ini perusahaan Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2001. Contoh retribusi daerah, yaitu retribusi sewa tempat di pasar milik Pemda,
retribusi kebersihan dipasar milik Pemda, retribusi parkir di tepi jalan umum yang disediakan oleh Pemda, dan retribusi sejenis lainnya.
3. Sumbangan Pihak Ketiga SP3 Sumbangan Pihak Ketiga SP3 yang resmi adalah sejumlah pembayaran
yang diberikan oleh perusahaan kepada Pemda atas dasar adanya Peraturan Daerah atau Surat Keputusan BupatiWalikota. Contoh
sumbangan pihak ketiga yaitu: sumbangan wajib pengusaha sektor perkebunan, sumbangan wajib pengusaha sektor industri seperti nilai
tertentu pada setiap unit hasil produksi: Rp 5,00 per kg buah sawit segar dan sumbangan wajib pengusaha sektor jasa.
Keberatan yang sering dikemukakan oleh kalangan bisnis adalah tingginya pajak dan retribusi daerah yang harus mereka bayar. Bentuknya pajak dan
retribusi inipun bermacam-macam. Pemerintah daerah biasanya membebankan pajak listrik daerah, juga pajak hotel dan restoran. Di samping itu, mereka berhak
menarik retribusi pengguna untuk sejumlah besar layanan peraturan daerah, bahkan ketika kadangkala tidak ada layanan yang sungguh-sungguh diberikan.
4.8.10. Infrastruktur Daerah
Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor
input dan faktor output produksinya. Kehadirannya dapat menjadi faktor pendorong tingkat produktivitas di suatu daerah. Ketersediaan infrastruktur jalan,
misalnya, akan memungkinkan orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain. Apabila tidak ada akses transportasi yang baik tentunya akan sulit
bagi suatu perusahaan untuk melakukan aktivitas usahanya. Karena itu, ketersediaan infrastruktur terutama kualitas jalan yang baik, sangat diperlukan
untuk kelancaran proses produksi. Infrastruktur sangat menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur dengan
Pertumbuhan Domestik Bruto PDB ternyata mempunyai hubungan yang erat. Elastisitas PDB terhadap infrastruktur, perubahan persentase pertumbuhan PDB
per kapita sebagai akibat dari naiknya satu persen ketersediaan infrastruktur, di berbagai Negara bervariasi antara 0,07 sampai dengan 0,44 World Bank, 1994.
Infrastruktur yang dinilai pada survei ini mencakup penilaian persepsi terhadap sejumlah fasilitas infrastruktur seperti jalan kabupaten dan kota, kualitas
lampu penerangan jalan, kualitas air PDAM, kualitas listrik, dan kualitas telepon. Selain itu dihitung pula lama waktu yang dibutuhkan di setiap kabupaten dan kota
untuk memperbaiki kerusakan terhadap berbagai infrastruktur tersebut. Jenis-jenis infrastruktur tersebut dipilih berdasarkan yang paling mempengaruhi keputusan
berbisnis pelaku usaha dan atau dalam kewenangan Pemda. Misalnya seperti lampu penerangan jalan sebenarnya tidak terdapat peraturan yang menyebutkan
aktivitas perawatannya kepada Pemda, namun karena pajaknya dimasukkan sebagai pajak daerah maka selayaknya Pemda memberikan perhatian terhadap
kualitasnya. Di samping itu pula tingkat kepemilikan genset oleh pelaku usaha juga digunakan sebagai salah satu indikator. Hal tersebut mencerminkan tingkat
kewaspadaan akan padamnya aliran listrik dimana semakin tinggi tingkatan tersebut menggambarkan keadaan infrastruktur listrik yang tidak baik.
4.8.11. Keamanan dan Penyelesaian Konflik
Keamanan usaha merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan pelaku usaha ketika akan memulai usaha dan menjalankan usahanya. Pelaku
usaha seringkali rela membayar biaya keamanan yang tinggi asalkan ia tetap dapat beroperasi di suatu daerah. Survei TKED melakukan penilaian terutama terhadap
tindakan aparat keamanan ketika menghadapi kejadian seperti demonstrasi pegawaiburuh dan kejadian kriminalitas di tempat usaha.
Kinerja aparat keamanan yang dikaji dalam survei ini adalah kinerja kepolisian di tingkat kabupatenkota. Adapun struktur lembaga kepolisian
Indonesia telah dipisahkan dari tentara nasional TNI sejak tahun 1999. Hal ini berkaitan dengan sejumlah tuntutan pelayanan dari masyarakat akan
keprofesionalan polisi dalam penanganan masalah keamanan dalam negeri.
Pemda tidak secara langsung memiliki kewenangan untuk menangani masalah keamanan yang terjadi di daerahnya. Namun keterbatasan kewenangan
ini bukan berarti mengkotak-kotakkan kewenangan. Bentuk koordinasi antara aparat Dinas Ketertiban Umum Pemda dan pihak kepolisian dapat menjadi bentuk
sinergi koordinasi yang dapat meningkatkan rasa aman bagi pelaku usaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa koordinasi antara lembaga negara dari berbagai tingkatan
lebih penting untuk diimplementasikan dari pada sekedar mempersoalkan cakupan kewenangan.
4.8.12. Kualitas Peraturan Daerah
Perda merupakan sebuah instrumen kebijakan daerah yang sifatnya formal, Melalui Perda, dapat diindikasikan adanya insentif maupun disinsentif
sebuah kebijakan di daerah terhadap aktivitas perekonomian. Penilaian kualitas Perda dilakukan melalui desk analysis dengan menggunakan 14 empat belas
kriteria. Berdasarkan hasil analisis diperoleh gambaran mengenai kualitas Perda di daerah yang dikelompokan dalam tiga kategori potensi permasalahan, yaitu
kategori prinsip, kategori substansi, dan kategori acuan yuridis. Dalam kategori acuan yuridis terdiri dari tiga kriteria yaitu relevansi acuan yuridis, up to date
acuan yuridis, dan kelengkapan yuridis formal. Kategori substansi terdiri enam kriteria, yaitu diskoneksi tujuan dan isi serta konsistensi pasal, kejelasan obyek,
kejelasan subyek, kejelasan hak dan kewajiban wajib pungut dan Pemda, kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur atau struktur dan standard tarif,
kesesuaian antara filosofi dan pungutan. Kategori prinsip terdiri dari lima kriteria, yaitu keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip free internal trade,
persaingan sehat, dampak ekonomi negatif, menghalangi akses masyarakat dan kepentingan umum, dan pelanggaran kewenangan pemerintahan.
Jumlah peraturan daerah yang dianalisis sebanyak 932 Perda pada survei TKED 2007 dan 1.480 perda pada survei TKED 2011. Perda yang dianalisis
dibatasi dengan wilayah pengaturannya, yaitu terkait dengan perekonomian. Perda yang dianalisis tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 tiga wilayah isu, yaitu
Perda terkait dengan perizinan, Perda terkait dengan lalu lintas barang dan jasa,
serta Perda terkait dengan ketenagakerjaan. Dari total 932 peraturan daerah, kebermasalahan pada kategori yuridis didominasi oleh banyaknya Perda yang
tidak mengatur secara lengkap ketentuan-ketentuan peraturan yang lebih tinggi. Diantaranya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah dan
Retribusi Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi
Daerah. Sejumlah ketentuan yang tertuang dalam ketiga produk hukum seperti tersebut di atas sifatnya wajib, sehingga setiap pengaturan yang tidak merujuk
pada ketentuannya dikategorikan Perda bermasalah.