HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Tata Kelola Pemerintahan Daerah Terhadap Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur

Tabel 17 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Keamanan dan Penyelesaian Sengketa Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur Variabel Mean 2 tailed Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha Q83B 0.63 0.433 Polisi selalu bertindak tepat waktu menangani kasus kriminal Q84R1 -2.74 0.361 Solusi yang diberikan polisi menangani kriminalitas menguntungkan perusahaan Q84R2 -3.01 0.392 Solusi yang diberikan polisi meminimalisir dampak kerugian waktu dan biayaQ84R3 -0.19 0.96 Polisi selalu bertindak tepat waktu menangani demonstrasi buruh Q86R1 -5.01 0.105 Solusi yang diberikan polisi dalam demo buruh hanya menyebabkan dampak kehilangan kecil pada waktu dan biaya Q86R2 -0.84 0.834 Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan Q88 -0.02 0.973 ket: Variabel signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Variabel signifikan pada tingkat 0.1 2-tailed. Sumber: data olahan Uji beda berpasangan pun dilakukan pada variabel-variabel penyusun sub indikator keamanan dan penyelesaian sengketa. Secara umum persepsi para pelaku usaha akan keamanan dan penyelesaian sengketa di kabupatenkotanya memburuk, namun tidak ada yang berbeda nyata Tabel 17. Sementara itu variabel-variabel penyusun sub indikator biaya transaksi juga diuji apakah berbeda nyata antara persepsi di tahun 2007 dan 2010. Unsur biaya transaksi berupa pajak daerah, retribusi daerah dan biaya lainnya merupakan salah satu pertimbangan utama investor dalam berinvestasi di suatu daerah. Untuk kasus Jawa Timur, rata-rata tingkat pembayaran donasi baik pajak, retribusi maupun biaya lainnya kepada Pemda dalam kurun waktu satu tahun meningkat dari tahun 2007 ke 2010 sebesar rata-rata Rp. 821.277.000,00 per pelaku usaha per tahun Tabel 18 dengan kabupaten Trenggalek sebagai kabupaten dengan kenaikan biaya transaksi tertinggi sebesar Rp. 14.999.328.000,00 per pelaku usaha per tahun. Kenaikan biaya transaksi rata-rata ini mengindikasikan semakin mahalnya biaya transaksi rata-rata yang harus dipikul pelaku usaha di kabupatenkota di Jawa Timur. Tabel 18 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Biaya Transaksi Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur Variabel Mean Sig2 tailed Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 1.542 0.435 Pajak daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR2 0.721 0.736 Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda Q67a 821277.3 0.048 Pajak dan retribusi daerah tidak memberatkanmenghambat kegiatan usaha Q67cR1 -8.614 0.316 Pembayaran biaya tambahan untuk polisi untuk keamananan tidak memberatkan pelaku usaha Q70bR1 10.354 0.179 Biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 2.904 0.034 ket: Variabel signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Variabel signifikan pada tingkat 0.1 2-tailed. Sumber: data olahan Walaupun demikian biaya transaksi yang besar ini justru bukanlah menjadi suatu hambatan bagi pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari persepsi pelaku usaha bahwa biaya-biaya transaksi ini kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan yang naik sebesar rata-rata 2.9 poin dibandingkan di tahun 2007. Salah satu yang melatarbelakangi fenomena ini adalah makin tingginya kepatuhan para pelaku usaha dalam membayar pajak dan retribusi daerah kepada Pemda, yang pada akhirnya akan digunakan untuk membangun kabupatenkotanya masing-masing. Beranjak ke sub indikator berikutnya, kualitas infrastruktur sangat erat hubungannya dengan keputusan pelaku usaha untuk melakukan investasi. Dari hasil Survei KPPOD di tahun 2007 dan 2010, terlihat bahwa infrastruktur merupakan kendala utama bagi pelaku usaha dalam menanamkan modalnya. Bobot hambatan infrastruktur ini adalah 38 KPPOD, 2010. Tabel 19 Uji Beda Berpasangan Variabel Penyusun Sub Indikator Infrastruktur Daerah Survei TKED 2007 dan 2010 di Provinsi Jawa Timur Variabel Mean Sig 2 tailed Kualitas infrastruktur jalan Q78aR1 4.20 0.136 Kualitas infrastruktur lampu jalan Q78aR2 5.05 0.028 Kualitas infrastruktur air PDAM Q78aR3 1.95 0.563 Kualitas infrastruktur listrik Q78aR4 2.37 0.12 Kualitas infrastruktur telepon Q78aR5 -0.83 0.541 Lama perbaikan jalan Q78cR1 19.13 0.236 Lama perbaikan lampu jalan Q78cR2 0.59 0.644 Lama perbaikan air PDAM Q78cR3 -2.15 0.103 Lama perbaikan listrik Q78cR4 -0.02 0.324 Lama perbaikan telepon Q78cR5 0.52 0.55 Persentase pelaku usaha yang menggunakan gensetQ79 -13.9 0.000 Lama pemadaman listrik Q80 -1.13 0.00 Infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q81 2.11 0.407 ket: Variabel signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Variabel signifikan pada tingkat 0.1 2-tailed. Sumber: data olahan Dari hasil uji beda berpasangan pada Tabel 19 dapat dideskripsikan bahwa kualitas infrastruktur berupa lampu jalan mengalami kenaikan sebesar rata-rata 5.05 poin di tahun 2010, dengan kenaikan indeks tertinggi diraih oleh kabupaten Jember. Sementara itu persentase pelaku usaha yang menggunakan genset pun menurun sebesar rata-rata 13.9 dibandingkan tahun 2007. Hal ini menunjukkan semakin baiknya kualitas pelayanan PLN di Jawa Timur, sehingga para pelaku usaha tidak terlalu menggantungkan pasokan listriknya pada genset. Berbanding lurus dengan penurunan pelaku usaha yang memakai genset, lama pemadaman listrik pun berkurang sebesar rata-rata 1 kali dalam seminggu dibandingkan tahun 2007. 5.2. Hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dan realisasi PMDN 5.2.1. Hubungan antara Akses Lahan dan realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Variabel-variabel penyusun sub indikator akses lahan memiliki skala yang berbeda-beda yaitu skala ordinal dan skala interval. Ada enam variabel pembentuk sub indikator akses lahan ini. Khusus untuk variabel waktu yang diperlukan untukkepengurusan status tanah Q30 memiliki skala interval dengan satuan lama waktu kepengurusan tanah dalam minggu. Oleh karena itu, variabel ini dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Tabel 20 Korelasi Pearson antara Ln PMDN dan Ln PMA 2005-2010 dengan Variabel Lama Kepengurusan Status Tanahdi Provinsi Jawa Timur Q30 LPMDN Pearson Correlation 0.107362 Sig. 2-tailed 0.355944 LPMA Pearson Correlation -0.0724 Sig. 2-tailed 0.534252 Sumber: data olahan Dari hasil uji korelasi Pearson, ternyata lama kepengurusan status tanah tidak memiliki hubungan yang signifikan baik dengan dengan realisasi PMDN maupun PMA Tabel 20. Hal ini berarti bahwa para pelaku usaha di kabupaten kota di Jawa Timur secara umum tidak menganggap variabel akses lahan sebagai suatu hambatan dalam melakukan kegiatan usahanya. Lima variabel akses lahan lainnya yakni persepsi kemudahan perolehan lahan Q32,Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda Q33 , Q34, Frekuensi Konflik Q35dan Persepsi Keseluruhan Permasalahan Lahan UsahaQ36 memiliki skala ordinal, sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman yang dilengkapi dengan boxplot. Tabel 21 Korelasi Spearman antaraPMDN dan PMA 2005-2010 dengan Persepsi Kemudahan Perolehan Lahan,Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda, Frekuensi Konflik dan Persepsi Keseluruhan Permasalahan Lahan Usaha di Provinsi Jawa Timur Q32 Q33 Q34 Q35 Spearmans rho PMDN Correlation Coefficient 0.1298 0.1049 -0.2686 0.0959 Sig. 2-tailed 0.2637 0.3668 0.0189 0.4095 PMA Correlation Coefficient 0.0853 -0.0761 -0.3068 -0.0965 Sig. 2-tailed 0.4634 0.5135 0.0070 0.4067 ket. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Sumber: data olahan Berdasarkan uji korelasi Spearman, dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan secara signifikan pada level 10 adalah persepsi penggusuran lahan oleh Pemda Q34 yaitu seberapa sering terjadi penggusuran di daerah tersebut, namun hubungan keduanya adalah negatif dan tidak sejalan dengan teori Tabel 21. Deskripsi lebih jelasnya dapat diamati dalam boxplot Gambar 14. Kabupatenkota yang frekuensi penggusurannya jarang memiliki median realisasi investasi PMDN sebesar Rp. 1,370 Trilyun dibandingkan kabupatenkota yang tidak pernah terjadi penggusuran dengan median realisasi investasi PMDN sebesar 0. Semakin tidak pernah terjadi penggusuran, realisasi investasi PMDN semakin rendah dan sebaliknya semakin sering terjadi penggusuran, realisasi investasi PMDN semakin tinggi. 4 3 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q34 P M D N Boxplot of PMDN VS Q34 Sumber: Data Olahan Gambar 14 Boxplot Variabel Persepsi Penggusuran Lahan oleh Pemda terhadap Realisasi PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Salah satu hal yang melatarbelakangi kondisi makin seringnya terjadi penggusuran maka semakin tinggi realisasi investasi adalah komposisi perusahaan dengan skala kecil dan menengah yang menempati lebih dari 50 responden dalam sampling frame survei ini. Dalam kenyataannya usaha mikro, kecil dan menengahlah yang biasanya menjadi sasaran penggusuran, baik karena tidak adanya izin usaha, berebut tempat dengan pelaku usaha lain, atau lahan yang mereka pakai ternyata akan dipakai untuk pembangunan proyek pemerintah. Ketika persepsi para pelaku usaha yang sering mengalami penggusuran ini dikorelasikan dengan realisasi PMDN, ternyata berkorelasi negatif. Adapun penggusuran lahan usaha pihak UKM ini adalah sebagai substitusi realisasi Seringkah terjadi penggusuran di wilayah ini? 3=Jarang, 4= Tidak pernah R s =- 0. 268 P value=0. 018 4 3 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q34 P M A Boxplot of PMA vs Q34 R s = - 0.306 P value = 0.007 investasi yang baru, baik berupa PMDN, PMA, maupun investasi pemerintah yang bekerjasama dengan PMA maupun PMDN. Dengan demikian, semakin sering terjadi penggusuran terhadap lahan usaha kecil dan menengah, realisasi investasi PMDN akhirnya makin tinggi. Untuk kasus PMA, yang biasanya adalah perusahaan dengan skala besar, ternyata juga terjadi fenomena seiring pelaku usaha berpendapat bahwa penggusuran sering terjadi, realisasi PMA makin besar. Hal ini disebabkan oleh kondisi yang terjadi juga pada PMDN yaitu, lahan usaha milik usaha kecil maupun menengah yang sering digusur, pada akhirnya akan digunakan untuk investasi baru seperti proyek pemerintah dengan PMA maupun PMA murni.

5.2.2. Hubungan antara Izin Usaha dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur

Sama halnya dengan variabel-variabel penyusun sub indikator akses lahan, variabel-variabel penyusun sub indikator Izin Usaha pun memiliki skala yang berbeda-beda. Variabel kepemilikan Tanda Daftar Perusahaan Q38AR1 berskala nominal, demikian pula variabel persentase keberadaan mekanisme pengaduan Q45. Sementara itu variabel Q40DR1 mengenai lama hari kerja perusahaan memperoleh TDP berskala interval. Oleh karena itu ketiga variabel ini dianalisis dengan korelasi Pearson. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan, hanya variabel Persentase keberadaan mekanisme pengaduan Q45 lah yang berhubungan secara signifikan tetapi hubungannya negatif Tabel 22. Implikasinya adalah seiring semakin besarnya persentase pelaku usaha yang menyadari keberadaan mekanisme pengaduan, realisasi PMDN justru semakin rendah. Tabel 22 Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA dengan Persentase Perusahaan yang Memiliki TDP, Rata-Rata waktu perolehan TDP dan Persentase Keberadaan Mekanisme Pengaduandi Provinsi Jawa Timur Q38AR1 Q40DR1 Q45 LPMDN Pearson Correlation 0.165812 0.146889 -0.23759 Sig. 2-tailed 0.15229 0.20544 0.040116 LPMA Pearson Correlation 0.049738 0.029428 -0.14606 Sig. 2-tailed 0.669613 0.800769 0.211149 ket Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Sumber: data olahan Keberadaan mekanisme pengaduan justru diikuti dengan semakin menurunnya realisasi investasi PMDN Gambar 15. Hal ini terjadi karena adanya mekanisme pengaduan ini menyebabkan para petugas perizinan usaha sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu izin terkait dunia usaha, seperti tanda daftar perusahaan TDP, Tanda Daftar Industri TDP , Surat Izin Usaha Perdagangan SIUP, Izin Gangguan HO dan IMB, sehingga realisasi PMDN semakin menurun. 100 80 60 40 20 30 25 20 15 10 5 Q45 LP M D N Scatterplot of LPMDN vs Q45 Sumber: Data Olahan Gambar 15 Scatterplot Variabel Persentase Keberadaan Mekanisme Pengaduan terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Empat variabel lain menyangkut izin usaha yaitupersepsi kemudahan perolehan TDP Q40CR1, persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha Q41DR1, persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien dan R p = -0.237 P value= 0.040 bebas pungli Q43 R1-R3 serta persepsi tingkat hambatan izin usaha Q46 berskala ordinal sehingga dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman Tabel 23 . Tabel 23 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA dengan Persepsi Kemudahan Perolehan TDP, Persepsi Tingkat Biaya yang Memberatkan Usaha,Persepsi bahwa Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN, Efisien dan Bebas Pungli, Persepsi Tingkat Hambatan Usaha terhadap Usahanya di Provinsi Jawa Timur Q40 CR1 Q41 DR1 Q43R1 Q43R2 Q43R3 Q46 Spear mans rho PM DN Correlation Coefficient 0.095 -0.120 -0.175 0.208 -0.215 0.098 Sig. 2- tailed 0.409 0.298 0.129 0.070 0.062 0.395 PM A Correlation Coefficient 0.115 0.012 -0.138 0.113 -0.218 0.254 Sig. 2- tailed 0.318 0.911 0.231 0.326 0.058 0.026 ket. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 2-tailed. Sumber: data olahan Dari hasil uji korelasi Spearman, dapat dilihat bahwa variabel yang berhubungan positif secara signifikan terhadap realisasi PMDN adalah variabel persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas pungli Q43R2. Lebih jauh lagi dalam boxplot Gambar 16 terlihat bahwa untuk kabupatenkota yang setuju bahwa pelayanan perizinan usahanya bebas pungli memiliki median realisasi investasi sebesar Rp. 80.100.000,00 lebih tinggi dari nilai tengah kabupatenkota yang menyatakan tidak setuju yaitu sebesar Rp. 0. Hal ini sejalan dengan teori bahwa semakin perizinan usaha menghindarkan diri dari hal-hal yang berbau pungutan liar, diharapkan semakin banyak pelaku usaha yang tertarik untuk berinvestasi, dan akan berdampak pada realisasi PMDN yang makin besar. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q43R2 PM DN Boxplot of PMDN VS Q43R2 Sumber: Data Olahan Gambar 16 Boxplot Variabel Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas Pungli terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Hubungan yang negatif secara signifikan juga dapat kita lihat dari hasil uji korelasi Spearman untuk variabel persepsi bahwa perizinan usaha bebas KKN Q43R3 terhadap realisasi PMDN di Tabel 25. Peningkatan pelayanan perizinan usaha yang bebas pungli ternyata belum diikuti oleh kualitas pelayanan perizinan usaha yang bebas KKN. Para pelaku usaha yang menjawab tidak setuju bahwa pelayanan perizinan bebas KKN, ternyata memiliki kisaran realisasi investasi sebesar Rp. 1,3 Trilyun lebih besar dari para pelaku usaha yang menjawab setuju yaitu sebesar Rp. 12 Milyar saja Gambar 17. Salah satu hal yang melatarbelakangi fenomena ini adalah proses perizinan usaha yang masih sangat berbelit, sementara itu perizinan yang harus diurus untuk melakukan kegiatan usaha juga sangat banyak, sehingga pelaku usaha lebih senang melalui jalan belakang, baik lewat kenalan, saudara atau calo yang berurusan dengan petugas perizinan. Semakin banyak perusahaan yang melalui jalur tidak resmi ini, pada akhirnya menyebabkan realisasi investasi PMDN semakin meningkat. Hal ini adalah merupakan indikasi awal, karena realisasi investasi tidak hanya dipengaruhi oleh persepsi pelaku usaha tentang tata kelola pemerintahan daerah dalam hal perizinan, namun juga oleh faktor lainnya. Persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas pungli 2: Tidak setuju , 3= setuju R s =0.208 P value= 0.070 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q43R3 P M D N Boxplot of PMDN VS Q43R3 Sumber: Data Olahan Gambar 17 Boxplot Variabel Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN terhadap PMDN dan PMA 2005-2010di Provinsi Jawa Timur Adapun kabupaten yang merupakan pencilan dalam boxplot PMDN vsQ43R3 dan PMA vs Q43R3 adalah Kabupaten Pasuruan dan Gresik. Di kedua kabupaten ini walaupun pelaku usaha tidak setuju bahwa pelayanan izin usaha bebas KKN, realisasi PMA maupun PMDNnya tetap tinggi.Namun jika kita telusuri lebih lanjut ternyata ada beberapa variabel tatakelola yang sangat baik kualitasnya di kedua kabupaten ini, antara lain konflik atas tanah jarang terjadi, retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan dan infrastruktur sangat kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Tabel 24. Hal ini membuktikan, dalam satu aspekvariabel bisa saja terjadi suatu kabupaten kota memiliki hubungan yang anomali, namun di sisi lain, kualitas tata kelola pemerintahan lainnya justru sangat baik. Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola yang sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya. Persepsi bahwa pelayanan izin usaha bebas KKN : 2: Tidak setuju , 3= setuju R s =-0. 215 P value= 0.062 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q43R3 P M A Boxplot of PMA vs Q43R3 R s =-0. 218 P value= 0.058 Tabel 24 Kabupaten Pencilan pada Korelasi Persepsi Pelayanan Izin Usaha Bebas KKN Q43R3 terhadap PMDN dan PMA serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya di Provinsi Jawa Timur Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik Kab. Gresik a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 Kab. Pasuruan b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 c. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha Q55 d.Persepsi bahwa kapasitas dan integritas kepala daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha. Q63 e.Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan Q88 f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 g. Biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 h. Infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q81 Sumber: data olahan Namun pelaku usaha yang berpersepsi bahwa izin usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, realisasi PMAnya justru lebih rendah daripada yang setuju Gambar 18. Kabupatenkota yang menganggap izin usaha besar hambatannya terhadap kinerja perusahaan adalah kabupaten Gresik. Walaupun demikian, di Kabupaten ini sangat kecil kemungkinan usahanya akan, digusur Q33 , program PPUS berupa proses memepertemukan mitra bisnis business matchmaking program sangat dirasakan manfaatnya bagi pelaku usaha Q58R6 dan biaya transaksi berupa pajak daerah tidak memberatkan para pelaku usaha Q65CR2. Sumber: data olahan Gambar 18 Boxplot Variabel Persepsi Tingkat Hambatan Izin Usaha Terhadap realisasi PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

5.2.3 Hubungan antara Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha IPPU dan

Realisasi PMDN dan PMAKabupaten dan Kota di Jawa Timur Dalam rangka meningkatkan investasi di daerahnya, Pemda sebagai stakeholder perlu mengembangkan komunikasi yang baik dengan para pelaku usaha sebagai shareholder. Salah satu upayanya adalah dengan membentuk forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha agar dapat diketahui apa saja permasalahan dunia usaha yang sedang terjadi belakangan in. Selain itu tujuan dibentuknya IPPU adalah agar dapat merumuskan kebijakan-kebijakan apa sajakah yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha dan memberikan dukungan serta solusi permasalahan para pelaku usaha. Variabel-variabel penyusun sub indikator IPPU ini terdiri dari variabel berskala nominal yaitu persentase keberadaan forum komunikasi Pemda dengan pelaku usahaQ48. Sementara itu variabel lainnya pembentuk sub indikator IPPU berskala ordinal seperti tingkat pemecahan permasalahan oleh pemda Q49R1- R3, tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha Q50R1-R5, tingkat kebijakan pemda yang mendorong iklim investasi Q51, tingkat kebijakan non diskriminatif pemda Q52, pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha Q53R1, tingkat kepastian hukum terkait dunia usaha Q53R2 dan tingkat 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q46 PM A Boxplot of PMA VS Q46 Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap kinerja perusahaan 2: Besar , 3= Kecil R s =0. 254 P value= 0.026 hambatan interaksi Pemda dengan pelaku usaha Q55, sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman Tabel 25. Tabel 25 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA2005-2010 dengan Variabel Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha di Provinsi Jawa Timur PMDN PMA PMDN PMA Spear mans rho Q48 Correlation Coefficient .134 .014 Q50 R4 Correlation Coefficient -.100 -.050 Sig. 2- tailed .247 .900 Sig. 2- tailed .385 .663 Q49 R1 Correlation Coefficient -.128 .001 Q50 R5 Correlation Coefficient -.371 -.202 Sig. 2- tailed .267 .986 Sig. 2- tailed .001 .080 Q49 R2 Correlation Coefficient -.161 .078 Q51 Correlation Coefficient -.278 -.160 Sig. 2- tailed .163 .500 Sig. 2- tailed .014 .165 Q49 R3 Correlation Coefficient -.307 -.091 Q52 Correlation Coefficient .355 .174 Sig. 2- tailed .006 .430 Sig. 2- tailed .001 .131 Q50 R1 Correlation Coefficient -.054 -.019 Q53 R1 Correlation Coefficient -.180 -.333 Sig. 2- tailed .642 .864 Sig. 2- tailed .118 .003 Q50 R2 Correlation Coefficient -.006 .159 Q53 R2 Correlation Coefficient -.231 .283 Sig. 2- tailed .958 .169 Sig. 2- tailed .044 .013 Q50 R3 Correlation Coefficient -.216 .060 Q55 Correlation Coefficient .202 .318 Sig. 2- tailed .060 .603 Sig. 2- tailed .079 .005 ket. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. . Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 2-tailed. Sumber: data olahan Korelasi yang positif secara signifikan hanya didapati pada variabel Tingkat Hambatan Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha Q55 dan tingkat kebijakan non diskriminatif Pemda Q52 . Hal ini menunjukkan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan perizinan usaha tidak menghambat kinerja perusahaan bahkan bergerak seiring kenaikan realisasi PMDN dan PMA di kabupatenkota Jawa Timur Gambar 19. 4 3 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q55 P M D N Boxplot of PMDN vs Q55 Sumber: Data Olahan Gambar 19 Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha , terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Semakin Pemda bersikap tidak diskriminatif akan berdampak positif terhadap realisasi PMDN di kabupatenkota tersebut Gambar 20. Dengan Pemda yang bersifat tidak berpihak kepada golongan pengusaha tertentu saja, akan berkorelasi positif terhadap realisasi PMDN. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q52 PM DN Boxplot of PMDN VS Q52 Sumber: Data Olahan Gambar 20 Boxplot Variabel Tingkat Kebijakan Non Diskriminatif Pemda , terhadap PMDN 2005-2010di Provinsi Jawa Timur Korelasi yang negatif secara signifikandapat ditemui pada korelasi variabel Tingkat Kepastian Hukum Pemda Terkait Dunia Usaha Q53R2 terhadap PMDN dan PMA. Dari boxplot Gambar 19 dapat kita lihat bersama bahwa semakin banyak pelaku usaha yang tidak setuju bahwa kebijakan Pemda Tindakan Pemda terhadap sektor swasta: 2:=Non Diskriminatif 3= Diskriminatif Seberapa besar hal yang berkaitan dengan IPPU menghambat kinerja perusahaan? 2= Besar 3= Kecil R s = 0.202 P value: 0.079 R s = 0.355 P value: 0.079 4 3 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q55 P M A Boxplot of PMA VS Q55 R s = 0.318 P value: 0.005 tidak meningkatkan tingkat ketidakpastian bagi pelaku usaha maka semakin besar realisasi PMDN maupun PMA di daerah tersebut. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q53R2 P M D N Boxplot of PMDN vs Q53R2 Sumber: Data Olahan Gambar 21 Boxplot Variabel Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Ketidakpastian Bagi Dunia Usaha , terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan untuk korelasi persepsi Q53R2 terhadap PMDN dan PMA adalah kabupaten Gresik, Kediri Pasuruan, Nganjuk, Tuban dan kota Pasuruan Tabel 26. Di kabupatenkota pencilan ini ternyata sangat jarang terjadi konflik atas tanah Q35, biaya perizinan tidak menghambat kinerja perusahaan Q41dR1, serta biaya transaksi berupa retribusi tidak menghambat kinerja perusahaan Q65CR1. Hal ini membuktikan, dalam satu aspekvariabel bisa saja terjadi suatu kabupaten kota memiliki hubungan yang anomali, namun di sisi lain, kualitas tata kelola pemerintahan lainnya justru sangat baik. Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola yang sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya. Kebijakan Pemda tidak meningkatkan tingkat ketidakpastian bagi pelaku usaha 2= Tidak Setuju 3= Setuju R s = - 0.231 P value: 0.044 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q53R2 P M A Boxplot of PMA vs Q53R2 R s = - 0.283 P value:0.013 Tabel 26 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Kebijakan Pemda Meningkatkan Tingkat Kepastian Bagi Dunia Usaha Q53R2 terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik kab. Gresik a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab. Kediri b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 kab. Pasuruan c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha Q41dR1 kab. Nganjuk d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 kab. Tuban e.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan Q88 kota Pasuruan f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q81 Sumber: Data Olahan Korelasi negatif berikutnya dapat kita temui pada korelasi antara Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Pengeluaran bagi Bisnis Q53R1 dengan realisasi PMAGambar 22. Deskripsi boxplotini pada dasarnya hanyalah deteksi fenomena awal, yang memang menunjukkan fenomena yang tidak sejalan teori. Selanjutnya perlu kita telusuri kabupatenkota yang mengalami hubungan anomali ini, agar dapat mengidentifikasi variabel tata kelola lainnya yang berkualitas baik yang dimiliki kabupatenkota tersebut. Sumber: data olahan Gambar 22 Boxplot Variabel Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Tingkat Pengeluaran bagi Bisnis, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada gambar 22 ditempati oleh kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Tuban, kota Pasuruan dan kota Surabaya Tabel 27. Modus persepsi yang berlaku pada kabupatenkota pencilan ini adalah pelaku usaha yang tidak setuju bahwa kebijakan pemerintah tidak meningkatkan pengeluaran bagi bisnis, namun kenyataannya realisasi PMDNnya tinggi. Namun pada kabupaten pencilan ini, beberapa aspek tata kelola lainnya justru sangat baik seperti konflik atas tanah jarang terjadi Q35. Demikian pula untuk biaya perizinan, para pelaku usaha di kabupaten-kabupaten pencilan menganggap biaya tersebut sama sekali bukan hal yang memberatkan Q41DR1. Dengan kata lain, terbukti bahwa biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71. Dapat disimpulkan bahwa analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana, karena sangat banyak faktor dari segi tata kelola maupun faktor ekonomi yang sangat mempengaruhi keputusan investor dalam menanamkan modalnya. 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q53R1 PM A Boxplot of PMA VS Q53R1 Kebijakan Pemda tidak meningkatkan tingkat peningkatan pengeluaran bisnis 2= Tidak Setuju 3= Setuju R s = - 0.333 P value: 0.003 Tabel 27 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Kebijakan Pemda Tidak Meningkatkan Pengeluaran bagi bisnis Q53R1 terhadap PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya. Korelasi Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik Q53R1 vs PMDN kab. Pasuruan a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab. Probolinggo b.Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha Q41dR1 kab. Tuban c. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 Kota Pasuruan d. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan Q88 Kota Surabaya e. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q81 Sumber: data olahan Adapun salah satu alasan yang melatarbelakangi fenomena mengapa kebijakan pemerintah daerah tidak berkorelasi positif dengan realisasi PMA maupun PMDN adalah kualitas kebijakan itu sendiri. Hasil penelitian Azis dan Wihardja 2010 menyatakan bahwa ada 3 tipe kebijakan yang dirumuskan oleh Pemda. Pertama adalah tipe kebijakan yang mengabaikan fakta bahwa kualitas institusi pemerintah masih rendah. Akibatnya kebijakan tersebuthanya bekerja berdasarkan asumsi yang dimiliki oleh pengambil kebijakan. Yang kedua adalah tipe kebijakan yang secara tegas mempertimbangkan fakta bahwa kualitas institusi masih rendah. Kebijakan ini dibuat dengan asumsi bahwa institusi tidaklah sempurna. Yang ketiga adalah tipe kebijakan yang mengendogenouskan institusi dengan cara menginternalisasikan kompleksitas institusi tetapi juga melakukan perubahan pada institusi dengan memberikan insentif kepada masyarakat untk bertindak yang baik. Sayangnya sampai saat ini aturan dan kebijakan Pemda masih menempati tipe yang pertama, sehingga pada saat diaplikasikan, masih akan terdapat penyimpangan-penyimpangan karena kualitas institusinya masih rendah. Korelasi yang negatif namun signifikan juga ditemukan pada korelasi variabel-variabel Persepsi Instansi Pemda selalu Menindaklanjuti Langkah- Langkah Pemecahan masalah yang Telah Ditentukan Kepala Daerah Q49R3, Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah Q50R3 dan Q50R5,Tingkat Kebijakan Pemda yang Berorientasi Mendorong Iklim Investasi Q51, terhadap PMDN dan juga PMA. Deskripsi lebih detail dapat dilihat pada boxplot Gambar 23 sampai 25. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q49R3 PM DN Boxplot of PMDN vs Q49R3 Sumber: Data Olahan Gambar 23 Boxplot Variabel Persepsi Instansi Pemda selalu Menindaklanjuti Langkah-Langkah Pemecahan Masalah yang Telah Ditentukan Kepala Daerah terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pada Gambar 23 di atas terlihat bahwa semakin pelaku usaha menjawab setuju bahwa Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah Q49R3, semakin rendah realisasi PMDN di kabupatenkota tersebut. Demikian sebaliknya, semakin pelaku usaha menjawab tidak setuju bahwa Pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah, semakin tinggi realisasi PMDN di kabupatenkota tersebut. Hal ini merupakan fenomena yang tidak sejalan teori, namun kembali ditegaskan bahwa korelasi ini adalah hanya deteksi awal hubungan linear sederhana antara PMDN dengan Q49R3. Pemda selalu menindaklanjuti langkah- langkah Kepala Daerah: 2= Tidak Setuju 3= Setuju R s =- 0.307 P value: 0.006 Tabel 28 Kabupaten Pencilandi Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Pemda Selalu Menindaklanjuti Langkah-langkah yang telah ditentukan Kepala Daerah Q49R3 terhadap PMDN dan PMA, serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik Q49R3 VS PMDN kab. Pasuruan a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab. Malang b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 kab. Gresik c.Biaya perizinan tidak memberatkan usaha Q41dR1 kab. Sidoarjo d. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan Q88 e. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 f. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 Sumber: Data Olahan Adapun kabupaten yang menjadi pencilan pada korelasi Q49R3 terhadap PMDN ini adalah Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, dan Sidoarjo Tabel 28. Di Kabupatenkota pencilan ini, kualitas tata kelola yang baik adalah konflik atas tanah jarang terjadi Q35, biaya perizinan bagi para pelaku usaha sama sekali bukan hal yang memberatkan Q41DR1. Retribusi pun bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan Q65CR1. Di balik posisi 4 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya Hubungan atau korelasi negatif dalam sub indikator IPPU ini juga ditunjukkan pada Gambar 24. Semakin pelaku usaha menjawab setuju bahwa Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha Q50R3, semakin rendah realisasi PMDN di kabupatenkota tersebut. Demikian sebaliknya, semakin pelaku usaha menjawab tidak setuju bahwa Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha, semakin tinggi realisasi PMDN di kabupatenkota tersebut. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q50R3 PM DN Boxplot of PMDN vs Q50R3 Sumber: Data Olahan Gambar 24 Boxplot Variabel Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah Q50R3, terhadap PMDN . Pencilan pada korelasi Q50R3 terhadap PMDN ini kembali ditempati Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, Sidoarjo, Tuban.Tabel 29. Untuk kabupaten-kabupaten pencilan ini konflik atas lahan sangat jarang terjadi Q35, biaya perizinan bagi para pelaku usaha sama sekali bukan hal yang memberatkan Q41DR1. Retribusi pun bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan Q65CR1. Tabel 29 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah Q50R3 terhadap PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik Q50R3 vs PMDN kab. Pasuruan a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab. Malang b. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha Q41dR1 kab. Gresik c.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan Q88 kab. Sidoarjo d. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 kab Tuban e. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 Sumber: Data Olahan Variabel yang sama, terbukti memiliki korelasi yang relatif sama dengan realisasi PMA maupun PMDN. Variabel yang dimaksud adalah persepsi bahwa Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan pelaku usaha 2=Tidak Setuju, 3= Setuju R s =- 0.216 P value: 0.060 Q50R5. Semakin pelaku usaha menjawab setuju akan persepsi ini, semakin rendah realisasi PMA maupun PMDN di kabupatenkota tersebut Gambar 25. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q50R5 P M D N Boxplot of PMDN vs Q50R5 Sumber: Data Olahan Gambar 25 Boxplot Variabel Tingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada korelasi Q50R5 terhadap PMDN dan PMA ini adalah kabupaten Pasuruan dan Gresik Tabel 30. Terbukti dengan modus persepsi pelaku usaha yang tidak setuju bahwa Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha, ternyata di beberapa aspek tata kelola kabupaten ini masih memiliki keunggulan. Beberapa diantaranya adalah seperti konflik atas tanah jarang terjadi Q35, biaya perizinan sama sekali bukan hal yang memberatkan Q41DR1, retribusi bukanlah menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan Q65CR1 serta infrastruktur kecil hambatannya terhadap dunia usaha Q81. Pemda memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan dunia usaha 2=Tidak Setuju, 3= Setuju R s =- 0.371 P value: 0.001 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q50R5 P M A Boxplot of PMA VS Q50R5 R s =- 0.202 P value: 0.080 Tabel 30 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Dukungan Pemda Terhadap Pelaku Usaha Daerah Q50R5 terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik kab. Pasuruan a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab. Gresik b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha Q41dR1 d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 e. Kapasitas dan Integritas kepala Daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha Q63 f.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan Q88 g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 i. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q81 Sumber: Data Olahan Di balik posisi 2 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya. Sementara itu, variabel kebijakan Pemda terhadap sektor swasta Q51 juga berkorelasi negatif dengan realisasi PMDN. Semakin pelaku usaha berpersepsi bahwa kebijakan Pemda terhadap sektor swasta bersifat mendorong iklim investasi, realisasi investasinya makin rendah Gambar 26. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q51 PM D N Boxplot of PMDN vs Q51 Sumber: Data Olahan Gambar 26 Boxplot Variabel Tingkat Kebijakan Pemda yang Berorientasi Mendorong Iklim Investasi , terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan untuk korelasi ini adalah Kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik,dan Sidoarjo Tabel 31. Pada keempat kabupaten ini terlihat bahwa aspek tata kelola dalam hal akses lahan sangat baikterlihat dari konflik atas lahan sangat jarang terjadi Q35 dan secara keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36. Di samping itu biaya perizinan, retribusi biaya transaksi lain tidak memberatkan usaha serta kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q41DR1 ,Q65CR1 dan Q71, serta keamanan kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q88. Di balik posisi 4 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan,analisis korelasi yang dilakukan hanyalah deteksi awal hubungan sederhana karena faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya. Kebijakan Pemda terhadap Sektor Swasta 2= Tidak mendorong iklim investasi 3= mendorong iklim investasi R s =- 0.278 P value: 0.014 Tabel 31 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timurpada KorelasiTingkat Kebijakan Pemda yang Mendorong Iklim Investasi Q51 terhadap PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik Q51 vs PMDN Kab. Pasuruan a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 Kab. Malang b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 Kab. Gresik c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha Q41dR1 Kab. Sidoarjo d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 e.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan Q88 f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 Sumber: Data Olahan 5.2.4 Hubungan antara Program Pengembangan Usaha Sektor Swasta dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Terdapat empat variabel yang dianalisis pada sub indikator ini, yaitu tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS Q57A, tingkat partisipasi dalam PPUS Q57B, tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha Q58 R1-7 dan dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan Q49. Keempat indikator tersebut dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Berdasarkan uji korelasi Spearman Tabel 32, tidak ada satupun variabel PPUS yang berhubungan secara signifikan dengan realisasi PMDN. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang diselenggarakan oleh pemda di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh pemda. Namun, program tersebut pada kenyataannya kurang bermanfaat terhadap kinerja perusahaan sehingga ada atau tiadanya PPUS tersebut tidak berhubungan baik positif ataupun negatif terhadap realisasi investasi di kabupatenkota tersebut. Tabel 32 Korelasi Spearman antara dan PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Program Pengembangan Usaha Swasta di Provinsi Jawa Timur ket. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed Sumber: data olahan PPUS di Jawa Timur diselenggarakan dalam berbagai jenis kegiatan. Di kabupaten Malang misalnya, Pemda bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dari berbagai universitas seperti Universitas Merdeka, Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah, dan Unisma untuk mengembangkan klinik UKM KUKM. Tak hanya empat LPPM, Dinas juga menggandeng perusahaan profesional yaitu CV ASI Mas Malang. Para pelaku usaha di kota Surabaya pun banyak terbantu dengan adanya Surabaya Business Incubator Center, kerjasama antara Institut Teknologi Surabaya, Pemda Tingkat I Jawa Timur, dan Kamar Dagang dan Industri Daerah Kadinda Tingkat I Jawa Timur. Kegiatan yang diselenggarakan antara lain pembinaan, pelatihan dan konsultasi kepada para pelaku usaha. Selain itu, untuk mendukung pemasaran hasil-hasil industri kecil menengah, Pemda Jatim di tahun 2010 bekerja sama dengan pemerintah daerah Osaka, jepang telah membangun sebuah pusat pameran produk UKM bernama Core Higashi . Diharapkan Pemda Jatim dan Osaka bisa saling bertukar informasi dan produk UKM agar di kedua Provinsi tersebut Usaha Kecil dan Menengah bisa berkembang pesat. Q 5 7 A Q 5 7 B Q58 AR1 Q58 AR2 Q58 AR3 Q58 AR4 Q58 AR5 Q58 AR6 Q58 AR7 Q59 Spea r man s rho PM DN Correlatio n Coefficient . . .100 .050 .002 .086 .014 -.071 .029 .139 Sig. 2- tailed . . .387 .666 .983 .457 .899 .539 .800 .231 PM A Correlatio n Coefficient . . .021 -.038 -.096 .008 -.007 -.022 -.129 .280 Sig. 2- tailed . . .855 .742 .407 .943 .951 .843 .263 .014 Namun sayangnya seiring makin bervariasinya PPUS yang diselenggarakan Pemda belum mampu mendorong meningkatnya realisasi investasi PMDN. Hal ini disebabkan tingkat pengetahuan akan PPUS yang masih sangat terbatas di kalangan tertentu saja, dan sosialisasi PPUS yang masih sangat terbatas hanya di kota besar saja. Walaupun manfaat PPUS tidak terlalu dirasakan oleh investor PMDN, ternyata PPUS masih berdampak positif terhadap PMA. Hal ini terlihat dari terdapatnya satu variabel yang berkorelasi positif dengan realisasi PMDN yaitu dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan Q59. Semakin responden menjawab dampak PPUS besar terhadap PMA, semakin besar realisasi investasi PMA di kabupatenkota tersebut Gambar 27. Sumber: Data Olahan Gambar 27 Boxplot Variabel Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan , terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur 5.2.5 Hubungan antara Kapasitas dan Integritas Bupati Walikota dan Realisasi PMDNdan PMAKabupaten dan Kota di Jawa Timur Sub indikator Kapasitas dan integritas Bupati Walikota terdiri dari enam variabel, yaitu pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha Q61R1, 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q59 P M A Boxplot of PMA VS Q59 R s = 0.280 P value: 0.014 Secara umum, dampak dari PPUS Pemda terhadap kinerja perusahaan: 2= Kecil , 3 = besar profesionalisme birokrat daerah Q61R2, ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya Q61R3, tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri Q61R4, karakter kepemimpinan kepala daerah Q61R5, hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha Q63. Semua variabel tersebut berskala ordinal sehingga semuanya dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Tabel 33 Korelasi Spearman antara PMDN 2005-2010 dengan Variabel Kapasitas Integritas BupatiWalikotadi Provinsi Jawa Timur Q61R 1 Q61R 2 Q61R3 Q61R4 Q61R5 Q63 Spear mans rho PM DN Correlation Coefficient .091 .032 -.251 .230 -.052 .188 Sig. 2- tailed .430 .777 .028 .045 .652 .102 PMA Correlation Coefficient .214 -.055 -.380 .384 .177 .274 Sig. 2- tailed .062 .635 .001 .001 .124 .016 Ket. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. . Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 2-tailed. Sumber: data olahan Dari kesemua variabel penyusun sub indikator ini, variabel yang berhubungan negatifsecara signifikan dilihat dari Tabel 33 adalah ketegasan kepala daerah akan korupsi birokratnya Q61 R3 dan tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri Q61R4.Deskripsi lebih lanjutnya dapat dilihat pada gambar 28 dan 29. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q61R3 P M D N Boxplot of PMDN VS Q61R3 Sumber: Data Olahan Gambar 28 Boxplot Variabel Ketegasan Kepala Daerah Terhadap Korupsi Birokratnya , terhdadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pada kabupatenkota di provinsi Jawa Timur, ternyata semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa bupatiwalikota bertindak tegas terhadap tindakan korupsi jajarannyaQ61R3, realisasi investasibaik PMA maupun PMDN makin besar Gambar 26. Pencilan untuk korelasi Q61R3 terhadap PMDN ini adalah Kabupaten Tuban, Probolinggo, Gresik, Pasuruan, Sidoarjo dan kota Surabaya Tabel 34. Di lima kabupatenkota ini terlihat bahwa aspek tata kelola dalam hal akses lahan sangat baik karena konflik atas tanah jarang terjadi Q35 dan keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36. Selain itu biaya perizinan serta retribusi juga tidak menghambat kinerja perusahaan, serta infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan. Bupatiwalikota bertindak tegas kepadatindakan korupsi jajarannya: 2= Tidak setuju , 3= setuju R s =- 0.251 P value: 0.028 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q61R3 P M A Boxplot of PMA VS Q61R3 R s = -0.380 P value: 0.001 Tabel 34 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada KorelasiKetegasan Kepala Daerah akan Korupsi Birokratnya Q61R3 terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik kab. Tuban a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab. Probolinggo b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 kab. Gresik c.Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha Q41dR1 kab. Pasuruan d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 kota Surabaya e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha Q55 kab. Sidoarjo f. Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan Q88 g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 i. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q81 Sumber: data olahan Korelasi negatif juga ditemui pada Tindakan kepala Daerah yang Menguntungkan Diri Sendiri Q61R4 terhadap realisasi PMDN dan PMA. Semakin pelaku usaha setuju bahwa bupatiwalikotanya melakukan perbuatan yang meguntungkan dirinya sendiri, realisasi PMA maupun PMDNnya makin tinggi Gambar 29. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q61R4 P M D N Boxplot of PMDN VS Q61R4 Sumber: Data Olahan Gambar 29 Boxplot Variabel Tindakan kepala Daerah yang Menguntungkan Diri Sendiri, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada korelasi Q61R4 dengan PMDN dan PMA adalah kabupaten Pasuruan, Malang, Gresik, Sidoarjo,Tuban, Bojonegoro dan Kota Surabaya Tabel 35. Pada enam kabupaten ini, pelaku usahanya berpendapat kepala daerahnya melakukan tindakan korupsi, namun ternyata realisasi investasi PMDN dan PMAnya masih tinggi. Namun ternyata ada beberapa variabel tata kelola lainnya yang baik antara lain konflik atas tanah jarang terjadi Q35 dan biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71. Di balik posisi 2 kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya. Bupatiwalikota melakukan perbuatan yang menguntungkan dirinya korupsi 2= Tidak setuju , 3= setuju R s = 0.230 P value: 0.045 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q61R4 P M A Boxplot of PMA VS Q61R4 R s = 0.384 P value: 0.001 Tabel 35 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Tindakan Kepala Daerah yang Menguntungkan Diri Sendiri Q61R4 terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik kab. Pasuruan a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab. Malang b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 kab. Gresik c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha Q41dR1 kab. Sidoarjo d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 kab. Tuban e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha Q55 kota Surabaya f.Keamanan tidak menghambat kinerja perusahaan Q88 kab. Bojonegoro g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 Sumber: Data Olahan Hubungan antara dua variabel Q61R3 dan Q61R4 ini terhadap realisasi PMA maupun PMDN sangatlah berkebalikan namun saling mendukung. Responden di kabupatenkota yang tidak setuju bahwa kepala daerahnya telah bertindak tegas terhadap korupsi ternyata memiliki nilai realisasi investasi yang lebih tinggi dibandingkan kabupatenkota yang menjawab setuju Gambar 28. Sedangkan sejalan dengan gambar 28, Gambar 29 menunjukkan bahwa para pelaku usaha yang setuju bahwa bupatiwalikotanya melakukan tindakan korupsi justru realisasi PMDN maupun PMAnya makin rendah. Hal ini menandakan bahwa sosok bupatiwalikota di suatu kabupatenkota belum menjadi sosok panutan dan sosok figur pemimpin yang kuat. Kenyataannya bupatiwalikota yang korup justru membuat para investor yang memiliki kepentingan dalam beberapa proyek pengadaan gencar melakukan negosiasi dan pendekatan tertentu dengan harapan proyek tersebut mendapat persetujuan, dan pada akhirnya meningkatkan realisasi PMDN maupun PMA di kabupatenkota tersebut. Namun di balik korelasi yang negatif tersebut, terdapat satu variabel yang berkorelasi positif, yaitu tingkat hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah Q63. Semakin pelaku usaha berpersepsi bahwa kapasitas dan integritas kepala daerah memiliki hambatan yang kecil terhadap dunia usaha, semakin tinggi realisasi PMA di daerah tersebut Gambar 30. Sumber: Data Olahan Gambar 30 Boxplot Variabel Hambatan Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Terhadap Dunia Usaha, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur 5.2.6. Hubungan antara Keamanan dan Penyelesaian Sengketa dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Sub indikator keamanan dan penyelesaian konflik disusun atas empat variabel, yaitu tingkat kejadian pencurian di tempat usaha Q83BR1, kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi Q84R1-R3, kualitas penanganan kasus demonstrasi buruh oleh polisi Q86R1-R2, tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan Q88. Variabel yang berskala interval adalah tingkat kejadian pencurian di tempat usaha sehingga dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Variabel-variabel lainnya berskala ordinal sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Tabel 36 Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Tingkat Kejadian Pencurian di Tempat Usahadi Provinsi Jawa Timur Q83R1 LPMDN Pearson Correlation 0.020927 Sig. 2-tailed 0.857597 LPMA Pearson Correlation 0.230795 Sig. 2-tailed 0.044872 Ket. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Sumber: data olahan 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q63 PM A Boxplot of PMA VS Q63 R s = 0.274 P value: 0.016 Seberapa besar kinerja perusahaan terhambat oleh hal-hal yang berkaitan dengan kualitas pimpinan daerah? 2= Besar, 3= kecil Dari hasil uji korelasi Pearson ternyata tingkat kejadian pencurian di tempat usaha Q83R1 tidak berhubungan secara signifikan terhadap realisasi PMDN di kabupatenkota di Jawa Timur, namun justru berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMA. Tabel 36. Hal ini mengindikasikan semakin tinggi realisasi investasi PMA di tempat usaha, diikuti oleh semakin tingginya tingkat kejadian pencurian di tempat usahaGambar 31. PMA biasanya didukung oleh permodalan besar dan asset yang kuat, sehingga besar kemungkinan terjadi tindakan pencuriankriminalitas dalam perusahaan tersebut. Sumber: Data Olahan Gambar 31 Scatterplot Variabel Tingkat Kejadian Pencurian di Tempat Usaha, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Variabel-variabel yang berhubungan signifikan namun negatif terhadap PMDN berdasarkan uji korelasi Spearman pada Tabel 36 adalah variabel kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, yaitu polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus kriminal Q84R1 dan solusi yang diberikan polisi menguntungkan perusahaan Q84R2 serta pada praktiknya solusi yang diberikan polisi dalam menangahi kasus demonstrasi buruh janya menyebabkan dampak kehilangan kecil terhadap waktu produktif dan biaya operasional usaha Q86 R2. Sedangkan untuk PMA, semua variabel penyusun sub indikator keamanan dan penyelesaian sengketa berkorelasi baik positif maupun negatif dengan realisasi PMA Tabel 37. 30 25 20 15 10 5 40 30 20 10 Q83R1 LP M A Scatterplot of LPMA vs Q83R1 R p = 0.230 P value= 0.044 Tabel 37 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA2005-2010 dengan Variabel Keamanan dan Penyelesaian Sengketadi Provinsi Jawa Timur Q84R1 Q84R2 Q84R3 Q86R1 Q86R2 Q88 Spear mans rho PM DN Correlation Coefficient -.249 -.308 -.160 -.070 -.258 .151 Sig. 2- tailed .029 .006 .165 .545 .024 .190 PMA Correlation Coefficient -.306 -.416 -.328 -.192 -.393 .260 Sig. 2- tailed .007 .001 .003 .095 .001 .023 ket: Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. . Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 2-tailed. Sumber: data olahan Dari boxplot yang ditunjukkan dalam Gambar 32 sampai Gambar 36 terlihat jelas bahwa pelaku usaha di kabupatenkota yang tidak setuju bahwa polisinya bertindak tepat waktu, memberikan solusi yang menguntungkan dunia usaha justru memiliki nilai realisasi PMDN maupun PMAyang lebih tinggi dibandingkan kabupatenkota yang tidak setuju. Korelasi-korelasi negatif yang terdapat pada sub indikator ini tidak dapat langsung dijadikan justifikasi, melainkan hanyalah deskripsi awal fenomena saja. Pada dasarnya penurunanpeningkatan realisasi investasi PMDN maupun PMA tidak hanya ditentukan oleh satu faktor tata kelola berupa keamanan saja tetapi juga oleh variabel tata kelola lainnya seperti akses lahan, perizinan dan infrastruktur. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q84R1 P M D N Boxplot of PMDN VS Q84R1 Sumber: Data Olahan Gambar 32 Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Polisi Selalu Bertindak Tepat Waktu dalam Menangani Kasus Kriminal yang Berhubungan dengan Kegiatan Usaha, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 Sementara itu korelasi negatif juga ditemui pada korelasi antara variabel polisi tepat waktu dalam menangani kriminalitas Q84R1 terhadap realisasi PMDN maupun PMA Gambar 32. Semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa polisi bertindak tepat waktu dalam menangani kriminalitas, semakin tinggi realisasi PMA maupun PMDN. Pencilan pada korelasi Q84R1 dengan PMDN dan PMA adalah kabupaten Malang, Probolinggo, Sidoarjo dan Kota Surabaya Tabel 38. Walaupun demikian ,pada empat kabupaten ada beberapa variabel tata kelola lainnya yang baik antara lain penggusuran dan konflik atas tanah jarang terjadi Q34,Q35 ,biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71. Di balik posisi empat kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing- masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya. Polisi selalu tepat waktu menangani kriminalitas sehubungan dunia usaha 2= Tidak setuju , 3= setuju R s =- 0.249 P value: 0.029 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q84R1 P M A Boxplot of PMA Q84R1 R s =- 0.306 P value: 0.007 Tabel 38 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Tindakan Polisi Tepat Waktu dalam Menangani Kriminalitas Q84R1 terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik kab. Malang a. Penggusuran jarang terjadi Q34 kab. Probolinggo b. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab. Sidoarjo c. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 kota Surabaya d. Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha Q41dR1 e. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 f. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha Q55 g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 Sumber: data olahan Korelasi negatif juga ditemui pada korelasi antara variabel solusi polisi dalam menangani kriminalitas menguntungkan bagi perusahaanQ84R2 terhadap realisasi PMDN maupun PMA Gambar 33. Semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa solusi polisi dalam menangani kriminalitas menguntungkan bagi perusahaan, semakin tinggi realisasi PMA maupun PMDN. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q84R2 P M D N Boxplot of PMDN VS Q84R2 Sumber: Data Olahan Gambar 33 Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Kasus Kriminal Menguntungkan Bagi Perusahaan, terhadap PMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Solusi polisi dalam menangani kriminalitas menguntungkan bagi perusahaan 2= Tidak setuju , 3= setuju 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q84R2 P M A Boxplot of PMA VS Q84R2 R s =- 0.308 P value: 0.067 R s =- 0.416 P value: 0.001 Pencilan pada korelasi Q84R2 terhadap PMDN dan PMA adalah kabupaten Gresik, Jember, Malang, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, Tuban, Batu, kota Pasuruan dan Surabaya. Di Kabupatenkotapencilan ini akses lahan sangat baik Q35-Q36, baik biaya perizinan,retribusi, IPPU maupun biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Tabel 39. Di balik posisi kabupaten-kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing- masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya. Tabel 39 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Kasus Kriminal Menguntungkan Bagi Perusahaan Q84R2 terhadap PMDN dan PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik kab. Gresik a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab .Jember b.Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 kab. Malang c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha Q41dR1 kab. Pasuruan d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 kab. Probolinggo e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha Q55 kab. Sidoarjo f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 kab. Tuban g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 kod. Batu kota Pasuruan Kota Surabaya Sumber: data olahan Korelasi negatif berikutnya kita temui pada korelasi antara variabel solusi polisi dalam menangani dampak kriminalitas meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya Q84R3 terhadap realisasi PMA Gambar 34.Semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa solusi yang diberikan polisi ketika menangani kasus kriminal meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya, semakin tinggi realisasi PMA. Sumber: Data Olahan Gambar 34 Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Kasus Kriminal Meminimalisir Dampak Kerugian Waktu dan Biaya, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada korelasi ini adalah kabupaten Gresik dan kabupaten Pasuruan. Tabel 40. Responden di kabupaten Gresik dan Pasuruan justru meyakini bahwa kualitas tata kelola di sub indikator lainnya sangat baik, antara lain bahwa konflik atas tanah jarang terjadi Q35,biaya perizinan sama sekali bukan hal yang memberatkan perusahaan Q41DR1 dan sangat kecil tingkat hambatan kapasitas infrastruktur terhadap kinerja perusahaan Q88. Demikian pula retribusi tidak menjadi hambatan terhadap kinerja perusahaan Q65CR1. Ternyata, di balik posisi empat kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya. 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q84R3 P M A Boxplot of PMA VS Q84R3 R s =- 0.328 P value: 0.003 Solusi polisi dalam menangani kriminalitas meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya 2= Tidak setuju , 3= setuju Tabel 40 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Kasus Kriminal Meminimalisir Dampak Kerugian Waktu dan Biaya Q84R3 terhadap PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik Q84R3 vs PMA kab. Gresik a. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab. Pasuruan b. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 c. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha Q41dR1 d. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha Q55 f. kapasitas dan integritas kepala daerah kecil hambatannya terhadap dunia usaha Q63 g. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 h. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 i. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q81 Sumber: data olahan Hubungan negatif antara tata kelola dengan PMA terlihat pada korelasi antara variabel polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani demonstrasi buruh Q86R1 terhadap PMA Gambar 35. Semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa polisi selalu bertindak tepat waktu dalam memangani kasus demonstrasi buruh, realisasi PMA justru makin tinggi. Sumber: Data Olahan Gambar 35 Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Demonstrasi Buruh oleh Polisi: Polisi Bertindak Tepat Waktu Menangani Demonstrasi Buruh, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada korelasi ini adalah kabupaten Probolinggo dan Sidoarjo Tabel 41. Untuk kedua kabupaten ini sendiri, kualitas tata kelola akses lahannya sangat baik, terlihat dari kemungkinan lokasi usaha digusur sangat kecil, penggusuran dan konflik tanah jarang Q33-Q36., biaya perizinan tidak menghambat kinerja perusahaan Q41dR1, serta biaya transaksi berupa pajak, retribusi dan donasi kepada Pemda tidak menghambat kinerja perusahaan Q65CR1,Q65CR2, Q67CR1, serta infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q88. Ternyata, di balik posisi dua kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya. 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q86R1 PM A Boxplot of PMA VS Q86R1 R s =- 0.192 P value: 0.095 Polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani demonstrasi buruh 2= Tidak setuju , 3= setuju Tabel 41 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Polisi Tepat Waktu dalam Menangani Demonstrasi Buruh Q86R1 terhadap PMA , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Korelasi Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik Q86R1 vs PMA kab. Probolinggo a. Kemungkinan lokasi usaha akan digusur sangat kecil Q33 kab. Sidoarjo b. Penggusuran jarang terjadi Q34 c. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 d. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 e.Persepsi bahwa biaya tidak memberatkan usaha Q41dR1 f. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 g. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha Q55 h. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 i. Pajak daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR2 k. Donasi kepada Pemda tidak menghambat kinerja perusahaan Q67Cr1 l. Pembayaran biaya informal pada polisi tidak menghambat kinerja perusahaan Q70BR1 g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q81 Sumber: Data Olahan Untuk variabel kualitas penanganan demonstrasi buruh oleh polisi berupa solusi polisi menangani demonstrasi buruh meminimalisir dampak kerugian usaha Q86R2, juga berkorelasi negatif baik dengan PMDN maupun PMA Gambar 36. Semakin pelaku usaha tidak setuju bahwa solusi polisi dalam memangani kasus demonstrasi buruh meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya, realisasi PMA dan PMDN justru makin tinggi. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q86R2 P M D N Boxplot of PMDN VS Q86R2 Sumber: Data Olahan Gambar 36 Boxplot Variabel Kualitas Penanganan Kriminal oleh Polisi: Solusi Yang Diberikan Polisi Ketika Menangani Demonstrasi Buruh Meminimalisir Dampak Kerugian Waktu dan Biaya Terhadap Usaha, terhadap PMDN dan PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Pencilan pada korelasi Q86R2 dengan PMDN dan PMA adalah Kabupaten Gresik, Pasuruan, Probolinggo. Sidoarjo, Tuban dan kota Pasuruan Tabel 44. Pada kabupaten-kabupaten ini, akses akan lahan dan ketersediaan lahan sangat baik, terlihat dari kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur, dan konflik atas tanah yang jarang Q33 Q35. Sementara itu, biaya perizinan tidaklah menjadi hambatan bagi pelaku bisnis Q41DR1, biaya transaksi berupa retribusi tidak menghambat kinerja perusahaan Q65CR1, Q71 dan hambatan infrastruktur kecil terhadap kinerja perusahaan Q81. Ternyata, di balik posisi kabupaten- kabupaten ini sebagai pencilan, kualitas tata kelola masing-masing kabupaten di aspek tata kelola yang lain justru sangat baik. Hal ini mengindikasikan, faktor penentu investasi di suatu daerah bukan hanya 1 aspek variabel tata kelola namun banyak aspek variabel tata kelola lainnya. Solusi polisi meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya dunia usaha 2= Tidak setuju , 3= setuju R s = -0.258 P value: 0.024 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q86R2 P M A Boxplot of PMA VS Q86R2 R s = -0.393 P value: 0.001 Tabel 42 Kabupaten Pencilan di Provinsi Jawa Timur pada Korelasi Solusi Polisi dalam Menangani Demonstrasi Buruh Meminimalkan Dampak Kerugian Waktu dan Biaya Q86R2 terhadap PMA dan PMDN , serta Kualitas Tata Kelola yang Baik yang Dimilikinya Pencilan anomali Kualitas Tata Kelola yang baik kab. Gresik a. Kemungkinan lokasi usaha akan digusur sangat kecil Q33 kab. Pasuruan b. Konflik atas tanah jarang terjadiQ35 kab. Probolinggo c. Keseluruhan permasalahan lahan usaha kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q36 kab. Sidoarjo d. Biaya perizinan tidak memberatkan usaha Q41dR1 kab. Tuban e. Hal-hal yang berkaitan dengan izin usaha tidak menghambat kinerja perusahaan Q46 kota Pasuruan e. Interaksi Pemda kecil hambatannya terhadap pelaku usaha Q55 f. Retribusi daerah tidak memberatkan kinerja perusahaan Q65cR1 g. biaya-biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q71 h. infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan Q81 Sumber: Data Olahan Salah satu latar belakang mengapa daerah yang aman justru realisasi investasinya rendah adalah sebagai berikut. Pada kenyataannya di lapangan, penyediaan barang publik berupa keamanan yang seharusnya dapat dinikmati seluruh warga masyarakat tanpa terkecuali dan tanpa imbalan biaya apapun, ternyata seringkali disalahgunakan oleh pihak kepolisian dan juga pihak pengguna user dalam hal ini para pelaku usaha. Barang publik berupa keamanan seringkali diakuisisi oleh pihak swasta menjadi barang privat dengan imbalan tertentu. Di banyak kasus keamanan, polisi justru secara terang-terangan meminta fee tambahan atas setiap solusi permasalahan dunia usaha yang dipecahkan. Biaya keamanan informal inilah yang nantinya menjadi komponen biaya produksi, yang bila jumlahnya semakin besar seiring waktu, akan menyebabkan kemampuan pelaku usaha untuk berinvestsai semakin berkurang karena biaya produksi semakin tinggi Hal inilah yang menyebabkan biaya yang dikeluarkan perusahaan akan semakin bertambah . Dengan demikian sangat logis apabila semakin responden setuju bahwa polisi memberikan solusi terbaik dalam setiap permasalahan keamanan yang mereka hadapi, semakin rendah realisasi investasi di kabupatenkota tersebut. Dari sekian banyaknya variabel yang berkorelasi negatif, ternyata secara umum masalah keamanan dan penyelesaian sengketa ini kecil hambatannya terhadap realisasi PMA. Oleh karena itu, para pelaku usaha yang berpersepsi bahwa masalah keamanan ini kecil hambatannya, memiliki realisasi PMA yang lebih tinggi Gambar 37. Sumber: Data Olahan Gambar 37 Boxplot Variabel Tingkat hambatan Keamanan dan Penyelesaian Sengketa terhadap Kinerja Perusahahaan, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur 5.2.7 Hubungan antara Biaya Transaksi dan Realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Variabel-variabel sebagai pembentuk indikator ini adalah tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan Q65CR1-R2, tingkat hambatan donasi terhadap pemda Q67CR1, tingkat pembayaran biaya informal terhadap polisi Q70BR1, tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan Q71 memiliki skala ordinal. Sementara variabel tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda Q67A memiliki skala interval.Dari hasil uji korelasi Pearson ternyata tingkat pembayaran donasi kepada Pemda tidak berhubungan secara signifikan terhadap realisasi investasi baik PMA maupun PMDN di kabupatenkota di Jawa Timur. Tabel 43. 4 3 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q88 P M A Boxplot of PMA VS Q88 R s = 0.260 P value: 0.023 Solusi polisi meminimalisir dampak kerugian waktu dan biaya dunia usaha 2= Tidak setuju , 3= setuju Tabel 43 Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA 2005-2010 dengan Variabel Tingkat Pembayaran Donasi terhadap Pemda di Provinsi Jawa Timur Q67A LPMDN Pearson Correlation 0.183942 Sig. 2-tailed 0.111701 LPMA Pearson Correlation 0.165604 Sig. 2-tailed 0.152812 Sumber: data olahan Variabel-variabel berskala ordinal yang dianalisis dengan uji korelasi Spearmanpun tidak ada yang berhubungan secara signifikan terhadap realisasi PMDN Tabel 44. Dengan kata lain sub indikator biaya transaksi bukanlah menjadi hambatan utama bagi investor domestikuntuk menanamkan modalnya di kabupatenkota di Jawa Timur. Hal ini terlihat dalam hasil survei , dimana lebih dari 90 pelaku usaha berpersepsi bahwa secara umum biaya transaksi sangat kecil pengaruhnya dalam menghambat kinerja perusahaan. Kondisi ini menunjukkan kesadaran para pelaku usaha yang tinggi dalam membayar pajak baik pajak pusat maupun daerah dan kesadaran yang tinggi pula dalam mematuhi berbagai peraturan terkait retribusi daerah. Tabel 44 Korelasi Spearman antara PMDN 2005-2007 serta PMDN 2008-2010 dengan Variabel -variabel Biaya Transaksi di Provinsi Jawa Timur Q65 CR1 Q65 CR2 Q67CR1 Q70BR1 Q71 Spear mans rho PMDN Correlation Coefficient . -0.1217 -0.0551 0.0435 0.1434 Sig. 2-tailed . 0.2949 0.6358 0.7088 0.2163 PMA Correlation Coefficient . -0.0563 -0.0866 -0.0462 0.2655 Sig. 2-tailed . 0.6290 0.4564 0.6916 0.0204 ket:Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Sumber: data olahan Namun demikian ternyata ada satu variabel yang berkorelasi positif dengan PMA yaitu tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan Q71. Para pelaku usaha yang berpersepsi bahwa biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, memiliki realisasi PMA yang lebih tinggi Gambar 38. Sumber: Data Olahan Gambar 38 Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Biaya Transaksi Terhadap Kinerja Perusahahaan, terhadap realisasi PMA 2005-2010. 5.2.8 Hubungan antara kebijakan Infrastruktur Daerah dan Realisasi PMDNdan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Indikator kebijakan infastruktur daerah terdiri atas lima variabel yaitu kualitas infrastruktur yaitu jalan, lampu penerangan, air PDAM, listrik, dan telepon Q78A R1-R5, lama perbaikan lima jenis infrastruktur tersebut Q78C R1-R5, pemakaian genset Q79, lama pemadaman listrik Q80 dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan Q81. Variabel lama perbaikan infrastruktur Q78CR1-5, persentase pemakaian genset Q79 dan lama pemadaman listrik Q80 memiliki skala interval dan dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Tabel 45 Korelasi Pearson antara PMDN serta PMA 2005-2010 dengan Variabel Lama Perbaikan Infrastruktur, Pemakaian Genset, Lama Pemadaman Listrik di Provinsi Jawa Timur Q78 CR1 Q78 CR2 Q78 CR3 Q78 CR4 Q78 CR5 Q79 Q80 LPMDN Pearson Correlation -0.088 -0.015 -0.184 -0.100 0.139 -0.124 -0.225 Sig. 2- tailed 0.449 0.895 0.110 0.389 0.229 0.283 0.049 LPMA Pearson Correlation -0.184 -0.072 -0.196 0.089 0.054 0.101 -0.036 Sig. 2- tailed 0.111 0.533 0.088 0.441 0.642 0.382 0.753 ket:Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Sumber: data olahan 4 3 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q71 P M A Boxplot of PMA VS Q71 Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan 2= Besar, 3= kecil Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa variabel lama pemadaman listrik Q80 berhubungan negatif secara signifikan dengan realisasi investasi PMDN. Tabel 45. Ketersediaan infrastruktur listrik merupakan hal yang sangat vital dalam melangsungkan kegiatan perusahaan. Tanpa listrik bisa dikatakan kegiatan operasional perusahaan akan lumpuh karena hampir semua peralatan yang digunakan dalam operasi perusahaan menggunakan tenaga listrik. Oleh karena itu padamnya listrik walau hanya satu jam saja pasti akan menurunkan output perusahaan. Suatu daerah yang sering terjadi pemadaman listrik, apalagi dengan durasi yang cukup lama, akan menyebabkan penanam modal kurang tertarik untuk berinvestasi atau melakukan kegiatan usaha di daerah tersebut. Deskripsi lebih detail dapat kita lihat pada scatterplot Gambar 39. 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 30 25 20 15 10 5 Q80 LP M DN Scatterplot of LPMDN vs Q80 Sumber: Data Olahan Gambar 39 Scatterplot Variabel Lama Pemadaman Listrik, terhadap LPMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Hubungan yang negatif dan signifikan juga ditemui pada korelasi antara lama perbaikan infrastruktur air PDAM Q78cR3 dengan realisasi PMA Gambar 40. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan infrastruktur air bersih dari PDAM, semakin rendah realisasi PMA di kabupatenkota di Jawa Timur. Hal ini sangat logis, mengingat PMA di Jawa Timur sebagian besar bergerak di industri makanan dan minuman yang sangat membutuhkan pasokan air bersih sebagai bahan penunjang proses produksinya. R p = -0.255 P value: 0.049 Sumber: Data Olahan Gambar 40 Scatterplot Variabel Lama Perbaikan Infrastruktur Air PDAM, terhadap LPMDN 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur Variabel ordinal lainnya penyusun indikator ini dianalisis dengan uji korelasi Spearman Tabel 46. Satu-satunya variabel yang berhubungan positif secara signifikan dengan realisasi PMDN adalah variabel kualitas infrastruktur jalan Q78AR1. Makin baik kualitas infrastruktur jalan di kabupatenkota tertentu, semakin menarik minat investor untuk menanamkan modal dan berdampak pada realisasi PMDN yang semakin tinggi Gambar 41. Hal ini sejalan dengan teori, dimana infrastruktur yang baik akan mengurangi biaya-biaya perusahaan seperti biaya transportasi, biaya pemeliharaan kendaraan operasional dan biaya operasional perusahaan lainnya. Tabel 46 Korelasi Spearman antara PMDN dan PMA 2005- 2010 dengan Variabel Kualitas Infrastruktur Q78AR1-AR5, Tingkat Hambatan Infrastruktur Terhadap Kinerja Perusahaan Q81 di Provinsi Jawa Timur Q78 AR1 Q78 AR2 Q78 AR3 Q78 AR4 Q78 AR5 Q81 Spear mans rho PMDN Correlation Coefficient 0.249 0.168 0.088 . . 0.166 Sig. 2-tailed 0.029 0.145 0.447 . . 0.150 PMA Correlation Coefficient 0.1718 0.203 0.060 . . 0.216 Sig. 2-tailed 0.137 0.078 0.602 . . 0.060 ket: Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Sumber: data olahan 40 30 20 10 30 25 20 15 10 5 Q78CR3 LP M A Scatterplot of LPMA vs Q78CR3 R p = -0.196 P value: 0.088 Untuk kasus Jawa Timur dengan diperbaikinya kualitas infrastruktur jalan, antara lain dengan dibangunnya Tol Surabaya- Gempol dan jembatan Suramadu yang diresmikan tahun 2009 dimaksudkan untuk dapat mendukung seluruh aktivitas dalam perekonomian. Dibangunnya infrastruktur penting ini ternyata berdampak positif terhadap mobilitas barang dan jasa serta mengurangi transportasi biaya tinggi yang menjadi hambatan pelaku usaha untuk berinvestasi. 3 2 4.0000E+12 3.0000E+12 2.0000E+12 1.0000E+12 Q78A R1 PM D N Boxplot of PMDN vs Q78AR1 Sumber: data olahan Gambar 41 Boxplot Variabel Kualitas Infrastruktur Jalan terhadap PMDN 2005- 2010di Provinsi Jawa Timur Sementara itu untuk PMA, semakin banyak pelaku usaha yang berpersepsi bahwa hal-hal yang berkaitan dengan infrastruktur kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, realisasi PMA semakin tinggi Gambar 42. Dengan kata lain, secara umum makin baik kualitas infrastruktur di suatu daerah, makin tidak menjadi hambatan bagi perusahaan sehingga makin tinggi realisasi PMA di daerah tersebut. Bagaimana kondisi infrastruktur jalan? 2= Buruk , 3= baik R s = 0.249 P value: 0.029 Sumber: data olahan Gambar 42 Boxplot Variabel Tingkat Hambatan Infrastruktur Terhadap Kinerja Perusahaan, terhadap PMA 2005-2010 di Provinsi Jawa Timur

5.2.9. Hubungan Sub_Indeks dan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah

dengan Realisasi PMDN dan PMA Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Tata Kelola Ekonomi Daerah baik untuk kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Timur telah disusun indeksnya dalam survei KPPOD pada tahun 2007 dan 2010. Seluruh variabel tata kelola ekonomi daerah diagregasi menjadi sebuah indeks tata kelola ekonomi daerah TKED. Perumusan indeks ini dilakukan melalui beberapa tahap, yakni tahap normalisasi, perhitungan sub indeks dan perhitungan indeks melalui pembobotan tiap variabel. Selain itu, ada sembilan indikator yang dibuat subindeks, yaitu indikator akses lahan AL, izin usaha IU, interaksi pemda dengan pelaku usaha IPPU, program pengembangan usaha swasta PPUS, kapasitas dan integritas pemimpin daerah KIP, Biaya Transaksi BT, infrastruktur daerah INF, keamanan dan penyelesaian konflik KPK dan peraturan daeah PERDA. Untuk mengetahui hubungan subindeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan pendapatan per kapita di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Timur dilakukan uji korelasi Pearson. 3 2 1.4000E+13 1.2000E+13 1.0000E+13 8.0000E+12 6.0000E+12 4.0000E+12 2.0000E+12 Q81 PM A Boxplot of PMA VS Q81 R s = 0.216 P value: 0.060 Seberapa besar hal-hal yang berkaitan dengan infrastruktur menghambat kinerja perusahaan? 2= Besar, 3= kecil Tabel 47 Korelasi Pearson antara PMDN dan PMA 2005-2010dengan Sub-Sub Indikator TKED dan Indeks TKED di Provinsi Jawa Timur LPMD N LPMA LPMD N LPMA AL Pearson Correlation -0.074 -0.022 KPS Pearson Correlation -0.033 -0.177 Sig. 2-tailed 0.521 0.846 Sig. 2-tailed 0.775 0.124 N 76 76 N 76 76 IU Pearson Correlation -0.077 -0.248 BT Pearson Correlation -0.007 -0.220 Sig. 2-tailed 0.506 0.030 Sig. 2-tailed 0.950 0.055 N 76 76 N 76 76 IPPU Pearson Correlation -0.127 -0.226 INF Pearson Correlation -0.066 0.085 Sig. 2-tailed 0.271 0.048 Sig. 2-tailed 0.566 0.464 N 76 76 N 76 76 PPUS Pearson Correlation -0.057 -0.150 PERD A Pearson Correlation -0.020 0.142 Sig. 2-tailed 0.622 0.193 Sig. 2-tailed 0.858 0.220 N 76 76 N 76 76 KIB W Pearson Correlation -0.157 -0.127 TKED Pearson Correlation -0.000 0.048 Sig. 2-tailed 0.173 0.271 Sig. 2-tailed 0.996 0.678 N 76 76 N 76 76 ket: Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 2-tailed. Sumber: data olahan Hasil uji korelasi pada Tabel 47 menunjukkan bahwa indeks TKED tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan realisasi PMDN di kota dan kabupaten Propinsi Jawa Timur. Lebih jauh lagi, dari sembilan indikator, ternyata tidak ada satupun indikator yang berhubungan secara signifikan. Scatterplot pada Gambar 43 pun menunjukkan garis regresi indeks TKED dan sembilan indikator terhadap realisasi investasi PMDN tersebut memiliki slope yang cenderung landai dan kemiringan yang negatif. Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berjumlah lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks. Padahal pertanyaan yang menjadi variabel penyusun sub indikator memiliki berbagai skala, baik nominal, ordinal maupun interval. Oleh karena itu, dalam melakukan analisisnya lebih tepat menggunakan analisis atau uji yang berbeda-beda, disesuaikan dengan skala masing-masing variabel. Dengan demikian, akan terlihat variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap realisasi PMDN sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan yang tepat. 100 75 50 30 15 80 65 50 80 60 40 70 45 20 90 60 30 100 75 50 90 75 60 90 75 60 30 15 100 50 30 15 80 70 60 A L L P M D N I U IP P U P P U S K IB W K P S B T IN F P E RD A T K E D Scatterplot of LPMDN vs SUB INDEKS DAN INDEKS TKED Sumber: data olahan Gambar 43 Scatterplot Korelasi Pearson antara PMDN dengan Sub-Sub Indikator TKED dan Indeks TKED Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Pengujian dengan korelasi Pearson untuk hubungan antara indeks TKED dan realisasi PMA menunjukkan bahwa hanya ada beberapa indeks TKED yang memiliki hubungan yang signifikan dengan realisasi PMA di kota dan kabupaten Propinsi Jawa Timur yaitu Izin Usaha, IPPU dan Biaya Transaksi Tabel 47. Lebih jauh lagi, ternyata hubungankorelasinya bersifat negatif dimana sub indeks yang telah dinormalisasi seharusnya berhubungan positif dengan realisasi investasi PMA. Deskripsi korelasi yang negatif secara signifikan ini dapat dilihat pada Gambar 44. Slope garis regresi untuk sub indikator seperti izin Usaha IU, IPPU maupun BT cenderung negatif sehingga tidak sejalan dengan hipotesis yaitu tata kelola yang baik menstimulasi realisasi investasi PMA yang tinggi di kabupatenkota di Jawa Timur. Sedangkan untuk yang garis regresinya positif seperti pada sub indeks infrastruktur INF dan kualitas Perda PERDA, korelasinya tidak signifikan. Sumber: data olahan Gambar 44 Scatterplot Korelasi Pearson antara PMA dengan Sub-Sub Indikator TKED dan Indeks TKED Kabupaten dan Kota di Jawa Timur 5.3. Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan Daerah terhadap Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur Analisis pengaruh variabel tata kelola pemerintahan daerah, realisasi PMA, realisasi belanja modal ,pertumbuhan ekonomiterhadap realisasi PMDN serta pengaruh variabel tata kelola pemerintahan daerah, realisasi PMDN, realisasi belanja modal, pertumbuhan ekonomi terhadap realisasi PMA di Kabupaten Kota di Propinsi Jawa Timur dilakukan dengan regresi data panel. Sebelum analisis lebih lanjut perlu dilakukan uji statistik dan uji asumsi klasik agar model terpilih memenuhi asumsi BLUE Best Linear Unbiased Estimator. 5.3.1. Uji Asumsi Klasik 5.3.1.1. Uji Normalitas Kedua model ini memiliki galat yang menyebar normal. Hal ini dapat dilihat dari sebaran standardized residual yang berada pada kisaran 2 sampai -2 Lampiran 25 dan 33. 100 75 50 30 15 80 65 50 80 60 40 70 45 20 90 60 30 90 75 60 30 15 90 75 60 30 15 100 50 80 70 60 A L L P M A IU IP P U P P U S KIBW BT IN F P E RD A T KE D Scatterplot of LPMA vs AL, IU, IPPU, PPUS, KIBW, BT, INF, PERDA, TKED

5.3.1.2. Uji Heteroskedastisitas

Hipotesis nol yang diuji dalam uji heteroskedastisitas ini adalah tidak terdapat masalah heteroskedastisitas di dalam kedua model. Sedangkan hipotesis satunya adalah model mengandung masalah heteroskedastisitas. Setelah dilakukan pengujian, ternyata kedua model ini pun terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji histogram normality Lampiran 26 dan 34 memiliki nilai p-value lebih besar dari taraf nyata 10 persen, yang berarti belum cukup bukti untuk menolak hipotesis nol.

5.3.1.3. Uji Multikolinearitas

Gejala multikolinearitas dapat dilihat dengan melihat korelasi antar variabel bebas di dalam model. Dari hasil uji korelasi Pearson Lampiran 27 dan 35 ternyata tidak ada satupun variabel bebas yang berkorelasi secara kuat lebih dari 70. Dengan demikian dapat dipastikan variabel bebas yang satu dengan yang lainnya tidak berhubungan linear.

5.3.1.4. Uji Autokorelasi

Adanya korelasi antar sisaan dapat terdeteksi dari nilai Durbin Watson DW Statisticnya. Model PMDN Lampiran 31 terbebas dari masalah autokorelasi, karena nilai DWnya terletak antara du sampai dengan 4-du. Untuk model kedua model PMDN, nilai DW statisticnya terletak pada daerah tanpa keputusan, namun setelah dilakukan run test, ternyata terbebas dari masalah autokorelasi. 5.3.2. Uji Statistik 5.3.2.1. Koefisien DeterminasiR 2 Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness of fit dari model regresi yang dapat lihat dari nilai R Square. Dari hasil estimasi Eviews, nilai R Square hasil regresi data panel PMDN adalah 0,33 Tabel 48. Hal ini berarti 33 persen keragaman realisasi PMDN kabupatenkota diProvinsi Jawa Timur dapat dijelaskan oleh kelima variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 67 persen dijelaskan oleh faktor-faktor yang lain di luar model. Sementara itu dari hasil estimasi Eviews, nilai R Square hasil regresi data panel PMA adalah 0,37 Tabel 49. Hal ini berarti 37 persen keragaman realisasi PMA kabupatenkota diProvinsi Jawa Timur dapat dijelaskan oleh ketujuh variabel independen di atas, sedangkan sisanya sebesar 63 dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model.

5.3.2.2. Uji Parameter Signifikansi Individu Uji T

Hasil uji t menunjukkan bahwa semua variabel bebas secara individual berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMDN Tabel 48. Tingkat signifikansi variabel bebas diperoleh baik dengan membandingkan t-statistic masing-masing variabelnya dengan t-tabel maupun dengan melihat p-value masing-masing variabel yang berada di bawah taraf nyata 10 persen. Artinya, variabel bebas secara individual dan signifikan mempengaruhi PMDN . Sementara itu hasil uji t pada model PMA menunjukkan bahwa semua variabel berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMA Tabel 49, kecuali variabel pertumbuhan ekonomi GROWTH dan variabel dummy kualitas penanganan demonstrasi buruh oleh polisi DQ86R2.

5.3.2.3 Uji Signifikansi Parameter Simultan Uji F

Uji pengaruh simultan digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tak bebas. Nilai p-value uji F pada model PMDN dan model PMA berada di bawah 10 persen. Ini berarti bahwa semua variabel bebas, baik di dalam model PMA dan PMDN secara bersama- sama signifikan dalam menjelaskan realisasi PMDN di kabupatenkota di Provinsi Jawa Timur.

5.3.3. Hasil Estimasi Model

Setelah melakukan berbagai macam eksplorasi, diperoleh hasil estimasi regresi data panel terbaik dengan mentransformasi semua variabel ke dalam bentuk logaritma natural sebagai berikut. LPMDN = 0.289785 LPMA + 9.280199 LPUB + 0.225173 GROWTHT + 0.073570 Q38AR1 + 6.207752DQ58R3 - 256.5877 + it Tabel 48 Hasil Estimasi Model Determinan Investasi Swasta PMDN di Provinsi Jawa Timur dengan Regresi Data Panel Random Effects Model Variable Coefficient t-Statistic Prob. LPMA 0.289785 2.772777 0.0071 LPUB 9.280199 2.835644 0.0060 GROWTH 0.225173 2.409394 0.0186 DPROMO DQ58R3 6.207752 2.100933 0.0392 PTDP Q38AR1 0.073570 1.884040 0.0637 C -256.5877 -2.912160 0.0048 Weighted Statistics R-squared 0.338878 Adjusted R-squared 0.291656 Sum squared resid 5141.073 ProbF-statistic 0.000018 ket: , berturut-turut menunjukkan variabel signifikan pada tingkat 5 dan 10 Sumber: data olahan Hasil estimasi terhadap koefisien variabel-variabel dalam model PMDN tersebut Tabel 48 menunjukkan bahwa ada dua variabel tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh secara signifikan, yaitu persentase kepemilikan TDP PTDP dan variabel dummy program pengembangan usaha swasta berupa promosi produk lokal kepada investor potensial DPROMO. Keduanya memiliki p-value di bawah 10 persen. Sejalan dengan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, ternyata variabel PMA, belanja modal pemerintah PUB dan pertumbuhan ekonomi GROWTH berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMDN. Untuk dapat menganalisis lebih lanjut, perlu dilakukan pengujian- pengujian terutama pengujian asumsi klasik. Analisis pengaruh variabel Tata Kelola Pemerintahan Daerah, realisasi PMDN, realisasi belanja Modal dan pertumbuhan ekonomi terhadap realisasi PMA Kabupaten Kota di Propinsi Jawa Timur dilakukan dengan regresi data panel. Setelah melakukan berbagai macam eksplorasi, diperoleh hasil estimasi regresi data panel terbaik dengan mentransformasi semua variabel ke dalam bentuk logaritma natural sebagai berikut LPMA = 7.414464 LPUB + 0.344604 LPMDN - 0.041005 GROWTHT + 7.324712 DQ78AR1 + 7.508335 DQ67CR1 + 5.795913 DQ61R1 + 4.548432 DQ86R2 - β0λ.000β46λ7γ + it Tabel 49 Hasil Estimasi Model Determinan Investasi Swasta PMA di Provinsi Jawa Timur dengan Regresi Data Panel Pooled Least Square Variable Coefficient t-Statistic Prob. LPUB 7.414464 2.273753 0.0261 LPMDN 0.344604 3.020164 0.0036 GROWTH -0.041005 -0.374222 0.7094 DJALAN DQ78AR1 7.324712 1.784018 0.0789 DDONASI DQ67CR1 7.508335 2.354137 0.0215 DKEPDADQ61R1 5.795913 2.001244 0.0494 DDEMO DQ86R2 4.548432 0.951188 0.3449 C -209.0002 -2.368681 0.0207 R-squared 0.370037 Adjusted R-squared 0.305188 Sum squared resid 8054.284 ProbF-statistic 0.000033 ket: , berturut-turut menunjukkan variabel signifikan pada tingkat 5 dan 10 Sumber: data olahan Hasil estimasi terhadap koefisien variabel-variabel dalam model PMA tersebut Tabel 49menunjukkan bahwa ada tiga variabel tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh secara signifikan, yaitu dummy kualitas infrastruktur jalan DJALAN, dummy tingkat hambatan donasi terhadap Pemda DDONASI, dan dummy pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha DKEPDA. Ketiganya memiliki p-value di bawah 10 persen. Sejalan dengan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, ternyata variabel PMDN, belanja modal pemerintah PUB berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMA. 5.4.3. Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Realisasi Investasi di Provinsi Jawa Timur.

5.4.3.1 Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Realisasi PMDN di Provinsi Jawa Timur.

Berdasarkan hasil estimasi model, terlihat bahwa semua variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMDN di kabupatenkota di provinsi Jawa Tengah. Kelima variabel bebas itu adalah PMA, belanja modal, pertumbuhan ekonomi, persentase perusahaan yang memiliki TDP, dan dummy program pengembangan usaha swasta PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensial. Hal ini dapat kita lihat dari p-value masing-masing variabel yang berada di bawah taraf nyata 10 . Variabel PMA berpengaruh positif terhadap PMDN dengan nilai koefisien 0.289785. Hal ini berarti bahwa peningkatan realisasi PMA sebesar 1 akan meningkatkan realisasi PMDN sebesar 0.289785, cateris paribus. Dengan kata lain, keberadaan PMA di kabupatenkota di Jawa Timur justru bukan menjadi substitusi PMDN melainkan saling melengkapi bersifat komplementer dengan PMA. Aliran PMA ini secara relatif masih banyak manfaatnya dalam bentuk penciptaan kesempatan kerja,penyerapan teknologi,manajemen, pengetahuan dan pengalaman asalkan tidak terlalu banyak campur tangan asing dalam pengelolaan problem domestik dari kabupatenkota tempat modal itu ditanamkan Damanhuri, 2010. Keberadaan PMA yang justru menstimulasi realisasi PMDN ini sejalan dengan penelitian di Korea Selatan oleh Kim dan Seo 2003, bahwa PMA mampu menstimulasi dan mendorong berkembangnya PMDN. Ini terbukti dengan munculnya Korea Selatan menjadi salah satu raksasa baru Asia dalam hal pertumbuhan ekonomi akibat banyaknya PMA yang berinvestasi di era 90-an. PMA dan PMDN di dalamnya tidak saling mensubstitusi karena PMA yang masuk tidak bersifat resource seeking yang akan menyebabkan perebutan sumber daya, tapi sudah bersifat market seeking, sehingga tujuan utamanya hanyalah memperluas marketnya saja dengan lebih mendekatkan diri kepada pangsa pasarnya. Variabel berikutnya yaitu belanja modal ternyata berpengaruh positif terhadap realisasi PMDN dengan nilai koefisien 9.280199. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan belanja modal sebesar 1 akan menyebabkan kenaikan realisasi PMDN sebesar 9.280199, cateris paribus. Seperti halnya pengaruh PMA terhadap PMDN, belanja modal pemerintahpun bersifat komplementer terhadap realisasi PMDN. Sejalan dengan penelitian Atukeren 2005, keberadaan investasi pemerintah dapat menjadi komplementer saat investasi pemerintah sangat mendukung pengembangan investasi swasta. Contoh nyatanya adalah investasi pemerintah dalam bidang infrastruktur, sangat mendorong produktivitas sektor swasta karena mengurangi biaya tambahan akibat transportasi yang buruk. Sedangkan investasi dalam pendidikan dan kesehatan, akan meningkatkan kualitas human capital dari para pelaku usaha, sehingga realisasi investasi swasta dalam jangka panjang akan meningkat. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap investasi dalam bentuk causal relationship. Investasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pertumbuhan ekonomipun mempengaruhi realisasi investasi. Dalam model PMDN ini, pertumbuhan ekonomilah yang mempengaruhi realisasi investasi secara signifikan positif. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan dalam pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1, akan menyebabkan kenaikan realisasi PMDN sebesar 0.022, cateris paribus. Easterly dan Levine 2001 juga berargumen bahwa hubungan positif antara investasi dan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dari hubungan timbal balik yaitu kecenderungan pertumbuhan ekonomilah yang menyebabkan akumulasi kapital. Beranjak lebih jauh ke dalam variabel tata kelola pemerintahan, variabel persentase kepemilikan TDP secara signifikan berpengaruh positif terhadap realisasi PMDN dengan nilai koefisien 0.073570. Nilai ini dapat diinterpretasikan setiap kenaikan 1 dalam persentase pelaku usaha yang memiliki TDP akan meningkatkan realisasi PMDN sebesar 0.073570, cateris paribus. Dalam berinvestasi baik yang modalnya berasal dari dalam negeri atapun asing, kepemilikan TDP merupakan hal yang sangat penting, karena tanpa adanya izin ini, seluruh kegiatan usaha tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian secara linear dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin meningkatnya persentase perusahaan yang memiliki TDP, semakin tinggi realisasi investasi di kabupatenkota tersebut. Variabel tata kelola pemerintahan yang juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap realisasi PMDN adalah dummy PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensial. Dummy yang digunakan adalah persepsi bahwa pemerintah mengadakan PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensial. Koefisien variabel dummy ini adalah sebesar 6.207752, yang berarti rata-rata perbedaan realisasi PMDN antara kabupatenkota dimana Pemdanya melaksanakan PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensial dan yang tidak melaksanakan PPUS ini adalah sebesar 6.207752, cateris paribus. Promosi produk lokal ini adalah sangat penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terutama investor potensial akan keberadaan produk lokal yang menjadi unggulan. Dengan dipromosikannya produk lokal unggulan diharapkan akan menimbulkan ketertarikan investor baru untuk berinvestasi di daerah tersebut, tentunya dengan didukung oleh tata kelola pemerintah daerah yang juga berkualitas baik. Untuk realisasi PMDN, hal yang mendasari mengapa hanya variabel tata kelola berupa persentase perusahaan yang memiliki TDP dan dummy PPUS berupa promosi produk lokal kepada investor potensiallah yang berpengaruh positif terhadap realisasi PMDN adalah karakteristik PMDNnya sendiri. PMDN di Jawa Timur dominan bergerak dalam sektor industri makanan serta industri mineral non logam. Industri makanan yang sangat tidak terbatas dalam bentuk dan kreativitasnya contohnya, sangat membutuhkan promosi yang ditujukan investor potensial. Industri makanan yang besar juga sangat membutuhkan TDP agar dalam proses pengurusan izin untuk dapat pendapatkan fasilitas PMDN tidak melewati kendala. Demikian pula industri mineral, sangatlah perlu dipromosikan kepada para investor potensial supaya mereka menyadari potensi sumber daya alam berupa mineral yang belum sempat tereksplorasi karena kekurangan permodalan.

5.4.3.2 Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Realisasi PMA di Provinsi Jawa Timur.

Berdasarkan hasil estimasi model, terlihat bahwa hanya ada 5 variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMDN di kabupatenkota di provinsi Jawa Tengah. Kelima variabel bebas itu adalah PMDN, belanja modal,dummy kualitas infrastruktur jalan DQ78AR1, dummy tingkat hambatan donasi terhadap Pemda DQ67CR1, dan dummy pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha DQ61R1. Hal ini dapat kita lihat dari p-value masing-masing variabel yang berada di bawah taraf nyata 10 . Variabel PMDN berpengaruh positif terhadap PMA dengan nilai koefisien 0,344604. Hal ini berarti bahwa peningkatan realisasi PMDN sebesar 1 akan meningkatkan realisasi PMDN sebesar 0.344604 , cateris paribus. Dengan kata lain, keberadaan PMDN di kabupatenkota di Jawa Timur justru bukan menjadi substitusi PMA melainkan saling melengkapi bersifat komplementer dengan PMDN. Variabel berikutnya yaitu belanja modal ternyata berpengaruh positif terhadap realisasi PMA dengan nilai koefisien 7.414464. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa setiap kenaikan belanja modal sebesar 1 akan menyebabkan kenaikan realisasi PMDN sebesar 7.414464 , cateris paribus. Seperti halnya pengaruh PMDN terhadap PMA, belanja modal pemerintahpun bersifat komplementer terhadap realisasi PMA. Investasi yang dilakukan pemerintah banyak yang bekerjasama dengan investor asing, sehingga keberadaannya saling melengkapi dan bukannya saling mensubstitusi. Dummy tata kelola yang berpengaruh positif terhadap realisasi investasi adalah dummy kualitas infrastruktur jalan DQ78AR1. Infrastruktur sebagai penopang utama kegiatan produksi dan distribusi merupakan hal yang sangat vital dan sangat mempengaruhi keputusan investor pada saat ingin menanamkan modalnya. Ketersediaan infrastruktur jalan yang baik di Jawa Timur antara lain jalan tol Surabaya-Gempol dan jembatan Suramadu, sangat menarik bagi aliran modal untuk masuk ke wilayah ini. Rata-rata perbedaan realisasi PMA antara kabupatenkota yang memiliki infrastruktur jalan yang baik dengan yang tidak adalah sekitar 7.32, cateris paribus. Selain infrastruktur jalan, investor PMA juga sangat menaruh perhatian pada unsur biaya transaksi DQ67CR1. Semakin biaya transaksi kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, semakin tinggi realisasi PMA di kabupatenkota tersebut. Rata-rata perbedaan realisasi PMA antara kabupatenkota yang hambatan biaya transaksinya kecil dan besar terhadap kinerja perusahaan adalah sekitar 7.50, cateris paribus. Variabel tata kelola yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha DQ61R1. Semakin kepala daerah memiliki pemahaman yang baik tentang dunia bisnis, semakin tinggi realisasi PMA di kabupatenkota tersebut. Rata-rata perbedaaan realisasi PMA antara kabupatenkota yang kepala daerahnya paham akan permasalahan dunia usaha dengan yang tidak adalah sekitar 5.79, cateris paribus. Untuk realisasi PMA, hal yang mendasari mengapa hanya variabel tata kelola berupa kualitas infrastruktur jalan, pemahaman kepala daerah terhadap permasalahan dunia usaha, dan tingkat hambatan donasi Pemda yang berpengaruh positif terhadap realisasi PMA adalah karakteristik PMAnya sendiri. PMA di Jawa Timur banyak bergerak di sektor Listrik, Gas dan Air serta industri kimia dasar dan terpusat di Jawa Timur bagian tengah yang dikenal dengan nama SUGRESID Surabaya, Gresik, Sidoarjo. Sektor Listrik Gas dan Air serta industri kimia dasar dan barang farmasi sangat tergantung pada kualitas infrastruktur jalan untuk dapat mendukung distribusi produknya. Daerah SUGRESID dapat mengakomodir kebutuhan ini, karena infrastruktur jalannya relatif baik. Demikian pula industri kimia dasar dengan modal awal yang tinggi akan dapat berkembang pesat jika tingkat hambatan donasi kepada Pemda kecil dan kepala daerah memiliki pemahaman yang baik terhadap permasalahan di dunia usaha.

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan keterkaitan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan realisasi investasi dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Tata Kelola Pemerintahan Daerah di Jawa Timur periode 2005-2010 semakin membaik untuk tata kelola berupa durasi pengurusan status tanah, kecilnya kemungkinan lokasi usaha akan digusur,persentase perusahaan yang memiliki TDP, biaya perizinan tidak memberatkan usaha, tingkat efisiensi pelayanan izin usaha, izin usaha yang kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, kepastian hukun dari kebijakan Pemda, tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS, promosi produk lokal kepada investor potensial, pelatihan pengajuan aplikasi kredit bagi UKM yang bermanfaat bagi dunia usaha, persepsi biaya transaksi tidak menghambat kinerja perusahaan, kualitas infrastruktur lampu jalan, persentase perusahaan yang menggunakan genset dan lama pemadaman listrik . Sementara itu persepsi pelaku usaha makin memburuk untuk kebijakan Pemda yang berorientasi mendorong iklim investasi, IPPU yang tidak menghambat kinerja perusahaan, tingkat pembayaran donasi kepada Pemda dan persepsi bahwa kepala daerahnya bertindak tegas terhadap korupsi yang dilakukan jajarannya. 2. Analisis tentang hubungan tata kelola pemerintahan daerah dan realisasi PMDN dapat dijabarkan sebagai berikut:  Variabel-variabel yang berhubungan positif terhadap PMDN maupun PMA antara lain tingkat kebijakan non diskriminatif Pemda, interaksi Pemda yang kecil hambatannya terhadap pelaku usaha, pelayanan izin usaha yang bebas pungli,Izin usaha yang kecil hambatannya terhadap kinerja perusahaan, dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan, kapasitas integritas bupatiwalikota yang kecil hambatannya terhadap dunia usaha, biaya transaksi yang kecil hambatannya terhadap dunia usaha, kualitas infrastruktur jalan dan infrastruktur yang kecil hambatannya terhadap dunia usaha.  Variabel tata kelola yang berhubungan negatif terhadap PMA maupun PMDN antara lain: penggusuran lahan oleh Pemda, tingkat pemecahan masalah oleh Pemda, pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha, tingkat kepastian hukum terkait dunia usaha, tingkat dukungan Pemda terhadap pelaku usaha daerah, tingkat kebijakan Pemda yang mendorong iklim investasi,pelayanan izin usaha belum bebas KKN, ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya, tindakan kepala daerah yang menguntungkan dirinya sendiri, kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi,kualitas penanganan kasus demonstrasi buruh oleh polisi.Dengan banyaknya variabel yang berhubungan negatif secara nyata, tidak langsung dapat disimpulkan bahwa tata kelola yang buruk justru meningkatkan investasi, karena faktor penentu investor dalam menanamkan modal bukan hanya dari 1 unsur tata kelola saja, akan tetapi banyak unsur tata kelola yang lain. Korelasi antara variabel tata kelola dengan realisasi PMA dan PMDN pada dasarnya hanya hubungan sederhana dan merupakan deteksi awal fenomena. Pada kenyataannya, di satu kabupaten bisa saja terjadi satu unsur tata kelola memang buruk, namun tata kelola lainnya sangat baik. Unsur tata kelola yang baik ini yang lebih menarik investor.  Tidak ada satupun sub indeks dan indeks TKED berhubungan signifikan dengan realisasi PMDN, dan ada beberapa sub indeks yang berhubungan signifikan negative dengan PMA. Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berjumlah lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks, sehingga tidak terdeteksi dengan jelas variabel- variabel penyusun manakah dari sub indeks tersebut yang secara signifikan berhubungan dengan realisasi PMDN. 3. Untuk menganalisis pengaruh tata kelola terhadap PMDN, dibentuk suatu model yang menggambarkan keterkaitan PMA, PMDN, belanja modal, pertumbuhan ekonomi dan tata kelola pemerintahan. Hasil estimasi terhadap koefisien variabel-variabel menunjukkan bahwa ada dua variabel tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh secara signifikan, yaitu persentase kepemilikan TDP dan program pengembangan usaha swasta berupa promosi produk lokal kepada investor potensial . Sementara itu PMA, belanja modal pemerintah dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap realisasi PMDN. Sedangkan untuk menganalisis pengaruh tata kelola terhadap PMA, dibentuk pula suatu model yang identik dengan model PMDN, yang menggambarkan keterkaitan PMA, PMDN, belanja modal, pertumbuhan ekonomi dan tata kelola pemerintahan. Hasil estimasi dengan regresi data panel menunjukkan variabel tata kelola pemerintahan yang berpengaruh positif signifikan terhadap realisasi PMA adalah kualitas infrastruktur jalan,tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan, dan tingkat pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha. Sementara itu PMDN dan belanja modal berpengaruh positif signifikan pula terhadap realisasi PMA.

6.2. Saran 1.

Dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif, biaya transaksi yang semakin tinggi di Jawa Timur perlu diminimalisir. Walaupun persepsi pelaku usaha di Jawa Timur tidak menganggap biaya transaksi tersebut sebagai hal yang memberatkan, namun persepsi itu akan sampai pada suatu titik jenuh di mana mereka akan merasa biaya tersebut sangat menghambat kinerja perusahaan. 2. Sehubungan dengan tata kelola pemerintahan dari segi kapasitas dan integritas bupatiwalikota, penyelenggaraan Pilkada perlu ditinjau ulang. Hal ini dimaksudkan agar high cost of politics yang merupakan konsekuensi pemilukada tidak menyebabkan kepala daerah melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya sendiri. Halaman ini sengaja dikosongkan DAFTAR PUSTAKA Abdini C , Adyawarman. 2010. Analisis kebijakan Ketahanan Ekonomi Indonesia http:www.setneg.go.idindex.php?option=com_contenttask=viewid= 5840Itemid=29 [7 Maret 2012] Agosin R, Machado R. 2005. Foreign Investment in Developing Countries: Does it Crowd in Domestic Investment? Oxford Development Studies, 332: 149-162. Alam Q, Mian. 2005. The Impact of Poor Governance To Foreign Direct Investment : The Bangladesh Experience. Working Paper. China National School of Administration. Aschauer DA. 1989. Does Public Capital Crowd Out Private Capital? Journal of Monetary Economics : 171-188 Atukeren E. 2005. Interactions Between Public and Private investment: Evidence From Developing Countries. Kyklos ,583:307-330. Aysan A, Varoudakis M. 2007. How Do Political and Governance Institutions Affect Private Investment Decisions? An Application to the Middle East and North Africa. Working Paper. Turkey. Bahl RW. 1998. Fiscal Decentralization and Intergovernmental Relations in Transition Economics: Towards A Systematic Framework of Analysis . The World Bank. Washington D.C. Baltagi B.2005.Econometric Analysis of Panel Data: third Edition. John Wiley and Sons.Ltd. England. Blair H. 1998. Spreading Power to the Periphery: An Assessment of Democratic Loval Governance. USAID Program and Operations Assessment Report No.21: Washington D.C. Blanchard O. 2006. Macroeconomics. Pearson Education International. Singapore. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Jawa Timur Dalam Angka 2009. Surabaya: BPS. Coutinho R, Gallo G. 1996. Do Public and Private Investment Stand In Each ηther’s Way? Journal of Economic Literature: 1-34. Damanhuri DS. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. Bogor: IPB Press. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. De P. 2010. Governance, Institutions and Regional Infrastructure in Asia. ADBI Working Paper Series no. 183. Dornbusch R, Fischer S. 1984. Macroeconomics,3rd Edition. Toronto: Mc Graw- Hill Inc. Duncan A. 1999. An Introduction of Panel Data Analysis. School of Economics Dwijowijoto RN. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi . Elex Media Komputindo. Jakarta. Easterly W, Levine R. β001. It’s not factor accumulationμ Stylized Facts and Growth Models. World Bank Economic Review,152: 177-219. Firdaus M. 2010. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor: IPB Press. Gani A. 2007. Governance and Foreign Direct Investment Links: Evidence From Panel Data Estimations. Applied Economic Letters 14:753-756 Ghazali A. 2010. Analyzing the Relationship Between Foreign Direct Investment, Domestic Investment and Economic Growth. International Research Journal of Finance and Economics 47: 123-131. Haryanto J. 2005. Analisis Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi pemerintah di Kabupaten Musi Banyuasin.Kajian Ekonomi,4 1:46-80 Januar A. 2009. Keterkaitan antara Iklim Investasi Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat . [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor. Juanda B. 2007.Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan.Bogor: IPB Press. Juanda B. 2007.Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis.Bogor: IPB Press. Karras G. 1994. Government Spending dan Private Consumption: Some International Evidence. Journal of Money,Credit and Banking.9-22 Kim D , Seo J. 2003. Does FDI inflow crowd out domestic investment in Korea? Journal of Economic Studies . 306. 605-622. [KPPOD] Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2007. Tata Kelola Ekonomi Derah 2007. Jakarta: KPPOD. [KPPOD] Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. 2011. Tata Kelola Ekonomi Derah 2011. Jakarta: KPPOD. Luebke C.2009. The Political Economy of Local Governance: Findings from Indonesian Field Study. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 45 2: 201-230. Machmud S. 2002. Analisis Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Selatan. Kajian Ekonomi, 11 : 40-57 Mac Kinnon D , Phelps NA. 2001. Regional Governance and Foreign Direct Investment: the Dynamics of Institutional Change in Wales and north East England. Geoforum 32: 255-269. McCulloch N, Malesky E. 2010.Apakah Tata Kelola pemerintahan Daerah yang Lebih Baik Meningkatkan Kinerja Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Indonesia? Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah: 1-81. Misun J , Tomsik V. 2002. Does foreign direct investment crowd in or crowd out domestic investment? Eastern European Economics, 40 2. 38-56. Monadjemi M, Huh H. 1998. Private and Government Investment: A Study of Three OECD Countries. International Economic Journal, 12 3 : 93-105. Morissey O, Udomkerdmongkol M. 2010. Governance, Private Investment and Foreign Direct Investment in Developing Countries.World Development, 40 3 :437-445. Moudatsou A, Kyrkilis D. 2009. FDI and Economic Growth: Granger Causality Tests in Panel Data Model-Comparative results in the case of European Union countries EU European Union countries and ASEAN Association of South East Asian Nations. EEFS2008-Conference: 1-16. Mukherjee A, Wang L, Tsai,Y. 2012. Governance and Foreign Direct Investment: Is There A Two-Way Relationship?Trade and Development Review 51: 37-51. Nicholson W. 1998. Microeconomic Theory, Basic Principles and Extensions 5th Edition . Orlando-Florida: The Dryden Press Harcourt Brace College Publisher. Nugroho SBM. 2008. Evaluasi Terhadap Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Investasi di Indonesia dan Implikasi Kebijakannya. Riptek, 21:18-21. Pambudhi PA. 2010. Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah. Sewindu Otonomi Daerah : Perspektif Ekonomi : 13-25. Pradhan BK, Ratha DK, Sarma A. 1998. Complementarity Between Public and Private Investment in India. Journal of Development Economies 33: 101- 116. Osmani SR. 2001. Participatory Governance and Poverty Reduction. Choices For The Poor: Lessons from national Poverty Strategies . United Nations Development Programme. [RPJPD]. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah 2005-2025. 2005.Surabaya: Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Rehman CA, Ilyas M, Alam HM, Akram M. 2011. The Impact of Infrastructure on Foreign Direct Investment: The Case of Pakistan. International Journal of Business and Management, 65: 268-276. Rondinelli DA, Nellis JR. 1986. Asessing Decentralization Policies in Developing Countries: The Case for Cautious Optimism. Development Policy Review, 41: 3-23. Sukirno S. 2000. Makro Ekonomi Modern.Edisi ke-1.Jakarta:Raja Grafindo. Suneki S. 2006. Determinan Perilaku Investasi Swasta di Provinsi Jawa Tengah. [tesis] Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Stiglitz J. 2000. Economics of Public Sector 3 rd edition. New York:W.W. Norton Company. [UNDP] United Nations Development Programme. 1994. Good Governance And Sustainable Human Development . UNDP: New York. Verbeek M. 2008. A Guide to Modern Econometrics, Third Edition. John Wiley Sons. Wati HK. 2008. Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian : Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur. [tesis] Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wahyuni D. β007. Investasi di Jawa Timur “Berenang” dalam δumpur. http:www.bisnis.co.id [23 Februari 2012] [WB] World Bank. 2004. Doing Business in Indonesia. World Bank: Jakarta. [WB] World Bank. 2011. Doing Business in Indonesia. World Bank: Jakarta. [WB] World Bank. 2012. Doing Business in Indonesia. World Bank: Jakarta. [WB] World Bank. 2003. Improving The Business Environment in East Java : Views From The Private Sector . World Bank: Washington D.C. World Development Report.2005. A Better Investment Climate For Everyone. World Bank: New York.