Ketentuan Umum Hukum Pidana Nasional dalam Buku I sebagai Pondasi

Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 104 nasional akan menolak atau menerima masuknya norma hukum pidana baru tersebut. Atas dasar pertimbangan tersebut, hukum pidana dalam kodifikasi akan memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap hak dasar manusia dalam hukum pidana, baik dalam perumusan norma hukum pidana dan dalam perumusan ancaman sanksi pidana, dibandingkan dengan jaminan perlindungan hukum yang diberikan dalam hukum pidana non kodifikasi, bahkan dalam berbagai ketentuan justru berpotensi melanggar hak dasar manusia. Jaminan perlindungan terhadap hak dasar manusia bagi tersangka dan terdakwa, demikian juga terpidana, dalam penegakan hukum pidana juga telah dipersiapkan Rancangan Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Melalui pembentukan hukum pidana nasional Indonesia tersebut dalam kurun waktu 30 hingga 50 tahun yang akan datang, bangsa Indonesia dapat mengkonsentrasikan kepada pencapaian keadilan yang mutualistik dalam penegakan hukum pidana demi terwujud cita hukum bangsa Indonesia yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila kelima Pancasila.

5. Ketentuan Umum Hukum Pidana Nasional dalam Buku I sebagai Pondasi

Pembentukan Sistem Hukum Pidana Nasional Dalam kaitannya dengan kodifikasi hukum pidana, ketentuan umum hukum pidana yang dimuat dalam Buku I merupakan pondasi sistem hukum pidana nasional Indonesia di masa datang. Sedangkan rumusan norma hukum pidana dan ancaman pidana yang dimuat dalam Buku II menjadi perwujudan bagaimana asas-asas hukum pidana dalam Buku I diterapkan dalam rumusan norma hukum pidana. Sebagai pondasi pembentukan sistem hukum pidana nasional Indonesia Buku I RUU KUHP telah melalui proses kajian yang mendalam dan dirumuskan secara cermat dan hati-hati dengan mendasarkan asas-asas hukum pidana yang cocok atau sesuai dengan bangunan sistem hukum nasional Indonesia, karena sistem hukum pidana nasional Indonesia adalah menjadi bagian dari sistem hukum nasional Indonesia. Oleh sebab itu, rumusan norma hukum yang memuat asas-asas hukum pidana mendasarkan kepada sistem hukum nasional Indonesia dan kontekstual dengan keadaan masyarakat hukum Indonesia. Kebijakan kodifikasi dapat mencegah diterbitkannya norma hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP yang menyimpang dari prinsip- prinsip umum hukum pidana sebagaimana yang dimuat dalam Buku I KUHP. KUHP menjadi sumber utama dan satu-satunya sumber norma hukum pidana nasional Indonesia yang memuat ketentuan umum hukum pidana asas-asas hukum pidana dan memuat Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 105 perbuatan pidana perbuatan yang dilarang dan diancam sanksi pidana yang termasuk kategori kejahatanindependent crimesgeneris crime. Kebijakan kodifikasi hukum pidana dapat memberikan jaminan jangka panjang terhadap perlindungan terhadap hak dasar manusia dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia yang relatif konstan dan memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan dalam penegakan hukum pidana berdasarkan sistem hukum pidana nasional yang normal standar, mencegah adanya eksepsionalitas dalam perumusan norma hukum pidana, pengancaman sanksi pidana dan penegakan hukum pidana hukum acara pidana yang berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap hak dasar manusia . Dalam melakukan kodifikasi hukum pidana, RUU KUHP telah mengubah model perumusan norma hukum pidana sebagaimana uang dimuat dalam KUHP WvS yang terdiri dari 3 tiga buku, yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum, Buku II tentang Kejahatan, dan Buku III tentang Pelanggaran. Sedangkan RUU KUHP disederhanakan menjadi 2 dua buku, yaitu Buku I tentang Ketentuan Umum dan Buku II tentang Tindak Pidana. Dengan demikian tidak lagi membedakan kualifikasi tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran, pembedaannya cukup ditandai dengan ancaman sanksi pidananya. Penyederhanaan tersebut tetap menempatkan Buku I sebagai induk hukum pidana nasional Indonesia sehingga menjadi dasar penyusunan norma hukum pidana nasional Indonesia. Penyederhanaan sistematika RUU KUHP ini didasarkan pada resolusi Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 dan hasil Lokakarya Buku II KUHP tahun 1985. Di dalam resolusi butir VI bidang hukum pidana diserukan agar di dalam bagian khusus KUHP tidak lagi diadakan penggolongan dalam dua macam delik kejahatan dan pelanggaran. Resolusi ini dipertahankan pada Lokakarya Buku II tahun 1985 dengan mengemukakan alasan yang pada intinya sebagai berikut: 1. Tidak dapat dipertahankannya lagi kriteria pembedaan kualitatif antara “rechtsdelict” dan wetdelict ” yang melatarbelakangi penggolongan dua jenis tindak pidana itu; 2. Penggolongan dua jenis tindak pidana itu pada zaman Hindia Belanda memang relevan dengan kopetensi pengadilan waktu itu “pelanggaran” pada dasarnya diperiksa oleh Landgerecht Pengadilan Kepolisian dengan hukum acaranya sendiri, dan “kejahatan” diperiksa oleh Landraad Pengadilan negeri atau Raad van Justitie Pengadilan Tinggi dengan hukum acaranya sendiri pula. Pembagian kompetensi seperti itu tidak dikenal lagi saat ini. 3. Pandangan mutakhir mengenai “afkoop” seperti pada Pasal KUHPWvS sebagai alasan penghapus penuntutan tidak hanya berlaku terbatas untuk “pelanggaran” saja, tetapi dapat berlaku untuk semua tindak pidana walaupun dengan pembatasan ancaman maksimum pidananya. Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 106 Walaupun RUU KUHP tidak lagi mengenal pembagian kejahatan dan pelanggaran sebagai suatu “kualifikasi delik”, namun di dalam pola kerjanya, RUU masih mengadakan pengklasifikasian bobot delik sebagai berikut: 1. Delik yang dipandang “sangat ringan” yaitu yang hanya diancam dengan pidana denda ringan kategori 1 atau II secara tunggal. Delik-delik yang dikelompokkan disini ialah delik-delik yang dulunya diancam dengan pidana penjarakurungan di bawah 1 satu tahun atau denda ringan atau delik-delik baru yang menurut penilaian bobotnya di bawah 1 satu tahun penjara. 2. Delik yang dipandang “berat”, yaitu delik-delik yang pada dasarnya patut diancam dengan pidana penjara di atas 1 satu tahun sd 7 tujuh tahun. Delik yang dikelompokkan disini akan selalu dialternatifkan dengan pidana denda lebih berat dari kelompok pertama, yaitu denda ketegori III atau IV. Delik dalam kelompok ini ada juga yang ancaman minimal khusus. 3. Delik yang dipandang “sangat beratsangat serius”, yaitu delik yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 tujuh tahun atau diancam dengan pidana lebih berat yaitu pidana mati atau penjara seumur hidup. Untuk menunjukkan sifat berat, pidana penjara untuk delik dalam kelompok ini hanya diancam secara tunggal atau untuk delik-delik tertentu dapat dikumulasikan dengan pidana denda kategori V atau diberi ancaman minimal khusus. Patut dicatat, bahwa dalam hal-hal tertentu ada penyimpangan dari pola di atas, antara lain untuk delik yang selama ini dikenal dengan “kejahatan ringan”, polanya adalah diancam dengan maksimum 6 enam bulan penjara dengan alternatif denda kategori II. Di samping tetap ada penggolongan kriminalisasi delik berdasarkan klasifikasi bobot seperti dikemukakan di atas, juga dalam hal-hal tertentu tetap mempertahankan karakteristik akibat hukum dari delik yang digolongkan sangat ringan . Misalnya “Percobaan atau pembentukan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda kategori I, tidak dipidana”. Adanya dua pembagian dahulu di dasarkan teori hukum pada waktu itu harus memberikan dasar bagi pemisahan “wetsdelicten” dan “rechtsdelicten” dan akibat hukum yang berbeda karena adanya dua pembagian tersebut. Pernyataan delik-delik demikian dalam buku tersendiri akan dapat berdampingan dengan stelsel KUHP dari Negara-negara lain, baik dalam Negara-negara sosialis, Negara-negara Amerika latin, Negara-negara Eropa Barat Denmark, Frilandia, dll, Negara-negara Asia Pilipina, Jepang, dll, yang juga mengenal dua bagian dalam KUHP, yaitu bagian umum dan bagian khusus. Tidak banyak Negara mengenal dua pembagian delik atau tiga pembagain delik, seperti dimiliki oleh Prancis dan Jerman. Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dipahami, bahwa penghapusan penggolongan delik menjadi kejahatan dan pelanggaran diterima sebagai wajar. Pendapat ini juga diikuti oleh Panitia Ahli Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tahun 1981 – 1982, yang diketuai oleh Prof. Oemar Senoadji. Naskah Akademis KUHP BPHN 2010 | 107

B. BUKU KESATU: KETENTUAN UMUM