59 ekspor rokok terhadap produksi selalu di bawah 0.03 persen. Demikian dengan
presentase impor rokok terhadap produksi, presentasenya bahkan kurang dari 0.0002 persen. Dengan demikian sebagian besar produksi rokok Indonesia adalah
untuk konsumsi domestik. Pada tahun 2011, nilai ekspor rokok Indonesia adalah sebesar US 549.8 juta atau sekitar 78.5 persen nilai ekspor produk tembakau.
Kuantitas rokok yang diekspor sebanyak 59.1 juta kilogram atau sekitar 60 persen dari total kuantitas ekspor produk tembakau. Pada tahun 2011, nilai ekspor netto
dari rokok adalah positif US 543 515 020 dengan nilai ekspor US 549 765 664 dan nilai impor US 6.250.644. Dari enam jenis rokok yang di ekspor oleh
Indonesia, nilai ekspor terbesar adalah dari sigaret mengandung tembakau rokok putih, kedua sigaret kretek, dan ketiga adalah cerutu, cheroots dan cerutu kecil
mengandung tembakau. Tahun 2010, tiga besar negara penerima ekspor sigaret kretek dari Indonesia adalah Singapura, Malaysia dan Timor Leste. Sedangkan
untuk ekspor rokok selain kretek, negara tujuan ekspor rokok jenis ini didominasi oleh Kamboja, Malaysia, Thailand, Turki dan Singapura. Pada tahun 2010, rokok
dari Indonesia paling banyak diekspor ke Kamboja, Malaysia, Singapura, Thailand dan Turki. Ditinjau dari impor, Indonesia paling banyak mengimpor
rokok dari Jerman dan Cina.
5.2.1. Produksi Rokok Kretek
Menurut data dari BPS 2012, produksi rokok kretek cenderung mengalami peningkatan dari tahun 1990-2010. Pada tahun 1990 produksi rokok
sebesar 139 milyar batang menjadi 234.12 milyar batang pada tahun 2010. Rata- rata peningkatan produksi rokok kretek per tahunnya adalah sebesar 4.5 milyar
batang per tahun. Menurut Kosen 2012, Berdasarkan pengklasifikasian jenis
60 rokok, dalam periode 2005 – 2010, produksi rokok jenis SKM Sigaret Kretek
Mesin berada di kisaran 57.7 persen dari total produksi rokok nasional, diikuti dengan SKT Sigaret Kretek Tangan sekitar 35.5 persen dan SPM Sigaret Putih
Mesin sekitar 6.8 persen tiap tahunnya.
5.2.2. Konsumsi Rokok Kretek
Menurut Kosen 2012, Permintaan akan rokok bersifat inelastis, dimana besarnya penurunan konsumsi rokok lebih kecil daripada peningkatan harganya,
sehingga penurunan konsumsi rokok akibat peningkatan cukai akan meningkatkan penerimaan negara. Hal ini juga memperlihatkan bahwa rokok adalah barang yang
menimbulkan kecanduan bagi pemakainya. Data BPS menunjukkan bahwa konsumsi rokok kretek meningkat dari 154.7 milyar batang rokok pada 1990
menjadi 218.4 milyar batang pada tahun 2010.
5.2.3. Harga dan Tarif Cukai Rokok Kretek
Tarif cukai rokok kretek mengalami peningkatan dari kurunwaktu 1990 sampai 2010. Tarif cukai rokok kretek ini dibebankan kepada konsumen rokok
kretek sehingga secara teori akan mengurangi konsumsi rokok kretek namun menurut Kosen 2012, permintaan rokok bersifat inelastis terhadap harga. Hal ini
berimplikasi bahwa peningkatan tarif cukai rokok kretek tidak akan berpengaruh banyak terhadap konsumsi rokok kretek.
Harga rokok kretek mengalami peningkatan tiap tahun. Hal ini di tunjukkan oleh dat dari BPS. Pada tahun 1990, harga riil rokok di tingkat
konsumen adalah sebesar Rp 184.9 per batang pada tahun 2008 menjadi Rp 433.13 per batang. Secara rata-rata, harga riil rokok kretek ini meningkat sebesar
Rp 13.79 per batang per tahun.
VI. FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP