek kejahatan ini adalah nyawa manusia.

Untuk memahami arti pembunuhan ini dapat dilihat pada pasal 338 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.66

Dari pasal di atas dapat dipahami bahwa:

a. Pembunuhan merupakan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain.

63

Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam (Beirut: Dar Al-Kitab, t.th), cet. ke-2, h. 177.

64

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT Eresco,1981), cet. ke-3, h. 55.

65

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1992), h. 129. 66


(57)

b. Pembunuhan itu disengaja, artinya diniatkan untuk melakukan pembunuhan. c. Pembunuhan itu dilakukan dengan segera sesudah timbul maksud untuk

membunuh.67

B. Kualifikasi Pembunuhan 1. Menurut hukum Islam

Dalam syariat Islam pembunuhan pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Pembunuhan yang dilarang, yakni pembunuhan yang dilakukan dengan melawan hukum.

b. Pembunuhan yang hak, yakni pembunuhan yang tidak melawan hukum seperti seorang algojo yang diberi tugas melaksanakan hukuman mati.68

Menurut imam Malik pembunuhan dilihat dari segi niat pelaku terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Pembunuhan sengaja; b. Pembunuhan tersalah.69

Adapun jumhur fuqaha membagi pembunuhan menjadi tiga bagian, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, dan pembunuhan karena kesalahan.70

67

R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal (Bandung: PT. Karya Nusantara, 1989), h. 207.

68

Abdul Qodir Audah, Al-tasyri Al-jinaiy Al-Islami Juz II (Beirut: Dar Al-Kitab, t.th), h. 6. 69


(58)

a. Pembunuhan sengaja

(

دمعلا لتقلا

)

Pembunuhan sengaja sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah adalah:

“Pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan di mana perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa itu disertai dengan niat untuk membunuh korban.”71

Dalam redaksi yang lain, Sayyid Sabiq memberikan definisi pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan yang di mana seorang mukallaf sengaja untuk membunuh orang lain, yang dijamin keselamatanya dengan mengunakan alat yang menurut dugaan kuat dapat membunuh (mematikan).72

Dari kedua definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa pembunuhan sengaja adalah pembunuhan di mana pelaku perbuatan tersebut sengaja melakukan suatu perbuatan dan dia menghendaki akibat dari perbuatannya, yakni matinya orang yang menjadi korban. Sehingga indikator dari kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang

70

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. ke-1, h. 139.

71

Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, h. 180. 72


(59)

digunakannya. Dalam hal ini alat yang digunakan untuk membunuh adalah alat yang lumrahnya dapat mematikan. 73

Berdasarkan definisi di atas, untuk dapat dikatakan suatu kejahatan terhadap nyawa sebagai pembunuhan disengaja, paling tidak harus ada tiga unsur pokok yang harus dipenuhi dalam tindak pidana pembunuhan sengaja.

Unsur pertama tindak pidana pembunuhan sengaja, yaitu korban yang dibunuh adalah manusia yang hidup. Tindak pidana pembunuhn atas jiwa pada dasarnya adalah tindak pidana terhadap manusia hidup. Karena itu fuqaha menamainya dengan tindak pidana atas jiwa. Untuk memastikan terjadinya tindak pidana pembunuhan sengaja, korban harus manusia hidup.

Unsur kedua, dari tindak pidana pembunuhan sengaja yaitu kematian adalah hasil dari perbuatan pelaku. Untuk memastikan unsur ini, kematian disyaratkan harus akibat dari perbuatan pelaku dan perbuatan tersebut biasanya memang mengakibatkan kematian. Suatu perbuatan tidak disyaratkan berupa jenis-jenis tertentu untuk dianggap sebagai pembunuhan. Karenanya, perbuatan bisa berupa pemukulan, melukai, menyembelih, membakar, mencekik, meracuni, atau bentuk yang lain.74

Unsur ketiga, dari tindak pidana pembunuhan sengaja yaitu pelaku tersebut menghendaki terjadinya kematian (bermaksud melakukan pembunuhan). Untuk menentukan bahwa suatu pembunuhan dianggap

73

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. ke-1, h. 140.

74


(1)

125 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam syariat Islam pembunuhan pada dasarnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu pembunuhan yang dilarang dan pembunuhan yang bisa dibebankan. Sidangkan menurut pandangan hukum positif sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam buku II pasal 338-350 tentang “Kejahatan-kejahatan terhadap nyawa orang”. Pembunuhan adalah termasuk tindak pidana material, artinya untuk kesimpurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan dilakukanya perbuatan itu, akan tetapi menjadi syarat juga adanya akibat dari perbuatan itu.

2. Dalam hukum Islam penyertaan hanya dibedakan berdasarkan keikutsertaan seseorang dalam melakukan jarimah. Apakah secara langsung atau tidak langsung. Berdasarkan hal tersebut para fuqaha membagi penyertaan menjadi dua golongan, yaitu: turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung. 3. Pandangan hukum Islam terhadap kasus No. 1429 K/PID/Mahkamah Agung

pada kasus pembunuhan berencana di Mahkamah Agung Jakarta tesibut, dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja, karena melihat terdakwa merencanakan pembunuhan korban yang bernama Nasrudin Zulkarnaen Iskandar.


(2)

4. Perbandingan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif dalam kasus ini yaitu:

a. Dalam hukum Islam dikenal dengan tamalu, tamalu adalah kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya. Jika jumlah perbuatan pelaku secara langsung lebih dari satu, baik semuanya sebagai pembunuh, maupun sebagian saja yang membunuh, atau melakukanya secara bersamaan atau bergantian, pelaku harus bertanggung jawab sebagai pembunuhan disengaja, selama satu perbuatannya atau beberapa perbuatannya bisa menyebabkan kematian dan membantu terjadinya kematian. Oleh karena itu, kejahatan ini dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja dan pelakunya dikenakan hukuman qishas sebagai hukuman pokok.

b. Dalam hukum positif di Indonesia tentang ancaman hukuman terhadap suatu kejahatan termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menetapkan jenis-jenis pidana atau hukuman yang termaktub dalam pasal 10 KUHP. Dibagi dalam dua bagian, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai sumbang pikir peneliti untuk dijadikan sebagai bahan masukkan dan saran-saran, antara lain:


(3)

127

1. Penegak hukum hendaknya, harus bertindak secara objektif dalam memutuskan suatu kasus, jangan sampai terinterfensi oleh kekuasaan atau kekuatan dari politik manapun.

2. Penegak hukum harus bertindak siadil, siarif dan sibijaksana mungkin, jangan sampai memutuskan suatu kasus orang yang bersalah menjadi benar (tidak bersalah) dan orang yang benar menjadi terdakwa atau bersalah.

3. Penegak hukum hendaknya, memperkarakan sibuah kasus dengan pasal-pasal atau dasar-dasar hukum yang sesuai dan relevan dengan kasus-kasus yang sidang diperkarakan.

4. Penegak hukum hendaknya, bisa memposisikan sebagai pihak yang independen, tidak terpengaruh oleh kekuata intimidasi, kekuasaan, materi (tergoda dengan sogokan uang ataupun barang mewah).

Kepada masyarakat umum, hendaknya mengetahui tentang hukum yang ada, berprilaku tertib hukum (mentaati hukum/peraturan yang ada dan tidak melanggar hukum-hukum yang sudah ditetapkan).


(4)

128 Al-Qur`an Al-Kariim.

Al-Mawardi, Abu Al-Hasan. Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Musthafa Baby Al-Halaby, Mesir, 1975.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Mudhlor. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika Yogyakarta, 2003.

Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam. Jakarta, Sinar Grafika, 2007.

Apeldoorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradya Paramita, 1978.

Audah, Abdul Qadir. Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami. Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998.

Bassar, M. Sudrajat. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP. Bandung: Remaja Karya, 1986.

Bin Syaurah, Abi Isa Muhammd bin Isa. Sunan At-Tirmidzi. Bairut: Dar Ma’rifah, 2002.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana bag III. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Djazuli, A. Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000.

Hadi, Sutrisno. Metode Penelitian Research. Jakarta: Adi Offset, 1990. Hadikusuma, Hilman. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1992.

Hafiz, Imam Hafiz Abi Daud Sulaiman ibn Asy’ab Sajastany. Sunan Abi Daud. Bairut: Dar A’lam, 2003.

Haliman. Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahli Sunnah. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP, cet 11. Jakarta: Rineka Cipta, 2004 Hanafi, A. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005.


(5)

129

Ibrahim, Johny. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Nomatif. Malang: Bayamedia, 2005.

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana bag II. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa. Marpaung, Laden. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Moleong, Lexi J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

Nasution, H. A. Hukum Pidana Syariat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1971

Nawawi, Imam. Terjemahan Riyadhus Shalihin Jilid 1. Jakarta: Pustaka Amani, 1999.

Purnomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994. Rachmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis

Statistik.

Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah. Bandung: PT Al-Maarif, t.tt.

Sahetapy, JE. Viktimologi Sibuah Bangsa Bunga Rampai. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Santoso, Topo Santoso. Mengagas Hukum Pidana Islam. Bandung, As-Syamil, 2000. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, Juz I. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal. Bandung: PT. Karya Nusantara, 1989

Stokes, Jane. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan Untuk Melaksanakan

Penelitian Dalam Kajian Media dan Budaya. Bandung: PT. Bentang

Pustaka, 2006.

Suma, Muhammad Amin, dkk. Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek Dan

Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang

Pasti Dan Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press, 2006.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT. Eresco Jakarta, 1981.


(6)

Putusan Mahkamah Agung No.1429 K/PID/Mahkamah Agung

Usman, Husni, dan Purnomo Setiadi Akbar. Metodelogi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 1998.

Tresna. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Tiara Limiter, 1959.


Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

0 13 21

Tindak Pidana Penyertaan Pembunuhan Perspektif Hukum Islam (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 959 K/Pid/2012)

1 7 116

Tindak pidana penyertaan pembunuhan Perspektif hukum islam (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 959 k/pid/2012)

0 6 116

SKRIPSI Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

1 4 14

PENDAHULUAN Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

0 2 14

OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

1 7 21

KAJIAN TERHADAP ALASAN PENGAJUAN KASASI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM DAN TERDAKWA DALAM PERKARA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Nomor : 1429 K/Pid/2010).

0 0 13

BAB IV PEMBERIAN REMISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Remisi dalam Hukum Positif - PEMBERIAN REMISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDAN

0 0 50

Hukum Pidana dan Ketatanegaraan Perbandingan Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam Mengenai Pembunuhan Berencana - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 89