40
Tabel 7.
Komposisi Penduduk Desa Kertawinangun
Berdasarkan Matapencaharian dan Jenis Kelamin Tahun 2010
Matapencaharian Jenis Kelamin
Pria Orang
Persentase Perempuan
Orang Persentase
Petani 119
10,09 100
8,83 Buruh Tani
481 40,80
750 66,25
Pegawai Negeri Sipil 10
0,85 14
1,24 Pedagang Keliling
15 1,27
20 1,77
Peternak 6
0,51 0,00
Montir 332
28,16 0,00
Dokter Swasta 5
0,42 0,00
Pembantu rumah Tangga 0,00
50 4,42
TNI 1
0,08 0,00
Pensiunan PNSTNIPolri 1
0,08 0,00
Pengusaha kecil dan menengah
5 0,42
4 0,35
Dukun kampung terlatih 0,00
1 0,09
Guru Swasta 9
0,76 1
0,09 Karyawan Swasta
145 12,30
139 12,28
Pedagang 50
4,24 53
4,68 Total
1179 100
1132 100
Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah
5.3. Karakteristik
Decision Making Unit
Jumlah decision making unit yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 73 orang. Terdapat beberapa decision making unit yang memiliki lahan
yang terfragmentasi di beberapa lokasi namun masih terdapat dalam satu hamparan yang menjadi objek penelitian. Terdapat beberapa decision making unit
yang mengolah lahan yang terfragmentasi dalam cakupan penelitian dengan menanam varietas yang sama, sehingga penulis mengasumsikan beberapa lahan
terfragmentasi yang diolah oleh satu decision making unit dianggap sebagai satu decision making unit dengan satu decision making unit. Penulis mengasumsikan
41 satu fragmen lahan yang ditanami satu jenis varietas merupakan satu decision
making unit . Sedangkan asumsi yang digunakan pada decision making unit yang melakukan budidaya pada beberapa lahan terfragmentasi dalam cakupan
penelitian dengan varietas yang berbeda disetiap fragmen lahannya sebagai satu decision making unit dengan beberapa decision making unit. Fragmen lahan yang
dianggap sebagai decision making unit tersendiri adalah fragmen dengan varietas yang berbeda. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa varietas memiliki pengaruh
terhadap produktivitas dan memiliki karakteristik seperti kebutuhan hara, ketahanan hama dan penyakit, dan lain sebagainya yang berbeda, sehingga penulis
tidak dapat mengasumsikan beberapa fragmen dengan varietas yang berbeda sebagai satu decision making unit sehingga pada penelitian ini terdapat 73
decision making unit yang diwawancara, dengan 77 decision making unit. Alasan terdapat decision making unit yang mengolah lahan yang
terfragmentasi adalah karena sebagian besar decision making unit hanya petani penggarap dengan sistem sewa sehingga mereka tidak dapat memastikan
mendapatkan lahan yang berada dalam satu hamparan. Simpulan yang diambil dari pernyataan para decision making unit yang menggunakan satu varietas
meskipun lahannya terfragmentasi diantaranya: a meningkatkan efisiensi. Decision making unit hanya cukup mengkalkulasikan luas lahannya dan
menghitung kebutuhan dari masukan input yang harus disediakan. Apabila membudidayakan lebih dari varietas, terdapat kemungkinan reponden harus
mengeluarkan tenaga lebih untuk memperhitungkan inventori yang harus dikeluarkan. b memudahkan menghitung pendapatan bersih. c memudahkan
dalam proses penjualan. Hal ini disebabkan setiap varietas memiliki karakteristik yang berbeda sehingga terdapat kemungkinan pasar memiliki harga yang berbeda.
Terdapat beberapa alasan decision making unit membudidayakan lebih dari satu varietas dalam satu musim tanam, diantaranya: a coba-coba, pada
alasan ini decision making unit mengatakan mencoba varietas baru dan pada akhirnya akan membandingkan hasilnya untuk menjadi referensi pada musim
tanam selanjutnya. Decision making unit tidak dapat mengandalkan hasil panen decision making unit lain karena setiap decision making unit memiliki
42 karakteristik tersendiri dalam mengelola usahataninya, sehingga decision making
unit perlu merasa harus langsung menguji hasil dari suatu varietas. b mengikuti varietas yang digunakan oleh petani sekitar lahan. Misalkan decision making unit
X mengolah lahan yang dikelilingi petani yang menggunakan padi B. Meskipun decision making unit X lebih menyukai padi A, akan tetapi pada akhirnya petani
X mengikuti petani lain menanam padi B. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terkena hama dan penyakit karena perbedaan varietas. c adanya
perjanjian dengan pemilik lahan. Misalkan pemilik lahan menghendaki lahannya ditanami padi varietas tertentu dikarenakan alasan tertentu misalnya sejarah lahan.
Hal ini menyebabkan petani penggarap mengikuti varietas sesuai dengan yang diinginkan pemilik lahan.
Karakteristik decision making unit yang akan dibahas meliputi jenis kelamin, usia, lama bertani padi sawah, lama pendidikan formal, matapencaharian
utama, status kepemilikan lahan garapan, dan sumber modal usahatani. Matapencaharian utama didefinisikan sebagai pekerjaan yang dianggap menjadi
sumber penghasilan utama decision making unit. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 58 dari 73 decision making unit atau sebanyak 79,46 persen decision
making unit mengatakan bahwa mereka tidak memiliki pekerjaan lain selain bertani. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki keahlian lain selain bertani.
Berdasarkan usia pada kategori decision making unit yang menyatakan bertani sebagai matapencaharian utama, hanya terdapat satu decision making unit yang
berusia tidak produktif diatas 65 tahun dengan rataan pengalaman bertani 22 tahun. Meskipun banyak decision making unit yang masih berusia produktif,
namun mereka hanya menggantungkan pendapatan dari bertani dengan alasan bertani adalah satu-satunya keahlian yang dimiliki. Banyaknya pengalaman
menjadi petani juga menjadikan decision making unit menjadikan bertani sebagai sumber penghasilannya.
Berdasarkan lama menempuh pendidikan, decision making unit rata-rata menempuh pendidikan formal selama 6,5 tahun dengan 22 decision making unit
yang menempuh pendidikan dibawah enam tahun, sehingga mereka tidak memiliki cukup banyak pilihan untuk mencari pekerjaan lain. Kedekatan dengan
43 dunia pertanian sejak kecil membuat mereka merasa bertani adalah jalan hidupnya
meskipun memiliki pendapatan yang tidak pasti. Berdasarkan usia, rataan decision making unit berusia 44 tahun, dengan pengalaman bertani 22 tahun
sehingga mereka menjadi lebih memilih bertani sebagai satu-satunya pekerjaan yang dimiliki.
Terdapat 15 dari 73 decision making unit atau sebanyak 20,54 persen decision making unit memiliki pekerjaan lain selain bertani. Meskipun memiliki
pekerjaan lain, sebagian besar decision making unit menganggap bertani adalah matapencaharian utama. Hal ini disebabkan besarnya penghasilan yang diperoleh
dari bertani. Selain itu terdapat beberapa decision making unit yang tidak memiliki penghasilan tetap dari pekerjaan diluar bertani sehingga menganggap
bertani adalah matapencaharian utama. Hanya terdapat lima decision making unit yang menganggap bertani bukan matapencaharian utama. Alasan kelima decision
making unit menyatakan bertani bukan matapencaharian utama karena mereka mendapatkan penghasilan tetap setiap periode tertentu dari pekerjaannya, ataupun
mereka mendapatkan pendapatan yang besar dari pekerjaan lain selain bertani. Data decision making unit yang memiliki pekerjaan lain selain bertani terdapat
pada tabel 8. Usia rataan decision making unit yang memiliki pendapatan lain diluar
usahatani adalah 43 tahun dengan rataan lama bertani 22 tahun, dan seluruh decision making unit masih berada pada usia produktif. Masih produktifnya usia
decision making unit dapat menjadi penunjang sehingga decision making unit masih dapat menjalankan beberapa pekerjaan dalam waktu yang sama.
Berdasarkan lama menempuh pendidikan formal, rataan yang diperoleh adalah 7,66 tahun dengan rincian delapan decision making unit menempuh pendidikan
lebih dari 12 tahun yang memiliki pekerjaan sebagai TNI dan guru baik PNS maupun honorer, satu decision making unit tidak menempuh pendidikan formal
dan bekerja sebagai pedagang, dan enam decision making unit bekerja sebagai pedagang, supir, dan tukang servis.
44
Tabel 8. Sebaran Decision Making Unit Berdasarkan Jenis Pekerjaan Selain
Bertani Tahun 2010 Pekerjaan Selain Bertani
Jumlah Decision Making Unit
Persentase
Tukang Servis 1
6,67 Guru Honorer
3 20
PNS 2
13,33 Pedagang
7 46,67
Supir 1
6,67 TNI
1 6,67
Jumlah 15
100
Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah
Berdasarkan luasan lahan, terdapat 34 decision making unit yang menggarap lahan dibawah satu hektar. Meskipun luasan yang digarap tidak
terlalu besar, akan tetapi decision making unit merasa mendapatkan keuntungan karena sebagian besar menggarap lahan pribadi sehingga apabila gagal panen
tidak dibebankan untuk membayar sewa lahan. Hanya dua decision making unit yang menggarap lahan diatas lima hektar, dan hanya terdapat satu decision
making unit yang menggarap lahan diatas lima hektar dan milik sendiri. Sebagian besar decision making unit yang menggarap lahan antara satu hingga lima hektar
menggarap lahan yang terfragmentasi di beberapa tempat namun masih dalam satu hamparan yang menjadi area pengamatan. Hal ini dikarenakan terdapat
decision making unit yang hanya menjadi petani penggarap sehingga ketika menyewa tanah tidak dapat memastikan mendapat lahan yang berada disatu area.
Terdapat dua cara pembayaran sewa yang ada di daerah pengamatan, yaitu sistem biaya sewa yang telah ditentukan sebelumnya, yang berkisar sembilan hingga dua
belas juta rupiah untuk lahan seluas 0,7 hektar selama satu tahun. Sistem bayar yang lain adalah 2. 500 kg gabah untuk luasan dan masa sewa yang sama.
Apabila terjadi gagal panen, maka decision making unit memiliki hutang kepada
45 pemilik lahan dengan menggunakan harga gabah pada saat decision making unit
membayar. Berdasarkan sumber modal usahatani, sebagian besar decision making unit
tidak menggantungkan dari satu sumber modal saja. Kurang dari sepuluh decision making unit hanya memiliko satu sumber. Rataan modal yang dibutuhkan
decision making unit untuk menjalankan usahatani sebesar lima juta rupiah untuk lahan 0,7 hektar. Meskipun tidak terdapat akses terhadap lembaga perbankan di
desa, petani dapat mengakses lembaga bank di desa lain yang berjarak sekitar 5 km dari desa tersebut, sehingga terdapat beberapa petani yang dapat mengakses
perbankan sebagai sumber modal. Berdekatannya desa pengamatan dengan desa lain di tepi pantai menyebabkan petani yang memiliki akses ke KUD Mina
sehingga meskipun bukan nelayan, namun petani tetap mendapat akses modal dari KUD tersebut.
5.4. Teknik Budidaya