Menurut Hukum Islam Bentuk-Bentuk Penyertaan
36
a. Turut Berbuat Langsung
Yang dimaksud dengan turut berbuat langsung adalah orang yang secara langsung turut serta melakukan tindak pidana. Dalam istilah fiqh
jinayah peristiwa turut berbuat langsung disibut isytirak mubasyir. Abdul Qodir Audah berpendapat bahwa turut berbuat langsung pada
dasarnya baru terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari seseorang atau berbilangnya jumlah pelaku.
49
Para fuqaha mengadakan pemisahan tentang kerjasama para pelaku dalam mewujudkan tindak pidana yang terjadi. Dikatakan apabila kerjasama
antar mereka dalam melakukan suatu tindak pidana terjadi secara kebetulan maka kejadian ini dinamakan tawafuq, dan kerja sama yang terjadi memang
sudah direncanaan maka kejahatan itu dinamakan tamalu.
50
Pada tawafuq pelaku tindak pidana tidak mempunyai kesepakatan sebelumnya, melainkan masing-masing berbuat karena dorongan pribadi dan
fikiran yang timbul secara tiba-tiba, seperti yang sering terjadi pada kerusuhan dalam demontrasi atau perkelahian masal. Dan masing-masing pelaku
bertangung jawab atas akibat perbuatannya saja, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain.
49
Abdul Qadir Audah, Al- Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998,
h. 360.
50
Abdul Qadir Audah, Al- Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998,
h. 107.
37
Adapaun tamalu pelaku telah bersepakat sebelumnya untuk melakukan tindak pidana dan mereka menginginkan terlaksananya kejahatan tersebut,
serta saling bantu membantu melaksanakanya. Misalnya ada dua orang bersepakat untuk membunuh orang ketiga, kemudian keduanya pergi
menemui orang tersebut, yang satu mengikat korban yang lainnya memukul kepala korban sampai korban tewas, maka kedua pelaku tersebut bertanggung
jawab atas
kematian korban.
Dan para
pelaku harus
mempertanggungjawabkan secara keseluruhan. Apabila korban kejahatan meninggal maka setiap pelaku dapat dihukum sebagai pembunuh.
51
Menurut para fuqaha ada perbedaan pertanggungjawaban antar pelaku tawafuq
dan tamalu. Pada tawafuq masing-masing pelaku hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatnya saja, dan tidak bertanggung jawab atas pebuatan
orang lain.
Akan tetapi
pada tamalu
para peserta
harus mempertanggungjawabkan akibat perbuatan sebagai keseluruhan. Apabila
korban meninggal maka masing-masing pelaku dianggap sebagai pembunuh. Adapun menurut imam Abu Hanifah, antara tawafuq dan tamalu sama
saja hukumnya, yaitu masing-masing pelaku hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya sendiri, jadi dalam keadaan tamalu seperti pada contoh
51
Abdul Qadir Audah, Al- Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998,
h. 108.
38
tersebut hukumanya adalah yang dipersalahkan karena mengikat dan yang lainnya karena memukuli.
52
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dinamakan turut berbuat langsung dalam tindak
pidana adalah berbilangnya para pelaku dalam melaksanakan tindak pidana baik secara kebetulan atau berencana, atau adanya keterlibatan orang lain
dalam suatu tindak pidana, baik keterlibatan secara kebetulan atau berencana. Dengan adanya keterlibatan orang lain dalam suatu tindak pidana, dan
dengan adanya bermacam-macam bentuk tindak pidana, maka para fuqaha mengadakan pemisahan kerjasama mereka dengan tawafuq dan tamalu, yaitu
kerjasama yang terjadi karena kebetulan dan kerjasama yang terjadi berdasarkan adanya kesepakatan, agar mudah menjatuhkan hukuman pada
masing-masing pelaku. b.
Turut Berbuat tidak Langsung Yang dimaksud dengan turut berbuat tidak langsung adalah setiap
orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain atau
memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.
53
52
Abdul Qadir Audah, Al- Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998,
h. 108.
53
Abdul Qadir Audah, Al- Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998,
h. 111.
39
Definisi yang kongkrit adalah yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah, yaitu:
“Dianggap sebagai turut berbuat tidak langsung, orang yang mengadakan persikokongkolan dengan orang lain unutk melakukan suatu tindak pidana
atau menyuruh orang lain atau member bantuan dalam perbuatan
tersebut”.
54
Dari keterangan tersebut kita mengetahui unsur-unsur turut berbuat tidak langsung, yaitu:
1 Perbuatan yang dapat dihukum jarimah;
2 Niatan dari orang yang turut berbuat agar sikapnya itu perbuatan yang
dimaksudkan dapat terjadi; 3
Cara mewujudkan perbuatan tersebut yaitu mengadakan kesepakatan, atau menyuruh, atau membantu.
55
Unsur pertama
Perbuatan di mana kawan berbuat tidak langsung memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperklukan harus selesai dan juga tidak
diperlukan si pelaku asli pelaku langsung harus dihukum pula. Jadi pada jarimah percobaan, kawan berbuat tidak langsung dapat pula dihukum.
54
Abdul Qadir Audah, Al- Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami Beirut: Muatsatsah Al-Risalah, 1998,
h. 365-366.
55
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005, h. 111.
40
Unsur kedua
Dengan kesepakatan atau dengan hasutan atau bantuan, dimaksudkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya suatu jarimah tertentu.
Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka ia dianggap turut berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya.
Kalau jarimah yang terjadi bukan yang dimaksudkan, maka tidak ada turut berbuat, meskipun karena kesepakatan dan lain-lain itu sindiri ia dijatuhkan
hukuman.
56
Unsur ketiga
Turut berbuat tidak langsung bias terjadi dengan jalan: 1
Kesepakatan Kesepakatan biasanya terjadi karena adanya saling memahami dan
karena kesamaan kehendak untuk memperbuat jarimah. Kalau tidak ada kesepakatan sebelumnya, maka tidak ada turut berbuat. Jadi tidak ada
turut berbuat kalau sudah ada kesepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama.
2 Menyuruh menghasut
Yang dimaksudkan dengan menghasut adalah membujuk orang lain untuk melakukan jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk
diperbutnya suatu jarimah, walaupun tidak ada hasutan atau bujukan,
56
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005, h. 111.
41
maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya. Baik bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap adanya jarimah, namun
bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhkan hukuman.
57
3 Memberi bantuan
Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam meperbuat jarimah dianggap sebagai kawan berbuat langsung, meskipun tidak ada
kesepakatan untuk itu sebelumnya, seperti mempelajari jalan untuk memudahkan melakukan tindak pidana. Perbedaan antara memberi
bantuan dengan pembuat asli ialah kalau pembuat asli adalah orang yang memperbuat pekerjaan yang dilarang, maka pemberi bantuan tidak berbuat
atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang
ataupun sebagai pelaksana terhadap perbuatan tersebut.
58