Teknik Budidaya Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) Desa Kertawinangun Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu

45 pemilik lahan dengan menggunakan harga gabah pada saat decision making unit membayar. Berdasarkan sumber modal usahatani, sebagian besar decision making unit tidak menggantungkan dari satu sumber modal saja. Kurang dari sepuluh decision making unit hanya memiliko satu sumber. Rataan modal yang dibutuhkan decision making unit untuk menjalankan usahatani sebesar lima juta rupiah untuk lahan 0,7 hektar. Meskipun tidak terdapat akses terhadap lembaga perbankan di desa, petani dapat mengakses lembaga bank di desa lain yang berjarak sekitar 5 km dari desa tersebut, sehingga terdapat beberapa petani yang dapat mengakses perbankan sebagai sumber modal. Berdekatannya desa pengamatan dengan desa lain di tepi pantai menyebabkan petani yang memiliki akses ke KUD Mina sehingga meskipun bukan nelayan, namun petani tetap mendapat akses modal dari KUD tersebut.

5.4. Teknik Budidaya

Teknik budidaya yang direkomendasikan oleh Departemen Pertanian adalah teknik budidaya dengan pengelolaan tanaman terpadu PTT. Pengelolaan tanaman terpadu menjadi salah satu strategi peningkatan produktivitas dengan penerapan teknologi yang sesuai dengan sumber daya pertanian yang tersedia di suatu daerah. Komponen dalam PTT terdiri atas teknologi dasar dan teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar pada PTT adalah: 1 Penggunaan varietas unggul. 2 Benih bermutu dan berlabel. 3 Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. 4 Pengendalian hama dan penyakit terpadu HPT. Komponen teknologi pilihan dalam PTT terdiri atas: 1 Penanaman bibit umur muda dengan jumlah bibit satu hingga tiga bibit perlubang. 2 Peningkatan populasi tanaman. 3 Penggunaan bahan organik seperti kompos atau pupuk kandang. 4 Pengairan dan pengeringan berselang. 5 Pengendalian gulma. 6 Panen tepat waktu. 7 Perontokan gabah sesegera mungkin BBP2TP 2008. Teknik budidaya yang digunakan decision making unit belum menerapkan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu PTT. Decision making unit 46 mengandalkan kebiasaan bertani yang dilakukan. Salah satu hal yang diduga menyebabkan hal ini adalah kurangnya kedekatan antara penyuluh dengan decision making unit. Menurut keterangan decision making unit, penyuluh pertanian memiliki peran yang minim dalam membimbing dan memberikan informasi secara merata kepada decision making unit sehingga sebagian besar decision making unit kurang mengetahui perkembangan terkini mengenai teknik budidaya padi sawah. Selain itu faktor usia dan latar belakang pendidikan juga menjadi faktor pendukung sikap subsisten dari decision making unit yang diamati. Contoh hal yang membuat petani menjadi tidak percaya terhadap penyuluh adalah kejadian pada sekitar tahun 2006. Penyuluh pertanian memperkenalkan padi sawah jenis baru yaitu padi hibrida dan terdapat beberapa decision making unit yang tertarik untuk membudidayakan. Akan tetapi muncul masalah seperti gagal panen, banyaknya hama dan penyakit yang menyerang, tingginya biaya produksi, dan rendahnya harga beras di pasaran. Sekitar tahun 2008, penyuluh pertanian mengintroduksi padi varietas Ciherang, akan tetapi setelah beberapa musim tanam padi tersebut rentan terhadap hama dan penyakit, selain itu anakannya memiliki kualitas yang menurun dari hasil panen sebelumnya sehingga sebagian decision making unit enggan menggunakan bibit ini. Berbagai masalah yang muncul menyebabkan decision making unit merasa inferior dengan penyuluh pertanian sehingga saat ini sebagian besar decision making unit mereasa enggan untuk berkonsultasi dengan penyuluh pertanian. Selain itu, selama sekitar satu bulan pengamatan, terlihat penyuluh pertanian tidak melakukan pendekatan ataupun penyuluhan terhadap petani di daerah penelitian. Berdasarkan kegiatan budidaya yang digunakan oleh decision making unit, secara garis besar kegiatan budidaya dapat dikelompokkan menjadi kegiatan persemaian, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. a. Persemaian Kegiatan yang dilakukan decision making unit pada saat persemaian adalah menyediakan lahan untuk menjadi lahan persemaian. Sebagian decision making unit belum melakukan kegiatan persemaian seperti yang 47 dianjurkan dalam PTT. Terdapat beberapa decision making unit yang masih belum melakukan pemilihan benih bernas 4 4 Benih yang tenggelam dalam air . Luas persemaian yang digunakan oleh decision making unit disesuaikan dengan jumlah benih yang hendak disemai. Idealnya luasan area pembibitan adalah empat persen dari luasan area tanam. Biaya yang dikeluarkan oleh decision making unit dalam masa pembibitan meliputi biaya pengolahan lahan sebelum pembibitan, pembelian ajir dan plastik untuk isolasi lahan pembibitan, dan biaya pembelian bibit. Bibit yang digunakan decision making unit adalah bibit varietas Ciherang, Denok, Mekongga, SMC, dan Kintani 1. Decision making unit masih belum menggunakan bibit sesuai dengan yang dianjurkan dalam PTT. Decision making unit telah menggunakan bibit unggul seperti varietas Ciherang dan Mekongga, akan tetapi sebagian besar decision making unit masih belum menggunakan bibit berlabel. Lebih dari 90 persen decision making unit mengatakan bahwa bibit yang digunakan pada musim kering tahun 2011 adalah bibit hasil panen sebelumnya. Akan tetapi terdapat kemungkinan bibit yang digunakan bukan berasal dari bibit yang ditanam sendiri pada musim tanam pertama. Terdapat beberapa petani yang membeli dari petani lain. Tidak lebih dari sepuluh decision making unit yang mengatakan pada musim kering tahun 2011 menggunakan bibit baru yang dibeli dari toko. Decision making unit lebih menyukai membeli dari petani lain dengan alasan harga yang lebih murah dibandingkan harus membeli dari toko. Decision making unit mengatakan harga bibit adalah sekitar Rp.50.0005 kg bibit. Jumlah penggunaan bibit yang digunakan decision making unit berkisar antara 10-21,43 kgha. Sebagian besar decision making unit menggunakan bibit dibawah yang dianjurkan oleh PTT, yaitu 20 kgha. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh decision making unit. Berdasarkan penggunaan bibit, decision making unit dapat dikelompokkan seperti pada tabel 9. 48 Tabel 9. Petani Padi Sawah Desa Kertawinangun Menurut Bibit yang Digunakan pada Musim Kering Tahun 2011 Varietas Jumlah Petani Alasan Menggunakan Varietas Ciherang 16 Varietas dari pemerintah Denok 39 Menghasilkan beras yang harga jualnya tinggi Mekongga 20 Tahan penyakit SMC 1 Mencoba Kintani 1 1 Mencoba b. Persiapan Lahan Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan oleh decision making unit adalah pengolahan lahan. Pengolahan lahan biasanya dilakukan dua minggu sebelum lahan ditanami. Seluruh decision making unit menggunakan bantuan traktor untuk mengolah lahannya. Hal ini dikarenakan pengolahan tanah dengan traktor menurut decision making unit paling efisien dibandingkan menggunakan tenaga hewan ataupun manusia. Biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan lahan dengan traktor adalah Rp.400.000-500.000 untuk lahan seluas 0,7 hektar. Berdasarkan PTT, disarankan ketika pengolahan lahan dilakukan juga pembenaman bahan organik seperti pupuk kandang sebanyak 2 Tonha maupun kompos jerami sebanyak 5 Tonha. Tidak ada decision making unit yang melakukan pembenaman bahan organik dengan alasan menambah biaya yang harus dikeluarkan. Selain itu, sulit untuk mendapatkan bahan organik dalam jumlah yang banyak. c. Penanaman Penanaman dilakukan pada saat usia pembibitan sekitar 20 hingga 30 hari. Hal ini lebih lama dari yang disarankan dalam PTT, yaitu kurang dari 21 hari setelah sebar HSS. Seluruh decision making unit menggunakan tenaga kerja manusia dengan sistem borongan untuk melakukan kegiatan penanaman. Sistem borongan berarti penggarap membayar sejumlah tertentu 49 kepada sekelompok buruh tani untuk menyelesaikan pekerjaan. Biaya tanam yang dikeluarkan oleh decision making unit berkisar Rp.400.000-800.000 untuk luasan 0,7 hektar. Terdapat dua macam sistem penanaman yang digunakan decision making unit , yaitu sistem tegalan dan sistem legowo. Sistem tegalan lebih banyak digunakan decision making unit karena beberapa alasan, diantaranya: 1 Decision making unit merasa tidak ada perbedaan menggunakan legowo maupun tegalan. 2 Decision making unit tidak mau membayar upah buruh tani lebih mahal. Hal ini dikarenakan buruh tani meminta bayaran lebih mahal untuk sistem tanam legowo. 3 Sistem legowo dianggap sulit sehingga sedikit buruh tani yang mau menerapkannya. sistem tegalan yang banyak digunakan oleh petani adalah tegalan dengan jarak tanam 27 x 30 cm dengan dua hinggga empat bibit perlubang tanam. Decision making unit memilih untuk menggunakan lebih dari satu bibit perlubang tanam untuk mengantisipasi serangan hama sehingga mengurangi kemungkinan kerugian untuk melakukan penyiangan. Sistem legowo yang digunakan oleh decision making unit adalah legowo 3:1 dan legowov 4:1. Kurang dari lima decision making unit menggunakan sistem legowo. Terdapat decision making yang telah menggunakan legowo adalah decision making unit yang memiliki hubungan baik dengan petani di desa lain dan memiliki wawasan yang lebih terbuka sehingga mau mengaplikasikan sistem legowo dalam budidayanya. Akan tetapi sistem legowo yang diterapkan masih belum sesuai dengan yang seharusnya. Seluruh decision making unit yang menggunakan legowo salah dalam menerapkan arah legowonya. Menurut decision making unit, hal ini dikarenakan buruh tani menginginkan menanam seperti itu, sehingga meskipun mengetahui kesalahan tersebut, petani penggarap tidak dapat melakukan banyak perubahan. d. Perawatan Kegiatan perawatan yang dilakukan oleh decision making unit meliputi pemupukan, pengaturan irigasi, penyiangan, pemberesan pematang, 50 dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Berdasarkan pengamatan, meskipun di daerah pengamatan terdapat masyarakat yang membudidayakan ternak, akan tetapi tidak ada decision making unit yang menggunakan pupuk organik ataupun kompos dalam usahataninya. Hal ini dikarenakan menurut decision making unit, aplikasi jauh lebih mudah menggunakan pupuk anorganik. Selain itu apabila harus menggunakan pupuk organik seperti limbah hewan maupun limbah tanaman, pupuk hijau, dan lain sebagainya membutuhkan jumlah yang besar sekitar dua Ton perhektar dan sulit bagi decision making unit untuk mendapatkan limbah sebanyak itu dalam waktu singkat. Pupuk anorganik yang digunakan oleh decision making unit adalah pupuk Urea, TSP, dan pupuk Posca. Terdapat decision making unit yang menggunakan ketiga pupuk tersebut, Namun terdapat pula decision making unit yang hanya menggunakan dua dari tiga pupuk yang ada. Jadi, terdapat decision making unit yang menggunakan kombinasi antara pupuk Urea, TSP, dan Posca, decision making unit yang menggunakan pupuk Urea dan TSP, dan decision making unit yang menggunakan pupuk Urea dan Posca. Takaran yang digunakan oleh setiap decision making unit sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan decision making unit menggunakan takaran sesuai dengan perkiraan decision making unit. Terdapat pula decision making unit yang menggunakan pupuk sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki decision making unit. Berdasarkan wawancara, tidak ada decision making unit yang mengikuti anjuran pengaplikasian pupuk yang diberikan oleh pemerintah ataupun yang disarankan oleh penyuluh lapang. Pemupukan pertama dilakukan pada 15-20 hari setelah tanam HST padi. Pemupukan dilakukan bersamaan dengan penyiangan tanaman. Pemupukan kedua dilakukan antara 30-35 HST. Tidak ada decision making unit yang melakukan pemupukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, misalnya dengan menggunakan indikator bagan warna daun BWD seperti yang dianjurkan PTT. Seluruh decision making unit menggunakan dosis \setengah dari seluruh pupuk yang direncanakan diaplikaiskan pada setiap 51 pemupukan. Decision making unit mencampur pupuk sebelum ke sawah agar memudahkan pengaplikasian dan penyebaran yang merata. Cara pengaplikasian pupuk adalah menyebarkan pupuknya di sawah dengan perkiraan sebaran yang merata. Kegiatan pemberesan pematang disesuaikan dengan kebutuhan. Decision making unit yang menggarap luasan lahan dibawah satu hektar dan memiliki pekerjaan lain atau berusia diatas 55 tahun umumnya menggunakan tenaga kerja tambahan dengan upah antara Rp.40.000-60.000haripekerja. Menurut decision making unit, dibutuhkan sekitar dua orang untuk mengerjakan pemberesan pematang pada lahan seluas 0,7 ha selama setengah hari. Kegiatan pengendalian HPT dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida maupun secara manual. Seluruh decision making unit menngunakan pestisida pada lahannya. Intensitas penggunaan pestisida sangat bervariasi, mulai dari satu hingga lebih dari sepuluh kali. Variasi intensitas pestisida dipengaruhi kebutuhan decision making unit. Akan tetapi terdapat decision making unit yang merasa belum aman jika tidak sering menggunakan pestisida sehingga mengaplikasikan pestisida hampir setiap minggu. Decision making unit juga melakukan pengendalian hama secara manual, seperti misalnya melakukan grabagan untuk menekan populasi tikus. Grabagan dilakukan secara berkelompok secara bergilir dengan cara mengairi lubang tikus sehingga tikus keluar dari sarangnya. Tikus yang keluar dari sarang kemudian dibunuh oleh petani. Pengendalian lain yang secara manual adalah pengendalian gulma. Terdapat decision making unit menggunakan buruh tani wanita untuk mencabuti gulma yang ada di area penanaman. Upah buruh wanita yang dibayarkan berkisar Rp.25.000- 50.000hariorang. e. Pemanenan Terdapat tiga sistem panen yang digunakan decision making unit, yaitu tebasan, gebod, dan grabag. Sistem tebasan adalah sistem petani 52 menjual padi yang belum dipanen dengan suatu kisaran harga tertentu. Petani tidak perlu menanggung biaya pemanenan. Terdapat beberapa decision making unit yang menggunakan sistem ini. Decision making unit memilih menggunakan sistem tebasan karena merasa hasil panennya kurang menguntungkan apabila dipanen sendiri sehingga merasa sistem tebasan adalah lebih baik digunakan. Sistem gebod adalah sistem yang menggunakan banyak tenaga kerja untuk pemanenan. Petani menggunakan sistem bagi hasil 10:7, artinya dari hasil panen tersebut, 10 bagian dari hasil panen menjadi hak petani, dan tujuh bagian hak buruh panen. Terdapat decision making unit yang merasa sistem gebod lebih menguntungkan dan merugikan. Penggunaaan sistem gebod dianggap merugikan karena terdapat kemungkinan banyak butir padi pada batangnya sehingga hasilnya kurang maksimal. Selain itu, decision making unit berpendapat bahwa sistem gebod lebih mahal dibandingkan sistem grabag. Alasan ini membuat decision making unit lebih memilih menggunakan sistem grabag. Sedangkan decision making unit yang menganggap sistem gebod lebih menguntungkan karena menggunakan banyak tenaga pemanen dapat memberi hasil yang lebih tinggi karena pemanen merasa bertanggung jawab untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi, karena semakin banyak hasil panen yang diperoleh, maka akan semakin besar bagian yang akan diterima. Sistem grabag adalah sistem yang menggunakan bantuan mesin perontok biji. Decision making unit menggunakan sistem ini karena membutuhkan sedikit tenaga kerja dan harga yang lebih murah. Harga untuk menggunakan mesin grabag berkisar Rp.400.000-500.000 untuk lahan seluas 0,7 ha. Kelemahan dari sistem ini adalah hanya dapat digunakan pada musim kering, karena mesin dapat masuk ke area sawah. 53 VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS Analisis efisiensi teknis yang digunakan adalah pendekatan Data Envelopment Analysis. Data yang digunakan adalah data berdasarkan musim kering tahun 2011. Variabel keluaran output yang digunakan adalah hasil panen berupa gabah kering giling Y. Variabel masukan input yang digunakan adalah pupuk X1, bibit X2, tenaga kerja luar keluarga X3, tenaga kerja dalam keluarga X4, tenaga kerja mesin X5, dan luasan lahan X6. Nilai variabel X1 didapatkan dari kalkulasi seluruh penggunaan pupuk selama masa tanam. Hal ini dikarenakan decision making unit menggunakan kombinasi pupuk yang beragam sehingga nilai pupuk yang digunakan adalah akumulasinya. Akumulasi dilakukan untuk menghindari adanya nilai nol pada salah satu jenis pupuk yang menyebabkan data tidak dapat diolah. Variabel lain seperti usia decision making unit, usia usahatani, lama menempuh pendidikan formal, jenis kelamin, status kepemilikan lahan, biaya sewa lahan, struktur biaya usahatani, dan besaran pendapatan perhektar tidak digunakan dalam model. Variabel yang tidak digunakan dalam analisis efisiensi digunakan sebagai penjelas dari hasil olahan efisiens teknis. Terdapat salah satu variabel yang merupakan salah satu faktor produksi yaitu pestisida yang diduga mempengaruhi hasil usahatani akan tetapi tidak dimasukan ke dalam analisis efisiensi teknis oleh penulis. Hal ini disebabkan empat faktor. Pertama, pada saat pengumpulan data, penulis tidak dapat memperoleh data kuantitas penggunaan pestisida dari seluruh decision making unit. Kedua, decision making unit lebih mengingat nominal yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan pengaplikasian pestisida. Ketiga, pada kasus beberapa decision making unit yang dapat mengingat kuantitas penggunaan pestisida yang digunakan, data yang diperoleh sangat beragam. Keempat, berdasarkan data yang dikumpulkan dari decision making unit, jenis pestisida yang digunakan sangat beragam baik jenisnya maupun satuan pengukurannya. Misalnya terdapat decision making unit yang menggunakan pupuk cair dengan satuan liter, pupuk padat dengan satuan kilogram, dan lain sebagainya. 54 Berdasarkan hasil pengumpulan data, data yang paling lengkap yang diperoleh adalah data harga dari pestisida yang digunakan. Penulis memutuskan untuk tidak memasukan variabel harga pestisida karena dikahawatirkan hal tersebut akan membiaskan hasil pengamatan. Efisiensi teknis hanya berfokus pada penggunaan masukan input sedangkan pada variabel harga pestida, terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi. Karena itu, pestisida tidak dimasukkan kedalam variabel pada data envelopment analysis, akan tetapi tetap diperhitungkan sebagai variabel biaya pada analisis pendapatan. Penelitian ini menganalisis efisiensi teknis seluruh decision making unit dan efisiensi teknis berdasarkan varietas benih yang digunakan oleh decision making unit. Analisis efisiensi teknis berdasarkan varietas benih yang digunakan oleh decision making unit hanya dilakukan pada varietas Ciherang, Denok, dan Mekongga. Hal ini dikarenakan Kintani 1 dan SMC hanya digunakan oleh satu decision making unit sehingga tidak dapat dibandingkan.

6.1. Analisis Efisiensi Teknis

Dokumen yang terkait

Analisis Kinerja Sektor Usahatani Padi Sawah melalui Pendekatan Agribisnis dengan Aplikasi Model Data Envelopment Analysis (DEA) di Provinsi Sumatera Utara

6 107 98

Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Manis di Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor: Pendekatan Data Envelopment Analysis

5 26 97

Efisiensi Teknis Usahatani Padi Di Kabupaten Karawang Dengan Pendekatan Data Envelopment Analysis.

0 6 86

Efisiensi Teknis Usahatani Padi Di Jawa Dan Luar Jawa : Pendekatan Data Envelopment Analysis (Dea).

1 6 101

ANALISIS EFISIENSI DISTRIBUSI PEMASARAN DENGAN PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA)

0 5 9

Analisis Kinerja Sektor Usahatani Padi Sawah melalui Pendekatan Agribisnis dengan Aplikasi Model Data Envelopment Analysis (DEA) di Provinsi Sumatera Utara

0 0 11

Analisis Kinerja Sektor Usahatani Padi Sawah melalui Pendekatan Agribisnis dengan Aplikasi Model Data Envelopment Analysis (DEA) di Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Analisis Kinerja Sektor Usahatani Padi Sawah melalui Pendekatan Agribisnis dengan Aplikasi Model Data Envelopment Analysis (DEA) di Provinsi Sumatera Utara

0 0 9

Analisis Kinerja Sektor Usahatani Padi Sawah melalui Pendekatan Agribisnis dengan Aplikasi Model Data Envelopment Analysis (DEA) di Provinsi Sumatera Utara

0 0 25

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS USAHATANI TEBU LAHAN SAWAH DAN LAHAN KERING DENGAN PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) TECHNICAL EFFICIENCY ANALYSIS OF SUGARCANE FARMING ON WET AND DRY LAND USING DATA ENVELOPMENT ANALYSIS (DEA) APPROACH

0 1 7