Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama

Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 149 penyuapan polisi, jaksa dsbnya. Hal ini jelas mengganggu sistematika yang sudah terlanjur terus mengikuti WvS. Dalam hal ini ada beberapa alternatif yaitu: Alternatif pertama, ialah menyusun bab tersendiri mengenai delik penyelenggaraan peradilan dengan kata lain meneruskan susunan Harris, kalau perlu menambah lagi perumusan baru yang dapat dikutip dari KUHP asing yang lain, selain Turki dan Perancis yang telah dikutip oleh Harris. Alternatif kedua, ialah tetap sebagaimana dengan sistematika WvS, yang delik mengenai penyelanggaraan peradilan tersebar di dalam beberapa bab, dengan penambahan perumusan baru, baik yang kita ciptakan sendiri maupun yang meniru dari KUHP asing dan dimasukkan ke dalam bab yang serasi. Jika alternatif yang pertama yang dipilih, dapat memenuhi kebutuhan hukum mengenai perlunya perlindungan terhadap pengadilan sebagai tindak pidana tersendiri dengan titel Contempt of Court. Kerugiannya, ialah kemungkinan ada beberapa ketentuan yang tidak serasinya dengan bab-bab lain dalam KUHP. Jika alternatif kedua yang dipilih, berarti tindak pidana yang termasuk Contempt of Court tersebar dalam berbagai pasal yang dapat menyulitkan dalam praktek penegakan hukum dan khusus dalam menjaga kewibawaan hakim yang dapat menggangu jalanya proses peradilan untuk menemukan keadilan. RUU KUHP memilih alternatif yang pertama, dengan tetap memperhatikan tindak pidana lain yang terkait dengan penyelenggaraan peradilan, khususnya mengenai politik hukum pidana pembentukan masing-masing tindak pidana dalam pasal-pasal lain yang terkait dengan penyelenggaraan peradilan.

7. Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama

Apabila diinginkan untuk menyempurnakan pengaturan terhadap tindak pidana agama maka kita harus hati-hati apabila menggunakan rujukan berupa perkembangan “blasphemy” di Inggris Kelemahan pengaturan hukum “blasphemy” di Inggris adalah bahwa perlindungan hukum dalam hal ini hanya diberikan pada agama tertentu yakni agama Kristen yang di Inggris di anggap sebagai bagian yang sangat penting dalam struktur masyarakat.Hal ini nampak pada “actus reus” blasphemy yang dirumuskan “….. if it denies the truth of the Cristionan religion or of the Bible or the Book of CommoN Prayer, or the existence of God.Ibid, hal 686. Apabila perkembangan tindak pidana agama di Indonesia menuju kearah penempatan agama sebagai kepentingan hukum yang besar dan mandiri dan tidak hanya sekedar sebagai bagian tindak pidana terhadap ketertiban umum sebagaimana diatur dalam WvS, maka sebaliknya di Inggris mulai muncul kritik-kritik untuk meniadakan peraturan hukum tentang “blasphemy” tersebut. Kritik-kritik tersebut dilandasi oleh pemikiran untuk juga melindungi kepentingan hukum agama-agama lain serta atas dasar kenyataan, bahwa selama lebih dari seratus tahun jarang sekali orang dituntut karena telah melakukan “blasphemy”. Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 150 The Law Commission di dalam kertas kerjanya 1981 telah memberikan rekomendasi agar supaya peraturan hukum tentang “blasphemy” digantikan dengan “an offence of using threatening, abusive or insulting words or behaviour at any time in any place of worship of the Church of England, or in any other certified place of religious worship, in any churchyard or burial ground, with intent to wound or outrage the feelings of those usi ng the premises concerned” Law Com, No.79 1981, Crim LR, h.810. Dalam hal mengembangkan tindak pidana agama, lebih tepat juga mencontoh pengalaman pengaturan hukum di Thailand dan Malaysia yang dalam KUHP nya Chapter XV KUHP Malaysia dan Titel IV KUHP Thailand yang jelas-jelas mengatur “Offenses relating to Religion ” yang mencakup perlindungan terhadap semua agama. Sehubungan dengan niat untuk mewarnai KUHP yang akan datang dengan “double track system ” dan titik berat diberikan pada nila-nilai aliran modern sekalipun disana sini pengaruh aliran neo klasik masih terasa, maka timbul masalah sehubungan dengan keinginan agar kita tetap taat pada asas-asas dasarnya. Khusus mnegenai sistematik penggolongan tindak pidana yang tidak banyak berbeda dengan WvS akan menimbulkan persoalan karena konsepsi yang mendasari berbeda. Persoalannya adalah apakah penggolongan tersebut merupakan atau untuk menunjukkan tingkatangradasi dari kepentingan hukum yang dilanggar. Jadi berfungsi “mengekpresikan nilai” atau “mengekpresikan kualitas nilai”. Selanjutnya harus pula dijelaskan apakah penggolongan kualitas tindak pidana yang bersangkutan yang akan berakibat pula pada jumlah maksimun pidana kualitas. Sehubungan dengan hal diatas, maka bilamana titik berat kita arahkan pada nilai- nilai aliran modern, maka sebenarnya konsep relativitas kejahatn perlu dikaji lebih lanjut, Apakah hal ini dapat diterima, maka relativitas kejahatan ini merupakan landasan kuat untuk lebih menyerderhanakan kualitas tindak pidana dengan system standardisasi. John Kaplan, Simplified Grading, 1975, hal 444 dstnya. Pentingnya pengaturan tentang tindak pidana agama ini adalah karena ini merupakan pewujudan dari sila pertama dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti bahwa dalam masyarakat Indonesia agama merupakan sendi utama dalam hidup bermasyarakat. Yang dimaksud dengan agama disini adalah, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Perbuatan yang dilarang di sini adalah perbuatan tercela dengan tidak menghormati agama atau umat beragama yang dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat, atau umat beragama yang bersangkutan. Pada akhirnya sepanjang menyangkut cara yang “apodiktis” dalam menetapkan tindak pidana atas dasar asumsi-asumsi yang dianggap benar dapat dipahami terutama sehubungan dengan fungsi undang-undang yang bersifat instrumental. Hanya saja perlu dikaji lebih lanjut, sampai seberapa jauh hal ini akan berpengaruh terhadap penggolongan tindak pidana yang untuk sebagian besar berfungsi untuk Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 151 mengekpresikan nilai-nilai atau kualitas nilai. Persoalannya akan menjadi semakin komplek bilamana dikaitkan dengan keharusan agar hukum pidana yang akan dibangun nantinya tidak hanya bersifat defensif saja, tetapi harus pula bersifat antisipatif legislative forward planning Iyer, VR, Krishna, Social Mission of Law, Bombay: Orient Longman,1976, hal.83.

8. Tindak Pidana Yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang, Kesehatan,